Hossein Nasr dan Kritik atas Modernisme

Risalatul Hukmi
Risalatul Hukmi
Post-Nietzschean free thinker

Seperti sebuah dendam, barangkali demikianlah yang menjadikan modernisme berkembang demikian cepatnya melampaui segala macam batas-batas norma kehidupan. Dengan senjata sains dan teknologi yang pada masa lalu pernah di kubur dalam-dalam oleh sebuah norma religius yang diwakili oleh gereja, Copernicus dan kawan-kawan telah membongkar kembali kuburan tersebut dan mengangkat senjata untuk mengibarkan bendera perang terhadap segala macam dogma yang merantai perkembangan sains dan teknologi dalam peradaban manusia.

Perjuangan Copernicus dan kawan-kawan sementara ini tampak telah berhasil mengantarkan peradaban modern dalam berbagai pencapaiannya. Akan tetapi sejauh ini, banyak yang mulai menyadari bahwa segala pencapaian tersebut tidaklah benar-benar bermakna dan berguna. Selalu ada celah yang kosong dalam segala keadaan, sehingga manusia hanya akan tersibukkan untuk mencari penyumbat atau segala hal yang dirasa mampu untuk mengisi kekosongan tersebut. Dengan demikian modernisme mulai dianggap telah gagal mengantarkan manusia kepada suatu peradaban yang benar-benar indah dan bermakna.

Dalam keadaan seperti inilah, banyak sekali para pemikir yang mencoba mencari sebuah jalan keluar yang menjanjikan daripada sebuah kehidupan nihil orang-orang modern. Salah satu pemikir tersebut adalah Seyyed Hossein Nasr. Nasr merupakan pemikir tradisionalis berkebangsaan Iran, dengan latar belakang kehidupan yang religius dan ilmiah, tentu memberi pengaruh yang besar terhadap berbagai pemikirannya.

Nasr seringkali disebut sebagai pemikir perennial karena pandangannya yang tradisionalis, yang itu mengartikan bahwa ia sangat konsen pada persoalan hikmah abadi dalam setiap tradisi, yang nantinya dianggap sebagai sebuah kebenaran yang Suprim. Tentu seluruh pemikiran Nasr tidak dapat dilepaskan secara penuh dari aspek historis kehidupannya. Bahwa pemikirannya merupakan respon terhadap realitas kehidupan modern pada masanya, itu merupakan hal yang sangat mungkin.

Setidaknya anggapan tersebut dapat didasarkan pada beberapa karya Nasr yang sebagian besar selalu menyinggung modernitas dan modernisme sebagai objek pembahasannya, bahkan ada beberapa judul bukunya yang jelas-jelas mencantumkan kata ‘modern’. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam proses berpikirnya, Nasr adalah seseorang yang termasuk responsif terhadap fenomena yang dihadapinya.

Desakralisasi Pengetahuan: Awal Segala Disharmoni

Merujuk kembali pada apa yang telah diterangkan oleh Al-Qur’an, bahwa seluruh keberadaan realitas merupakan perwujudan dari Kun fayakun, yakni ‘jadi, maka jadilah!’. Pada awal ‘kemenjadian’ tersebut, menurut Nasr yang ada secara serentak adalah wujud, pengetahuan, dan kebahagiaan (qudrah, hikmah, dan rahmah).[1] Tiga hal yang hadir dalam permulaan tersebut saat ini lebih sering disebut sebagai realitas.

Dalam pandangan Nasr, pengetahuan yang ada sebagai satu kesatuan realitas wujud dan kebahagiaan tersebut senantiasa memiliki hubungan dengan Realitas primordial dan prinsipal, yang merupakan Kesucian dan sumber dari segala yang suci. Melalui aliran ‘sungai waktu’, kesatuan tersebut mengalami residu dan berbagai refraksi, baik manifestasi makrokosmos maupun mikrokosmos, pengetahuan kemudian menjadi terpisah dengan wujud dan kebahagiaan.[2]

Keterpisahan antara pengetahuan, wujud, dan kebahagiaan menurut Nasr merupakan akibat dari hilangnya sakralitas pengetahuan yang pada gilirannya lebih dekat kepada kompleksitas eksternal, khususnya di antara segmen-segmen ras manusia yang telah tergerus oleh proses modernisasi. Kaitan antara hilangnya sakralitas dengan keterpisahan pengetahuan dan kebahagiaan tersebut menurut Nasr adalah karena kebahagiaan sendiri merupakan buah penyatuan dengan Yang Esa dan aspek yang suci. Dengan demikian, Nasr berpandangan bahwa hilangnya kesucian dalam sebuah pengetahuan akan menghambat manusia untuk mencapai kebahagiaan.[3]

Tentu justifikasi Nasr terhadap pengetahuan modern yang telah melemparkan diri jauh dari kesucian bukan semata-mata argumen dogmatis, Nasr berpandangan bahwa hal tersebut terkait dengan pendefinisan manusia sebagai makhluk yang rasional oleh para filosof sejak zaman Yunani Kuno sampai abad modern. Pendefinisian tersebut menurut Nasr tidaklah salah, tetapi terkesan mereduksi karena kemampuan rasional yang sekaligus perluasan dan refleksi Intelek dapat menjadi suatu kekuatan dan instrumen jahat, jika dipisahkan dari Intelek dan wahyu, yang dengan sendirinya memberikan kualitas kesucian pada pengetahuan. Dalam artian lain dapat dipahami bahwa pengagungan terhadap rasio tidak memiliki suatu batas yang nyata dalam sebuah realitas, rasio akan cenderung menuntun manusia pada rasa ketidakpuasan akan pengetahuan, sehingga mengantarkan manusia pada hilangnya sense of wonder sebagai batas kesucian dari pengetahuan.[4] Oleh karena itu, Nasr mengandaikan pendefinisian manusia dalam suatu cara yang lebih prinsipal, tidak hanya sebagai makhluk rasional, melainkan sebagai makhluk yang diberkahi dengan suatu intelegensi penuh, berpusat pada Yang Absolut dan diciptakan untuk mengetahui Yang Absolut. [5]

Penggunaan rasio yang berlebihan, menurut Nasr adalah tidak berkesesuaian dengan kebijaksanaan kuno (sapiensial), karena rasionalitas bagi Nasr tidak lebih hanyalah perpanjangan eksistensi,[6] yang kemudian dapat dipahami bahwa rasionalitas hanya mampu memberi kesimpulan logis pada suatu persoalan kecil atau dapat dikatakan hanya bagian dari perpanjangan eksistensi tersebut.[7] Kemampuan rasional manusia tidak mampu menarik suatu kesimpulan logis dalam sebuah kompleksitas alam, dengan anggapan demikian Nasr mengkhawatirkan penggunaan rasio yang berlebih ini akan memberi dampak negatif yang besar terhadap persoalan hubungan manusia dan alam, terlebih jika sakralitas alam tersebut tidak lagi bernilai bagi rasio manusia modern.

Desakralisasi Alam: Sebuah Krisis Ekologis Manusia Modern

Dalam rangka menyoal krisis manusia modern, Nasr mengandaikan bahwa kehidupan modern syarat dengan sebuah urbanisasi besar-besaran, di mana kebanyakan dari manusia modern berbondong-bondong untuk tinggal di sebuah lingkungan artifisial. Secara tidak langsung, kehidupan seperti ini pada saat tertentu akan mengantarkan manusia yang religius menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang dari mereka, yakni rasa spiritual (sense of spiritual) dari alam. Terlebih, kehidupan dalam lingkungan artifisial tersebut menjadikan sesuatu tanpa makna, dan di saat yang sama kehampaan tercipta karena hilangnya aspek vital dari eksistenis manusia untuk melanjutkan hidup dengan jiwa yang seringkali penuh dengan kekerasan hidup dan keputusasaan.[8]

Persoalan lebih lanjut dalam kehidupan modern kemudian muncul kembali saat ledakan populasi terjadi dalam sebuah kawasan tujuan urbanisasi, kurangnya lahan, ruang bernafas, dan segala implikasi lain dari meledaknya penduduk dalam suatu wilayah tertentu.[9] Kemudian bahaya terbesarnya adalah ketika manusia merasa bahwa dirinya adalah makhluk istimewa yang mendominasi dari pada alam, dengan rasio, sains dan teknologi mereka, memberi jaminan akan eksploitasi alam besar-besaran dan menciptakan manipulasi-manipulasi berbasis teknologi guna memenuhi segala kebutuhan manusia atau boleh jadi hanya untuk memuaskan beberapa manusia serakah yang ada.

Desakralisasi adalah inti dari segala persoalan yang dihadapi manusia modern saat ini dalam pandangan Nasr. Hilangnya sakralitas pengetahuan mengantarkan manusia modern pada penggunaan rasio yang berlebih, sehingga menjadi sebuah keniscayaan jika posisi alam berada di garis bawah dominasi rasio. Dominasi seperti ini telah memberi sebuah gambaran tentang ketidakseimbangan antara manusia modern dengan alam sebagai objek yang dianggap memberi tantangan dari pada sesuatu yang dapat diajak untuk bekerja sama.[10]

Keseimbangan antara manusia dan alam yang telah hancur adalah fakta yang diakui oleh banyak orang, tak terkecuali manusia modern. Tetapi Nasr lebih jauh menilai bahwa tidak ada satupun orang yang menyadari ketidakseimbangan tersebut merupakan akibat dari hilangnya keselarasan manusia dengan Tuhan.[11] Hal itu terkait erat dengan persoalan perhatian sebuah pengetahuan, yakni tentang hilangnya orientasi sains modern yang tidak lagi memiliki batas perkembangannya untuk menguasai alam. Itulah mengapa Nasr beranggapan bahwa kita membutuhkan sebuah analisis baru tentang hubungan sains dan alam dan juga perhatian yang lebih terhadap berbagai macam persoalan filosofis dan teologis sebagai kontrol dari perkembangan sains yang berbasis pada rasionalitas.[12]

Pada akhirnya Nasr menyimpulkan bahwa, seluruh persoalan ekologis pada era modern ini bukan hanya tanggung jawab manusia modern (dalam artian orang-orang yang cora pemikirannya condong pada rasionalitas yang lebih unggul), akan tetapi segala persoalan di bumi adalah tanggung jawab bersama seluruh penduduk bumi. Hanya satu hal yang ditekankan oleh Nasr, bahwa manusia butuh untuk mengakui bahwa Alam semesta memiliki aspek yang sakral atau suci. Kosmos berbicara pada manusia melalui seluruh fenomena yang terjadi, dengan demikian segala fenomena tersebut memiliki makna yang berarti bagi manusia.[13]

Scientia Sacra: Pembebas Modernisme

“Dan engkau mengetahui kebenaran, maka kebenaran akan membebaskanmu” (Gospel of John)[14]

Dengan mengutip salah satu pasal dari Gospel John, yang merupakan salah satu kanon dari empat gospel yang ada, Nasr menekankan bahwa kebenaran hanya dapat diperoleh melalui pengetahuan suci, dan pengetahuan suci sendiri akan membawa pada kebebasan dan keselamatan dari semua kungkungan dan penjara, karena Yang Suci itu tidak lain adalah Tak Terbatas dan Abadi, sementara semua kungkungan menurut Nasr adalah hasil dari kelalaian yang mewarnai realitas akhir dan tak dapat direduksi menjadi keadaan yang kosong sama sekali dari kebenaran dengan sendirinya.[15]

Dalam rangka pembebasannya, scientia sacra sendiri bukanlah sebuah penemuan kebebasan, melainkan merupakan pengetahuan yang selalu berusaha menemukan kembali terhadap apa yang telah diketahui tetapi dilupakan, karena Logos yang pada awalnya memiliki prinsip-prinsip pengetahuan dan kekayaan pengetahuan itu berada tersembunyi di dalam jiwa manusia yang ditemukan melalui rekoleksi.[16]

Keterkaitan antara konsep scientia sacra dengan kebebasan dan penyelamatan menurut Nasr adalah karena ia menghubungkan prinsip pengetahuan dengan intelek, tidak hanya dengan nalar, dan melihat pengetahuan suci selaras dengan Realitas, yang sekaligus Wujud dan pengetahuan, tidak dengan proses akumulasi fakta dan konsep melalui waktu dan didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan yang bertahap.[17] Lebih lanjut lagi, Nasr menjelaskan bahwa agar pengetahuan bisa menyelamatkan, maka ia harus direalisasikan oleh semua orang dan mengikut-sertakan semua penegakan mikrokosmos manusia. Intuisi intelektual, meskipun merupakan pemberian yang berharga dari Tuhan, tidak direalisasikan. Kebenaran yang terikat dalam akal, walaupun merupakan kebenaran dan dengan demikian pada nilai yang tertinggi, adalah satu hal dan realisasinya adalah hal lain.[18]

Keterpenjaraan dan ketidakbebasan manusia sendiri menurut Nasr adalah karena nafsunya sendiri, yang biasanya mencegah intelegensi dari fungsunya yang normal menurut sifat primordial manusia, atau apa yang disebut Islam sebagai fitrah.[19] Dengan demikian dapat dipahami bahwa pembebasan oleh scientia sacra yang dimaksudkan oleh Nasr adalah pembebasan dari sebuah kesalahan manusia dalam memilih jalan yang melenceng jauh dari fitrah manusia itu sendiri. Perspektif kebijaksanaan kuno (sapiensial) dalam melihat kesalahan ini tidak hanya dari titik pandang moral yang berhubungan dengan kehendak manusia, tetapi juga dari titik pandang ontologi yang berkaitan dengan wujud dan pengetahuan. Manusia tidak seharusnya membanggakan diri dengan memuja rasionalitas mereka, karena Tuhan memiliki kesempurnaan lebih yang tidak dimiliki manusia.[20]

Titik Temu antara Tradisional dan Modern

Kritisisme melawan dunia modern dan modernisme merupakan sebuah kenyataan faktual yang tidak dapat ditampik kebenarannya. Sebagaimana telah banyak diketahui kemunculan posmodernisme sendiri merupakan suatu kritik atas modernisme. Kemudian apakah tepat bila dikatakan bahwa tradisionalisme dilawankan pula dengan modernisme? Menurut Nasr, perlawanan tradisionalisme terhadap modernisme yang secara total dan sempurna sejauh prinsip-prinsipnya diperhatikan, tidak ditemukan dalam fakta-fakta dan fenomena.[21]

Anggapan yang berkembang selama ini adalah bahwa dunia-dunia tradisional secara esensial adalah baik dan secara aksiden jahat, dan sebaliknya bahwa dunia modern secara esensial jahat dan secara aksiden baik. Dengan anggapan-anggapan seperti itu maka kemudian tradisi dilawankan secara prinsip dengan modernisme. Tradisi dianggap hendak menghancurkan dunia modern, agar tercipta suatu kehidupan yang normal. Tujuannya bukanlah untuk menghancurkan yang positif, tetapi menghilangkan bahwa kejahatan dan pengabaian yang membolehkan ilusi muncul sebagai yang nyata, negatif sebagai positif dan salah sebagai benar.[22]

Bagi Nasr, modernisme bukanlah sebuah sistem yang benar-benar salah. Semangat keilmiahan modern menurut Nasr adalah sesuatu yang positif, akan tetapi perkembangan yang lebih jauh terhadap berbagai aspek modernisme mulai mereduksi realitas, salah satu aspek tersebut yang paling dominan menurut Nasr adalah fenomena sekularisasi. Fenomena tersebut tidak lain  adalah sebuah pemisahan atau bahkan penghilangan akan Yang Kudus dari alam kehidupan dan pengetahuan manusia. Hasil dari proses sekularisasi ini adalah munculnya ilmu-ilmu modern sekular yang ‘berlagak’ mampu menjawab segala kebutuhan hidup manusia modern. Tapi senyatanya kebutuhan tersebut selalu muncul seperti lubang yang tertambal menekan bagian lain yang berpotensi bagi terciptanya lubang baru.[23]

Lubang Realitas: Sebuah Pembacaan dan Pertimbangan

Selalu ada hal yang tak sempurna dalam realitas dunia sebagaimana yang direpresentasikannya. Tentu sesuatu yang ideal selalu hanya berlaku dalam sebuah pemikiran manusia. Dengan demikian sebuah pertimbangan akan pengandaian manusia akan yang dianggap ideal merupakan sebuah keniscayaan tersendiri.

Tak terkecuali Nasr dengan segala konsep dalam pemikirannya tentang pengetahuan, kesucian, tradisi, dan hikmah keabadian tidak lain adalah sesuatu yang benar-benar indah dan sempurna dalam pemikirannya, akan tetapi tidak sebegitunya dalam realitas yang ada. Tentu Nasr memiliki jawaban tersendiri dalam hal ini, yakni bahwa ketidaksempurnaan tersebut tidak lain adalah dikarenakan keterbatasan realitas untuk merepresentasikan sebuah kesempurnaan. Tentu hal ini seharusnya memicu pertanyaan kembali tentang kegunaan konsepsi Nasr tentang segala idee fixe tersebut. Jika realitas dunia sudah dianggap terbatas untuk merepresentasikan kesempurnaan itu, maka di mana konsepsi Nasr dapat terwujud? Seandainya jawaban dari pertanyaan tersebut adalah alam akhirat, maka hal ini bukanlah suatu persoalan filosofis yang dapat diperdebatkan.

Seluruh konsepsi Nasr boleh saja dianggap sangat indah dan sempurna, akan tetapi satu hal lain yang dilupakan oleh Nasr adalah pretensinya untuk menciptakan sebuah dunia yang harmonis dengan mengandaikan seluruh manusia dapat kembali pada sebuah tradisi, dan merealisasikan segala konsep sintesa antara pengetahuan dan kesucian secara bersama-sama, pertanyaannya adalah apakah menjadi mungkin untuk membuat seluruh umat manusia turut serta dalam sebuah tatanan kehidupan yang diandaikan oleh Nasr? Tentu pengalaman tentang segala macam tatanan baik akan kehidupan yang telah ada, sudah memberikan jawaban pada kita.

 

[1] Lih. Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 1

[2] Lih. Nasr, Ibid., h. 1

[3] Lih. Nasr, Ibid., h. 1

[4] Lih. Nasr, Ibid., h. 2

[5] Lih. Nasr, Ibid., h. 3

[6] Lih. Emanuel Wora, Perennialisme: Kritik atas Modernisme dan Posmodernisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 68

[7] Lih. Nasr, Man and Nature, (London: Unwin Hyman Limited, 1990), h. 18

[8] Lih. Nasr, Ibid., h. 17

[9] Lih. Nasr, Ibid., h. 18

[10] Lih. Nasr, Ibid., h. 20

[11] Lih. Nasr, Ibid., h. 20

[12] Lih. Nasr, Ibid., h. 20

[13] Lih. Nasr, Ibid., h. 21

[14] Lih. Nasr, Ibid., h. 357

[15] Lih. Nasr, Ibid., h. 357

[16] Lih. Nasr, Ibid., h. 357

[17] Lih. Nasr, Ibid., h. 358

[18] Lih. Nasr, Ibid., h. 359

[19] Lih. Nasr, Ibid., h. 359

[20] Lih. Nasr, Ibid., h. 360

[21] Lih. Nasr, Ibid., h. 95

[22] Lih. Nasr, Ibid., h. 96

[23] Lih. Emanual Wora, Op. Cit, h. 71

Bacaan Lainnya