Permasalahan dalam Kondisional
Ketika kita mendengar suatu proposisi “jika hujan maka jalanan akan basah”, kita membayangkan kondisi hujan yang membuat jalanan basah. Interpretasi ini acap kali diberikan dalam bentuk diagram Euler melalui interpretasi logika klasik. Anteseden digambarkan di dalam konsekuen, sehingga dapat dipastikan jika merujuk pada kelas anteseden maka merujuk pada kelas konsekuen.
Jika kita merujuk pada lingkaran coklat, secara niscaya kita akan merujuk pada lingkaran biru. Dalam logika klasik, implikasi $p \supset q$ dianggap ekuivalen dengan bentuk disjungsi $\neg p \lor q$, penyimpulan ini dianggap sebagai implikasi material. Contohnya, Proposisi “jika hujan maka jalanan basah” dapat dinilai ekuivalen dan dapat diganti dengan proposisi “tidak hujan atau jalanan basah”. Jika terdapat proposisi “sekarang hujan”, melalui modus ponens atau disjungsi silogisme kita dapat menyimpulkan jalanan akan basah. Dapat disimpulkan pula, jika kita menyimpulkan sesuatu melalui modus ponens, kita juga melakukan penyimpulan melalui silogisme disjungsi—begitu pun sebaliknya.
Kendati demikian, kalimat-kalimat kondisional sering kita temui dalam bentuk tidak baku. Dalam keseharian, kalimat-kalimat kondisional sering kita gunakan untuk memberikan janji, peringatan, perintah, pertanyaan retoris, dan lain-lain. Kalimat kondisional dikategorikan sebagai kalimat indikatif dan subjungtif. Indikatif merupakan kalimat kondisional yang antesedennya mengindikasikan suatu konsekuen. Contohnya, “Jika Oswald tidak menembak Kennedy, pasti seseorang melakukannya”, Terbunuhnya Kennedy dan ketidakbenaran Oswald sebagai pembunuhnya mengindikasikan ada orang lain yang membunuh Kennedy. Subjungtif merupakan kalimat kondisional yang bersifat hipotetis dan mengandaikan adanya kemungkinan. Misalnya, “jika Oswald belum membunuh Kennedy, seseorang pasti akan melakukannya”. Pernyataan itu berisi penegasan jika Oswald belum membunuh Kennedy maka “akan” ada seseorang yang pasti akan melakukannya. Proposisi subjungtif juga dapat dinyatakan dalam bentuk janji seperti “aku akan membahagiakanmu seandainya kamu mau menikahiku”. Janji dapat diingkari, tetapi nilai kebenaran dari suatu kalimat subjungtif sekalipun harus tetap dievaluasi.
Kadang perbedaan kalimat indikatif dan subjungtif tidak dapat diperlihatkan secara jelas lewat gramatika bahasa. Kalimat-kalimat tersebut tidak mempunyai jangkar yang jelas dalam menunjukkan apakah kalimat tersebut indikatif atau subjungtif. Contohnya, tidak ada Hitler, tidak ada bom. Kalimat tersebut tidak mempunyai konjungsi “akan” , tetapi mempunyai kondisi kebenaran sebagai kalimat subjungtif (Lewis, 2001). Yang dapat diandalkan adalah analisis secara terpisah dari proposisi-proposisi yang diasumsikan subjungtif atau indikatif untuk mengetahui maknanya.
Logika klasik tidak dapat menangkap makna dari kalimat kondisional dalam bentuk subjungtif. Permasalahan pertama adalah logika klasik tidak mengandaikan modalitas kebenaran dalam dunia mungkin. Permasalahan ini seharusnya dapat diselesaikan oleh logika modal ketat yang memiliki interpretasi semantik dunia mungkin sebagai modalitas. Namun, penetapan modalitas tidaklah cukup. Pertimbangkan kalimat “niscaya jika saya mengendarai mobil ke Jogja sekarang maka saya akan menonton bioskop”, dapat menyimpulkan “niscaya jika saya pergi mengendarai mobil ke Jogja sekarang dan saya kejatuhan meteor, saya akan menonton bioskop”. Logika modal akan menganggap bahwa penyimpulan tersebut valid, tetapi intuisi kita menyatakan tidak. Oleh karena itu, dalam merepresentasikan kalimat kondisional kita membutuhkan logika yang memiliki aturan spesifik yang memperhatikan ada atau tidaknya kondisi-kondisi.
Logika Kondisional
Sebelum memasuki logika kondisional, pertimbangkanlah tiga proposisi berikut yang valid secara klasik:
- $A\supset B \models (A \land C) \supset B $
- $A \supset B, B \supset C \models A \supset C$
- $A \supset B \models \neg B \supset \neg A$
Saya akan menunjukan betapa absurdnya dari penyimpulan-penyimpulan berikut:
- Penyimpulan pertama adalah pelemahan anteseden (weakening antecedent). Contohnya dari proposisi “jika saya mengendarai mobil ke Jogja sekarang maka saya akan menonton bioskop” dapat disimpulkan “jika saya pergi mengendarai mobil ke Jogja sekarang dan saya kejatuhan meteor, saya akan menonton bioskop”. Orang yang mengendarai mobil dan dan kejatuhan meteor tidak mungkin menonton bioskop—walaupun masih dimungkinkan kalau di surga ada bioskop. Pelemahan anteseden sendiri tidak menggagalkan anteseden pada konsekuen, tetapi ia mengganti anteseden sebagai asumsi awal.
- Penyimpulan kedua dikenal sebagai hukum transitivitas. Contohnya dari proposisi “jika saya makan ayam maka saya memakai piring, jika saya memakai piring maka piring eksis” dapat disimpulkan “jika saya makan ayam maka piring eksis”. Bagaimana kondisi saya makan ayam ini menjadi sebab piring eksis? Saat saya menegaskan ketika saya makan ayam menggunakan piring, saya mengatakannya dengan penuh kesadaran dan tanpa memedulikan eksistensi piring, dan ketika saya makan tentu saya tidak selalu butuh piring.
- Penyimpulan terakhir adalah kontraposisi. Contohnya dari proposisi “jika saya memasak air” maka “air yang saya masak akan mendidih pada suhu 60 derajat” dapat disimpulkan “jika air yang saya masak tidak mendidih pada suhu 60 derajat maka saya tidak memasak air”.
Ketika kita amati, ketiga penyimpulan tersebut invalid karena adanya faktor yang memengaruhi anteseden-antesedennya. Anteseden bersifat sensitif dalam logika kondisional. Oleh karena itu, dibutuhkan semantik yang menyatakan keketatan anteseden. Kondisi ketat tersebut dinamakan ceteris paribus. Kondisi ceteris paribus anteseden diungkapkan melalui implikasi kondisional dengan operator “$>$”. Jika A maka B dalam logika kondisional ditulis $ A > B$, yang berarti $A$ dan $C_A$ mengimplikasikan $B$. Dengan mengakui adanya kondisi ceteris paribus, kita mempunyai alasan untuk menolak adanya kondisi lain yang dapat memengaruhi anteseden, contohnya kepergian saya ke Jogja tidak berarti saya mengasumsikan adanya meteor jatuh atau ditembak alien dari Mars. Terdapat beberapa interpretasi mengenai $C_A$ . Stalnaker (1980) menganggapnya sebagai fungsi yang memetakan $A$ pada suatu dunia, $f_A(w)$ . Sedangkan Nute (1980) menggambarkannya sebagai himpunan situasi $A$ yang telah terpilih, yaitu $S(A)$. Artikel ini akan menggunakan interpretasi Stalnaker yang dijelaskan oleh Priest (2008).
Semantik
Logika kondisional memiliki constraint $K_\upsilon$ yang berarti memiliki aturan dunia yang reflektif, simetris, dan transitif. Bahasa $L$ terdiri dari $(W,\{ R_A \in F\},v)$. $R_A$ digambarkan sebagai fungsi yang mempunyai relasi khusus dengan $A$. Dengan mengadopsi dunia mungkin, kita dapat mengambil $w_xR_Aw_y$ dengan mengartikan bahwa kebenaran dari $A$ dari dunia $w_x$ akan benar pada $w_y$. $A > B$ yang memiliki semantik sebagai berikut:
$v_w(A > B)$=1 iff semua dunia dalam relasi $wR_Aw’$, $v_w'(B) =1$
Untuk selanjutnya, kita akan menggambarkan kumpulan dunia yang ada dalam relasi $R_A$ sebagai fungsi $f_A(W)$, $f_A(W)=\{x \in W, wR_Ax \}$. Selain anteseden proposisi akan dianggap sebagai kelas yang benar pada suatu dunia w, ambil contoh B akan kita anggap sebagai kelas $|B|$, $\{w: v_w(B)=1\}$. Dengan demikian, $A>B$ benar pada w iff w benar $f_A(w) \subseteq |B|$.
Gambaran mudah dari semantik logika kondisional dapat diartikan sebagai keberadaan kondisi pada suatu dunia-dunia dalam anteseden yang tercakup pada kelas konsekuensi. $ A > B$ mengartikan adanya kondisi $A$ pada suatu dunia-dunia yang mana digambarkan sebagai $f_A(w)$tercakup dalam kelas $|B|$.
Dunia Awal Bernalar
Seperti halnya logika modal lainnya, logika kondisional juga mengandalkan asumsi dunia-dunia mungkin dalam proses penalarannya. Posisi awal kita bernalar berada di dunia 0. Namun, dunia 0 sendiri tidak berarti mengandaikan kebenaran proposisi secara langsung—jika modalitas berada di dunia tersebut. Proposisi modal $\square p \rightarrow p$,0 bukanlah tautologi, niscaya kiamat terjadi bukan berarti mengimplikasikan sekarang kiamat. Pembuktian keniscayaan terdapat di dunia 1, kecuali proposisi tersebut memiliki sifat reflektif. Melalui sifat tersebut, kita memiliki relasi $0R0$, sehingga kita dapat menyimpulkan $p$,0 dari $\square p$,0.
Dapat dibayangkan melalui proposisi “niscaya pada semua dunia, domba di ladang dunia pak tani berwarna hitam” yang dihubungkan dengan kondisi proposisi tersebut berada di dunia. Untuk memastikan kebenaran dari proposisi tersebut, semua domba haruslah berwarna hitam. Proposisi yang menyatakan domba-domba berwarna hitam berada di dunia $ w_{0+1}$. Jika semua domba berwarna hitam di setiap dunia, penyimpulan yang dilakukan benar.
Logika kondisional berusaha menjawab mengenai keberadaan situasi kondisional. Apakah kondisi-kondisi dalam anteseden terdapat pada konsekuen di setiap dunia mungkin? Oleh karena itu, logika kondisional dapat diinterpretasikan melalui teori himpunan (set theory) karena ia mengandaikan keberadaan suatu dunia pada kelas dan fungsi. Berbeda dengan implikasi ketat dan logika modal biasa yang mempertimbangkan keniscayaan proposisi dan implikasinya saja.
Ragam Logika Kondisional
1. Logika Kondisional C
Logika kondisional C adalah sistem logika kondisional yang lebih lemah. Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, interpretasi $A>B$ digambarkan sebagai $f_A(w) \subseteq |B|$. Anteseden adalah fungsi yang memetakan kondisi pada suatu dunia yang harus tercakup dalam konsekuen. Mari kita coba buktikan $A > B \models (A>(B \lor C))$ melalui semantik logika kondisional A > B yang digambarkan sebagai $ f_A(w) \subseteq |B|$.
Asumsikan salah (reductio) sehingga kita mendapatkan $f_A(w) \subseteq |B|$ dan$f_A(w) \cap \neg (|B| \cup |C|) \neq \varnothing$. Melalui de morgan kita dapat menyimpulkan $f_A(w) \cap \neg |B| \cap \neg |C| \neq \varnothing$. Karena secara lengkap kelas interseksi tidak kosong, interseksi sebagiannya tidaklah kosong, sehingga kita dapat menyimpulkan $f_A(w) \cap \neg |B| \neq \varnothing$. karena $f_A(w)\neq \varnothing$, kita dapat menyimpulkan bahwa $|B|\neq \varnothing$ karena $f_A(w)$ adalah subset dari kelas $|B|$ Setelah itu kita dapat menurunkan bahwa $|B|\neq\varnothing$ karena interseksinya tidaklah kosong. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa terdapat $|B\neq \varnothing|$ dan$\neg |B| \neq \varnothing (\bot)$ yang mana kontradiksi. Kontradiksi antara kelas $|B|$ dan $ \neg |B|$ yang tidak kosong yang diimplikasikan oleh $f_A(w)$ menandakan bahwa penyimpulan di atas valid dalam logika kondisional C melalui pembuktian reductio ad absurdum.
Lemahnya logika kondisional C berakibat dirinya tidak dapat menyimpulkan modus ponens dan hukum identitas. Bukti invaliditas hukum identitas dalam logika kondisional C akan saya tunjukkan, sedangkan modus ponens akan saya serahkan kepada pembaca untuk latihan.
Prinsip identitas: $\models A>A$
Kita asumsikan salah sehingga $f_A(w) \cap \neg |A| \neq \varnothing$, tidak ada kontradiksi yang terjadi karena kelas $f_A(w)$ bukanlah kelas dan sebaliknya $\neg|A|$ bukanlah fungsi, sehingga model kontra tersebut menjadi counterexample karena tiadanya kontradiksi. $f_A(w) \cap \neg |A|$, tidak ada kontradiksi yang terjadi karena kelas $f_A(w)$ bukanlah kelas dan sebaliknya $\neg |A|$ bukanlah fungsi, sehingga model kontra tersebut menjadi counterexample karena tiadanya kontradiksi.
Solusi agar modus ponens dan prinsip identitas valid adalah dengan cara menambah aturan-aturan berupa aksioma untuk memperkuat logika kondisional C. Logika kondisional C yang diperkuat ini disebut C+.
2. Logika Kondisional C+
Logika kondisional C+ adalah logika yang lebih kuat daripada logia kondisional C dengan berberapa aturan tambahan. Berikut aturan-aturan tambahan dari logika C+:
Aturan (1) memperbolehkan kita menyimpulkan fungsi $f_A(w)$ sebagai kelas $|A|$ karena $f_A(w)$ adalah subset dari $|A|$. Aturan kedua memperbolehkan kita untuk menyimpulkan dunia $w$ yang berada pada kelas $|A|$ juga berada pada fungsi $f_A(w)$. Dunia yang dari kelas dan fungsi mempunyai relasi tunggal $wRw$, sehingga aturan-aturan pada $K_\upsilon$ tidak berlaku kecuali aturan reflektif yang dihasilkan oleh relasi dunia tunggal tersebut. Melalui dua aturan ini kita dapat menyimpulkan modus ponens dan prinsip identitas. Saya akan memberikan pembuktian pada modus ponens, sedangkan untuk prinsip identitas akan saya serahkan kepada pembaca sebagai latihan.
Modus ponens: $A>B,A\models B$
Asumsikan salah sehingga kita mendapatkan $f_A(w) \subseteq |B|$, $|A|\neq \varnothing$, dan $\neg |B| \neq \varnothing$. Melalui hukum kedua dan fakta bahwa $|B|$ bukan himpunan kosong, kita dapat mengasumsikan terdapat dunia $ a\in |A|$, sehingga melalui hukum (2) kita dapat menyimpulkan $a \in f_A(w)$. Dikarenakan $f_A(w)$ adalah subset dari $|B|$ kita dapat menyimpulkan bahwa $ a \in |B|$. $\neg |B|$ berada pada dunia yang sama pada $|A|$ karena tidak melewati proses negasi implikasi kondisional, dengan demikian $a \in \neg |B|$. Oleh karena itu terdapat $a \in |B|$ dan $a \in \neg |B| (\bot) $ yang mana terbukti kontradiktif.
Bidang Kondisional
Logika kondisional dapat divisualisasikan dalam sebuah diagram yang disebut (bidang kondisional) conditional sphere. Bidang kondisional digambarkan sebagai berikut (Priest, 2008).
Kotak $w$ menunjukkan dunia dan $S_n$–situasi yang menunjukan perbedaan secara berurutan yang kemudian didefinisikan sebagai kemiripan. $|A|$ adalah kelas dari segala kondisi. Markah dan pembatas menunjukkan fungsi $f_A(w)$ yang berada di dalam $|A|$. Fungsi $f_A(w)$ sendiri adalah interseksi antara situasi $S_n$ dengan kelas $|A|$, $S_n \cap |A|)$. Dengan demikian, (anteseden) tidak mungkin melampaui kelas (konsekuen), situasi yang melampaui kelas akan menjadi counterexample $(f_A(w)-|A|)$ (Nute, 1980). Misalnya, “jika saya pergi ke sirkus maka saya duduk di paling depan”, kondisi saya pergi ke sirkus harus tercakup dalam kelas saya duduk di paling depan. Sisa dari kondisi yang tidak tercakup dalam kelas saya paling depan adalah counterexample bagi proposisi kondisional tersebut.
$S$ sebagai bidang adalah pengelompokan dunia berdasarkan $S_{n-1}$. Dengan demikian, kemiripan antar bidang $S$ dapat dikelompokan secara urut, $S_1$ mirip dengan $S_0$, $S_2$ mirip dengan $S_1$, dan seterusnya. Sifat “mirip” tidak bersifat transitif sehingga $S_2$ tidak dapat dikelompokkan dengan $S_0$. Dunia yang mirip bukanlah dunia yang sama, sehingga setiap dunia yang dikelompokkan mempunyai perbedaan yang dianggap counterexample. Misalnya, dunia di mana Hitler hidup di Austria dan ditolak sekolah seni memiliki dunia yang mirip, tetapi Hitler diterima di sekolah seni.
Penerapan dari situasi antar kondisional dapat dipahami melalui proposisi-proposisi berikut.
- Jika Dina pergi ke pesta maka pesta akan menjadi menyenangkan.
- Jika Dina dan Silva pergi ke pesta maka pesta akan menjadi tidak menyenangkan.
- Jika Dina, Silva, dan Erik pergi ke pesta maka pesta akan menjadi menyenangkan.
Asumsikan secara urut setiap nomor merepresentasikan situasi. Dengan demikian, kita dapat menggambarkannya melalui bidang Lewis (2001) sebagai berikut.
Simbol $S_n$ secara berurutan menunjukan situasi setiap bidang yang mirip. Posisi $S_n$ yang paling terdekat dengan $S_{n-1}$ adalah kondisi kontrafaktual bagi $S_{n-1}$ sendiri. Simbol $\phi_n$ adalah anteseden, dalam bidang ditunjukan anteseden yang ditambahkan yang mengakibatkan konsekuen $\psi$ berubah setiap penambahan anteseden–dengan garis yang mencakupnya. Arsiran antara $\psi$ dan $\phi$ menunjukkan adanya konsekuensi, sedangkan yang tidak tercakup oleh $\psi$ dianggap kelas konsekuensi yang kosong.
3. Logika Kondisional S
Melalui interpretasi bidang, kita dapat membangun logika kondisional dengan aturan-aturan spesifik. Aturan-aturan spesifik tersebut didasarkan oleh penalaran pada bidang. Dikarenakan dalam interpretasi bidang fungsi selalu menjadi subset kelas, keberadaan fungsi mengimplikasikan terdapat adanya kelas. Dengan demikian, kita mendapatkan aturan (A1).
(A1) $f_A(w) \subseteq |A|$
Adanya dunia yang terdapat pada dunia w dalam suatu kelas mengimplikasikan adanya situasi paling kecil yang berinterseksi dengan kelas A, $S_0 \cap |A|$. Dengan demikian, kita memiliki aturan (A2).
(A2) $w \in f_A(w)$ maka $w \in |A|$
Aturan (A1) dan (A2) adalah konstruksi dari logika C+. Kita dapat memperkuat logika kondisional S yang melampaui C+ dengan beberapa aturan tambahan.
Logika kondisional S dapat diperkuat dengan aturan (A3), (A4), dan (A5).
(A3) $ |A| \neq \varnothing $ maka $ f_A(w) \neq \varnothing $.
(A4) Jika $f_A(w) \subseteq |B|$ dan $f_b \subseteq |A|$ maka $f_A(w) = f_B(w)$.
(A5) Jika $f_A(w) \cap |B|$ maka $f_{A \land B}(w) \subseteq |A|$.
Logika kondisional S yang diperkuat dapat menyimpulkan lebih banyak penyimpulan daripada C+ dan C. Salah satu contohnya adalah proposisi berikut.
$p > q, q > p \vdash (p > r) = (q > r)$
Pembuktian: Asumsikan $f_p(w)\subseteq|q|\neq \varnothing $ dan $f_q(w) \subseteq |p| \neq \varnothing$, melalui aturan keempat (A4) kita dapat menyimpulkan bahwa $f_p(w)=f_q(w)$. Sehingga $f_p(w) \subseteq |r|$ pasti mengimplikasikan $f_q(w) \subseteq |r|$, begitu pun sebaliknya. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan $(p>r)=(q>r)$.
Aspek Metafisika
Logika tidak dapat dilepaskan dari aspek metafisika. Jika hendak dipisahkan, kita sama saja menghendaki eksistensi nasi goreng tanpa nasi. Metafisika dalam logika mempertanyakan dasar konsep dan hubungannya dengan realitas. Pertanyaan paling mendasar akan dimulai dari pertanyaan mengenai dunia dalam logika kondisional.
Dunia dalam logika kondisional dapat diartikan sebagai tempat segala kemungkinan. Jika terdapat kemungkinan yang berbeda, dunia tersebut adalah kontrafaktual dari dunia lainnya yang mirip dengannya. Kondisi kontrafaktual ini menjadi inti perdebatan dari metafisika logika kondisional. Contoh hubungan kontrafaktual seperti ada atau tidaknya sebutir debu di antara kedua dunia. Terdapat kesulitan dalam membedakan signifikansi dari kontrafaktual tersebut (Priest, 2008). Apa perbedaan dari dunia di mana saya makan dan kiamat terjadi? Keduanya dinyatakan sebagai proposisi-proposisi yang memiliki kedudukan yang sama kendati secara intuitif berbeda. Asumsi penulis adalah setiap proposisi terdapat proposisi yang berkesinambungan. Jika kiamat terjadi, saya seharusnya tidak bisa makan karena saya hancur bersama dunia yang saya tinggali.
C1 vs C2
Perdebatan kontrafaktual antara David Lewis dan Stalnaker tercermin dari dua logika kondisional C1 dan C2. Kedua logika tersebut adalah logika kondisional yang sangat kuat. Kondisional C2 adalah logika kondisional terkuat yang diusulkan oleh Stalnaker. Kondisional C2 memiliki aturan yang dapat menyimpulkan kesatuan dunia dari fungsi yang sama, yaitu (A7).
(A7) jika $x \in f_a(w)$ dan $y \in f_a(w)$ maka $x=y$
Aturan (A7) mengizinkan penyisihan jalan tengah kondisional ( $(A>B) \lor (A>\neg B)$ ).
Pembuktian: Asumsikan Reductio ad absurdum, $f_A(w) \cap \neg |B| \neq \varnothing (x) \cap f_A(w) \cap |B| \neq \varnothing (y)$. Dikarenakan kedua proposisi berada dalam bentuk kondisional, proposisi tersebut berada di dunia yang terpisah, $x \in f_A \subseteq \neg |B|$ dan $y \in f_A \subseteq |B|$. Dikarenakan perbedaan dunia, kedua proposisi tersebut tidak kontradiktif–dengan kata lain, invalid. Melalui aturan (A7), kita dapat mengandaikan bahwa kedua proposisi itu berada pada dunia yang sama. Dengan demikian dunia $x$ = dunia $y$. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan $x \in \neg |B|$ dan $x \in |B|$ yang mana kedua proposisi tersebut kontradiktif.
Proposisi C2 dapat ditulis melalui bahasa sehari-hari seperti “jika Hitler masih hidup maka dunia akan hancur” atau “jika Hitler masih hidup maka dunia tidak akan hancur”. Lewis (1972) memberikan tamparan betapa absurdnya C2 tersebut. Berhubungan dengan absurditas banyaknya dunia mungkin, kita mesti mempertanyakan ulang $A>\neg B$. Perbedaan ada atau tidaknya setitik debu dapat dinyatakan sebagai dunia yang berbeda pula. Lewis memberi sanggahan yang berhubungan dengan absurditas negasi dalam konteks dunia mungkin. Bayangkan terdapat proposisi “jika Bizardi dan Verdi adalah rekan senegara maka mereka adalah orang Italia” atau “tidaklah demikian jika Bizardi dan Verdi adalah rekan senegara maka mereka adalah orang Italia” sebagai proposisi negasi. Masalahnya kewarganegaraan Bizardi dan Verdi dapat di mana saja. Negasi dari proposisi tersebut bisa saja menyebutkan mereka adalah orang Jerman, Perancis, dll. Dengan demikian, kita tidak mengetahui pasti negasi dari proposisi kondisional.
Sebaliknya Lewis mengajukan C1–atau Lewis sebut sebagai logika VC–sebagai logika kondisional yang lebih lemah dari C2. C1 memberikan aturan (A6).
(A6) Jika $w \in |A|$ dan $w’ \in f_A(w)$ maka $w=w’$
Aturan C2 adalah aturan (A6) dengan (A2). Melalui C1, kita dapat menyimpulkan $A \land B \vdash A>B $. Priest (2008) menjelaskan bahwa terdapat penyimpulan yang absurd dari aturan C1. Bayangkan jika ada peramal yang mengatakan bahwa Ali akan menikah dan Ali menikah, kita dapat menyimpulkan “jika peramal mengatakan bahwa Ali akan menikah maka Ali menikah”. Kita pun dapat menyimpulkan “jika saya makan ayam maka saya mati keracunan” dari “saya makan ayam dan mati keracunan”. Logika C1 tampak mengizinkan efifenomena sebagai kausa dari sesuatu yang terjadi.
Untuk apa Logika Kondisional?
Pada akhir tulisan ini kita mesti mendiskusikan kembali inti pembicaraan dari logika kondisional. Motivasi dari logika kondisional tidak lepas dari usaha untuk memaknai kalimat indikatif dan subjungtif. Stalnaker berusaha untuk menjelaskan hubungan indikatif dan subjungtif. Di sisi lain Lewis membatasi pembahasan untuk menjelaskan hubungan semantik dari subjungtif (Harper, 1981). Kalimat secara kondisional akan sangat pelik jika dilihat melalui bahasa sehari-hari. Logika kondisional memberikan sedikit gambaran mengenai bagaimana kalimat kondisional bekerja melalui postulat yang dinyatakan oleh Stalnaker, ketika kita menyatakan suatu kalimat kondisional, tidak mungkin kita mengingkari asumsi awal kita. Dengan demikian, setiap anteseden memiliki relasi ceteris paribus dengan konsekuen, dari “jika saya menikahi wanita yang saya cintai maka saya akan bahagia” tidak dapat menyimpulkan “jika saya menikahi wanita yang saya cintai dan wanita itu tertembak maka saya akan bahagia”.
Logika kondisional memiliki semantik yang unik yang dapat dikonstruksi melalui aturan-aturan tambahan. Namun, logika kondisional masih belum bisa mengatasi absurditas dari prinsip ledakan. Logika kondisional adalah logika modal ketat yang membedakan anteseden dan konsekuen. Logika modal ketat menganggap anteseden sebagai kelas seperti halnya konsekuen, sedangkan logika kondisional menganggap anteseden sebagai fungsi yang menghubungkan kelas konsekuen. Logika kondisional mempersoalkan apakah anteseden semua kondisi dalam dunia yang mungkin terdapat di dalam kelas konsekuen.
Dikarenakan keterbatasan logika klasik dalam menjelaskan ambiguitas penalaran yang dilakukannya, kita mesti mencari logika lain sebagai alternatif. Logika kondisional dapat menjelaskan bagaimana dunia-dunia yang digambarkan dalam fungsi ketat dan kelas-kelas, namun bukan berarti logika kondisional tidak memiliki kekurangan. Ia tidak dapat menjelaskan prinsip ledakan. Keterbatasan logika kondisional membuktikan bahwa tidak ada logika tanpa kekurangan, bahwa logika memiliki keunikannya masing-masing. Menurut pandangan pluralisme logis, sebagai oposisi monisme, tidak ada satu logika pun yang dapat menjelaskan segalanya. Kebenaran monisme logis mesti dibuktikan dengan logika tunggal yang dapat menjelaskan segala penalaran secara masuk akal. Namun, apakah ada satu logika yang dapat menjelaskan segala penalaran yang masuk akal? Sampai hari ini logika itu belum ditemukan.
Daftar Pustaka
Harper, W. L., Stalnaker, R., & Pearce, G. (Eds.). (1981). IFs: Conditionals, belief, decision, chance, and time. D. Reidel Pub. Co. ; sold and distributed in the U.S.A. an Canada by Kluwer Boston.
Lewis, D. (1973). Counterfactuals and comparative possibility. Journal of Philosophical Logic, 2(4). https://doi.org/10.1007/BF00262950
Lewis, D. (2001). Counterfactuals (Rev. ed.). Blackwell Publishers.
Nute, D. (1980). Topics in conditional logic. D. Reidel Pub. Co. ; distributed in USA and Canada by Kluwer Boston.
Priest, G. (2008). An introduction to non-classical logic: From if to is (2nd ed). Cambridge University press.
Stalnaker, R. C. (1968). A Theory of Conditionals. In W. L. Harper, R. Stalnaker, & G. Pearce (Eds.), IFS (pp. 41–55). Springer Netherlands. https://doi.org/10.1007/978-94-009-9117-0_2