Mengapa Orang Hindu Harus Mengatakan “Sadgati” dan Bukan “Beristirahat dengan Damai”?

Konsep Hindu tentang hidup dan mati sangat berbeda dari agama-agama Abrahamik yang telah menggunakan ungkapan “Rest in Peace (RIP).” Agama-agama Abrahamik hanya memiliki konsep satu kehidupan, dan selanjutnya menjadi “akhirat” atau “surga” yang mereka namakan sebagai “kedamaian”. Itu sebabnya mereka menggunakan ungkapan “RIP.” Lalu mengapa orang Hindu harus mengatakan “Sadgati”? Karena konsep “RIP” ini tidak ada dalam Hinduisme. Tanpa memahami prinsip pokok Hindu ini, umat Hindu akan terus menerus mengatakan “RIP” tanpa berpikir, tidak menyadari bahwa apa yang mereka katakan sama sekali tidak memberikan ketenangan atau kedamaian kepada siapa pun.

Kematian Hanyalah Sebuah Pergantian Pakaian

Semua teks suci Hindu utama, termasuk Bhagavad Gita, Kathopanishad, Shiva Aagamas, Purana menegaskan kembali bahwa sesuai dengan hukum kosmik, jiva atma[i] atau kesadaran individu tidak dapat dihancurkan. Itu merupakan refleksi dari kesadaran kosmik atau paramatma[ii]. Ia terikat oleh karma[iii] dan maya[iv], dan melanjutkan perjalanannya dari satu janma[v] ke janma lainnya menuju pembebasan akhir—jivan mukti[vi], menjalani kehidupan yang terbebaskan, atau moksha, pembebasan dari siklus kelahiran dan kematian, ketika ia kembali ke dalam kesadaran kosmik.

Kesadaran kosmik memanifestasikan sebanyak mungkin jiva untuk merayakan dirinya sendiri—“Ekoham Bahushyam,” seperti yang dikatakan dalam Veda dan Upanishad. Di dalam perjalanan, ia (jiva) mengalami delusi dan lupa, dan mulai mengalami penderitaan. Ini adalah ikatan yang dibutuhkan untuk bebas dari dirinya sendiri.

Jadi, kematian itu seperti pergantian baju untuk jiva atma. Ia bergerak dari satu tubuh dan pikiran ke tubuh lainnya, dan melanjutkan perjalanannya. Ia memiliki keadaan dan sumber daya yang sama dengan kehidupan sebelumnya maupun kehidupan yang selanjutnya.

वासांसि जीर्णानि यथा विहाय

नवानि गृह्णाति नरोऽपराणि |

तथा शरीराणि विहाय जीर्णा

न्यन्यानि संयाति नवानि देही || 2.22||

Bhagavad Gita, Bab 2, Ayat 22

“Seperti halnya seseorang mengenakan pakaian baru, dan membuka pakaian lama, begitu pula sang roh menerima badan-badan jasmani yang baru, dengan meninggalkan badan-badan lama yang tidak berguna.”

Jiva tidak kehilangan apapun dengan meninggalkan satu tubuh dan pergi ke yang berikutnya. Karma-nya juga akan ditransfer dari tubuh dan pikiran sebelumnya ke yang berikutnya. Bergantung pada bagaimana perkembangan jiva itu, dan seberapa banyak dharma dilakukan dalam kehidupan yang dia habiskan, jiva mengalami banyak hal, atau tidak ada penderitaan saat meninggalkan tubuh. Tapi ini tidak bisa dinilai oleh ilmu kedokteran karena tidak setara dengan “rasa sakit” dalam istilah medis. Ketika jiva meninggalkan satu tubuh, sekali lagi ia melewati semua pengalaman kuat janma itu. Ini menentukan seberapa mudah atau sulit bagian itu untuk jiva.

MENGAPA “SADGATI” DAN BUKAN RIP?

Ketika Anda mengatakan “Om Sadgati”, Anda berdoa kepada yang Ilahi untuk membimbing jiva atma menuju kesadaran yang lebih tinggi di kelahiran berikutnya. Apapun karma yang dapat dihancurkan untuk jiva dengan melakukan ritual terakhir dan berdoa untuk poornatva[vii] untuk jiva, itu harus dibebaskan dari itu. Inilah yang “Om Sadgati” implikasikan. Ini juga mengapa Bhagavad Gita bab 14 dan Kathopanishad dinyanyikan setelah seseorang meninggalkan tubuh, untuk mengingatkan jiva pada sifatnya yang sejati, yaitu bahwa ia adalah Yang Ilahi. Teks-teks ini mengungkapkan kebenaran paling penting tentang kehidupan dan kematian, dan sifat sejati jiva atma dan paramatma. Semakin banyak jiva mengingat bahwa ia adalah Yang Ilahi, semakin baik janma berikutnya yang dapat ia dapatkan.

TEORI SATU KEHIDUPAN ADALAH PERBUDAKAN TERBESAR

Jika jiva percaya bahwa ia hanya memiliki satu kehidupan untuk hidup, ia tetap terjebak dalam limbo[viii] itu untuk waktu yang lama. Ia yakin akan mendapatkan yang terbaik dengan tidak mengambil tubuh berikutnya, karena itulah yang telah dikatakan, sehingga ia tidak akan mengambil tubuh lain sama sekali. Itu tidak mengambil tubuh berikutnya, dan tetap dalam keadaan “preta.”[ix] Oleh karena itu, ketika Anda berharap seseorang “RIP,” pada dasarnya Anda menyiratkan bahwa mereka tetap terjebak dalam keadaan ini. Jika Anda seorang Hindu, ini sama sekali tidak mengharapkan seseorang mendapat tempat yang baik.

*Artikel ini adalah terjemahan dari tulisan Arti Agarwal di Hinduism News berjudul “Why Should Hindus Say “Sadgati” and Not “Rest in Peace”?”, 17 Agustus 2018.
** Sumber gambar: mokshdwar.org/


[i] Jiva atma berarti roh individual yang kekal.

[ii] Paramatma berarti roh yang utama, aspek Tuhan Yang Maha Esa yang berada di tempat-tempat tertentu, saksi dan pembimbing yang bersemayam di dalam hati setiap makhluk hidup dan menemani tiap-tiap roh yang terikat.

[iii] Karma adalah kegiatan material yang menyebabkan seseorang harus menerima reaksi sebagai akibatnya.

[iv] Maya berarti khayalan. Tenaga Tuhan Yang Maha Esa yang menyebabkan para makhluk hidup berkhayal sehingga mereka melupakan sifat rohaninya dan Tuhan.

[v] Janma artinya lahir ke bumi ini.

[vi] Jivan mukti adalah jiwa yang telah bebas dari kehidupan material.

[vii] Poornatva adalah manusia yang telah mencapai tingkat paripurna.

[viii] Limbo (bahasa Latin: limbus, artinya: tepi atau batas, merujuk pada “tepi” neraka), dalam teologi Gereja Katolik, adalah suatu gagasan spekulatif mengenai kondisi kehidupan setelah kematian bagi mereka yang meninggal karena dosa asalnya tanpa ditetapkan untuk masuk dalam kutukan neraka.

[ix] Preta adalah kondisi jiwa seseorang yang baru saja meninggal yang belum dilaksanakan upacara.

Bacaan Lainnya