Masalah Kejahatan bagi Ateis Bagian 3

Bagian ini membahas kekurangan ateisme dalam menanggapi masalah Eeksistensial kejahatan sistemik. Masalah eksistensial dari kejahatan sistemik berlaku untuk teisme dan ateisme karena optimisme eksistensial tidak bergantung pada kepercayaan akan keberadaan Tuhan.

Samuel Jonathan
Samuel Jonathan
Mahasiswa M.A University of Lucerne di studi Philosophy, Theology, and Religion dan pegiat filsafat agama
  1. Kekurangan Ateisme

Bahkan jika sekalipun saya adalah satu-satunya orang di dunia aktual yang bahagia, paradoks apologi tetap mungkin timbul: Bagaimana saya bisa secara konsisten mengatakan bahwa saya menikmati hidup sambil juga mengakui bahwa keberadaan saya bergantung pada ketidakadilan sejarah yang menurut saya seharusnya tidak pernah terjadi? Di sisi lain, seperti disebutkan di atas, optimisme eksistensial, yang menciptakan masalah eksistensial dari kejahatan sistemik, tidak berkaitan dengan kebahagiaan dan rasa syukur perseorangan. Ini lebih berkaitan dengan dunia dan kemanusiaan secara keseluruhan. Tentu saja, optimisme eksistensial tidak menunjukkan bahwa dunia ini secara terperinci dan menyeluruh baik atau bahwa kehidupan setiap orang di dunia itu baik. Ia mengizinkan bagi kemungkinan bahwa bagian-bagian tertentu dari dunia tidak baik dan bahwa ada kehidupan yang menyedihkan yang tidak menuntut ekspresi kebahagiaan atau rasa syukur. Optimisme eksistensial sebaliknya mengatakan bahwa dunia secara keseluruhan baik dan bahwa kita harus bahagia dan bersyukur untuk hidup di dalamnya.

Berikut suatu ilustrasi yang menggambarkan optimisme eksistensial: Andaikan kalau hal-hal positif yang ada di dunia dan kehidupan diberi warna kuning sedangkan hal-hal negatif yang ada di dunia dan kehidupan diberikan warna abu-abu. Optimisme eksistensial mengatakan bahwa meskipun mungkin ada bagian di dunia dan kehidupan manusia yang sebagian besar berwarna abu-abu, secara keseluruhan sebagian besar warna yang ada adalah warna kuning. Optimisme eksistensial bukanlah pandangan bahwa hanya sebagian dari dunia yang saya huni berwarna kuning atau hanya hidup saya yang diberi warna kuning. Ini menyatakan bahwa banyak bagian lain dunia dan banyak kehidupan orang lain juga diberi warna kuning. Sekarang, keberadaan seleksi alam menunjukkan bahwa persepsi tentang kehidupan dan dunia macam itu tidak akurat. Jika kita mengupas permukaan kuningnya, ada bagian dasar abu-abu yang sangat besar yang terkait dengan sistem biologis yang penuh kekerasan, kejam, dan tidak adil. Artinya, sebagian besar alam semesta material, termasuk banyak kehidupan di dalamnya, – bertentangan dengan persepsi awal – diberi warna abu-abu.

Saya telah berargumen bahwa masalah eksistensial dari kejahatan sistemik berlaku untuk teisme dan ateisme karena optimisme eksistensial tidak bergantung pada kepercayaan akan keberadaan Tuhan. Oleh karena itu, masalah kejahatan—atau lebih tepatnya, masalah eksistensial dari kejahatan sistemik—tidak lagi menjadi masalah eksklusif bagi kaum teis. Adalah menarik untuk melihat bahwa ada suatu versi masalah yang dapat diajukan terhadap ateis maupun teis. Tetapi yang lebih menarik lagi adalah bahwa para teis secara signifikan berada di dalam posisi yang lebih baik untuk mengatasinya dibandingkan ateis. Ateis umumnya berpikir bahwa alam semesta material adalah semua yang ada, sehingga jangkauan ontologi mereka sangat terbatas. Di sisi lain, para teis umumnya berpikir bahwa alam semesta material bukanlah semuanya yang ada. Misalnya, mereka berpikir bahwa ada Tuhan, makhluk non-material yang ada di luar alam semesta material kita, dan bahwa ada juga kehidupan setelah kematian yang berada di luar kehidupan kita di alam semesta material. Kisaran ontologi mereka, oleh karena itu, secara signifikan, dan mungkin tak terbatas, lebih luas daripada ateis.

Mari kita kembali ke ilustrasi sebelumnya terkait warna mewarnai. Jika sebagian besar alam semesta material dan sebagian besar kehidupan di dalamnya diberikan warna abu-abu, ateis harus melepaskan optimisme eksistensial, yang mengharuskan komponen-komponen ini sebagian besar dicat kuning. Namun para teis, yang tidak percaya bahwa alam semesta material atau kehidupan di dalamnya adalah cukup untuk mewakili semua yang ada, masih dapat berpandangan bahwa dunia dan kehidupan di dalamnya pada umumnya baik dan sebagian besar berwarna kuning karena alam semesta material dan kehidupan di dalamnya hanyalah bagian-bagian kecil dari seluruh realitas.

Mari kita perkuat poin di atas dalam kaitannya dengan tanggapan teistik yang ada terhadap masalah standar kejahatan melawan teisme. Tanggapan membentuk-jiwa (soul-making), misalnya, mengatakan bahwa rasa sakit dan penderitaan sejalan dengan keberadaan Tuhan yang mahakuasa dan sempurna secara moral karena hal-hal itu niscaya bagi kita untuk bertumbuh secara spiritual. Pertumbuhan rohani semacam itu berguna bahkan bagi mereka yang mati muda karena, menurut tanggapan ini, hidup tidak terbatas pada alam materi ini; mungkin ada kehidupan setelah kematian atau reinkarnasi. Tanggapan teistik skeptis, untuk contoh lainnya, mengatakan bahwa kita tidak dapat sepenuhnya memahami mengapa Tuhan mengizinkan rasa sakit dan penderitaan di dunia. Bukan berarti kalau Tuhan tidak memiliki alasan yang baik untuk melakukannya; hanya, itu berarti bahwa kita secara kognitif atau moral secara signifikan lebih terbatas dibandingkan Tuhan. Sebagai contoh lain, tanggapan Marilyn McCord Adams terhadap masalah kejahatan mengatakan bahwa keintiman dengan Tuhan akan menelan bahkan bentuk-bentuk kejahatan yang paling mengerikan dan mengatasi segala alasan prima facie bagi orang-orang untuk meragukan nilai hidup mereka (Adams 1989). Menggunakan istilah Adams, Tuhan ‘mengalahkan’ kejahatan bahkan jika mungkin tidak ada jawaban yang dapat diakses secara manusiawi atas pertanyaan mengapa harus ada kejahatan. Tanggapan teistik ini dapat diterapkan dengan penyesuaian yang diperlukan untuk masalah eksistensial dari kejahatan sistemik. Pendekatan semacam itu menunjukkan bahwa bahkan jika sebagian besar alam semesta material dan kehidupan di dalamnya diberi warna abu-abu, para teis memiliki sumber lainnya yang dapat mereka gunakan untuk menunjukkan bahwa gambaran keseluruhan sebagian besar dapat dicat dengan baik dengan warna kuning. Tak satupun dari tanggapan ini tersedia untuk ateis karena, sekali lagi, ontologi ateistik terbatas pada alam semesta material. Sebaliknya, tanggapan apa pun yang dapat dikemukakan oleh ateis juga tersedia bagi para teis karena ontologi teistik mencakup alam semesta material.[1]

Saya tidak memiliki cukup ruang untuk membahas apakah tanggapan teistik di atas berhasil atau tidak dalam memecahkan masalah eksistensial dari kejahatan sistemik. Apa yang penting di sini adalah bahwa apakah entah salah satu dari mereka berhasil atau tidak, dan, hasilnya, teis secara signifikan lebih baik dibandingkan ateis sehubungan dengan masalah eksistensial dari kejahatan sistemik. Apa yang terkandung di dalam ontologi yang mereka miliki adalah sumber daya yang jauh lebih besar, dan mungkin tidak terbatas, daripada ateis yang dapat mereka gunakan sebagai banding dalam membela teisme. Dengan mengacu pada hal-hal di luar alam semesta material, seperti Tuhan dan kehidupan setelah kematian, para teis dapat mengembangkan banyak pendekatan terhadap masalah tersebut, pendekatan yang tidak dapat diakses oleh ateis. Oleh karena itu, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa masalah eksistensial kejahatan sistemik terutama adalah masalah kejahatan bagi ateis.

  1. Kesimpulan

Dalam esai ini saya telah mencoba untuk membangun empat poin berikut: Pertama, masalah kejahatan sistemik, yang berfokus pada seluruh sistem biologis yang menjadi dasar keberadaan kita, lebih kuat daripada masalah kejahatan tradisional, yang berfokus pada peristiwa atau jenis peristiwa tertentu. Kedua, baik teis maupun ateis biasanya mendukung optimisme eksistensial, yang menyatakan bahwa dunia pada umumnya baik dan kita harus bahagia dan bersyukur untuk hidup di dalamnya. Ketiga, masalah eksistensial dari kejahatan sistemik, yang diperhadapkan dengan optimisme eksistensial, dapat ditujukan tidak hanya terhadap teis tetapi juga ateis. Keempat, selama masalah eksistensial dari kejahatan sistemik menjadi suatu kegelisahan, ateis menemukan kalau diri mereka diperhadapkan pada suatu kekurangan yang signifikan dibandingkan dengan teis karena ontologi mereka (para ateis) jauh lebih terbatas dan tidak ada yang dapat mereka gunakan di luar alam semesta material untuk mengatasi masalah itu. Kita biasanya menerima begitu saja bahwa masalah kejahatan memberikan alasan untuk melepaskan teisme dan motivasi untuk mengadopsi ateisme. Namun, jika saya benar, mungkin justru yang terjadi adalah sebaliknya. Masalah kejahatan, atau setidaknya masalah eksistensial dari kejahatan sistemik, memberikan alasan untuk meninggalkan ateisme dan motivasi untuk mengadopsi teisme.[2]


[1]Seseorang mungkin mengklaim bahwa masalah eksistensial dari kejahatan sistemik tidak timbul bagi ateis yang mendukung non-kognitivisme moral. Para ateis ini tampaknya dapat menghindari masalah karena mereka mempertahankan, misalnya, bahwa proposisi bahwa seleksi alam itu jahat tidak mengungkapkan nilai kebenaran apa pun. Klaim ini, bagaimanapun, tampaknya terlalu kuat karena jika non-kognitivisme benar, maka masalah eksistensial dari kejahatan sistemik juga tidak timbul bagi teis. Pada titik ini seseorang dapat merumuskan ulang klaim yang dimaksud sebagai berikut: masalah eksistensial dari kejahatan sistemik tidak timbul bagi ateis yang mendukung non-kognitivisme moral, sementara itu menjadi masalah bagi teis yang menolak non-kognitivisme moral. Untuk menanggapi hal ini, tampaknya kaum teis harus memutuskan apakah non-kognitivisme moral memang benar atau tidak. Namun, entah non-kognitivisme moral itu benar atau tidak, ateis tampaknya tetap terancam karena: (i) jika non-kognitivisme moral itu benar, maka masalah eksistensial dari kejahatan sistemik tidak timbul baik bagi teis maupun ateis; (ii) jika non-kognitivisme moral salah, maka masalah timbul baik bagi teis maupun ateis. Terima kasih kepada Nick Trakakis karena telah meningkatkan respons potensial yang ini terhadap masalah eksistensial bagi kejahatan sistemik.

[2]Saya membaca versi sebelumnya dari makalah ini di konferensi ‘God and Nature: The Problem of Evil’ di Verona, yang disponsori oleh Fondazione Centro Studi Campostrini, pertemuan kelompok diskusi Open End di University of Birmingham, sebuah konferensi dari European Society for Philosophy of Religion di Universitas Uppsala dan kuliah umum di Universitas Auburn. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang di audiens ini. Saya secara khusus berterima kasih kepada John Bishop, J. Loxley Compton, Nick Trakakis dan Sami Pihlström atas diskusi yang bermanfaat, dan Sofia Vescovelli atas tanggapannya yang membantu dan menarik yang dipresentasikan pada konferensi Verona.


Referensi

Adams, Marilyn McCord. 1989. “Horrendous Evils and the Goodness of God,” Proceedings of the Aristotelian Society Supplementary Volume 63: 297-323.

Bacaan Lainnya