Dari Kosmos ke Kosmogenesis

Kita perlu belajar dari narasi kosmogenesis bahwa alam semesta mengekspresikan dirinya dalam bentuk manusia.

Yosef Fandri
Yosef Fandri
Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara yang memiliki ketertarikan dalam bidang kosmologi dan ekologi.

Sejak zaman Copernicus, para ilmuwan telah memahami alam semesta dari sudut pandang mekanistik. Narasi kosmologi mekanistik mengidentifikasikan alam semesta sebagai sebuah mesin raksasa. Kita perlu mengakui bahwa pencapaian ilmiah di zaman modern telah membantu kita dalam berbagai aspek kehidupan dan memberikan penjelasan rinci tentang narasi permulaan alam semesta hingga saat ini. Akan tetapi, pencapaian ini membuka peluang bagi pandangan mekanistik dan reduksionis ilmiah tentang alam semesta yang secara bertahap muncul dalam banyak konteks cenderung mengurangi makna dan nilai psikis-spiritual dari proses evolusinya.  Dalam pandangan mekanistik, alam semesta tidak lagi memiliki nilai atau hak apa pun kecuali sebagai objek penelitian manusia. Pandangan mekanistik seperti ini, kemudian dibenarkan oleh orang modern atas nama “mitos kemajuan.” Menurut Thomas Berry, narasi kosmologis mekanistik merupakan sebuah narasi alam semesta yang tidak bergerak dan mati. 

Perubahan yang paling signifikan di abad ke-20 adalah perjalanan kita dari kosmos ke kosmogenesis. Sejak awal kesadaran manusia, urutan musim yang terus diperbarui, dengan siklus kematian dan kelahiran, telah memengaruhi pola pikir manusia dengan sangat kuat. Orientasi dalam kesadaran ini mencirikan setiap budaya manusia sebelumnya hingga saat ini. Sekarang, kita telah berpindah dari pola kesadaran spasial, di mana waktu dialami dalam siklus musiman yang terus diperbarui, ke pola kesadaran perkembangan waktu yang terus berlanjut, di mana waktu dialami sebagai urutan evolusioner-transformasi yang tidak dapat diubah (irreversible).[1] Dengan kata lain, kesadaran sebelumnya tentang alam semesta adalah kosmos yang abadi dan dapat diperbarui secara musiman. Alam semesta dalam mode kesadaran spasial adalah kosmos yang tetap. Selain itu, dalam mode kesadaran spasial ini, cara pandang yang menempatkan partikel sebagai sesuatu yang primer dan keseluruhannya adalah turunan begitu dominan. Sekarang, kita menyadari bahwa alam semesta dalam tatanan fenomenalnya adalah suatu narasi kreatif yang tidak dapat diubah (irreversible).[2] Kita hidup bukan lagi dalam kosmos yang statis, melainkan dalam kosmogenesis, yakni alam semesta yang berkelanjutan melalui urutan transformasi yang tidak dapat diubah (irreversible). Alam semesta kita bergerak seperti busur, dari satu titik menuju titik yang lain, dari tatanan kompleksitas yang lebih kecil ke kompleksitas yang lebih besar, dan dari kesadaran yang lebih rendah ke kesadaran yang lebih tinggi.[3]

Kosmogenesis, menurut Pierre Teilhard de Chardin (2003), dipahami sebagai proses evolusi yang terus berlanjut di mana materi, kehidupan, dan kesadaran atau pikiran membentuk satu lintasan tunggal. Mengalami pembentukan diri dari energi kreatif kosmogenesis berarti meninggalkan fantasi Descartes bahwa alam semesta adalah materi yang tidak bergerak dan mati. Alam semesta menciptakan manusia. Galaksi Bima Sakti menciptakan manusia. Tata surya, dengan Matahari dan planet-planetnya, menciptakan manusia. Bumi kita, dengan bebatuan, lautan, dan awan, menciptakan manusia. Kreativitas kosmogenesis mengungkapkan sifat alam semesta. Kreativitas ini merupakan suatu bentuk kecerdasan kosmologis dalam menyatukan debu-debu bintang, sehingga membuka jalan bagi kecerdasan manusia.[4]

Tiga Prinsip Kosmogenesis

Kosmogenesis memaknai alam semesta sebagai narasi kreativitas yang terus berlanjut, bukan sesuatu yang statis. Narasi ini dicirikan oleh tiga prinsip, yakni diferensiasi (differentiation), subjektivitas (subjectivity), dan persekutuan (communio).[5]Prinsip-prinsip ini memiliki keunikan dan karakteristiknya masing-masing dalam menjalankan fungsinya di alam semesta. Jika tidak ada diferensiasi, alam semesta akan menjadi homogen. Jika tidak ada subjektivitas, alam semesta akan menjadi eksistensi yang tidak bergerak dan mati. Jika tidak ada persekutuan, alam semesta akan menjadi singularitas yang terisolasi.[6] Ketiga prinsip ini membentuk dinamika keteraturan yang membawa alam semesta berevolusi menuju kompleksitasnya. Dalam evolusi tersebut, setiap ciptaan mengalami hal yang sama, yakni ikut berevolusi, sambil tetap mempertahankan, keragaman, keunikan, dan persekutuannya masing-masing.[7]

Pertama, diferensiasi (differentiation). Menurut Berry, diferensiasi adalah ekspresi primordial alam semesta. Manifestasi diri alam semesta menunjukkan keunikan dan keragamannya pada setiap ciptaan.[8] Diferensiasi dalam alam semesta adalah suatu realitas yang tak terbantahkan. Setiap ciptaan memiliki kekhasan dan keunikannya masing-masing yang tidak dimiliki oleh ciptaan lainnya. Sebagai misal, setiap lembar daun berbeda satu sama lain, atau tidak ada dua anak kembar yang benar-benar identik.[9] Prinsip diferensiasi menjelaskan keanekaragaman hayati dalam ciptaan.

Kedua, subjektivitas (interioritas, pengorganisasian diri). Prinsip ini mengacu pada numinous interior setiap ciptaan.[10]Kita tidak bisa memahami segala sesuatu hanya dengan mempertimbangkan struktur fisiknya. Kita perlu merujuk pada dimensi interior segala sesuatu. Subjektivitas memanifestasikan dirinya tidak hanya di dalam ekosistem, tetapi juga di dalam lingkup galaksi.[11] Bagi Berry, setiap ciptaan memiliki dimensi interior, dan aspek numinous-nya sendiri.[12] Dimensi numinous dari alam semesta, menurut Berry melampaui identitas setiap ciptaan yang ada. Dimensi numinous merupakan sifat atau karakter suci setiap ciptaan di alam semesta. Berry berpendapat bahwa merusak apa pun di alam semesta ini berarti mengganggu tatanan total alam semesta sebagai realitas numinous.[13] Karena itu, menurut Berry, supaya tidak terjadi kekacauan atau kerusakan di alam semesta ini umat manusia memiliki kewajiban untuk memperlakukan ciptaan lain sebagai subjek, karena setiap ciptaan memiliki martabatnya dan membawa kehadiran Yang Ilahi dalam dirinya.[14]

Thomas Berry menggunakan istilah “Numinous” dalam hubungannya dengan dimensi ontologis dan kosmologis, daripada dimensi religius yang abstrak. Berry menulis, istilah “numinous” berasal dari kata kuno untuk menyebut Yang Ilahi, Yang Suci, Yang Temporal, dan Yang Profan. Kualitas numinous ini memancar dari realitas abadi absolut yang membuat kehadirannya dikenal di alam semesta. Dengan menggunakan istilah numinous, Berry menolak penekanan yang berlebihan pada pendekatan rasional dan fisikal terhadap alam semesta, yang menurutnya telah menyebabkan bias terhadap penemuan mistik penciptaan. Numinous dapat dipahami sebagai misteri ilahi yang berdiam, dan berada di luar pemahaman manusia, serta misteri pemandu yang telah memanifestasikan dirinya di seluruh proses Kosmik-Bumi-Manusia.[15] Misteri numinous hadir dalam alam semesta, di mana kehadirannya membuat manusia mengalami kekaguman, dan ketakjuban.[16]

Dalam pemikiran Berry, realitas alam semesta muncul sebagai rangkaian transformasi perkembangan waktu dalam proses numinous.[17] Alam semesta memiliki aspek numinous subjektif interiornya yang berfungsi untuk mengarahkan dan mengatur keseluruhan tatanan dan proses kosmik. Jika tidak ada misteri numinous, narasi kosmogenesis tidak mungkin terjadi. Inilah sebabnya mengapa Berry menggambarkan narasi alam semesta sebagai momen transformasi yang luar biasa (stupendous moment of transformation) dalam keseimbangan dan ketidakseimbangan.[18]

Ketiga, persekutuan (communio). Persekutuan mengacu pada jaringan hubungan yang tak terpisahkan, yang bermula sejak awal penciptaan dan berlanjut seiring berkembangnya waktu. Berry dengan tegas menyatakan bahwa setiap realitas di alam semesta hadir secara intim untuk setiap realitas lainnya, dan mencapai pemenuhan dirinya dalam kehadiran timbal-balik itu. Seluruh proses evolusi bergantung pada persekutuan antar setiap ciptaan. Tanpa persekutuan, tidak akan pernah terjadi apa pun di alam semesta ini.[19]

Persekutuan adalah ikatan antara setiap realitas dengan realitas lainnya di alam semesta. Setiap realitas terhubung secara esensial melalui pengalaman pernapasan bawaan. Brian Swimme menjelaskan bahwa ketika Anda menarik napas, sebenarnya, Anda mendapat napasan dari setiap ciptaan yang telah bernapas sepanjang sejarah. Prinsip ini berhubungan dengan hukum planet kita, seperti ikatan gravitasi menyatukan semua galaksi. Interaksi elektromagnetik mengikat semua molekul, dan pengkodean genetik menghubungkan semua generasi.[20]

Kosmogenesis yang dicirikan oleh norma-norma universal, yakni diferensiasi, subjektivitas, dan persekutuan mengungkapkan hubungan yang tak terpisahkan antara manusia dengan alam semesta sejak awal-mula, dan manifestasi kehadiran diri Yang Ilahi dalam ciptaan. Narasi kosmogenesis bertumpu pada tiga prinsip di atas. Dengan kata lain, ketiga prinsip tersebut memiliki akarnya dalam peristiwa kelahiran alam semesta. Hubungan erat antar-partikel elementer pertama, seperti proton, neutron, dan elektron, melahirkan triliunan galaksi. Tidak ada partikel baru yang datang. Partikel-partikel ini membangun galaksi-galaksi dengan melakukan satu hal: membangun interioritas diri. Sinergi misterius ini, kemudian melahirkan kehidupan. Organisme uniseluler menjalin hubungan satu sama lain dan akhirnya membentuk singa. Inilah misteri yang luar biasa. Dalam hubungan dengan orang lain, identitas kita yang lebih dalam dinyalakan. Hanya dengan masuk ke dalam persekutuan dengan seseorang di luar diri, kita dapat menemukan diri yang sejati. Sel-sel kecil membangun interioritas dirinya untuk bersatu, berevolusi, kemudian terbang melintasi malam tanpa bulan sebagai burung hantu. Dalam alam semesta, kreativitas tertinggi terletak pada penyatuan berbagai hal. Manusia mengambil keajaiban ini dan menjalankannya. Secara genetis, kita hampir mirip dengan kera, tetapi kita menemukan cara untuk membangun interioritas diri, yang menghasilkan kapasitas baru untuk melihat dan mendengarkan. Karena kemampuan baru ini, kita sekarang dapat mendengarkan alam semesta, menarasikan tentang bagaimana ia menciptakan kita.[21] Inilah inti dari narasi kosmogenesis.

Secercah Harapan untuk Masa Depan Umat Manusia

Manusia adalah pribadi kosmik yang ditarik ke masa depan oleh dirinya. Masing-masing dari kita dapat belajar untuk merasakan diri sebagai pribadi kosmik. Tercengang oleh waktu yang begitu kompleks, kita mulai bertanya-tanya tentang masa depan, tentang apa yang akan datang. Kita hidup dalam lautan waktu yang terus-menerus memperbaharui dirinya, karena alam semesta belum usai. Ekstasi tertinggi manusia adalah berpartisipasi dalam narasi kosmik. Partisipasi manusia dalam narasi kosmik sangat penting karena masa depan alam semesta berakar pada kreativitas kita, sebagaimana halnya kita merasakan pencapaian alam semesta di masa lalu. Meskipun kita tidak dapat memprediksi persisnya masa depan, tetapi yang pasti itu mengejutkan dan  mencengangkan. Kita sedang ke sana. Kita tidak lagi hidup dalam kosmos yang statis, tetapi dalam kosmogenesis yang terus berevolusi. Di awal waktu kelahiran alam semesta, bintang-bintang yang belum lahir memanggil proton dan elektron melalui tarikan gravitasi. Peristiwa seperti inilah yang kita rasakan nanti. Masa depan yang belum lahir akan memanggil kita. Dia akan menarik kita. Ketertarikan adalah cara masa depan berbicara. Karena itu, marilah kita berpatisipasi saat ini demi masa depan umat manusia dan planet Bumi.

Kita perlu belajar dari narasi kosmogenesis bahwa alam semesta mengekspresikan dirinya dalam bentuk manusia. Kita menyadari bahwa alam semesta ini memiliki sebuah kisah dari kelahirannya 13,7 miliar tahun yang lalu hingga hari ini. Kisah hidup manusia di dalamnya, oleh karena itu, selayaknya kita perlu berpartisipasi di dalamnya. Cara kita bepartisipasi adalah dengan menjaga rumah kita bersama ini, Bumi. Kita adalah penduduk Bumi. Dari Bumi kita berasal. Bumi menyuap kita dengan makanan dan minuman. Bumi adalah pemandu kita. Aspek psikis-spiritual dalam diri kita berasal dari Bumi. Jika tidak ada dimensi mistik di Bumi, maka tidak ada aspek psikis-spiritual dalam diri kita. Dimensi mistik Bumi telah memberi kita kepekaan spiritual. Aspek mistik Bumi memandu kita bagaimana berhubungan dengan komunitas yang lebih besar di planet Bumi.[22]

Poin terakhir yang perlu disampaikan adalah tidak ada satu pun dari sepuluh ribu generasi manusia sebelumnya yang mengetahui urutan transformasi kosmik yang membawa kita keluar. Kita yang mengeksplorasi makna dari penemuan ini sedang menjelajah ke tanah yang belum pernah terjamah. Mungkin perlu waktu berabad-abad bagi kita untuk mengartikulasikan semuanya ini. Narasi kosmogenesis ditawarkan dengan harapan bahwa ini bisa menjadi bagian kecil dari percakapan yang muncul di seluruh dunia tentang bagaimana seharusnya kita hidup di planet ini. 


Catatan Akhir

[1] Thomas Berry dan Brian Swimme, The Universe Story: From the Primordial Flaring Forth to the Ecozoic Era – a Celebration of the Unfolding of the Cosmos (San Francisco, Calif.: Harper San Francisco, 1994)hlm. 3.  

[2] Thomas Berry, The Christian Future and The Fate of The Earth (New York: Orbis, 2009), hlm.  83. 

[3] Berry dan Swimme, The Universe Story, hlm. 223.  

[4] Brian Thomas Swimme, “Epilog,” dalam, Cosmogenesis: An Unveiling of the Expanding Universe (New York Counterpoint Press, November 15, 2022).

[5] Berry dan Swimme, The Universe Story, hlm. 73.

[6] Berry dan Swimme, The Universe Story, hlm. 73.

[7] Berry dan Swimme, The Universe Story, hlm. 71-72.

[8] Berry dan Swimme, The Universe Story, hlm. 74.

[9] Thomas Berry, “The New Story: Comments On The Origin, Identification And Transmission Of Values.” CrossCurrents, vol. 37, no. 2/3, 1987 (187–99), hlm. 196.

[10] Berry dan Swimme, The Universe Story, hlm. 72, 75.

[11] Berry dan Swimme, The Universe Story, hlm. 75-76.

[12] Berry, “The New Story,” hlm. 196.

[13] Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), hlm. 134.

[14] Thomas Berry dan Thomas Clarke, Befriending the Earth: A Theology of Reconciliation Between Humans and the Earth, diedit oleh Stephen Dunn and Anne Lonergan (Twenty-Third Publications, 1991), hlm. 23.

[15] Thomas Berry, “Future Forms of Religious Experience,” Riverdale Papers I (University of North Carolina Press, 1977).

[16] Thomas Berry, Evening Thoughts: Reflecting on Earth as a Sacred Community (San Francisco: Sierra Club, and Berkeley: University of California Press, 2006), hlm. 131.  

[17] Thomas Berry, “The Cosmology of Religion,” dalam, Pluralism and Oppression: Theology in a World Perspective, diedit oleh Paul Knitter (Lanham: University Press of America, 1991), hlm. 100.  

[18] Thomas Berry, The Sacred Universe: Earth, Spirituality, and Religion in the 21st Century (New York: Columbia University Press, 2009), hlm. 118  

[19] Berry, The Dream of the Earth, hlm. 106.

[20] Brian Swimme, “Berry’s Cosmology,” Cross Currents no.1-2 (1987), hlm. 224. 

[21] Brian Thomas Swimme, “Epilog,” dalam, Cosmogenesis.

[22] Thomas Berry, “Classical Spirituality and American Experience,” dalam, Riverdale Paper VII (Riverdale, N.Y.: Riverdale Center for Religious Research, 1979, hlm. 5.


Daftar Pustaka

Berry, Thomas dan Brian Swimme. The Universe Story: From the Primordial Flaring Forth to the Ecozoic Era – a Celebration of the Unfolding of the Cosmos. San Francisco, Calif.: Harper San Francisco, 1994.  

Berry, Thomas. The Christian Future and The Fate of The Earth. New York: Orbis, 2009.  

Thomas Swimme, Brian. “Epilog,” dalam, Cosmogenesis: An Unveiling of the Expanding Universe. New York Counterpoint Press, November 15, 2022.

Berry, Thomas. “The New Story: Comments On The Origin, Identification And Transmission Of Values.” CrossCurrents, vol. 37, no. 2/3, 1987 (187–99).

Berry, Thomas. The Dream of the EarthSan Francisco: Sierra Club Books, 1988.

Berry, Thomas dan Thomas Clarke. Befriending the Earth: A Theology of Reconciliation Between Humans and the Earth, diedit oleh Stephen Dunn and Anne Lonergan. Twenty-Third Publications, 1991.

Berry, Thomas. “Future Forms of Religious Experience,” Riverdale Papers I. University of North Carolina Press, 1977.

Berry, Thomas. Evening Thoughts: Reflecting on Earth as a Sacred Community. San Francisco: Sierra Club, and Berkeley: University of California Press, 2006.  

Berry, Thomas. “The Cosmology of Religion,” dalam, Pluralism and Oppression: Theology in a World Perspective, diedit oleh Paul Knitter. Lanham: University Press of America, 1991.  

Berry, Thomas. The Sacred Universe: Earth, Spirituality, and Religion in the 21st Century. New York: Columbia University Press, 2009.  

Swimme, Brian. “Berry’s Cosmology,” Cross Currents no.1-2 (1987). 

Berry, Thomas. “Classical Spirituality and American Experience,” dalam, Riverdale Paper VII. Riverdale, N.Y.: Riverdale Center for Religious Research, 1979.

Bacaan Lainnya