Ada saatnya ketika saya memberikan jarak terhadap definisi formal Antroposen (the Anthropocene Epoch), penjarakan ini memberikan momen refleksi filosofis yang sangat berarti bagi saya, terlebih setelah saya berkenalan dengan beberapa karya monumental McKenzie Wark—A Hacker Manifesto (2004), Gamer Theory (2007), dan Molecular Red (2015). Wark sendiri terkenal sebagai akademisi sekaligus penulis teori media, teori kritis, media baru, dan gerakan Situationist International. Melalui Artikel ini, saya tidak akan menjelaskan latar belakang ‘unik’ Wark maupun lintasan pemikiran kritisnya di bidang media baru, melainkan saya akan berfokus pada pandangan Wark atas status realitas Antroposen.
Selain sebagai bentuk kemiripan ideologis saya terhadap Antroposen, ada beberapa poin menarik dan ‘aneh’ yang disampaikan oleh Wark via Molecular Red: Theory for the Anthropocene (Verso, 2015). Ideologi sosial Antroposen, pertanyaan teori ekstra-sosial, merupakan bentuk dari tradisi filosofis dan praksis yang mempertanyakan kembali sejauh mana relevansi bukti-bukti Antroposen dengan situasi sosial terkini. Apakah mungkin ada teori sosial Antroposen? Senada dengan Wark, apapun teori/konsep yang merujuk ke realitas ‘Antroposen’, entah disebut sebagai keretakan ekologis, misantroposen, atau kapitalosen sekalipun, tetap tidak mengubah fakta apapun bahwa kita sedang tersituasikan secara kolektif-global pada gerak skala waktu geologi terkini, hanya saja cara kita memberikan definisi/nama berbeda-beda tetapi tetap merujuk pada satu landasan realitas yang sama—Antroposen.
Ada satu dimensi yang mensituasikan apa yang kita sebut sebagai Antroposen, yaitu akumulasi total dari nilai kerja sosial (social labour) yang seringkali diabaikan. Nilai ini justru melandasi terbentuknya status keplanetan Bumi saat ini. Secara teoretis, Wark membuka wacana pembacaan baru tentang Antroposen melalui dua arah: materialitas kerja dan struktur siborg. Komponen material dari pengetahuan praktis Antroposen setidaknya berdasar dari ‘low theories’ yang berbasis pada sudut pandangan kerja/pekerja (labor point of view). Di sisi lain, struktur siborg merupakan pijakan ideologi Wark pada tesis poshumanis yang meleburkan demarkasi manusia-alam. Alasan mendasar Wark adalah untuk membangun pengetahuan Antroposen yang selaras dengan eco-logical daripada ego-logical, di mana kemudian melahirkan kompleksitas dan rekognisi fundamental terhadap ‘intra-aksi’ dari entangled matter (materi-yang-saling-terjalin).
Kerangka ekologis menjadi basis bahwa kita selalu menyamakan Antroposen sebagai suatu konsepsi tentang agensi manusia yang provokatif sekaligus produktif. Provokatif artinya memberikan pembenaran bahwa kita sebagai manusia sedang berjalan ke suatu arah transformatif yang tidak terbayangkan sebelumnya, tidak terkontrol, tidak adanya kejelasan-antisipasi, dan serba acak. Posisi yang mengandaikan arah negatif atas hilangnya kendali manusia atas masa depan planet Bumi. Sedangkan pada posisi produktif, justru sebaliknya, manusia mampu memahami kondisi riil dirinya dan planet dengan melampaui persepsi dan konsepsi ‘umum-familiar’ sebelumnya melalui bantuan instrumental sains yang lebih mutakhir. Kondisi Antroposen tidak disadari telah mengarahkan pada kompleksitas dimensi mikro dan makro, yang tidak pernah terimajinasikan sebelumnya. Artinya, pengetahuan baru lahir sebagaimana ilmu iklim atau fisika kuantum, yang mendorong praktik sains ke arah baru, tidak lagi stabil melainkan menjadi semacam ‘ketidakakuratan’ pengetahuan, berbanding terbalik dengan pandangan hidup manusia tradisional sebelumnya.
Secara umum, pengetahuan praktis Antroposen mendemonstrasikan bahwa kita harus mulai meninggalkan, berpaling dari persepsi tradisional lampau, swa-demarkasi dari lingkungan serta mulai menggeser persepsi yang lebih akurat terhadap keterjalinan antar-materi. Sains tentang iklim maupun akurasi prediksi cuaca-iklim saat ini tidak mungkin ada dan berkembang tanpa adanya keserentakan percepatan perkembangan teknologi, permodelan, serta hasil ragam sebaran data ilmiah. Paul Edwards (2010) menyebutnya sebagai perluasan ‘infrastruktur pengetahuan’, secara metaforik ‘perluasan mesin’, pengetahuan praktis yang melampaui pengetahuan tradisional sehingga pembacaan atas Antroposen semakin jelas, semakin nampak secara langsung bagaimana kita memahami sekaligus memproduksi pengetahuan. Dengan demikian, infrastruktur pengetahuan Antroposen terbangun tidak dengan sendirinya, dimulai dari observasi-observasi secara berkelanjutan untuk mengumpulkan data material mentah, lalu mengubahnya ke bentuk pengetahuan yang lebih luas sehingga menghasilkan suatu persepsi pengetahuan global, katakanlah perubahan iklim, yang lebih kompleks serta more-than-human.
Wark mempertimbangkan ulang penjelasan utama Antroposen dengan melibatkan aspirasi pandangan Marxist dan kerangka ilmiah sehingga menghasilkan pemahaman utuh tentang ketelibatan nilai kerja tekno-sains (techno-scientific labor) dalam pemahaman pengetahuan material kita terhadap dunia yang baru. Kajian sudut pandang kerja (Wark, 2015: xvii), berbasis pada perluasan infrastruktur pengetahuan yang melibatkan setidaknya serangkaian kerja para peneliti maupun akademisi. Meskipun tergolong dalam kategori peneliti atau ilmuwan, nilai kerja kolektif mereka memiliki kontribusi secara nyata terhadap proses reproduksi kerangka pengetahuan. Wark menyebutnya sebagai materialitas nilai kerja ilmiah, mulai dari serangkaian kerja pengumpulan data, mengobservasi, merekam, memverifikasi, sampai menghasilkan suatu produk ilmiah. Pengembangan sains secara ‘bottom-up’ justru memperlihatkan bahwa status awal sains/pengetahuan sangat kacau dan tidak terarah sebelum menjadi sains formal.
Alasan lain Wark mengabaikan highest teori adalah untuk menelusuri kembali bahwa sains dari perspektif pekerja (ilmuwan) acapkali diabaikan. Padahal, dimensi pemahaman performatif terhadap praktik sains tidak memiliki ‘jarak dan representasi’ apapun, tetapi secara langsung sebagai material yang-saling-terjalin dengan dunia. Wark mengutip pandangan Karen Barad (2007: 33), seperti halnya semua eksperimen ilmiah, maka semua pekerja ilmiah harus direkognisi sebagai ‘intra-aksi’: “adanya konstitusi mutual yang menjalin antara agen-agen, pembeda sebagai relasional tidak bersifat absolut, melainkan agensi hanya dibedakan sejauh relasinya dengan sesuatu yang memiliki keterikatan timbal-balik, dan faktanya, tidak eksis sebagaimana elemen individual”. Intinya, pada level sub-atomik intra-aksi ini dapat semakin terjelaskan. Wark memosikan pandangan setara dengan metabolic rift (keretakan metabolisme)—J.B Foster (1998)—yang berarti antara satu dengan molekul lainnya telah diekstraksi oleh sistem kerja serta teknik tertentu, direproduksi sesuai dengan kebutuhan manusia, namun hasil limbahnya tidak dapat dikembalikan pada siklus alamiahnya dengan demikian berdampak pada krisis sebagai kompensasi tindakan (2015: xiv). Foster dan Clark (2020) menyebutnya sebagai perampokan atas alam (the robbery of nature) yang diawali oleh Kapitalisme sehingga menyebabkan ketidakseimbangan metabolisme alam. Sedangkan, Wark (2015) dengan sarkasnya menyebutkan bahwa ragam keretakan metabolis alam saat ini muncul karena adanya terusan budaya industrial modern yang Ia sebut sebagai ‘Front Pembebasan Karbon’.
Front Pembebasan Karbon sebagai metafor bahwa siapapun kita, terlebih para kaum pekerja ilmiah, terlibat secara langsung pada era di mana tidak ada lagi jalan kembali ke suatu pandangan romantis bahwa Alam adalah keteraturan, apalagi sebagai ‘terapi’ bagi manusia. Ego-logis tidak lagi menjamin bahwa praktik pengetahuan sebelumnya mampu membendung kompleksitas perubahan kolektif manusia pada taraf global. Jejak karbon telah dilepaskan secara masif oleh semua orang termasuk kaum pekerja dan pemilik modal. Kapitalisme bukan satu-satunya permasalahan utama karena pada saat ini, masalah utama seperti keterbatasan, krisis, dan kegagalan menjadi momok lanjutan manusia di seluruh dunia. Kita bisa mengakui bahwa Pandemi Covid-19 telah mengubah cara kita melihat dunia secara lebih hati-hati.
Ada beberapa hal yang tidak saya sampaikan pada pembahasan ini, terutama mengenai posisi intelektual Wark saat menulis karya Molecular Red, terinspirasi sedikit banyak oleh Félix Guattari; penulis Rusia, Alexander Bogdanov yang menulis buku utopis Red Star (1908); dan trilogi Mars karya Kim Stanley Robinson (1990-an). Uniknya, ada suatu simpulan bahwa kedekatan konseptual antara Robinson dan Wark tercermin dari novel Aurora (2015), yang menggambarkan bagaimana keadaan ‘Antroposen’ lintas keplanetan. Suatu keadaan hiper-ekologi versi Robinson dengan narasi bahwa kehidupan manusia (di mana pun mereka berada) selalu bergantung pada keretakan metabolisme, secara niscaya, yang harus selalu diantisipasi dan ditaklukkan. Narasi pengetahuan praktis menjadi politik ekologis di mana pun manusia bertahan hidup. Di persimpangan ini, novel-novel Robinson menarasikan kemampuan manusia beradaptasi dan membangun koloni lintas-keplanetan, sedangkan karya Wark menarasikan tentang progres sains justru lahir karena perkembangan infrastruktur pengetahuan yang selalu melibatkan sudut pandang pekerja.
Referensi Lanjutan:
Red Star (1908) karya Alexander Bogdanov, menarik untuk ditelusuri sebab membayangkan sebuah peradaban komunis di Mars, sebuah utopia masyarakat bebas-maju dan paling paripurna.
Kim Stanley Robinson menulis trilogi Mars (Red Mars, 1993); (Green Mars, 1994); (Blue Mars, 1996), sedangkan relasinya dengan pemikiran Wark terdapat pada trilogi dan Aurora (2015) menjelaskan bagaimana praktik eco-logics bekerja, bahwa progres pengetahuan praktis dan nilai-nilai kerja non-manusia (AI/Teknologi) memiliki dampak yang sangat signifikan saat manusia berusaha untuk bertahan hidup. Bumi sebagai gambaran planet yang sangat menyenangkan, tetapi harus ditinggalkan karena kerusakan namun pencarian kehidupan terus berlanjut.
Singer, D. (2018). Molecular Red: Wark’s Marxist-posthumanist perspective on the Anthropocene. Ephemera, 18(4), 831-836. Daniel Singer mengulas secara singkat pandangan Wark dan Antroposen. Singer lebih banyak membicarakan posisi Wark sebagai poshumanisme dengan membaca ulang Haraway dan Braidotti dalam setiap bagian dari karya Wark.
Konsepsi ‘agential realism’ Karen Barad (2007) Meeting the Universe Halfway, telah menginspirasi Wark dalam memosisikan pengetahuan manusia sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan materi (entanglements) Antroposen. Sedangkan, Paul N. Edward (2010, MIT Press), A Vast Machine: Computer Models, Climate Data, and the Politics of Global Warming, memberikan pejelasan bahwa politik sains tentang iklim tidak dapat terlepas dari basis perluasan infrastuktur pengetahuan, misalnya permodelan iklim berbasis komputer.
Gagasan tentang Metabolic Rift dapat ditelusuri lebih lanjut pada dua karya awal John Bellamy Foster, Marx’s ecology: Materialism and Nature (2000) dan J.B Foster (1999). Marx’s theory of metabolic rift: Classical foundations for environmental sociology. American journal of sociology, 105(2), 366-405. Selanjutnya, Foster mengembangkan keretakan metabolisme secara konsisten di Monthly Review bersama B. Clark, H. Holleman, dan K. Seito.
Terakhir, salah satu perkuliahan mimbar McKenzie Wark di Haus der Kulturen der Welt, Berlin (18 Mei 2017) yang menekankan bahwa “Antroposen bergerak karena karbon, bukan redistribusi kekayaan apalagi rekognisi kekuasaan, tetapi semata-mata hanyalah ‘gerak molekul’.” Bersama sejarawan sains Giulia Rispoli, mereka membahas bagaimana hubungan antara pengetahuan dan kerja (labor) membentuk sebuah kehidupan planet yang tidak dapat terbayangkan sebelumnya—Antroposen. Tautan Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=hmDHIEIog8M