Pemikiran Martin Heidegger masih terasa pengaruhnya hingga hari ini. Ketika perkembangan teknologi dan sains semakin maju, manusia terasing di dalam sistem dunia dan kerap kali merasa cemas akan eksistensinya, maka pemikiran Heidegger selalu dirujuk dan dibicarakan, meski ia dan gagasan pemikirannya kurang terkenal jika dibandingkan dengan pendahulunya seperti Friedrich Nietzsche yang bak idola bagi kawula muda dan gerbang pertama untuk menggugat Tuhan ketika mulai beranjak dewasa. Berbeda dengan Nietzsche yang karyanya sudah banyak dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, pemikiran Heidegger belum pernah ada yang diterjemahkan. Apalagi karya besarnya Sein und Zeit (Being and Time).
Heidegger sering dimasukkan ke dalam gerbong eksistensialis, sebab dia memang banyak menggunakan istilah-istilah seperti ‘faktisitas’, ‘ketiadaan’, ‘Da-sein’, ‘dunia’, ‘eksistensi’ ketika menganalisis atau menguraikan manusia dan kehadiran dirinya di dunia. Namun, menurut Joan Stambaugh (1991), memasukkan Heidegger ke gerbong eksistensialis merupakan kesalahan dalam penggunaan istilah tersebut. Alasannya karena pemikiran Heidegger hampir tak memiliki kesamaan dengan apa yang disebut sebagai ‘eksistensialis’. Pada 1946, Heidegger mengatakan bahwa Sartre menyalahpahami pemikirannya. Pertanyaan tentang eksistensi, pertama-tama bukanlah pertanyaan filosofis, melainkan pertanyaan umum yang kerap diajukan oleh manusia. Lebih jauh lagi, pertanyaan seperti ‘siapa saya’ ini bukanlah pertanyaan aksidental psikologis, melainkan pertanyaan tentang esensi mengada: bahwa saya ‘mengada’ dan ‘mengada’-nya saya itu menjadi permasalahan bagi saya. Permasalahan mengenai eksistensi ini hanyalah pijakan awal dari bangunan filosofis Heidegger. Heidegger ingin memeriksa eksistensi manusia untuk memahami makna Ada (Being) itu sendiri.
Diar dalam Kemandirian Dunia dalam Pemikiran Heidegger (2017) dengan cermat dan jernih menjelaskan bahwa bagi Heidegger ‘ada’ ialah kehadiran yang memiliki karakter “ada memberi,” “ada menghadirkan”. Maksudnya ada itu tidak mengada, sebagaimana entitas, melainkan memberikan kehadiran entitas. Dengan kata lain, ada dan entitas sifatnya struktural dan bukan kausal. Namun, kehadiran pada manusia sebagai yang sudah selalu datang dan terus datang ini perlu dipahami secara tepat. Kehadiran dalam arti ini bukan berarti manusia secara aktif memproduksinya atau melakukannya lewat kesadaran yang persis dilakukan oleh Sartre. Oleh karenanya, kehadiran yang tak bisa dikontrol oleh manusia ini juga merupakan syarat mutlak adanya manusia.
Stambaugh (1991) mengatakan bahwa Heidegger merupakan seorang fenomenolog. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari pengaruh gurunya, Edmund Husserl. Dalam Being and Time, Heidegger menerapkan metode fenomenologi menurut versinya, yakni mempelajari manusia dan dunianya, ada-di dalam-dunia (being-in-the world), sebab menurutnya manusia dan dunia merupakan kesatuan yang-tak terpisahkan. Ada dua problem yang hendak Heidegger atasi. Pertama ialah melampaui pembelahan (split) subjek-objek filsafat modern sejak Descartes. Kedua, problem mendasar lainnya, yakni untuk mendapatkan pemahaman mengenai makna ‘Ada’ melalui pemeriksaan manusia.
Keterbelahan (split) antara subjek dan objek mengandung arti adanya pemisahan (separation), dikotomi antara yang mengetahui (knower) dan apa yang diketahui. Kita bisa melihat dikotomi ini dalam formulasi Descartes, subjek merupakan yang berpikir yang takberkeluasan dan objek adalah benda yang meluas namun tidak berpikir. Heidegger menyerang keterbelahan subjek-objek dalam analisis tentang eksistensi manusia. Apa yang ia kritik bukan terletak pada legitimasi subjek-objek dalam tataran berpikir, melainkan lebih jauh lagi. Alasan Heidegger menjadikan eksistensi manusia sebagai titik mula adalah karena manusia merupakan satu-satunya pengada yang sadar (aware) akan dirinya, dunia, dan Ada. Kemudian dari sini, melalui manusia, kita bisa mengakses tentang dirinya, dunia, dan Ada. Perlu ditekankan sekali lagi bahwa pemahaman Heidegger tentang manusia yang sadar ini bukan dalam artian subjek (Stambaguh, 1991).
Dari sini kita akan memasuki istilah yang digunakan oleh Heidegger, yakni “Da-sein” yang dalam bahasa sehari-hari Jerman ialah kehidupan atau ek-sistensi, Ada-di sana, “ada.” Dalam Being and Time kita akan melihat analisis konkret yang menunjukkan bahwa Dasein atau ek-sistensi tidaklah terlepas dari subjek yang mendunia. Berbeda dengan subjek yang diabstraksi dan terisolasi dari dunia, fenomena Da–sein, manusia yang ada di-dunia, itu merupakan kesatuan pengalaman primordial. Dunia itu bukan keseluruhan total dari benda-benda di alam. “Dunia” justru merupakan apa yang ditemui dalam perjumpaan dengan benda-benda dan hal tersebutlah yang membuat keterhubungan di antara manusia, dunia, dan benda-benda menjadi pengalaman yang mungkin.
Kritik Atas Ontologi “Dunia” Cartesian
Pada divisi I bagian III paragraf 21 dari Being and Time, Heidegger mengajukan pertanyaan “Apakah ontologi “dunia” (Descartes) itu melihat fenomena dunia secara keseluruhan, dan jika tidak, sekurang-kurangnya apakah mendefinisikan ada ke-dunia-an sejauh karakter keduniaannya dapat terlihat? Jawabannya, tidak! Kita harus berangkat dari ada yang dalam prinsip Descartes sebagai yang meluas disamakan sebagai dunia, dan akses untuk bisa diketahui ini melalui intellectio atau pikiran, yakni matematika dan fisika. Maksudnya adalah Descartes tidak membiarkan “dunia” itu membiarkan dirinya untuk hadir dengan sendirinya. Justru ia ditentukan, dijelaskan “kebenarannya” dalam basis ada sebagai kehadiran objektif yang konstan melalui matematika. Dengan kata lain, ontologi dari Descartes tentang “dunia” sebetulnya merupakan ontologi dasar yang orientasinya tidak lain terhadap “ada” kehadiran objektif yang konstan (Being and Time, 1996).
Kemudian Descartes tidak memerlukan apropriasi akses terhadap ada di dalam dunia. Misalnya mengenai kekerasan (hardness) ini dipahami sebagai pertentangan. Namun baik itu kekerasan dan pertentangan dalam pemahaman Descartes tidak berada dalam fenomena yang dialami dan ditentukan oleh pengalaman itu sendiri. Pasalnya, bagi Descartes, ketika ia memahami persepsi A maka ia pahami dalam persepsi A yang ia ketahui. Dengan demikian, menurut Descartes hal ini memungkinkan identifikasi ada itu begitu saja dan menutup kemungkinan bagi Da–sein untuk memperlakukan sesuatu yang baru.
Heidegger melanjutkan kritiknya, bagaimana mungkin Descartes mengidentifikasi ada yang pasti dan adanya tersebut dengan dunia jika ia tidak tahu fenomena dunia sepenuhnya? Untuk menjawab ini maka Heidegger mengatakan bahwa perjumpaan antara dunia dan pengadanya terletak pada esensi “ada” Da–sein itu sendiri dan melalui keseharian. Dunia dan Da–sein secara ontologis konstitutif berada di dekat kita: dalam keseharian. Alasannya karena struktur manusia (ek-sistensi) itu tidak diabstraksi secara isolatif dari dunia, melainkan berada bersama dalam keseharian. Keseharian mendapatkan prioritas dalam pemikiran Heidegger karena dunia keseharian menunjukkan dunia saat segala sesuatunya dipahami sebelum segala kegiatan reflektif tanpa meninggalkan makna secara isolatif (Banin, 2017).
Berbeda dengan upaya Descartes untuk mengandalkan pikiran sebagai satu-satunya cara untuk melihat realitas, Heidegger itu menganggap dunia fenomena sebagai kondisi a priori bagi Da-sein. Dunia bukan sesuatu yang berada di luar Da-sein/Ek-sistensi. Ek-sistensi secara esesial merupakan Ada-di dunia (In-der-Welt-sein), dan “dunia” adalah Dasein atau eksistensial. Heidegger juga menolak beragam interpretasi bahwa dunia adalah realitas “objektif” yang berlawanan dengan pemahaman “subjektif”. Dengan kata lain, “dunia” tidak benar-benar berbeda dengan Da-sein, karena merupakan cara berada Da-sein. Sebab menurut Heidegger, Da-sein sudah selalu ada-bersama/ada-di dunia.
Selain itu, “dunia” dalam arti Heidegger cukup beragam maknanya, bukan hanya sebagai konsep ontologis yang membentuk ek-sistensi dan merupakan karakter Da-sein. Oleh karena itu, berbicara tentang “dunia” dalam konsep Heidegger tidak akan pernah terlepas dari ada-di-dunia dengan kehadirannya. Untuk mengklasifikasikan maksud dan hubungan “dunia” dengan fenomenanya maka Heidegger memberikan gambaran yang cukup jelas dalam Being and Time (1996).
- Dunia yang dipahami sebagai konsep ontic itu menandakan keseluruhan ada yang kehadirannya bisa diobjektifkan di dunia.
- “Dunia” dipahami secara ontologis memberikan apa yang disebut sebagai adanya kehadiran pada nomer 1. Maksudnya “dunia” ini juga bisa diartikan untuk beragam kehadiran. Misalnya, ketika kita berbicara mengenai “dunia” matematika, “dunia” artis, “dunia” seniman, maka yang kita maksudkan adalah keseluruhan dari objek dunia tersebut.
- Kemudian dari sini mengarahkan “dunia” yang dimaksud secara ontologis dan ek-sistensial membentuk apa yang Heidegger maksud dengan kemenduniaan atau berada-dalam dunia.
Misalnya, apa yang hendak ia jelaskan ketika membicarakan tentang pohon, rumah, orang-orang, gunung, bintang, palu, dan benda-benda lainnya? Menjelaskan “dunia” sebagai fenomena berarti membiarkan “kehadiran” terlihat. Kita bisa mendeskripsikan bagian terluar dari pohon, rumah, palu, dll. Inilah yang Heidegger sebut sebagai ontic, rumah, pohon, gunung, bintang, orang-orang, bahwa mereka hadir/ada. Dengan demikian yang dimaksud berada-di dunia atau “dunia” sudah selalu berelasi, sebelum terbentuk teori, dalam keseharian dengan Da-sein/ek-sistensi.
Ketika kita mau membuka pintu, maka kita menggunakan gagang pintu untuk membukanya. Kemudian ada juga contoh lain, misalnya antara palu dan penggunanya. Heidegger memberikan contoh ini dan deskripsi yang panjang, bahwa “di-dalam dunia” palu dan penggunanya ini bukan hanya memiliki pengetahuan tentang karakter kegunaan dari palu; penggunanya telah mengapropriasi kemungkinan untuk menggunakan palu tersebut. Menurutnya, semakin kita memperhatikan objek palu, maka kita meletakkan dan memilah kegunaan palu tersebut untuk menghancurkan tembok yang retak agar diperbaiki, atau memaku dan memasang jam dinding.
Sementara, jika langsung mengambil palu tersebut, tanpa memproyeksikan sesuatu terhadapnya, juga kita semakin sering menggunakan palu, maka relasi perjumpaan antara pengguna palu dengan palunya lebih original dan primordial. Heidegger menyatakan bahwa perilaku pengguna palu yang kedua itu menemukan hal spesifik dari “kegunaan” atau “ketangkasan” palu. Alasannya adalah karena ketika kita melihat sesuatu secara “teoretik”, sebenarnya kita kekurangan pemahaman akan ketangkasannya. Sebabnya adalah karena kita memberikan referen untuk A atau B. Heidegger menekankan bahwa ketangkasan tidak dapat diraih secara teoretik. Dengan demikian, benda-benda yang hadir di sekitar dan dalam keseharian itu dapat diakses secara dalam dirinya tanpa harus kita letakkan referen A atau apa pun itu. Dari sini berarti “dunia” sudah selalu di sana dalam segala benda yang bisa digunakan. “Dunia” juga bisa menampakkan dalam berbagai cara dengan sekitarnya (Being and Time, 1996).
Ada dua letak ganda mengenai benda-benda yang dijumpai oleh Da-sein, pertama sebagai ready-to-hand (Zuhandenheit) yang kegunaannya sudah selalu digunakan dalam laku keseharian, dan kedua adalah ketika keberadaannya terberikan sebagai kehadiran bagi Dasein untuk ia teorisasikan, yang disebut dengan present-at-hand (Vorhandenheit). Pada posisi ketersediaan (Zuhandenheit, ready-to-hand), atau jaring keterlibatan peralatan, itu lebih primordial dari yang tergeletak (Vorhandenheit, present-at-hand). Da-sein secara primordial lebih mengerti sesuatu sebagai hal yang tersedia (Zuhandenheit) daripada sebagai yang tergeletak (Vorhandenheit) untuk diobjektifikasi (Diar, 2017).
Bagaimanakah pemahaman ini dimungkinkan? Heidegger memberi penjelasan pada divisi I bagian 5 paragraf 32 mengenai pemahaman dan interpretasi. Dalam usaha untuk memahami, entitas diungkapkan (disclosed) dalam kemungkinannya. Karakter dari kemungkinan untuk diungkapkan selalu berkorespondensi dengan pemahaman akan adanya entitas. Kemenduniaan entitas pada umumnya diproyeksikan terhadap dunia. Maksudnya adalah bahwa pemahaman akan keseluruhan totalitas dari relasi antara Da-sein dan adanya entitas sudah selalu dimulai sejak semula ada-di dalam-dunia. Ketika Dasein dengan entitas yang ada-di dunia ditemukan, maka dari situlah makna hadir (Being and Time, 1996).
Namun menurut Heidegger apa yang dipahami bukanlah “makna” yang seperti kita pahami saat ini secara definitif, melainkan entitas atau ada dalam artian kondisi. Makna harus direlasikan dengan pemikiran tentang “pemahaman” yang memiliki karakter proyeksi (Diar, 2017). Oleh sebab itu Heidegger mengatakan bahwa “makna” merupakan esensi ek-sistensial/Da-sein, bukan pula properti yang diberikan kepada entitas. Hanya Da-sein yang “memiliki” makna ketika ketersingkapakn pada ada-di-dalam dunia melalui entitas ditemukan.
Dengan kata lain ada-di dalam-dunia merupakan struktur primordial dan keseluruhan Da-sein/ek-sistensi. Da-sein ada begitu saja, secara faktis. Bahwa dalam keseharian ada-di dalam-dunia, Da-sein dengan demikian dapat ditetapkan sebagai keterlibatan-ketersingkapkan (entangled-disclosed), keterlemparan-memproyeksikan ada-di dalam-dunia dengan segenap potensialitas dengan “dunia” dan juga ada-bersama dengan yang-lain. Harus dipahami bahwa keselurahan struktur ini tidak bisa dicapai dengan menggabungkannya, melainkan hanya dapat diakses secara keseluruhan melalui primordial yang telah selalu ada. Heidegger juga menejelaskan bahwa karakter eksistensial Da-sein ini berbeda ketika mengajukan pertanyaan tentang adanya sesuatu secara objektif. Misalnya telah disebutkan bahwa Dasein ini sudah selalu berada di-dalam dunia dan bersama-dengan pengalaman dan sekitarnya.
Kita tahu bahwa melalui Descartes, filsafat memasuki babak baru. Ia berani meradilkan filsafat sebelumnya dan juga meragukan pengetahuan universal dan kemudian mencari fondasi bangunan yang tak terbantahkan bagi filsafat dan ilmu pengetahuan. Aku yang meragukan segalanya, aku juga yang memiliki pengetahuan tentang sesuatu. Sejauh aku meragu–aku hadir, dan kehadiranku ini merupakan kepastian dan kebenaran. Heidegger dalam karyanya yang lain, Being and Truth (2010), tepatnya pada §10 Modern metaphysics in its illusory new inception with Descartes and its errors, melanjutkan kritiknya terhadap Descartes dengan mengatakan bahwa Descartes meletakkan “subjek” dan subjektivitas pada pusat filsafatnya, sementara objek dan objektivitas diletakkan di pinggiran. Pada mulanya hanya “Ada” subjek yang pasti, sementara “Ada” objek tidak pasti. Bahkan Heidegger juga menyebut bahwa pemikiran Descartes ini menyebabkan kebangkrutan semangat orang-orang Jerman, karena dulu di tiap ujian atau makalah di tiap universitas selalu dimasukkan topic pemikiran Descartes. Tak heran pula jika Heidegger menyebut bahwa pemikiran Descartes yang disebut radikal sebenarnya penolakan lebih lanjut dari filsafat Yunani kuno (Being and Truth, (2010).
Implikasi dari pemikiran Descartes selain yang sudah kita lihat pada kritik Heidegger atas ontologi “dunia” Descartes adalah bahwa dunia itu mandiri dari pikiran dan pikiran dapat mengakses dunia yang mandiri tersebut. Sebenarnya pikiran itu memenjarakan apa pun ke dalamnya. Bahkan kata eksistensi pun diproses dari pikiran tersebut. Sayangnya, Descartes mengabaikan problem kata eksistensi yang diproduksi oleh dan dalam pikiran tersebut dengan alasan sudah jelas. Pengandaian Descartes tersebut justru menjadi awal keruntuhannya. Kritik atas problem konsep eksistensi ini menjadi jelas jika mengikuti uraian lawan filsafati Descartes, yang juga sekaligus filsuf besar abad pencerahan, Immanuel Kant (Diar, 2017)
Realitas, Pemahaman, dan Kebenaran
Pemikiran Descartes melahirkan gagasan bahwa (1) dunia itu mandiri dari pikiran, dan (2) pikiran dapat mengakses dunia yang mandiri tersebut. Namun, bagi Kant, pemaknaan objek yang hadir dalam pengalaman itu berada di dalam ruang dan waktu. Dengan demikian, pengetahuan manusia yang dibicarakan dalam sistem Descartes tentang matematika dan tuhan itu bukan Tuhan dalam dirinya, melainkan tuhan dan matematika untuk kita (Diar, 2017). Pemikiran Kant ini kemudian disebut sebagai kelahiran dari era korelasionisme, yang pada mulanya objektivitas dalam pemikiran Cartesian dapat diraih dan tidak tergantung pada subjektivitas ataupun intersubjektivitas. Setelah Kant, ilmu mengenal objektivitas lain, yakni representasi objektif.
Dalam filsafat ilmu, posisi Heidegger cukup unik, terutama ketika mencoba untuk memahami kebenaran saintifik. Alasannya karena dalam debat tentang kebenaran baik itu dari kubu realisme maupun anti-realisme, dalam beberapa tafsir pembacanya Heidegger, bisa diletakkan di salah satu atau kedua posisi tersebut. Secara singkat, teori realisme saintifik menyatakan bahwa objek-objek, benda-benda ada ada di dalam dunia persis (atau setidaknya menyerupai) bagaimana ia dicontohkan dalam teori. Atau juga memahami bahwa realitas objektif, dunia, alam semesta, itu bakal tetap ada walaupun manusia tidak ada.
Sementara anti-realisme, berada di seberangnya, menyatakan bahwa teori saintifik memang membantu kita untuk berinteraksi dengan dunia, tetapi benda-benda yang terjelaskan dalam teori itu ada secara niscaya sebagaimana dicontohkan dalam teorinya. Dengan kata lain, bagi anti-realis, pernyataan yang benar itu tentang bagaimana dunia tampak bagi manusia, bukan realitas objektif di mana manusia tak memiliki akses untuk itu. (Peter Kosso, 1992) Semisal, model teori quantum Bohr. Bagi seorang realis, contoh yang manapun asalkan berkoresponden dengan realitas objektif itu benar; sementara bagi seorang anti-realis, baik itu salah satu atau keduanya model Bohr bisa benar atau salah. Sebab bagi seorang anti-realis, realitas itu didasarkan pada fenomena yang menampak pada manusia, sehingga tidak bisa benar-benar dianggap objektif.
Stepanich (1991) menyatakan sebenarnya posisi unik Heidegger ini disebut dengan apa yang ia katakan sebagai perbedaan ontologis (ontological difference)—perbedaan antara entitas dan adanya entitas. Melalui perbedaan ini, Heidegger mengklaim, kendati adanya objek natural tidak bergantung kepada manusia, namun adanya objek-objek tersebut hanyalah merupakan pemahaman manusia. Kita akan lihat posisi unik bahwa melalui keterlibatan langsung dengan entitas di dunia kita, entitas itu terungkap dan menjadi jelas bagi kita. Namun, entitas itu ‘ada’ baik sebelum maupun sesudah perjumpaan dengannya. Apabila manusia tidak ada, pepohonan, gunung-gunung, bintang-bintang—alam semesta keseluruhan—tidak akan berhenti ada begitu saja (Stepanich, 1991). Menurutnya, contoh tersebut menandakan bahwa Heidegger setuju bahwa ada dari objek alami itu tidak bergantung kepada manusia. Dengan kata lain, ia setuju dengan realisme.
Akan tetapi, sikap setujunya ini terbatas, sebab ia akan memisahkan diri ketika mengatakan bahwa manusia itu unik di antara entitas lainnya, karena manusia memikirkan eksistensinya, dan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadirkan dengan eksistensinya, sementara entitas lain seperti pepohonan, sungai, mungkin juga hewan, kurang menyadari adanya—apa arti untuk mereka sendiri atau bukan untuk mereka sendiri. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah bahwa entitas selain manusia, tidaklah ek-sis, karena baginya yang menyadari ada itu merupakan karakter dari ek-sistensi.
Seturut pemaparan Stepanich tentang posisi Heidegger ini kerap menimbulkan interpretasi yang beragam. Meskipun tesis utama Heidegger ialah, kendati objek natural ada tak tergantung pada manusia, namun ada dari objek-objek tersebut hanya bisa dipahami oleh manusia. Selain itu bahwa entitas mandiri dari manusia tidak begitu saja terpenuhi dengan sendirinya melalui perbedaan antara ada dan entitas. Bukankah akan lebih tepat jika kita mengatakan bahwa objek natural tidak terlepas dari manusia? Jika kita mengatakan begitu, maka kita akan kembali ke idealisme tradisional yang menunjukkan bahwa entitas direduksi ke dan oleh pemahaman subjek. Namun, apabila kita mengatakan objek natural tidak tergantung pada kita, bagaimana Heidegger secara benar mengatakan bahwa ada hanya berada dalam pemahaman manusia?
Problemnya menurut Stepanich muncul dalam batas antara bahasa dan pemahaman manusia. Sebabnya, bagi Heidegger, bahasa secara ontologis dibangun oleh “diskursus” atau ”perkataan”. Artinya ialah oleh karena bahasa merupakan artikulasi keterjelasan (the articulation of intellibility), dan keterjelasan di sini sudah selalu keterjelasan ada, maka sebuah usaha membuat entitas jelas (intelligibile) ialah mengungkapkan entitas dalam adanya. Kita tidak pernah bisa mengatakan tentang sesuatu tanpa mengatakannya. Menurut Stepanich, tesis pertama yang Heidegger tekankan ialah tidak akan cukup hanya membedakan antara entitas dan adanya entitas. Sementara tesis keduanya ialah meskipun entitas-entitas ‘ada’ tanpa tergantung pada manusia, namun ‘ada’dari entitas-entitas tidak terpisah dari pemahaman manusia. Di sini Heidegger menunjukkan paradoks bahwa ketika Da–sein tidak eksis, makai a tidak bisa dibilang bahwa entitas itu ‘ada’ atau tidak ‘ada’.
Dengan demikian, paradoks di atas berasal dari sifat alamiah bahasa dan pemahaman. Namun, dari keterbatasan ini, kita memang tahu salah satu cara untuk memahami ketika sesuatu bisa terjelaskan oleh kita ialah sesuatu yang telah tersedia (present-at-hand)—yakni bahwa ‘ada‘ mandiri dari kita. Kemudian kita juga bisa mengatakan jika kita tidak eksis, objek-objek natural tersebut akan tetap ada, meskipun tidak ada yang mengatakannya lagi atau memiliki arti selain bagi manusia.
Heidegger tidak hanya menunjukkan paradoks tentang ada, tetapi juga tentang “independen” dan “dalam-dirinya.” Ketiga konsep tersebut ia sebut sebagai karakteristik Ada. Ketika kita membuka entitas yang tergeletak di suatu tempat (present-at-hand), sebenarnya kita mengobservasi bahwa ‘ada’ entitas tersebut mandiri dari kita, bahwa kehadiran mereka sudah ada bahkan sebelum kita mengintervensinya. Taylor Carman (2003) dalam konsep present–at–hand mengatakan bahwa ‘Vorhanden atau present–at–hand’ berarti hadir, kita bisa mengatakan bahwa kehadiran sesuatu bagi kita itu memanglah hadir di suatu tempat dan waktu tertentu. Kemudian dari sini, entitas yang ditemukan tersebut disebut sebagai entitas yang ditemui atau terjadi antara pemahaman Da–sein dengan relasinya itu benar-benar terpisah atau terlepas dari pemahaman kita terhadapnya.
Selanjutnya, selain menurut Stepanich, Heidegger menurut Joseph Rouse dan Blattner menganggap bahwa ia berada di barisan anti-realisme yang mengkritik realisme. Namun, sedikitnya telah disinggung di atas, ternyata posisi tersebut tidak benar-benar jelas, malahan justru samar. Carman melihat Heidegger bukanlah seorang realis maupun anti-realis, baik itu realisme atau anti-realisme sama-sama tidak mengerti dan memlikii problem presuposisi masing-masing. Heidegger memang menolak idea dari realisme dalam hal menjelaskan tentang dunia atau tentang teori kebenaran korespondensi. Ia juga menolak anti-realisme dalam merelativisasikan seluruh entitas ke dalam kapasitas representasional subjek.
Selain itu, ia menunjukkan bahwa ternyata dalam dunia, penjelasan yang benar tentang kenyataan itu bukan hanya sah dan benar hanya oleh salah satu pemahaman saja. Dalam hal ini, Heidegger membawa kepada permasalahan di mana sains mencoba mengungkapkan identitas objek natural melalui pencarian objektif. Ia mengatakan bahwa pertanyaan yang seringkali diajukan terhadap sains ialah apakah pemahaman akan dunia natural dalam kenyataannya mereprepresentasikan dunia sebagaimana adanya. Dalam pencarian saintifik, investigasi yang ketat tentang entitas yang telah tersedia (present–at–hand) secara akurat memanglah merepresentasikan dunia natural sebagaimana adanya/dirinya.
Namun, menurut Heidegger, alam merupakan sebuah entitas yang bisa ditemukan dalam beragam bentuk dan tahapan-tahapan. Pada kenyataannya, ada lebih dari satu penjelasan yang benar mengenai realitas. Meskipun sains merepresentasikan entitas, namun Ada memiliki tahapan-tahapan dalam penemuannya, memungkinkan perbedaan yang akan muncul pada dirinya. Sementara sains menangkap objek natural dari aspek partikularnya; akan tetapi itu hanyalah salah satu dari banyak aspek di mana objek mungkin tampak. Hal inilah yang membuat Stepanich mengatakan bahwa kita memerlukan pemahaman yang lebih luas tentang kemungkinan merepresentasikan realitas. Selain itu, bisa saja di satu tempat ada praktik sains modern; sementara di tempat lain menerapkan kontemplasi mistik. Dari sini juga terlihat bahwa salah satu di antaranya benar atau salah. Bahkan keduanya bisa benar, sebab begitulah realitas menampakkan dirinya kepada kita.
Selain itu, perlu dipahami juga bahwa ‘dunia’ dalam istilah Heidiegger, utamanya dalam istilah ada-di-dalam-dunia, setidaknya ada empat identifikasi ketika Heidegger mengungkapkannya. Menurut Carman, istilah “dunia” yang pertama ialah dalam arti ontic yakni keseluruhan dari objek, properti, dan relasinya. Konsep dunia ini acuh tak acuh terhadap ada maupun status ontologis dari beragam jenis entitas secara partikular. Konsep kategoris-ontic dunia ini mendominasi metafisika tradisional, dan dalam Being and Time Heidegger kerapkali merujuk kepada “alam”, dan “yang-nyata (the real).”
Konsep kedua bersifat ontologis yang merujuk kepada domain, skema, kerangka (framework) yang memungkinkan beragam jenis entitas yang bisa dikatakan/ada. Misalnya ketika kita mengatakan ‘dunia’ matematika, ‘dunia’ di sini berarti wilayah dari kemungkinan objek matematika. Konsep ‘dunia’ ini tentu saja Heidegger bawa dari Yunani kuno, kosmos, atau ia tafsirkan sebagai kondisi yang jelas dari seluruh jenis dalam keseluruhan. Dengan kata lain, kosmos atau ‘dunia’ yang ia tafsirkan sebagai ‘kondisi’ (Zustand); kosmos merupakan istilah untuk bentuk dari ada, bukan untuk entitas itu sendiri.
Konsep ‘dunia’ ini juga tidak seperti konsepsi dunianya Carnap, yakni sebagai sistem teoretis atau presuposisi kerangka linguistik oleh kalimat-kalimat tentang entitas dari beragam bentuk, abstrak atau konkret. Misalnya pertanyaan tentang entitas baik secara internal atau eksternal merujuk kepada kerangka yang kita rujukkan, maka klaim bahwa ada sejenis entitas—objek fisik, angka, proposisi, properti—akan menjadi bagian dari internal sistem dan oleh karenanya secara analitis benar. Kalau mau melihat ada kesamaan apa yang dimaksud ‘dunia’ Heidegger, barangkali kita bisa melihat dalam istilahnya Thomas Kuhn, yakni bahwa kerangka pemahaman atau norma-norma tidak selalu integral dari praktik sains, tetapi “juga merupakan konstitutif dari alam.” Maksudnya adalah pelatihan atau penelitian saintifik bukan hanya terdiri dari akumulasi pengetahuan, tetapi juga melibatkan atau melihat hal-hal secara berbeda, dan untuk mengubah dunia.
Konsep dunia yang ketiga, masih dalam kerangka ontic, merujuk bukan hanya kepada dunia yang sedang terjadi, atau entitas teoretis, akan tetapi kepada sebuah faktisitas Da–sein, ‘kehidupan’, arti eksistensiil (existentiel) atau apa yang secara materil dapat dijelaskan. Dunia di sini bersifat praontologis, Heidegger mengatakan di mana praktik keseharian kita berada di dunia, selain itu Da–sein juga selalu memiliki lebih dari satu dunia eksistensiil, misalnya dunia di mana kehidupan privat kita dan dunia atau ruang publik di sebelahnya.
Terakhir, konsep dunia yang keempat masih sama seperti yang ketiga, ia melibatkan praktik manusia, dan tentu saja bersifat ontologis bukan ontik. Di sini kita akan mengenal istilah eksistensial yang berlawanan dengan eksistensiil (existentiel), yakni sebuah istilah kemenduniaan (worldliness). Maksudnya adalah bahwa setiap praktik di mana aktivitas manusia selalu sudah berarti tersituasikan, bersama dengan benda-benda berguna yang bisa kita gunakan, dlsb. Secara singkat, kemenduniaan dari dunia ialah struktur ontologis dari prakonseptual praktik benda-benda yang terjelaskan, dengan tujuan agar bisa mencari cara tentang dunia partikular, menggunakan benda-benda, dan melakukan aksi atau tindakan yang memiliki tujuan dan poin-poin yang jelas.
Untuk memperjelas maksud dari keempat konsep dunia di atas, terutama pada konsep keempat tentang kemenduniaan, Heidegger memperkenalkan perbedaan antara “ketersediaan” atau ready-at-hand untuk benda-benda yang didefinisikan dari fungsinya, dengan keberadaan objek (present-to-hand). Perbedaan di atas bukan berada pada tataran antara objek dan peninggalan yang dihasilkan, melainkan antara objek semata dan segala yang didefinisikan secara esensial dengan fungsinya dalam konteks praktik keseharian manusia. Misalnya, matahari itu tersedia ke dalam perbedaan ketika ditemukan di suatu tempat atau peristiwa. Kita kenal matahari terbit, matahari siang, matahari tenggelam.
Antara tahun 1928-1948, Heidegger mengajukan konsep tentang ketaktersembunyian ada (unconcealment of being) dan ketaktersembunyian entitas. Secara umum, ketaktersembunyian, menurut Wrathall, melibatkan beragam benda agar tersedia untuk kita di dalam dunia, hubungan kita dengan dunia, juga tentang pemahaman akan sesuatu dengan melihat bagaimana hubungan antara benda-benda dan aktivitas yang saling melingkupinya. Untuk bisa memahami ketaktersembunyian ada, kita harus mempunyai kemampuan yang tepat. Kemampuan yang tepat adalah kemampuan kita secara praktikal untuk membuka, memikirkan, dan membahasakan ketika benda-benda dapat tersedia bagi pikiran dan perkataan kita, dan bahwa pikiran serta perkataan kita terbuka kepada dan bertanggung jawab bagi entitas yang ada di dunia sekitar kita. Dengan demikian, ketaktersembunyian ada membiarkan pertemuan kita dengan entitas yang memiliki keterarahan terhadap pikiran dan perkataan tentang entitas tersebut. Ketaktersembunyian ada inilah yang mengamankan aksesibilitas tentang entitas. Dalam pemikiran Heidegger, sesuatu bisa disingkapkan dalam taraf kemampuan kita berada dalam dunia, karena kita menyingkapkan sesuatu hanya mungkin ketika kita mengetahui bagaimana cara kerja sesuatu dengan entitas lainnya.
Mungkinkah Ada Entitas tanpa Makna?
Melalui paparan dari sub-bab berjudul “Could There Be Entities Without Being?, Carman ingin mengatakan bahwa Heidegger hendak mempertahankan bahwa ada/makna terdiri dari dan “bergantung pada” pemahaman Da-sein akan ada/makna. Akan tetapi tentu saja entitas dibentuk oleh dan bergantung pada makna mereka, dengan beberapa kasus bahwa entitas bergantung kepada Da-sein. Tanpa adanya Da-sein, makna atau ada tiada—dan tanpa ada, entitas tidak ada! Ada itu, tidak bisa eksis. Hanya entitas yang eksis, dan ada bukanlah entitas. Carman lebih lanjut mengatakan bahwa ada terdiri dari makna ada. Ada ialah apa yang dimaksud/dipahami sebagai mengada. Pemahaman kita tentang mengadanya kita, misalnya, selalu merupakan pemahaman apa yang dimaksud sebagai manusia. Kemudian pemahaman kita tentang sesuatu yang tergeletak sudah selalu merupakan pemahaman akan entitas sebagai objek semata.
Sementara apabila Da-sein atau manusia itu tidak ada, tidak hadir, maka pemahaman akan makna/ada tidaklah akan seperti apa yang saat ini dipahami, atau tidaklah akan ada pemahaman tentang apa pun, dengan kata lain makna tersebut tidak akan ada. Pasalnya ketika Da-sein ini tidak hadir, begitu juga pemahaman tentang ada, makna itu semua tidak akan ada, akan tetapi, entitas-entitas akan selalu tetap ada. Entitas yang tergeletak (present-at-hand) akan tetap ada, mereka akan tetap berada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu, barangkali mereka akan tetap memiliki struktur ontic yang sama dengan yang kita temukan dalam keseharian dan dalam penelitian saintifik. Dengan demikian ‘ada’ sudah selalu bertalian dengan Da-sein tentang pemahaman akan keterjelasan dari apa yang membuat entitas bisa dipahami sebagai entitas, namun harus digarisbawahi juga bahwa eksistensi dari entitas ini tidaklah dibawa atau diperkenalkan oleh Da-sein, sebab ia sudah ada di sana, tergeletak begitu saja. Maka tanpa adanya Da-sein tidak akan ada makna/pemahaman akan ada, tidak akan ada pemahaman tentang apa-apa yang saat ini dipahami tentang entitas tidak akan terjelaskan.
Memang tidak ada yang lebih mudah daripada mencoba menjelaskan konsepsi filsafat Martin Heidegger, apalagi ingin menarik batas apakah ia seorang realis ataukah seorang anti-realis. Kalaupun mau memilih ke bagian apakah posisi Heidegger mengambil bagian, maka saya menjawab bahwa posisi Heidegger ini sebenarnya berada pada ambiguitas: bahwa entitas bisa menjadi tanpa adanya pengada; bahwa akan tetap selalu ada entitas meskipun tanpa hadirnya pengada yang memiliki pemahaman tentang apa itu tentang entitas, apa artinya entitas dan ke-entitas-annya tersebut. Meskipun sederet tentang cara berpikir dan istilah beserta contoh yang digunakan tampak seperti kontradiksi dalam pemikiran Martin Heidegger, mari kita lihat analogi dari Carman yang menggambarkan pemikiran Heidegger bahwa Ia mampu jalan tanpa berjalan (He can walk without walking).
Daftar Pustaka
Carman, Taylor, Heidegger’s Analytic: Interpretation, Discourse, and Authenticity in Being and Time, New York: Cambridge University Press, 2003
Stambaugh, Joan, Being and Time. Joan Stambaugh, Albamy: State University of New York Press, 1996
Stambaugh, Joan, Thoughts On Heidegger, Washington, D.C: University Press of America, 1991
Stepanich, Lambert V, The Harvard Review of Philosophy, 1991
Heidegger, Martin, Being and Truth, Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 2010 Sukmono, Banin Diar, Kemandirian Dunia Dalam Pemikiran Martin Heidegger (Kritik Atas Pembacaan Materialisme Spekulatif Quentin Meillassoux, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada,2017