Apakah kita (manusia dan hewan), itu benar-benar setara? Kita tentu sering mendengar ungkapan bahwa manusia adalah binatang yang berakal; pembeda manusia dan hewan hanyalah pada kemampuan akalinya. Tapi bagaimana kita mengetahui hal semacam itu, terlebih untuk dapat menjawab pertanyaan pembuka di atas, apakah kita, manusia dan hewan, benar-benar setara tentu perlu menyandarkan diri pada sejarah bagaimana semua pengetahuan tentang evolusi dimulai. Tulisan ini memuat pengenalan singkat sejarah teori evolusi Charles Darwin dalam sebuah serial garapan BBC bertajuk Darwins Dangerous Idea.
Pada bagian pertama, Body and Soul, mengisahkan bagaimana mula Darwin dalam menemukan teori evolusi yang begitu fenomenal sampai sekarang ini. Darwin menemukan berbagai macam referensi teorinya berdasar pada ekspedisi yang dilakukan di Kepulauan Galapagos, namun ternyata dalam jurnalnya sendiri, Darwin mengatakan di kepulauan tersebut ia hanya tinggal selama satu minggu untuk melihat dan mencatat berbagai macam tumbuhan dan binatang lokal. Sedang hampir bertahun-tahun lamanya ia habiskan masa ekspedisinya di pulau terasing di ujung Amerika Selatan, salah satunya Tierra del Fuego. Di sana ia mengambil tiga penduduk lokal (natives) untuk dibawa ke Inggris dan diberi pendidikan serta ajaran Kristiani. Setelah dirasa beradab (civilized), ketiga penduduk lokal yang telah beradab tersebut dibawa kembali ke Tierra del Fuego untuk mengajarkan adab kepada penduduk lokal lain di sana.
Namun setelah sepuluh hari kemudian, saat Darwin kembali ke sana, hasilnya benar mengejutkan. Ketiga penduduk lokal yang dianggap telah beradab itu mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan dari kelompoknya, dan ketiganya menunjukan perubahan yang cukup signifikan dengan perlahan kembali ke sifat dan perilaku aslinya. Setelah kembalinya Darwin ke Inggris, barulah di sana Darwin merenungkan kembali tentang ekspedisi dan percobaannya tersebut. Apakah sebenarnya yang membedakan para penduduk lokal tersebut dengan mereka yang beradab di tanah Eropa, dan dari manakah asali kita sebenarnya?
Pada Mulanya…
Ada suatu cerita di Inggris ketika Darwin mengunjungi satu kebun binatang. Di sana Darwin mengamati seekor Orang Utan, yang sedang dipertunjukkan di kebun binatang tersebut. Orang Utan tersebut merengek meminta apel yang dibawa oleh sang penjaga seperti layaknya anak kecil, namun sang penjaga mengatakan bahwa Orang Utan tersebut akan diberi apel jika ia mampu tenang dan bersikap baik. Seolah mengerti apa yang dikatakan oleh penjaganya, Orang Utan tersebut tenang dan bersikap baik, sehingga penjaga memberikannya apel sebagai hadiah. Kepandaian Orang Utan tersebut membuat Darwin terkesima dan ingin mempelajarinya lebih lanjut. Hingga pada akhirnya Darwin merasakan hubungan batiniah dengan sang Orang Utan, dan mulai mempertanyakan kembali dengan apa yang terjadi di Tierra del Fuego. Orang Utan dengan penduduk lokal tersebut secara fisik memang lah berbeda jauh, namun secara sikap dan perilaku hampir menunjukkan kesamaan. Sehingga dari sana, Darwin merasa adanya garis hubung (link) antara kedua makhluk tersebut, dan berawal dari titik tersebut pendalamannya mengenai teori evolusi dimulai secara tajam.
Tentu di masanya, teori evolusi adalah hal yang berbahaya dan mungkin dapat dikatakan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin manusia memiliki kesamaan dengan sejenis kera. Pastilah tidak ada yang menginginkan manusia disamakan dengan sejenis kera, sehingga Darwin sadar dan mulai melakukan penelitiannya secara hati-hati dan rahasia. Kemudian Darwin perlahan-lahan mulai menggambarkan garis hubung tiap hewan-hewan yang dirasa memiliki kesesuaian dan kemiripan, atau yang disebut dalam biologi sebagai kerabat. Sampai akhirnya Darwin menemukan bahwa Tuhan tidak menciptakan manusia secara terpisah sebagaimana yang terdapat dalam kitab suci (bible), namun manusia dapat menjadi seperti sekarang adalah hasil dari evolusi. Akan tetapi Darwin kembali terpukul dalam pertanyaan tentang bagaimana mungkin manusia dapat berevolusi sejauh ini, sedang Orang Utan tidak, apa faktor yang membedakannya?
Kemudian Darwin mendapatkan jawaban tersebut melalui pengamatan sederhana, dengan mengunjungi suatu peternakan kuda. Di sana ia mengetahui bahwa setiap kuda memiliki ciri khas dan kemampuan yang berbeda. Kuda-kuda banyak yang dikawin silangkan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan sang pemilik, sehingga Darwin merasa bahwa sifat-sifat (traits) dan keadaan dibentuk berdasarkan perkawinannya. Semisal pada kuda, ada yang berkaki panjang, dan pada anjing, ada yang bertelinga jatuh atau naik, atau pada burung, ada yang berbuntut lurus tipis atau lebat melengkung. Semua tergantung dari mana mereka dikawinkan. Satu jawaban mungkin terjawab, namun tanpa disadari jawaban tersebut menimbulkan pertanyaan lain, kekuatan macam apa yang terdapat pada alam yang mampu melakukan itu. Darwin menemukan jawaban itu dari buku seorang ekonom Inggris bernama Thomas Robert Malthus, berjudul Essay on the Principle of Population (1798).
Malthus menyatakan bahwa pertumbuhan manusia setiap harinya jauh lebih pesat ketimbang ketersediaan pangan yang ada. Kelaparan membunuh mereka yang lemah. Setiap hari merupakan perjuangan bertahan hidup (survival). Malthus menganggap bahwa fenomena tersebut adalah cara alam untuk menjaga keseimbangan. Namun Darwin berhasil mengubah klaim tersebut ke dalam teorinya sendiri mengenai evolusi, semua makhluk di dunia ini terus berkembang demi mempertahankan kehidupannya di alam, dan umumnya pernyataan tersebut kita kenal dengan hukum seleksi alam, di mana yang kuat adalah yang bertahan. Pada akhirnya Darwin tidak membutuhkan Tuhan, Adam, dan Hawa dalam menjelaskan mengenai manusia. Untuk menjawab mengenai keberadaan manusia dapat dijawab dengan teori evolusi.
Dibalik teori liarnya itu, Darwin sadar bahwa teorinya tersebut dapat membawa keruntuhan masyarakat dan kekacauan penganut agama Kristiani, dan juga dapat mengancam jiwanya bila ia tidak muncul dengan berbagai fakta pendukung yang kuat, sehingga kemudian Darwin memulai pencarian atas fakta secara hati-hati. Sampailah dua puluh tahun kemudian, tepat pada tanggal 24 November 1856, matanglah buah karyanya tersebut yang bertajuk The Origin of Species. Buku tersebut nantinya menjadi dasar bagi Karl Marx dalam membahas mengenai perlawanan kelas, kemudian penalaran Friedrich Nietzsche yang mengukuhkan seleksi perjuangan bertahan hidup (survival of the fittest) dalam konsepsinya tentang pertentangan moral tuan-budak, dan Sigmund Freud yang mendasarkan sifat naluriah manusia sebagai hubungan seksual.
Tentu dalam perkembangannya, teori evolusi menjadi hal tersendiri dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Ilmuwan mulai bertanya-tanya bagaimanakah perubahan evolusi dapat terus menurun dari generasi ke generasi berikutnya? Pertanyaan tersebut dapat terjawab pada tahun 1920, melalui penemuan gen dan nantinya mengoreksi kesalahan Darwin tentang seleksi alam. Bahwa dalam gen terdapat rekam jejak setiap spesies, dan dalam seleksi alam yang bertahan bukanlah semata-mata soal yang terkuat secara individual atau mampu beradaptasi terhadap lingkungannya, melainkan ada hal lain, yakni kemampuan genetik untuk menurunkan hasil dari adaptabilitas ke generasi berikutnya. Penemuan ini nantinya akan menginspirasi Richard Darwkins dan menelurkan teorinya The Selfish Gene.
Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1950, sebagian gereja mulai mampu beradaptasi dengan teori evolusi. Paus Saleh (Pope Pious The Twelve) mengatakan jika tubuh manusia sekarang adalah hasil dari apa yang sebelumnya ada (dengan kata lain mengandaikan teori evolusi), maka jiwa spiritual manusia hadir secara langsung dari Tuhan. Namun Paus mengingatkan pada para ilmuwan, bahwa tetap ada garis batas yang harus dijunjung dalam ilmu pengetahuan dan keyakinan. Para ilmuwan berhak untuk mengejar secara penuh ilmu pengetahuan tentang dunia ini, namun tidak untuk menyerang urusan keyakinan umat Kristiani terhadap Tuhannya. Jika diandaikan dalam tubuh dan jiwa, maka ilmuwan boleh mempunyai tubuh, sedang jiwa diperuntukkan bagi pengikut agama.
***
Pada bagian kedua, Born Equal. Pada bagian ini, dijelaskan bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh teori evolusi ini kian merambah ke pelbagai bidang lainnya, seperti budaya dan politik. Sebagaimana yang terjadi pada perang dunia pertama, praktik seleksi perjuangan bertahan hidup kian diberlakukan untuk menjustifikasi suatu kaum, mendukung imperialisme, dan pembenaran atas pembunuhan masal. Mungkin Darwin tidak pernah berpikir bahwa teori ini akan menjadi dasar penalaran terkejam untuk memberangus manusia (holocaust) pada masa perang dunia pertama oleh seorang politikus Jerman, Aldof Hitler. Ada pun sebab yang memudahkan Hitler dalam menafsirkan demikian adalah karena Darwin sendiri tidak tegas menjelaskan dalam jurnalnya mengenai seleksi alam yang terjadi. Darwin dalam pemahamannya tentang seleksi alam sendiri, tidak pernah menyebut hal-hal seperti kebebasan, rasa sama rata, dan ikatan yang didasarkan pada tujuan bersama sebagaimana yang banyak digaungkan sekarang ini, sehingga sangat memungkinkan adanya tafsir seleksi alam terjadi melalui hal-hal yang berbau kekerasan, kompetisi, dan kejamnya perjuangan untuk mempertahankan hidup, bila memang asumsinya didasarkan pada pengamatannya terhadap hidup binatang.
Kemudian, sekembalinya Darwin ke Inggris. London saat itu sedang dalam huru-hara. Penyebabnya tidak lain adalah karena krisis pangan yang terjadi akibat peningkatan pertumbuhan penduduk secara besar-besaran. Penduduk London kian bergejolak dan tingkat depresi melonjak tajam. Jauh sebelum itu, Malthus telah memerediksi akan terjadinya fenomena peningkatan penduduk di Britania Raya. Malthus melihat revolusi industri sebagai titik permulaan dari terbukanya peluang hidup bagi masyarakat desa untuk melakukan migrasi ke kota. Dibukanya pabrik-pabrik besar membutuhkan banyak tenaga dan sumber daya alam. Dengan peluang kerja yang besar, lonjakan kelahiran dapat dipastikan terjadi. Lonjakan kelahiran bagi Malthus merupakan ancaman terhadap ketersediaan pangan jangka panjang. Ancaman tersebut Malthus prediksikan dengan bentuk kelaparan masal, penderitaan hidup, sampai tingginya kematian.
Di masa itu, tepatnya pada abad ke delapan belas di Britania Raya, khususnya di kota London, pemerintah sangat memerhatikan kelayakkan hidup masyarakatnya. Sebagaimana dibentuk peraturan pemberian ransum. Upaya tersebut ditujukan agar penduduk dapat tetap produktif. Akan tetapi bagi Malthus, kebijakan tersebut merupakan kesalahan fatal, sebab tidak ada kompetisi di sana. Penduduk merasa hidup mereka begitu aman dan nyaman diperhatikan oleh pemerintah. Akibat yang ditimbulkan adalah melonjaknya angka kelahiran. Pada akhirnya, kota London mengalami huru-hara, akibat dari tidak seimbangnya permintaan kebutuhan dasar dan penawaran yang ada. Dalam pengamatannya tersebut, Malthus mengatakan bahwa hidup ini adalah soal perjuangan tanpa akhir, yang dapat diartikan dalam mempertahankan hidup.
Klaim dari Malthus tersebut kembali menyadarkan Darwin bahwa perjuangan bertahan hidup adalah kunci utama dalam hidup, sehingga diperlukan kemampuan-kemampuan terbaik dalam menghadapi tantangan di alam. Sebagaimana paruh yang besar, kulit yang keras, atau kemampuan untuk berkamuflase dengan lingkungan sekitar dapat menjadi faktor penentu dalam meningginya tingkat kemampuan bertahan hidup. Pada akhirnya Darwin menganggap mereka yang tidak mampu beradaptasi pada lingkungan yang terus berubah ini hanya akan tertinggal dan lama-kelamaan mengalami kepunahan.
Setelah lahirnya The Origin of Species, tokoh lain yang menyambut hangat buah pikir tersebut adalah Herbert Spencer. Spencer begitu semangat dalam mengubah pemahaman perjungan bertahan hidup dan seleksi alam ini ke dalam manifesto politiknya, yakni hidup ini adalah tentang perjuangan dan tidak mungkin menolaknya, yang bisa manusia lakukan hanyalah berjuang sebaik mungkin. Sebab ganjaran besar menanti pada yang kuat, dan penindasan hanya ada untuk yang lemah. Bagaimanapun juga, disadari tafsir Spencer berbeda dengan apa yang telah dikemukakan Darwin, bahwa yang bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan baik di alam, dan yang kuat tidak memberi jaminan atas apapun. Tapi tentu Darwin tidak mampu mengelak hasil yang ditimbulkan dari buah karyanya. Sebab kemudian, pemahaman seleksi perjuangan bertahan hidup ini menjadi dasar utama dalam kolonialisasi bangsa Eropa ke tanah jajahannya, meski Darwin sendiri sangat mengecam praktik perbudakkan. Bangsa Eropa saat itu percaya bahwa mereka adalah manusia yang telah beradab, dan manusia yang beradab memiliki posisi lebih tinggi dari mereka yang masih primitif atau barbar.
Evolusi: Sebuah Polemik dan Perkembangan
Beralih pada tokoh lain, buah karya Darwin kembali berhasil menaklukkan dan membius Francis Galton dalam mengembangkan teorinya dalam meningkatkan mutu dan kualitas manusia. Galton sendiri terinspirasi dari pemaparan Darwin tentang selektifitas yang dilakukan oleh para peternak dalam mencari dan mengembakan varietas unggul baru dari berbagai hewan ternak dan peliharaan seperti anjing. Atas keobsesian itulah, Galton berusaha mempraktikannya terhadap manusia, agar dapat meningkatkan potensi dan mutu produksi, serta dapat menunjang kehidupan manusia ke arah yang lebih baik. Asumsi yang dikembangkan oleh Galton adalah bahwa memori, daya pikir, dan kecerdasan itu merupakan sesuatu yang diturunkan atau hasil hereditas, sebagaimana sifat dan bentuk fisik pada hewan ternak. Atas asumsi tersebut, Galton mulai meneliti secara mendalam silsilah keluarga dari para hakim, pemerintah, ilmuan, dan penyair sebelum benar-benar mengeksekusi teori gilanya itu yang dikenal dengan nama eugenics. Galton juga mempercayai bahwa manusia yang memiliki kecerdasan tinggi adalah mereka yang memiliki ukuran kepala yang besar. Sampai akhirnya Galton berhasil menelurkan buah penelitiannya yang bertajuk Hereditary Genius. Namun dalam upaya untuk mempraktikkannya, buah pikir gilanya itu menuai berbagai kecaman, bahkan dari saudaranya sendiri, yakni Charles Darwin.
Teori eugenics pun menjadi hal yang terlewatkan hampir selama tiga puluh tahun lamanya. Sampai pada tahun 1899, ketika perang Boer meletus, para petinggi militer Inggris menjadi panik karena banyak pemudawan Inggris memiliki kondisi fisik yang tidak memungkinkan untuk berperang. Dimulai saat itulah, teori evolusi Darwin mengalami pergeseran demi tujuan politik negara. Winston Churchill mengungkapkan bahwa tidak ada salahnya untuk mempertimbangkan usulan atas praktik dari eugenics, dan Churchill menganggap bahwa ini adalah langkah yang harus dibayar untuk masa depan bangsa yang lebih baik lagi.
Seorang novelis berkebangsaan Inggris, Herbert George Wells, mengungkapkan kesetujuannya pada eugenics dalam novelnya yang bertajuk The Time Machine, di mana manusia di masa depan berevolusi menjadi dua spesies. Wells mengungkapkan bahwa manusia harus mampu menaklukkan teori evolusi, dan jika manusia telah mampu maka manusia dapat berkembang menjadi generasi yang lebih baik. Wells meyakini bahwa di masa depan, manusia semakin lama semakin terdegradasi dan ini adalah bahaya laten, pun telah dibuktikan oleh pemudawan London sewaktu perang Boer meletus.
Akan tetapi pemahaman ini tentu menuai pro dan kontra. Beberapa menganggap bahwa pengategorisasian si dungu (feeble-mindedness) dalam masyarakat adalah sesuatu yang tidak saintifik dan berbahaya. Kemudian pada tahun 1912, British Eugenics Education Society, mengadakan konferensi pertama mengenai eugenics di London. Meyisakan pengajuan atas kewajiban strerilisasi terhadap benih cacat untuk mengurangi tingkat si dungu di London. Mulailah di awal abad ke dua puluh, ketika Amerika mulai disibukkan oleh para pendatang, Charles Davenport, seorang Biolog asal Harvard mengajukan program sosial skala besar, yakni Upaya Pelestarian Kualitas Manusia (Preservation of Human Qualities), yang tidak lain adalah meneruskan program eugenics.
Pada tahun 1910, Davenport mendapatkan sokongan dana besar dari Carnegie Institute untuk membantu organisasi saintifiknya dalam melahirkan manusia-manusia superior secara mutu dan kualitas. Davenport melakukan penelitiannya di Cold Spring Harbor, selain daripada kecacatan, tindak kriminalitas juga merupakan sesuatu yang dapat diturunkan, sehingga hal-hal semacam itu harus ditumpas secara segera agar tidak mewabah di masyarakat nantinya, dan sterilisasi eugenics adalah satu-satunya jalan atas hal-hal semacam itu. Sterilisasi eugenics merupakan langkah yang paling dirasa aman dan manusiawi ketimbang harus membunuh atau pun memenjarakan mereka-mereka yang dianggap dungu atau cacat (imbecile), dengan begitu mereka tidak akan meneruskan kecacatannya ke generasi berikutnya, atau dalam artian mereka tidak akan melahirkan keturunan.
Dalam sejarah Amerika tercatat mulai 1907 sampai dengan 1970 terdapat lebih dari 60.000 orang dipaksa melakukan sterilisasi. Tidak hanya Inggris dan Amerika saja, rusaknya teori Darwin ini kian berlanjut sampai ke Jerman. Tepatnya pada tahun 1921, sekolompok ilmuan Jerman, yakni Erwin Baur, Fritz Lenz, dan Eugen Fischer mendalami teori Darwin dan ilmu genetik yang berkembang saat itu untuk membenarkan keyakinan mereka bahwa ras Aryan (Nordic German) adalah yang pantas disebut sebagai ras unggul. Atas dasar asumsi bahwa masing-masing ras memiliki superioritasnya sendiri terhadap ras lain, dan sebab itulah mereka ingin membuktikan bahwa ras Aryan adalah ras ter-superior yang ada di muka Bumi.
Setelah Nazi berkuasa pada 1933, seleksi perjuangan bertahan hidup menjadi semboyan nasional Jerman, atas dasar itulah Nazi berusaha untuk memberagus mereka-mereka yang dirasa tidak layak (unfit) menjalani hidup. Bersamaan di tahun 1933 pula, Hitler menempatkan Eugen Fisher sebagai rektor dari Berlin University. Pada pengukuhannya, Fisher mengungkapkan bahwa ia bersama dua kawannya berhasil melakukan apa yang Darwin tidak dapat lakukan, dan ini menjadi terobosan teori baru dalam ilmu genetik. Di mana genetik mampu mengkoyak-koyak teori rasa sama rata (equality) dalam kehidupan manusia yang beradab.
Berlanjut pada tahun 1935, Heinrich Himmler, komandan dari Schutzstaffel (SS) memperkenalkan program pengembang biakkan eugenics demi memperkuat ras Aryan yang diberi nama Lebensborn, sehingga di masa itu para serdadu Jerman digiatkan untuk menghamili perempuan-perempuan ras lain. Annifrid Lyngstad yang lahir pada 1945 adalah salah satunya. Kelahirannya berpapasan dengan berakhirnya peperangan yang diletuskan oleh Jerman, dan anak-anak yang lahir dari serdadu Jerman kala itu menjadi bulan-bulanan masyarakat. Dianggap sebagai hinaan, banyak dari mereka yang memilih kabur meninggalkan negara asalnya, seperti Annifrid Lyngstad yang memilih pergi ke Swedia untuk memulai hidup baru. Program Lebensborn ini adalah hanya salah satu program yang dibentuk oleh Nazi dalam mengupayakan ras Aryan menjadi ras yang benar-benar unggul.
Setelah kekalahan Jerman, pada tahun 1963, program sterilisasi kembali diberlakukan untuk segenap penduduk Jerman. Tercatat lebih dari 70.000 penduduk Jerman dipaksa untuk mengikuti sterilisasi, hal ini dimaksudkan agar mencegah lahirnya bibit-bibit Nazi berikutnya. Nazi merupakan ancaman mengerikan bagi berbagai ras lain di Bumi, sebab Nazi secara terang-terangan pernah mengumpulkan orang-orang cacat dan tidak waras dalam satu wilayah di pinggiran taman Berlin, lalu memaksanya masuk ke ruang gas beracun untuk dieksekusi, dan program ini dinamakan sebagai T4. Antara 1939 sampai 1945 tercatat sekitar 250.000 orang telah menjadi korban dari keganasan Nazi. Seleksi perjuangan bertahan hidup telah berganti tafsir sepenuhnya, bukan lagi suatu upaya untuk mempertahankan hidup melainkan menjadi upaya membasmi yang lemah. Lalu alasan lain mengapa kaum Yahudi menjadi bulan-bulanan Jerman tidak lain adalah bentuk ketakutan Jerman sendiri terhadap beberapa kaum Yahudi yang berhasil bertahan dalam kamp konsentrasi. Atas dasar seleksi alam, menurutnya perlahan mempengaruhi evolusi kaum Yahudi tersebut, dan ketika mereka dibebaskan, kaum-kaum Yahudi tadi dapat berubah menjadi kuat dan membangkitkan kembali semangat patriotik Yahudi baru untuk menumpas ras Aryan Jerman. Maka sesuai protokol, kaum-kaum Yahudi harus diberangus hingga ke akarnya.
Pemberangusan masal menjadi tragedi yang paling memilukan dalam sejarah awal abad ke dua puluh, dan ketika negara-negara di Eropa dan Amerika mulai merenungkan atas tragedi tersebut, mereka sadari kejahatan dan kebaikan terus berubah-ubah bentuk. Dalam perubahan yang terus berubah itu, mereka mulai mencari suatu tatanan baru yang dapat melawan tafsir teori Darwin buruk ala Jerman, dan seketika itu muncul lah tasfir baru atas teori Darwin yang dirasa pantas dalam memeranginya, bahwa setiap manusia memiliki hak-hak hidup yang patut diperjuangkan sebab manusia berawal dari muasal (origin) yang sama. Hal tersebut lantas menjadi dasar dari terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations). Dalam deklarasinya, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa manusia memiliki hak-hak hidup dan kebebasan yang patut diperjuangkan dan setiap negara memiliki kewajiban untuk mematuhi serta mengakui deklarasi tersebut, tanpa ada kesenjangan ras, kelamin, bahasa, maupun keyakinan.
Pada tahun 1950, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengumumkan pernyataan terbuka, bahwa ilmuwan-ilmuwan dunia sepakat bahwa manusia sekarang bermuasal dari spesies yang sama, yakni homo sapiens. Mulai saat itu, penampakkan perbedaan ditunjukkan melalui kebudayaan, bukan lagi keturunan. Dalam pernyataan terbukanya pula Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui dan meberikan penghargaan tersendiri bahwa Charles Darwin merupakan seorang biolog besar (great biologist) yang merekognisi kesatuan umat manusia (unity of mankind), dan kesamaan di antara manusia jauh lebih banyak ketimbang perbedaannya. Semenjak dari sana, banyak kebijakan sosial yang memusatkan diri pada kesejahteraan sosial dan ajakan untuk berkembang ketimbang mendasarkan diri pada keadaan alamiah untuk memperbaiki kehidupan.
Tepat tiga tahun setelahnya, di tahun 1953, para ilmuwan Amerika dan Inggris yang terlibat dalam asosiasi besar suatu proyek penelitian di Cambridge berhasil menemukan deoxyribonucleic acid atau DNA, yakni suatu molekul yang membawa stuktur genetik, dan ini ada dalam diri setiap makhluk hidup. DNA inilah yang mengonfirmasi teori Darwin, bahwa semua makhluk hidup memiliki keterkaitan hubungan dari muasal yang sama, termasuk manusia di dalamnya. Penemuan DNA ini tentu berhasil menutupi garis hubung yang hilang (missing link) dalam teori evolusi melalui seleksi alam sebelumnya, dan DNA berhasil menunjukkan bahwa sifat yang dimiliki dapat menurun dari generasi satu ke generasi berikutnya. Itulah fakta yang memperkuat dasar bahwa manusia bermula dari muasal yang sama. Tanpa kita sadari, teori evolusi milik Darwin ini seiring masa mengalami perkembangan bahkan menimbulkan banyak tafsir di dalamnya, tidak jarang juga ada yang menyalah gunakan tafsir buruk seperti genosida dan eugenics demi kepentingan pribadi dan golongan tertentu saja. Namun sebagaimana yang selalu kita yakini bahwa pada masanya kebaikan akan berhasil menumbangkan kejahatan.
Kini, teori Darwin pun dapat menggagas hal kreatif juga positif sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Yahudi di Brooklyn. Di mana para kaum Yahudi tersebut mulai mengembangkan penelitian lanjutan dari ilmu genetika dalam mengeleminasi penyakit genetik yang fatal seperti tay-sachs. Rabbi Ekstein, salah seorang yang selamat dari pemberangusan masal. Tentu ia mengalami luka yang mendalam atas tragedi tersebut. Namun dari tahun 1965 sampai 1983, Ekstein mengalami luka yang baginya lebih mendalam ketimbang tragedi pemberangusan masal yang menjemput ajal banyak keluarga dan kerabatnya, yakni kehilangan empat anaknya oleh penyakit genetik tay-sachs. Setelah kehilangannya itu, Ekstein memutuskan untuk membangun suatu yayasan yang bergerak dibidang pengumpulan amal untuk penderita penyakit genetik, Dor Yeshorim. Yayasan tersebut banyak dibantu oleh para kaum Yahudi.
Ekstein juga mendukung mereka yang menderita penyakit genetik untuk tetap melakukan pernikahan dan meneruskan keturunannya. Dor Yeshorim menyediakan pemeriksaan lab tanpa dipungut biaya sepeser pun. Dengan penyuluhan dan uji lab, para penderita penyakit genetik tidak perlu khawatir mengenai keturunannya kelak, sebab dalam studi lanjutan didapati, kemungkinan seorang penderita penyakit genetik yang bersifat carrier menurunkan penyakit genetiknya hanya berkisar 1:4. Temuan tersebut menjadi titik bagi Ekstein untuk tetap tidak memupuskan harapan mereka penderita penyakit genetik dan menggagalkan impiannya menikah dan meneruskan keturunan.
Apa yang dilakukan oleh Ekstein dan yang lain di Dor Yeshorim seolah membuktikan bahwa teori evolusi Darwin ini tidak hanya serta merta dilakukan untuk kejahatan saja, namun juga dapat memberikan kebaikan terhadap sesama. Memang di masa lalu, sejarah mencatat bahwa manusia telah menyalahgunakan pengetahuannya tentang teori evolusi ini untuk kepentingan pribadi dan golongan. Namun sejarah kembali membuktikan bahwa orang-orang seperti Ekstein mampu menebus dosa yang terjadi di masa lalu untuk menjustifikasi kejahatan terhadap manusia dengan berjuang memperbaiki dan membantu kehidupan sesama manusia, sebab tentang kejahatan dan kebaikan adalah suatu pilihan, baik untuk diyakini ataupun dilakukan. Benar yang dikatakan Darwin, manusia bermuasal dari spesies yang sama, namun tidak dibenarkan bila kita (semua manusia) adalah sama. Dunia dan alam terus berubah, beberapa dari manusia berhasil beradaptasi, beberapa tidak, dan inilah seleksi alam yang tidak terbantahkan.
Pada akhirnya apakah kita, manusia dan hewan, benar-benar hidup setara tentu sesuatu yang utopis. Evolusi berhasil membuktikan bahwa manusia adalah mamalia terunggul dan mampu bertahan dari ganasnya seleksi alam. Kemampuan akali inilah yang menjadikan bukti bahwa manusia telah mencapai taraf tertinggi atau puncak dari rantai makanan yang ada di alam, sehingga sebagaimana yang telah dipahami sebelumnya, kesetaraan hanya berlaku pada sesama manusia, atau makhluk yang berakal. Sebab itu manusia berhak untuk melindungi dan mengeksploitasi mereka yang posisinya berada di bawah rantai makanan dari manusia.
“Barangkali manunia, adalah mereka yang dikutuk untuk menemukan, antara kehilangan demi kehilangan.”
Referensi Data
Marr, Andrew. 2009. Darwins Dangerous Idea. BBC Two. United Kingdom.