Sains menyuguhkan kita representasi realitas. Representasi tersebut dapat berbentuk teori, model, model data, gambar, grafik, charts, diagram, persamaan matematis, dan sebagainya. Misalnya teori gravitasi Newton. Newton menggunakan term teoritis ‘pusat massa’ dan ‘gaya gravitasi’ untuk merepresentasikan bagaimana sistem tata surya planet tertentu seharusnya bekerja—perubahan posisi dan kecepatan gerak planet tapi bukan perubahan warnanya. Apakah representasi ini benar-benar merepresentasikan dunia? Pertanyaan ini telah melahirkan disputasi panjang hingga kini yang dimulai dalam filsafat secara umum. Namun dalam filsafat Sains disputasi tersebut mulai booming sejak awal abad ke-20.
Apa yang sebenarnya dilakukan oleh para filsuf sains (filsuf yang memfokuskan kajiannya dalam ranah filsafat sains)? Apakah mereka seperti komentator bola yang hanya mengoceh tentang apa yang dilakukan oleh para saintis? Tentu saja tidak. Salah satu (bagian dari sebuah) jawaban adalah bahwa mereka mencoba untuk memahami bagaimana sains bekerja dan untuk melakukannya mereka harus menggambarkan dan merepresentasikan secara apropriatif praktik saintifik. Sekitar dua puluh tahun yang lalu terdapat pergeseran dalam kajian filsafat sains dari elemen teoretis praktik tersebut ke elemen eksperimental.
Pergeseran tersebut dapat kita lacak sejak Thomas Kuhn mengharamkan kita untuk membandingkan sebuah teori saintifik dengan teori saintifik lainnya. Pengharaman ini dia lakukan berdasar pada alasan bahwa teori saintifik tidak dapat dibandingkan satu sama lain karena adanya incomensurability yang berdasar pada paradigma tertentu (Chalmers, 1976: 95-105). Mungkin sudah saatnya pendulum berayun kembali.
Sebagai aktivitas epistemik tidak ada yang menolak bahwa sains telah sukses memahami dunia di mana kita hidup. Namun natur dari kesuksesan tersebut masih belum jelas. Dalam mehami kesuksesan sains inilah representasi saintifik mendapatkan perannya. Secara singkat kesuksesan sains dapat dikarakterisasikan, secara stipulatif, bahwa sains memiliki bisnis dalam memproduksi representasi dunia fisik dan representasi ini akan menjadi akurat hanya ketika beberapa region dunia berjalan dengan suatu cara tertentu. Dari perspektif tertentu kita dapat mengkarakterisasikan bahwa sains sukses jika dan hanya jika representasi saintifiknya akurat, yaitu mempresentasikan region ini atau itu yang berjalan dengan suatu cara tertentu dan sesungguhnya (in fact) dunia memang berjalan seperti itu (Pincock, 2012: 3).
Pembahasan representasi saintifik bangkit menjadi topik yang ramai diperbincangkan dalam filsafat sains bersama munculnya perkembangan pandangan semantik (semantic view atau model-theoretic approach) sebagai respon atas kegagalan pandangan sintaktik (syntactic view atau the Received-view). Pandangan sintaktik atas representasi saintifik mendapatkan namanya dari caranya merepresentasikan struktur teori secara sintaksis dalam term ekspresi logiko-linguistik yang direlasikan oleh sebuah kalkulus deduktif. Menurut pendekatan ini, maka, struktur teori saintifik terdiri dari:
(i) sebuah formalisme abstrak F;
(ii) sebuah himpunan postulat teoretis (aksioma) T;
(iii) sebuah himpunan “aturan korespondensi” C.
F terdiri dari bahasa L yang mana teori diformulasikan dan kalkulus deduktif didefinisikan. L akan terdiri dari term logis dan non-logis; yang terakhir dapat dibagi ke dalam himpunan term observavasoinal dan himpunan term teoretis; “aturan korespondensi” berfungsi sebagai sejenis kamus (dictionary) dengan menghubungkan term teoertis dengan term observasional (French, 2014: 301-302).
Secara singkat, term teoretis didefinisikan sesuai dengan hubungan ekuivalensi entitas observasional. Hal ini dilakukan melalui kreasi kalkulus predikat tatanan-pertama yang memuat beberepa operator logis maupun term teoretis dan term observasional. Setiap term teoretis didefinisikan dalam term aturan korespondensi yang menghubungkannya secara langsung dengan term observasional. Melalui cara demikian term teoretis seperti “massa” diberi definisi observasional secara eksplisit. Maka dari itu definisi ini hanya menggunakan term fenomenal atau fisikal (misalnya seperti “Terjatuhnya bola dari sebuah tower dengan sedemikian rupa” dan “observasi waktu hingga bolanya menyentuh tanah”) ditambah terminologi logis (seperti “terdapat” dan “jika…maka”); tapi definisinya tidak menggunakan term teoretis apapun (seperti “gaya gravitasi” atau “pusat massa”). Bahasa logis juga termasuk di dalamnya beberapa aksioma, yang menjadi relasi di antara beberapa term teoretis. Aksioma ini dapat dimengerti sebagai hukum saintifik karena hukum-hukum ini menunjukan hubungan yang terjalin di antara term teoretis. Dengan memberikan hubungan sintaktik secara murni antara teori dan fenomena, kita tidak membutuhkan lagi pendekatan yang mendetail yang merepresentasikan hubungan di antara keduanya karena aturan korespondensi secara sintaksis menghubungkan teori dengan observasi (Suppe, 1974: 16-50). Mutatis mutandis menurut pendekatan ini teori saintifik adalah sebuah kalkulus aksiomatik yang diberi interpretasi observasional secara parsial melalui himpunan aturan korespondensi; yaitu sebuah entitas logiko-linguistik.
Bagaimana dengan aspek lain dari kegiatan saintifik? Saintis sering menekankan bahwa mereka menggunakan jenis model yang berbeda dalam pekerjaan mereka daripada menggunakan teori per se. Ini adalah salah satu kelemahan pandangan sintaksis. Pandangan ini mengabaikan peran model dalam representasi saintifik. Padahal model memiliki peran yang signifikan dalam sains untuk memahami teori dan juga realitas. Lebih dari itu konstruksi model secara aktual independen dari teori, baik itu dalam hal metodenya maupun tujuannya (Cartwright, Shomar, Suarez, 1995). Selain itu beberapa model dapat dikatakan otonom dari teori, yaitu dalam artian bahwa model dapat memediasi antara teori dan fenomena (Morrison, 1999). Untuk merespon problem ini kita harus terlebih dahulu mengakui bahwa kegiatan saintifik mengikutsertakan dua fitur representasi saintifik yang berbeda sama sekali—model dan teori adalah dua foci yang terpisah dalam aktivitas saintifik dan keduanya memiliki sumber pengetahuan yang berbeda juga.
Pandangan semantik hadir untuk mengatasi problem model yang luput dari pemahaman pandangan sintaktik. Secara singkat pandangan semantik tidak melihat struktur teori saintifik sebagai himpunan aksioma dan mendefinisikan korespondensi sintaktik antara teori dan observasi. Pandangan semantik memandang toeri sebagai kumpulan model. Menurut pandangan ini tak ada hubungan sintaktik langsung antara teori dan observasi, pandangan ini lebih tertarik untuk menjelaskan hubungan yang ada antara teori, observasi, dan akhirnya dunia. Karena itu pandangan ini diberi nama pandangan semantik.
Jika pandangan sintaktik memandang teori saintifik sebagai entitas linguistik, dalam pandangan semantik, teori saintifik adalah entitas ekstralinguistik yang dijelaskan atau dikarekterisasikan oleh formulasi linguistik yang berbeda (Suppe, 1974: 221). Maka dari itu teori tidak terikat pada sebuah formulasi atau bahkan bahasa logis tertentu.
Banyak filsuf sains yang membahas representasi saintifik meilirik diskursus representasi dalam seni. Tradisi semacam ini bukan muncul secara kebetulan. Tradisi ini muncul karena di era digital kita dapat dengan mudah mengakses informasi dan pengetahuan. Menurut tradisi ini seni visual memiliki akar yang sama dengan literatur, musik, dan beberapa jenis seni lainnya, yaitu dari imitasi (Frigg, Hunter, 2010: xxi). Filsuf Yunani Klasik seperti Plato menyebutnya mimesis. Dari term mimesis inilah berkembang diskursus tentang representasi.
Term “representasi” tidak pasti jika kita bertanya “apa itu representasi?”. Gambar merepresentasikan subjeknya; grafik merepresentasikan datanya; para politikus merepresentasikan konstituen mereka; sempel representatif merepresentasikan apapun yang menjadi sempelnya. Gambar, grafik, sampel, teori dan model memiliki relasi representasi dengan bagian tertentu dari dunia. Secara umum representasi saintifik, seperti mimesis, mengacu pada relasi representasi antara bagian tertentu dari dunia dan, dalam konteks sains, produk sains yang merpresentasikannya (Frigg, Nguyen, 2017: 150).
Kita dapat memulai pemahaman kita atas representasi dengan memfokuskan perhatian terlebih dahulu pada kasus dimana representasi adalah perihal denotasi (Elgin, 2010: 2). Meksipun denotasi sering dipahami dalam kasus acuan bahasa di mana sebuah nama dimengerti sebagai sesuatu yang mendenotasikan pembawanya, namun representasi saintifik, seperti model yang mendenotasikan target sistemnya, dan bahasa seni, seperti potret yang mendenotasikan subjeknya seperti yang diungkapkan oleh Goodman, mendenotasikan sesuatu (denotata) (Frigg, Nguyen, 2017: 152). Maka dari itu terdapat riset komparatif antara representasi dalam filsafat seni dan filsafat sains karena keduanya memiliki kesamaan dalam hal denotasi (French, 2010).
Denotasi adalah relasi dua-tempat antara sebuah simbol dan objeknya yang mana simbol tersebut diaplikasikan. Jadi, agar X menjadi representasi dari Y keduanya niscaya (dan cukup) bahwa X mendenotasikan Y karena denotasi adalah inti dari representasi. Gambar, persamaan, grafik, dan peta merepresentasikan subjeknya dengan mendenotasikannya. Gambar, persamaan, grafik, dan peta adalah representasi dari sesuatu yang didenotasikannya. Dalam pengertian inilah model saintifik merepresentasikan sistem targetnya: model saintifik mendenotasikan sistem targetnya (Frigg, Nguyen, 2017: 152).
Tapi, seperti dikatakan oleh Russell (2001, 32), tidak semua simbol memiliki denotata. Gambar yang melukiskan Vegasus, peta yang menunjukan jalan ke Westeros, kedua hal itu adalah representasi namun tidak merepresentasikan objek riil apapun. Untuk menjadi sebuah representasi, sebuah simbol tidak perlu mendenotasikan dirinya, tetapi perlu menjadi sejenis simbol yang mendenotasikan. Gambar Vegasus adalah sebuah representasi karena hal itu adalah sebuah gambar, dan beberapa gambar binatang mendenotasikan beberapa binatang. Jadi, apakah sebuah simbol itu sebuah representasi adalah pertanyaan simbol jenis apa. Dengan mengikuti Goodman dibuatlah distingsi antara representasi p dan p-representasi. Jika s adalah sebuah representasi dari p, maka p eksis dan s merepresentasikan p. Tapi s mungkin juga sebagai p-representasi meskipun tidak ada sesuatu seperti p (Goodman, 1976: 21-26). Maka dari itulah terdapat representasi seperti gambar Vegasus dan peta Westeros yang tidak memiliki denotata. Kedua hal tersebut representasi namun tidak memiliki acuan riil meskipun kita dapat mendeskripsikannya dan berdebat tentang detailnya.
Selain perihal denotasi, representasi juga dapat dipahami sebagai perihal kemiripan, meskipun kemiripian ini tidak niscaya dan cukup untuk representasi karena “A merepresentasikan B jika A dapat dinilai mirip B” adalah sebuah pandangan yang naif (Goodman, 1976: 3-4). Pandangan yang melihat representasi sebagai perihal kemiripan bertahan cukup lama dalam filsafat sains maupun filsafat seni. Misalnya dalam hal lukisan. Lukisan gedung Fakultas Filsafat UGM merepresentasikan gedung Fakultas Filsafat UGM karena gambar dalam lukisan tersebut mirip dengan gedung Fakultas Filsafat UGM. Namun demikian kemiripan bukanlah hal yang diperlukan dalam representasi karena ada distorsi yang menyebabkan hal itu representasi dan bukan presentasi. Jika tidak ada distorsi maka akan ada salinan gedung Fakultas Filsafat UGM secara utuh dan representasi menjadi tidak dimungkinkan. Hal inilah yang menyebabkan konsep kemiripan tidak menjadi konsep yang niscaya dan cukup bagi representasi dan distorsi menjadi konsep lain yang signifikan dalam representasi. Karikatur merupakan contoh yang sering digunakan untuk menunjukan signifikansi distorsi. Dalam karikatur biasanya tubuh orang yang tinggi menjadi pendek, kepala yang seharusnya lebih kecil dari tubuh menjadi lebih besar, meskipun demikian karikatur dimaksudkan untuk merepresentasikan orangnya.
Namun meskipun kemiripan harus ditinggalkan dari pembahasan representasi karena ketidak-niscayaan dan ketidak-cukupannya, bukan berarti kesamaan juga harus ditinggalkan karena masih relevan dengan kesuksesan representasi (van Fraassen, 2008: 13). Kesamaan, lebih tepatnya, kesamaan-selektif tidak membuat sesuatu menjadi representasi namun membuatnya menjadi jenis representasi tertentu karena presentasi dari kemiripan tidak membuatnya menjadi representasi. Dalam hal kesuksesan representasi kesamaan memiliki peran ketika representasi tersebut sukses: yaitu ketika memiliki kesamaan struktur antara representasi dan yang direpresentasikan. Dalam seni kesamaan yang sempurna mungkin hanya ada dalam tatanan ideal. Yang ada hanya kesamaan dalam hal tertentu saja. Namun dalam sains kesamaan selektif memiliki contoh konkritnya, yaitu ketika Copernicus bilang bahwa teorinya menggambarkan struktur riil kosmos, tidak seperti yang digambarkan oleh Ptolemy (van Fraasen, 2008: 13). Dalam hal inilah yang dimaksud bahwa teori atau model (representasi) memiliki kesamaan tertentu dengan dunia nyata.
Representasi juga dapat dipahami sebagai eksemplifikasi. Eksemplifikasi adalah kepemilikan sekaligus pengacuan. Artinya hal ihwal mengeksemplifikasi sebuah sifat sekaligus menginstansiasi sifatnya dan mengacu padanya. Hal ihwal yang mengeksemplifikasi sebuah sifat adalah eksemplar. Contoh paradigmatik dari eksemplar ialah sampel, misalnya botol sampo yang dijadikan sebagai promosi produk sampo tersebut (Frigg, Nguyen, 2017: 155-156).
Seperti denotasi, eksemplifikasi adalah jenis tertentu dari acuan yang menggunakan instansiasi untuk mencapai acuannya. Hal ini dapat diformulasikan sebagai berikut: hal ihwal mengeksemplifikasikan sifat P jika menginstansiasikan P dan maka dari itu mengacu pada P. Instaniasi ini menjadi syarat perlu bagi eksemplifikasi. Maka dari itu hal ihwal dapat mengeksemplifikasi sebuah sifat tertentu hanya jika menginstansiasikannya. Namun eksemplifikasi tidak bersifat sembarang, eksemplifikasi bersifat selektif, maka dari itulah eksemplifikasi membutuhkan interpretasi untuk melawan konstelasi asumsi latar baelakang subjek (Frigg, Nguyen, 2017: 156)
Fitur krusial dari eksemplar adalah bahwa eksemplar menyediakan akses epistemik pada sifat yang dieksemplipikasikannya: dari eksemplar kita dapat belajar tentang sifat yang dieksemplifikasikannya. Maka dari itu sebuah eksemplar bukan hanya sebuah instansiasi tetapi sebuah pemberian contoh (telling instance): eksemplar menghadirkan eksemplifikasi properti dalam sebuah konteks yang didesain untuk menyebabkan kentara dan membuatnya dapat diketahui. Akses epistemik ini menjadi kondisi nicaya bagi eksemplifikasi sifat (Elgin, 2010: 5).
Dari paparan di atas eksemplifikasi dapat didefinisikan sebagai berikut: X mengeksemplifikasikan P jika dan hanya jika X menginstansiasikan P dan maka dari itu mengacu pada P, dan membuat P kentara dan menyediakan akses epistemik pada P. Eksemplifikasi ini memerankan peran krusial dalam representasi saintifik. Sama halnya dengan denotasi, eksemplifikasi juga merupakan mode representasi atau lebih spesifiknya pengacuan. Dalam kasus denotasi X adalah sebuah representasi-dari (representasi-of) Y jika X mendenotasikan Y. Definisi ini independen dari apakah X adalah sebuah gambar-Y. Independensi ini menyediakan ruang untuk X menjadi sebuah representasi-Z, dan mendenotasikan Y (meskipun di mana Y tidak sama dengan Z). Sebagai contoh, X dapat menjadi sebuah gambar-anjing dan mendenotasikan Churchill. Maka dari itu terdapat representasi-sebagai (representation-as): X merepresentasikan Y sebagai Z jika dan hanya jika X mendenotasikan Y dan X adalah sebuah representasi-Z (Frigg, Nguyen, 2017: 158).
Representasi-sebagai memiliki peran yang signifikan dalam representasi saintifik. Bahkan, Frigg dan Nguyen (2017, 160) mengklaim bahwa representasi-sebagai bukan hanya modus operandi gambar tetapi juga pendekatan tentang bagaimana model saintifik merepresentasikan sistem targetnya. Tidak hanya itu, representasi-sebagai juga sentral dalam bagaimana model berfungsi dalam sains. Maka dari itu representasi-sebagai dapat dikatakan sebagai relasi dasar antara model dan targetnya: model adalah simbol yang mengacu pada targetnya, mengeksemplifikasikan fitur tertentu, dan merepresentasikan targetnya sebagai pertunjukan atas fitur tersebut. Namun representasi-sebagai ini hanyalah pintu masuk ke dalam pembahasan yang lebih dalam mengenai bagaimana representasi dan relasinya dengan dunia.
Referensi
Cartwright, N., T. Shomar, M. Suarez. 1996. “The Tool Box of Science (Tools for Building of Models with a Superconductivity Example)” dalam W. E. Herfel, dkk. (ed.), Theories and Models in Scientific Progress. Amsterdam: Rodopi. Hal. 137-149.
Chalmers, A. F.. 1976. What is This Thing Called Science?. Queensland: University of Queensland Press.
Elgin, Catherine Z.. 2010. “Telling Instances” dalam Frigg dan Hunter (ed.), Beyond Mimesis and Convention. Hal. 1-18.
French, Steven. 2010. “Keeping quiet on the Ontology of Models” dalam Synthese, Vol. 172, No. 2. Hal. 231-249.
________. 2014. “The Structure of Theories” dalam Martin Curd dan Stathis Psillos (ed.), The Routledge Companion to Philosophy of Science. Hal. 301-312.
Frigg, Roman, Matthew C. Hunter. 2010. Beyond Mimemsis and Convention. London, New York: Springer.
Frigg, Roman, James Nguyen. 2017. “Scientific Representation is Representation-as” dalam Chao, Hsiang-Ke, Julian Reiss (ed.), Philosophy of Science in Practice. Switzerland: Springer. Hal. 149-180.
Goodman, Nelson. 1976. Languages of Art. Indianapolis, Cambridge: Hacket.
Morrison, M. 1999. “Models as Autonomous Agents” dalam Morgan, M. dan Morrison, M. (ed.), Models as Mediators. Cambridge: Cambrige University Press. Hal. 38-65.
Pincock, Christopher. 2012. Mathematics and Scientific Representation. Oxford, New York: Oxford University Press, Inc..
Russell, Bertrand. 2001. “On Denoting” dalam Martinich dan Sosa (ed.), Analytic Philosophy. Hal. 32-40.
Suppe, Frederick. 1974. The Structure of Scientific Theories. Urbana: University of Illionis Press
Van Fraassen, Bas. 2008. Scientific Representation. Oxford: Oxford University Press.