Bagi sebagian orang, terkadang sains, agama, dan keyakinan merupakan masalah penting tersendiri di sepanjang perjalan kehidupannya. Berkeyakinan pada agama tertentu, dengan asumsi agama yang menyatakan bahwa ada ‘Tuhan’ di balik alam semesta, bisa jadi sama dengan berkeyakinan terhadap sains. Keduanya tampak berbeda atau bahkan sama sekali berbeda. Tetapi jika kita sedikit mau membuka diri berdasarkan kata “keyakinan” maka tidaklah beda antara keduanya. Baik keyakinan terhadap agama atau sains, masing-masing keduanya memiliki sebuah objek yang diyakini. Perbedaanya terletak pada masing-masing objek itu sendiri. Keyakinan terhadap agama memiliki objek yang tidak riil, sedangkan keyakinan terhadap sains adalah sebaliknya.
Ada banyak pandangan religius yang bukan produk dari cara akal sehat untuk melihat dunia. Perhatikan kisah Adam dan Hawa, atau kelahiran Kristus yang perawan, atau Muhammad naik ke surga dengan seekor kuda bersayap. Ini bukan produk bias bawaan. Mereka dipelajari, dan, yang lebih mengejutkan lagi, mereka dipelajari dengan cara yang khusus.
Datang untuk menerima narasi religius semacam itu tidak seperti belajar bahwa rumput itu hijau atau kompor bisa menjadi panas; Ini tidak seperti memilih stereotip atau peraturan kebiasaan atau sosial. Sebagai gantinya, narasi ini diperoleh melalui kesaksian orang lain, dari orang tua atau rekan kerja atau otoritas keagamaan. Menerima semuanya membutuhkan lompatan iman, tapi bukan lompatan iman teologis. Sebaliknya, sebuah lompatan dalam pengertian duniawi bahwa Anda harus mempercayai orang-orang yang bersaksi tentang kebenaran mereka.
Sebagian orang percaya bahwa keyakinan terhadap agama dapat secara langsung (berarti) yakin terhadap sains atau sebaliknya. Baik sains atau agama memiliki semacam mutualisme yang kompatibel satu sama lain. Ketika sains mampu menjawab beberapa hal tentang ‘pernyataan’ Tuhan, maka secara otomatis agama mengakomodasi temuan tersebut.
“Either half my colleagues are enormously stupid, or else the science of Darwinism is fully compatible with conventional religious beliefs—and equally compatible with atheism.” (Stephen Jay Gould)
Entah setengah kolega saya sangat bodoh, atau ilmu Darwinisme sepenuhnya kompatibel dengan kepercayaan agama konvensional – dan sama-sama kompatibel dengan ateisme.
More recently, there are many examples of exceptional scientists whose belief in God coexists productively with scientific endeavor. Think of Francis Collins, the former head of the Human Genome Project, Nobel Prize–winner Antony Hewish, or the prominent botanist Sir Ghillean Prance, who said, “All my studies in science . . . have confirmed my faith.”[4]
Baru-baru ini, ada banyak contoh ilmuwan luar biasa yang percaya pada Tuhan hidup berdampingan secara produktif dengan usaha ilmiah. Pikirkan Francis Collins, mantan kepala Proyek Genom Manusia, pemenang Hadiah Nobel Antony Hewish, atau ahli botani terkemuka Sir Ghillean Prance, yang mengatakan, “Semua studi saya dalam sains. . . telah mengkonfirmasi imanku.”
Tetapi tentu ada juga, atau bahkan banyak, orang yang percaya bahwa keyakinan terhadap sains dan agama, atau sains dan agama, tidak dapat disatukan dan benar-benar terpisah satu sama lain. Keduanya bersikeras untuk menyangkal satu sama lain dalam pandangan mereka masing-masing. Bisa jadi agama dan sains dan orang-orang yang mengikuti (yakin) terhadap keduanya, secara terpisah, menjadi musuh abadi yang tak mungkin untuk didamaikan hingga entah sampai kapan.
“Science and religion cannot be reconciled. . . . Religion has failed, and its failures should stand exposed. Science . . . should be acknowledged king.”[1]
“Ilmu pengetahuan (sains) dan agama tidak dapat direkonsiliasikan. . . . Agama telah gagal, dan kegagalannya harus tetap terbuka. Ilmu Pengetahuan. . . harus diakui raja.”
Steve Jones, profesor genetika di University College London dan seorang atheis, mengatakannya seperti ini:
“Science cannot answer the questions that philosophers or children ask: Why are we here? What is the point of being alive? How ought we to behave?”[3]
“Ilmu pengetahuan tidak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh para filsuf atau anak-anak: Mengapa kita ada di sini? Apa gunanya hidup? Bagaimana seharusnya kita berperilaku?
Meskipun spiritualitas (berkeyakinan terhadap) sains lebih baik daripada spiritualitas agama, seperti dikatakan Krauss, dikarenakan spiritualitas sains adalah sesuatu yang nyata sedangkan spiritualitas agama merupakan suatu bentuk delusi tetapi tetap saja spiritualitas agama lebih banyak diikuti. Walaupun ini terjadi hanya pada negara-negara dengan mayoritas Agama (tertentu). Lalu, mengapa demikian?
Lalu apa sebenarnya keyakinan beragama? Juga apa itu keyakinan sains? Benarkah keduanya berbeda? Atau mungkinkah keduanya dapat direkonsiliasikan atau setidaknya dianggap kosentris?
Keyakinan ‘Beragama’

Keyakinan [ber]agama adalah keyakinan terhadap agama-agama tertentu dengan segala konsekuensi yang harus dipatuhi dan menjalankan segala pernak-pernik yang ada di dalamnya serta menjadikan segala perintah dan aturan dalam setiap denyut nadi para pengikutnya. Jika seseorang telah meyakini sesuatu untuk menjadi bagian dari kehidupannya maka ia ‘seharusnya’ bergerak berdasarkan keyakinannya tersebut. Seperti seorang pecinta yang begitu dalam mencintai yang dicintainya, maka seperti itulah seharusnya berkeyakinan.
Doktrin keyakinan yang ditanamkan oleh orang tua atau setidaknya yang lebih tua dari dirinya menjadi salah satu faktor utamanya. Ini dapat dikatakan semacam ‘warisan’ keyakinan beragama. Individu yang lahir dari keluarga dengan keyakinan beragama tertentu, sudah dapat dipastikan akan dididik berdasarkan atas keyakinan tersebut, terlepas berhasil atau pun tidak. Individu yang masih ‘kosong’ tentu akan sangat dapat menerima yang dikatakan atau dilakukan oleh kedua orang tuanya. Berlanjut pada masa anak-anak dan remaja, individu-individu akan terus mendapatkan asupan pengetahuan berdasarkan keyakinan beragama lebih dari sekadar dari orang tuanya melainkan juga dari para meraka yang lebih tua darinya di masing-masing komunitas-komunitas yang mereka ikuti. Inilah mengapa seorang remaja yang kemudian dilepas ke ‘alam bebas’ kehidupan akan pertama-tama menjadi sosok yang sangat agamis.
Kecemasan atas nasib individu-individu pada ‘esok hari’, mulai dari keselamatan secara fisik dan mental dan, sepertinya lebih-lebih, kecemasan terhadap finansial, yang tercakup dalam sebuah kata ‘takdir’, menjadi momok yang sangat menakutkan. Fakta bahwa kelahiran seorang anak manusia di muka bumi dari rahim seorang perempuan dengan nasib berbeda-beda menjadi awal dari kegelisahan tersebut. Seorang anak yang lahir dari keluarga mapan, secara ekonomi, strata sosial, dan setidaknya harmoni keluarga, tentu secara umum akan tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang siap menghadapi tantangan di masyarakat di kala dewasa. Sebaliknya, si malang yang lahir dari kekurangan atas segala hal terlebih adanya ketidakharmonisan dalam rumah tangga, akan menimbulkan bukan hanya kegelisahan tetapi juga kecemasan akan masa depan, traumatik kekerasan, kebimbangan sikap, keterpurukan mental, hilang kepercayaan diri, dan banyak hal buruk lainnya, yang tentu akan tampak si malang dewasa yang terkadang menutup diri, angkuh untuk aktualisasi, dan cenderung hanya memikirkan diri mereka sendiri. Dan ini wajar karena si malang merasa tidak memiliki siapapun di dunia ini kecuali dirinya sendiri. Itupun jika kepercayaan dirinya terasah dengan baik. Fakta-fakta ini, selanjutnya, akan membawa mereka pada tingkat keyakinan beragama yang berbeda yang bergantung pada doktrin orang tua, lingkungan, dan pengalaman yang mereka peroleh. Bagi si dewasa mapan, bisa jadi, sangat yakin dan percaya atas doktrin agama dengan keyakinan bahwa agama membawa kehidupan keluarganya menjadi mapan dan terus berlangsung hingga keturunan-keturunan berikutnya, meskipun tidak semua dan harus demikian. Sementara itu, bagi dewasa malang, bisa jadi, sangat yakin atas doktrin yang sama, terlebih apabila ia mendapatkan sesuatu yang di luar nalar yang sanggup dibayangkan olehnya.
Setelah kecemasan terhadap kebutuhan secara jasmani dan rohani dapat teratasi, kecemasan terhadap kepastian ‘setelah kematian’ menjadi salah satu penyebab kuatnya keyakinan terhadap agama. Kecemasan ini bermula ketika seorang mengetahui bahwa segala yang hidup itu pasti mati. (Terlepas dari keyakinan yang kuat bahwa kita bagian dari Sang Pencipta maka kematian bukanlah suatu kematian.) Mereka mulai bertanya kemana kita setelah mati? Tentu jasad ke tanah pekuburan dan lalu ruh (roh) kembali ke Sang Pencipta (bagi beberapa keyakinan beragama). Di tambah lagi, cerita mistis tentang ruh (sebagai entitas yang tidak riil) dan sejenisnya seperti jin, setan, genderuwo, pocong, tuyul, dll. membuat bertambah kuatnya kecemasan akan masa depan setelah mereka mati. Dorongan kuat semacam ini, yang kemudian oleh agama ‘dijadikan’ semacam pemantik atau alat untuk membawa mereka ke doktrin yang lebih kuat bahwa ada kehidupan setelah kematian.
Terlebih lagi realita terhadap ketidakmampuan manusia untuk menahan diri dari tindakan-tindakan buruk yang dilakukan selama hidupnya. Yang dalam keyakinan beragama memunculkan adanya balasan dari kejahatan yang pernah dilakukan (sekecil apapun itu). Balasan yang digambarkan sangat mengerikan seperti dibakar, dicambuk, atau secara umum disiksa setiap hari bahkan setiap detik setelah dunia ini berakhir menjadi momok tersediri bagi setiap individu. Sebaliknya, balasan baik yang digambarkan sebagai ‘aku mau aku dapat’ di kehidupan setelah akhir dunia, menjadi cita-cita yang sangat diburu oleh hampir setiap ‘pemimpi’ kehidupan ‘akhirat’. Meskipun semua itu baru sebatas ‘mimpi’ tetapi realita menunjukkan bahwa doktrin agama semacam itu sangatlah menarik perhatian.
Alasan lain terkait ‘kuatnya’ keyakinan beragama yang mungkin paling lemah adalah adanya komunal atas agama atau kelompok keyakinan yang menjamur di masyarakat. Seorang individu, tentu saja, akan merasa lebih aman, nyaman, dan terlindungi apabila mereka bagian dari kelompok-kelompok tersebut. Tetapi, hal semacam ini juga menjadi salah satu faktor kuat seseorang memilih untuk berkeyakinan terhadap suatu agama.
Berdasarkan semua faktor-faktor tersebut, individu-individu akan sangat merasa ketakutan apabila tidak mengarah pada keyakinan agama tertentu. Jelas, apabila semua doktrin diterima dengan baik, setiap individu akan sangat kuat keyakinannya. Ketakutan mereka akan berubah menjadi sebuah kepasrahan yang kemudian menuju ke keyakinan terhadap, yang mereka anggap paling baik dan ‘logis’, agama tertentu. Dan inilah alasan mengapa di negara-negara tertentu kekuatan keyakinan terhadap masing-masing agama sangat jelas di masyarakat.
Akan tetapi, doktrin dan kegaluan tersebut, sejatinya, tidaklah memengaruhi keseluruhan jiwa masing-masing individu. Hanya beberapa orang tertentu saja yang sangat terpengaruh akibat keduanya. Terlepas dari segelintir orang tersebut, kebanyakan dari mereka, doktrin dan kecemasan tersebut hanya menjadi semacam apologi untuk permasalahan-permasalahan hidup yang mereka hadapi. Oleh karena itu, sering akan kita temui, individu-individu yang sedang atau diawali dengan ‘kekalahan’ dan ‘keterhinaan’ dalam kehidupan mereka lah yang memiliki spiritualitas agama, meskipun ini kebanyakan bersifat sementara. Setelah ‘kemenangan’ dan ‘kemuliaan’ didapatkan, spiritualitas agama berangsur menghilang. Sementara itu, bagi individu-individu yang sedari awal memiliki segala kemudahan hidup, kebanyakan mereka cenderung memiliki spiritualitas agama rendah.
Keadaan semacam ini bukanlah suatu hal yang aneh. Sifat materi manusia yang mendominasi dalam setiap lini dan perjalanan waktu sepanjang kehidupan adalah salah satu alasannya. Realitas yang bersifat materi dapat dibuktikan secara nyata baik secara sains berdasarkan kajian ilmiah, atau melalui panca indera yang langsung dapat dipelajari dari pengalaman oleh setiap individu. Terlebih lagi dunia akademis yang menuntut adanya pembuktian atas, bahkan, sebuah teorema matematis, menjadi faktor sangat besarnya pengaruh materialisme. Maka jelas bahwa pertanyaan-pertanyaan semacam “Dapatkah kita membuktikan keberadaan Tuhan?”, atau paling sederhana “Dapatkah kita membuktikan kebenaran dan keabsahan sebuah ‘kitab suci’?” sangat mungkin untuk dilontarkan. Maka di sinilah salah satu letak munculnya fase perubahan dari spiritualitas agama ke spiritualitas sains.
Keyakinan ‘Sains’
Keyakinan [terhadap] sains tidak jauh berbeda dengan keyakinan [ber]agama. Seperti yang telah diungkapkan di awal bahwa keduanya sama dan hanya objek-nya saja yang berbeda. Keyakinan sains merupakan keyakinan terhadap, salah satu atau banyak, cabang-cabang sains dengan semua metodologi berdasarkan logika-logika berpikir runtut untuk menjelaskan gejala alam yang ada. Ini merupakan bentuk cinta abadi yang lain. Seorang yang benar-benar menjadikan sains sebagai nafas kehidupannya. Hanya keyakinan yang semacam inilah yang kemudian menjadikan hasil-hasil temuan mengejutkan dunia didapatkan hingga saat ini. Akan tetapi, kecintaan [mabuk] terhadap sains tersebut terkadang, sering kali, menumbuhkan benih permusuhan terhadap agamawan.

“As science advances, there seems to be less and less for God to do. . . . Whatever it is we cannot explain lately is attributed to God. . . . And then, after a while, we explain it, and so that’s no longer God’s realm.”[2]
Seiring kemajuan ilmu pengetahuan, sepertinya tidak ada lagi yang harus dilakukan Tuhan. . . . Apa pun yang tidak bisa kita jelaskan akhir-akhir ini dikaitkan dengan Tuhan. . . . Dan kemudian, setelah beberapa saat, kami menjelaskannya, dan jadi bukan lagi wilayah Tuhan.
Dalam sains, praktik ilmiah, yang meliputi pengamatan dan eksperimen; pengembangan hipotesis yang dapat difalsifikasi; pertanyaan yang tak henti-hentinya tentang pandangan terhadap semua gejala alam yang mapan, telah terbukti sangat unik dan menarik sekali dalam mengungkapkan struktur alam semesta yang mengejutkan, termasuk dalam kajian partikel sub-atomik, peran kuantum dalam teknologi, peran kuman dalam penyakit, penemuan sejumlah galaksi dan struktur jagad raya, serta dasar mental kehidupan manusia.
Keyakinan terhadap sains bermula dari bangunan logika kausalitas terhadap fenomena alam. Ini dimulai sejak individu mulai dapat mendengar dan berbicara bahkan. Seorang anak akan diajarkan untuk memahami sesuatu, misalnya api mampu membakar sesuatu atau makanlah makanan yang sehat maka kamu akan menjadi sehat. Atau cara berpikir logis lain yang diajarkan langsung oleh orang tua dan lingkungan.
Ketika memasuki dunia pendidikan, individu yang dilibatkan dalam dunia akademik akan mulai menerima ‘doktrin’ dari para guru-guru mereka. Tentu saja, dari para guru sains dan matematika yang mengajarkan logika klasik. Dari mulai yang sederhana hingga hal-hal rumit yang terkadang tidak mampu dijawab oleh guru itu sendiri. Bangunan logika yang mereka terima kemudian terus berkembang hingga ke perguruan tinggi, misalnya. Maka tentu, pada posisi ini, seorang individu akan sangat mapan logika berpikirnya.
Selain itu, doktrin keyakinan sains juga didapat dari dari pengalaman-pengalaman hidup setiap individu. Kejadian alam seperti proses petir pada saat musing penghujan, lahirnya kendaraan berbahan bakar dan listrik, atau sekedar mengapa ada siang dan malam, menjadikan mereka mau tidak mau menyusun kerangka berpikir runtut untuk menjawabnya.
Kekuatan bangunan logika yang telah ditanamkan sejak kecil tersebut, memungkinkan seorang individu akan meletakan segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada bangunan sains. Mereka akan memutuskan segala sesuatu berdasarkan pengalaman [keyakinan] sains yang telah didapatkan. Alih-alih keyakinan [ber]agama yang telah didapatkan sejak kecil, semua akan mulai terhapus dengan sendirinya sejalan kegilaannya pada sains tersebut. Sehingga pada suatu ketika, akan terjadi ‘evolusi’ penuh dari keyakinan [ber]agama menuju keyakinan [terhadap] sains.
Simpulan
Saya pikir, secara umum, tidak ada seseorang yang benar-benar memiliki keyakinan terhadap satu hal tertentu, baik itu terhadap agama maupun terhadap sains. Setiap individu akan mempertimbangkan (mungkin untung rugi dan sebagainya) segala sesuatu yang menjadi keyakinannya berdasarkan latar belakang, pengalaman, dan masalah-masalah yang ia hadapi sebelum mengambil sebuah keputusan. Sangat wajar apabila [setiap] orang terus saja menyampaikan banyak pertanyaan-pertanyaan, meskipun hanya pada dirinya sendiri, hingga akhir kehidupannya. Dan oleh karena itu, tidak ada kepastian terhadap keyakinan seseorang kendati secara literal mereka mengatakan yakin terhadap ‘sesuatu’ tertentu. Segala sesuatu, termasuk keyakinan, bersifat ‘sementara’.
Referensi
[1] Quoted in John C. Lennox, God’s Undertaker: Has Science Buried God? (Oxford: Lion Hudson, 2009), 15.
[2] Peter Atkins, “The Limitless Power of Science,” in Nature’s Imagination: The Frontiers of Scientific Vision, ed. John Cornwell (Oxford: Oxford University Press, 1995), 125.
[3] Steve Jones, The Language of the Genes (London: Flamingo, 2000), xi.
[4] Carl Sagan, the Varieties of Scientific Experience: A Personal View of the Search for Gord (New York: Penguin Group, 2007), 64.