Apa Arti Menjadi Pluralis Ilmiah?

Banin D. Sukmono
Banin D. Sukmonohttp://zenocentre.org
Direktur dan Head of Metaphysics of Science di Ze-No Centre for Logic and Metaphysics

Apa yang akan kita lakukan jika kita berhadapan dengan dua atau lebih pandangan berbeda secara politik? Ada dua jawaban umum. Kita memilih salah satu dan menjadi monis, atau menerima semua pandangan tersebut dan menjadi pluralis. Dalam politik, meski ada waktu tertentu di mana kita harus memilih salah satu, seperti dalam kasus perang (yang tentu saja kita kutuk), kita lebih sering lagi diharuskan menerima kedua pandangan yang berbeda atau lebih untuk hidup bersama.

Kita mempunyai berbagai sikap untuk menerima perbedaan tersebut. Kadang kita menemukan titik temu dan membuat satu sintesis baru. Kadang kita menerima perbedaan dengan mengakomodasi pandangan pertama sekian persen dan yang kedua sekian persen. Kadang kita juga membiarkan kedua pandangan itu berkembang secara mandiri, karena sadar mereka memiliki fondasi yang benar-benar berbeda.

Harus diakui, akhir-akhir ini, kita semakin cenderung untuk memilih pluralisme, entah bagaimana cara detailnya. Pilihan ini tentunya tidak tanpa alasan. Sejarah dan kehidupan praktis telah mengajari kita bahwa menjadi pluralis terkait erat dengan fakta keberagaman dunia. Kita belajar untuk tidak memilih satu dan membuang yang lain, tetapi melihat bahwa setiap pandangan memiliki hak untuk berkembang, meskipun pada satu titik mungkin akan ada konflik, tensi, dan kontradiksi. Pada titik lain, kita juga mengetahui manfaat interaksi dan kompetisi pandangan-pandangan yang berbeda tersebut. Contoh yang paling saya suka adalah makanan, baju, dan alat. Mereka semua lahir secara unik dari pandangan hidup yang berbeda. Contoh yang tidak begitu saya suka, tetapi juga bermanfaat adalah sistem politik praktis. Semakin banyak pandangan yang hidup, semakin kaya hasil budaya yang dapat dinikmati.

Dalam konteks keilmuan, menjadi pluralis artinya membiarkan berbagai macam sistem teori, hukum, dan paradigma untuk hidup dan berkembang. Kadang kita bisa mengambil satu bagian sekian persen dan bagian lain sekian persen. Kadang kita juga membuat sintesis. Akan tetapi, sangat mungkin juga untuk membiarkan berbagai sistem ilmiah untuk berkembang. Sikap seperti ini tentunya tidak tanpa alasan, bagi para pluralis ilmiah, sejarah dan praktik keilmuan telah menunjukkan bahwa menjadi pluralis terkait erat dengan fakta keberagaman yang terjadi dalam ilmu. Semakin banyak pandangan ilmiah yang hidup, semakin kaya hasil ilmiah yang dapat dinikmati.

Pluralisme dalam politik seakan lebih mudah diraih, tetapi berbeda jika dalam konteks keilmuan. Kita cenderung berpikir bahwa hanya terdapat satu sistem teori, hukum dan paradigma yang paling benar karena hanya ada satu kenyataan. Keberagaman dalam praktik hanya sementara dan suatu saat kita semua akan disatukan dalam panji monisme kebenaran. Sistem ini memiliki kecenderungan menemukan teori segala sesuatu, mereduksi semua yang mental ke genetik, contohnya adalah percaya bahwa ekonomi hanya tentang efisiensi. 

Hasok Chang (2018) melihat kecenderungan yang terakhir berakar pada ketidakcermatan melihat relasi kesuksesan ilmiah dan kebenaran. Bagi para monis, kebenaran didapatkan dari kesuksesan ilmiah. Jika kita sukses memprediksi dan memanipulasi elektron, kita percaya kebenaran elektron, karena kita berhasil, maka kita merengkuh kebenaran. Akan tetapi, tepat di sini mereka mengalami masalah. Jika para monis bersikukuh bahwa hanya ada satu macam kesuksesan dan kebenaran, sejarah ilmu telah menunjukkan bahwa eksperimen yang berhasil di masa lalu sering terbukti tidak benar di masa selanjutnya. Kenapa kemudian harus percaya bahwa elektron tidak menjadi salah di masa depan meskipun berhasil di masa sekarang?

Para monis justru harus berhati-hati apabila yang terjadi adalah sebaliknya. Jika prinsip mereka bekerja terlalu baik, jika segala macam kesuksesan selalu mengarah ke kebenaran, mereka harus mengakui bahwa terdapat banyak kebenaran. Alasannya, banyak entitas yang sering dianggap fiksi dan bertentangan dengan sains modern berhasil untuk dieksperimentasi dan digunakan sebagai alat prediksi, dari plogiston hingga caloric. Jika kita melihat perpindahan pengakuan entitas ilmiah, contoh dari plogiston ke oksigen, atau fisika Aristoteles ke Newton lalu ke Einstein hal tersebut lebih merupakan pergantian kerangka kerja dalam melihat realitas daripada penghancuran kenyataan kebenaran entitas yang dianggap fiksi (Chang, 2010, p. 70; Kuhn, 2012).

Dalam penelitiannya tentang plogiston dan caloric, Chang memberikan contoh bagaimana kedua entitas tersebut tidak hanya berhasil dieksperimentasi, tetapi juga berhasil digunakan sebagai alat prediksi, karenanya masuk kategori sukses dalam ranah keilmuan. Chang melaporkan, “keberhasilan yang paling impresif adalah prediksi Priestley bahwa calx dapat ditransfromasi menjadi metal saat dipanaskan dalam ruang tertutup yang berisi ‘udara yang mudah terbakar’ (hidrogen), yang saat itu ia anggap sebagai plogiston murni…” (Chang, 2018, p. 180). Jika kita mengakui kesuksesan sebagai dasar, kita juga perlu menganggap bahwa plogiston nyata. Tentu saja, mungkin dunia akan berbeda jika kita membiarkan oksigen dan plogiston untuk bersaing dalam kerangka pluralisme tanpa pengaruh bias politik komunitas ilmiah (lebih jauh tentang ini lihat Chang, 2012) .    

Tidak hanya dalam sejarah ilmu, keberagaman kesuksesan juga diinstruksikan oleh sains modern, dan keberagaman ini membentang dari ilmu sosial hingga fisika. Di ilmu sosial, kita mengenal teori pilihan rasional, psikologi evolusioner, dan teori sistem perkembangan yang memiliki asumsi berbeda-beda dengan bukti keberhasilannya masing-masing tentang manusia (Dupré, 2001). Di biologi, kita memiliki tiga teori tentang spesies yang tidak dapat direkonsiliasi (Dupré, 1999), interpretasi fungsional dan struktural yang saling menjatuhkan (Waters, 2006). Di fisika, tidak hanya kita memiliki banyak teori yang berbeda dan berhasil secara ekperimentasi, dari pluralitas teori laser  hingga inkonsistensi dinamika di fisika quantum (Dickson, 2006), fisika juga dapat dikatakan adalah ilmu yang mempertahankan keragaman teori-teori besar yang bertentangan, membiarkan interaksi di dalamnya sebagai hal yang justru ‘membangun’ (geosentrisme untuk navigasi, mekanika kuantum untuk mikrofisika, newtonian kuantum untuk penerbangan, dan teori relativitias untuk situasi non-newtonian) (Chang, 2018: 184). Bahkan, pada titik tertentu, keberhasilan hukum di fisika tidak mengejar kebenaran (Cartwright, 1983).

Implikasi dari contoh-contoh tersebut adalah pluralisme metafisik. Kita melihat perbedaan entitas dan sistem yang diasumsikan oleh kesuksesan ilmiah, bahkan yang sepertinya bertentangan seperti oksigen dan plogiston, sebagaimana kita melihat kursi, meja, dan laptop. Kita bisa melihat entitas-entitas yang terakhir dengan banyak cara, dari sudut pandang kimia, persepsi, atau fisika kuantum, yang kadang saling menjatuhkan, tetapi kita tetap bisa mengatakan bahwa kategorisasi yang pertama juga nyata. Selama ia berhasil, kita bisa mengatakan bahwa plogiston, caloric, ether, dan mungkin, dalam ranah sosial, solidaristas dan altruisme, itu nyata. Dupré (1993) menyebut ini sebagai promiscuous realism.

Atribusi kita bahwa hanya ada satu kenyataan dan satu model yang paling representatif tentunya adalah masalah kekurangan informasi (mungkin juga kesombongan). Hilary Putnam (1975) dengan pandai menunjukkan kelemahan monisme tersebut dengan satu skenario yang disebut square-peg-round hole. Andaikan terdapat satu lubang berbentuk lingkaran, tentu saja sebuah balok tidak akan menutup lubang tersebut secara sempurna. Penjelasan kita atas mengapa balok tersebut tidak dapat menutup lubang dengan sempurna pastinya tidak bertumpu pada fisika kuantum ataupun ekonomi, yang sering dianggap bisa menjelaskan segala sesuatu karena kesuksesannya. Kita mungkin bisa mengatakan bahwa balok dan lubang tersebut tidak lain adalah kumpulan boson dan fermion. Penjelasan atas skenario tersebut hanya membutuhkan geometri. Kita tetap bisa mengatakan bahwa boson dan fermion ada, sebagaimana mengatakan bahwa balok dan lubang itu ada dan riil.   

Untuk menjadi pluralis kita tidak perlu mengambil kesimpulan sejauh itu (yakni, pluralisme metafisik, meskipun menurut saya itu adalah jalan terbaik). Kita bisa tetap diam dalam ranah metafisik dan hanya mengambil sikap pluralis (pluralist stance) (Kellert et al., 2006). Sikap ini mengandaikan bahwa masalah apakah berbagai macam kesuksesan mengimplikasikan berbagai macam entitas atau sebaliknya, sebagai masalah empiris. Posisi ini berangkat dari apa yang sudah diketahui hingga saat ini, bahwa pluralisme dalam ilmu itu nyata dan reduksionisme tidaklah menguntungkan. Apakah suatu saat nanti para monis dapat mereduksi semua keragaman dalam satu kesatuan ilmu terpadu, masih merupakan kemungkinan dari sekian banyak kesimpulan yang lain akibat keterbatasan kemampuan epistemik kita. Berangkat dari hal tersebut, para pluralis bukannya mereduksi semua penjelasan ke satu akun (fisika atau biologi), karena kita tidak pernah tahu apakah itu mungkin. Hingga saat ini, proyek tersebut belum pernah berhasil, tetapi menentukan batas dan memformulasi berbagai macam standar evaluasi untuk menilai keberhasilan kerangka ilmiah setiap domain dalam ilmu, termasuk kompetisi. Dengan demikian, pertanyaan apakah pluralisme akan mengarah pada kehancuran ilmu adalah pertanyaan yang tidak berdasar, karena sekarang kita hidup dengan interaksi dan kompetisi sudut pandang ilmiah yang tidak satu tetapi berhasil.

Menjadi pluralis ilmiah karenanya adalah konsekuensi langsung dari keinsafan bahwa ilmu tidak bebas dari pergulatan nilai dan politik. Bebas nilai di sini bukan berarti apakah politik menentukan jalur ilmu seperti saat digunakan oleh rezim totalitarian. Sebaliknya, asumsi bahwa hanya ada satu pendekatan yang terbaik untuk setiap masalah karena semuanya bertumpu pada satu kenyataan yang didekati oleh pendekatan tersebut dapat memberikan impresi salah atas hubungan ilmu dan kebijakan. Di dunia yang justru serba mendewakan ilmu, hasil-hasil ilmiah yang dibawa secara tidak kritis keluar dari domainnya dan dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah justru juga malah menimbulkan masalah lebih besar. Pandangan bahwa apapun yang mental adalah otak, dan apapun yang berhubungan dengan sifat (trait) adalah gen, dengan mudah mengalihkan kenyataan sosial dan kultural yang juga berperan dalam pembentukan semuanya (Kaplan, (2000) menunjukkan contoh-contoh konkrit kesalahan memahami genetik dalam kebijakan publik). Begitu juga di bidang ekonomi, pandangan yang mengatakan bahwa ekonomi tidak lebih dari masalah efisiensi dan efektifitas, khas teori tindakan rasional dengan kedok ekonomi positif, memiliki andil besar bagaimana institusi ekonomi meilihat problem normatif ekonomi dengan meninggalkan apa itu ekonomi normatif (Dupré, 2001).

Menjadi pluralis karenanya menerima berbagai macam pandangan yang berbeda untuk melihat masalah secara lebih komprehensif. Berbeda dari kecenderungan monistik yang reduksionis, pluralis lebih tertarik dengan interaksi dan kompetisi, membiarkan berbagai macam kerangka dan pendekatan ilmiah yang berhasil untuk hidup dan berakumulasi. Para pluralis percaya bahwa dunia tidak serapi dan tertata sebagaimana pandangan para monis. Sebaliknya, berbekal hasil praktik ilmiah modern, dunia adalah medan yang berantakan dan rusuh, tempat perbedaan dan ketidaksepakatan hidup. Dunia yang rapi berbentuk piramid lebih merupakan mitos monisme. Pengakuan atas medan yang berantakan adalah satu langkah maju karena kita tidak terbius oleh imajinasi kerapian dan mengambil tindakan dari kesalahan persepsi tersebut. Sebaliknya, dengan memahami bahwa dunia tidak rapi, kita bisa lebih berfokus untuk membuatnya menjadi lebih rapi. Pluralis ilmiah tidak berambisi untuk hanya menginterpretasikan dunia, tetapi menjadikan dunia yang berantakan ini menjadi lebih rapi dengan asumsi kebijakan atas ilmu yang lebih kritis (Cartwright, 1999).

Sebagaimana dalam politik, kita percaya bahwa imperialisme ataupun otoritarianisme tidak membawa kita kemana-mana selain pada kemenangan dan pembungkaman palsu. Keuntungan dari interaksi dengan pendekatan-pendekatan mandiri akan membawa kita pada dunia yang lebih kaya dan representatif, lebih dari ideal monisme yang ingin melihat segala sesuatu dari kacamata kuda. Menjadi pluralis ilmiah adalah melawan represi monisme, menunjukkan bahwa kekayaan dan representasi berbagai pendekatan dapat memberikan lebih banyak keuntungan bagi ilmu itu sendiri dan kebijakan yang berdasar padanya.   

Daftar Pustaka

Cartwright, N. (1983). How the laws of physics lie. Oxford University Press.

Cartwright, N. (1999). The dappled world: A study of the boundaries of science. Cambridge University Press.

Chang, H. (2010). The Hidden History of Phlogiston: How Philosophical Failure Can Generate Historiographical Refinement. HYLE – International Journal for Philosophy of Chemistry, 16(2), 47–79. http://www.hyle.org/journal/issues/16-2/chang.pdf

Chang, H. (2012). Is Water H2O? Evidence, Realism and Pluralism. Springer Netherlands.

Chang, H. (2018). Is Pluralism Compatible with Scientific Realism? In J. Saatsi (Ed.), The Routledge Handbook of Scientific Realism (pp. 176–186). Routledge.

Dickson, M. (2006). Plurality and Complementarity in Quantum Dynamics. In S. H. Kellert, H. E. Longino, & C. K. Waters (Eds.), Scientific Pluralism (pp. 42–63). University of Minnesota Press.

Dupré, J. (1993). The disorder of things: Metaphysical foundations of the disunity of science. Harvard University Press.

Dupré, J. (1999). On the impossibility of a monistic account of species. In R. A. Wilson (Ed.), Species (pp. 3–22). The MIT Press.

Dupré, J. (2001). Human Nature and the Limits of Science. Clarendon Press.

Kaplan, J. (2000). The Limits and Lies of Human Genetic Research: Dangers for Social Policy. Routledge.

Kellert, S. H., Longino, H. E., & Waters, C. K. (2006). Introduction: The Pluralist Stance. In S. H. Kellert, H. E. Longino, & C. K. Waters (Eds.), Scientific Pluralism (pp. vii–xxix). University of Minnesota Press.

Kuhn, T. (2012). The Structure of Scientific Revolutions. University of Chicago Press.

Putnam, H. (1975). Mind, Language, and Reality. Cambridge University Press.

Waters, C. K. (2006). A Pluralist Interpretation of Gene-Centered Biology. In S. H. Kellert, H. E. Longino, & C. K. Waters (Eds.), Scientific Pluralism (pp. 190–214). University of Minnesota Press.

Bacaan Lainnya