Masalah Kejahatan bagi Ateis Bagian 2

Bagian ini membahas kontradiksi antara optimisme eksistensial dengan masalah eksistensial dari kejahatan sistemik bagi teis dan ateis. Banyak alasan untuk berpikir bahwa masalah eksistensial dari kejahatan sistemik bukanlah versi lainnya dari paradoks apologi.

Samuel Jonathan
Samuel Jonathan
Mahasiswa M.A University of Lucerne di studi Philosophy, Theology, and Religion dan pegiat filsafat agama
  1. Optimisme Eksistensial

Mari kita kesampingkan masalah kejahatan sistemik untuk sementara dan mempertimbangkan apa yang saya sebut sebagai ‘optimisme eksistensial’. Optimisme eksistensial adalah tesis yang menyatakan bahwa dunia secara keseluruhan adalah tempat yang baik dan bahwa kita harus bersyukur atas keberadaan kita di dalamnya. Bab pertama dari Kitab Kejadian menggambarkan penciptaan manusia dan hewan oleh Tuhan dan menyatakan, “Tuhan melihat segala yang dijadikanNya itu, sungguh amat baik” (Kejadian, 1:31). Klaim Leibniz yang terkenal, bahwa dunia ini adalah yang terbaik dari semua dunia yang mungkin, mungkin terlalu ekstrem, tetapi hampir semua teis setuju bahwa secara keseluruhan dunia ini adalah dunia yang baik, bahkan dunia yang sangat baik. Oleh karena itu, kebahagiaan dan rasa syukur terhadap dunia ini tampaknya merupakan reaksi alami dari perspektif teistik. Alkitab pun dipenuhi dengan ungkapan syukur kepada Tuhan:

Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik; bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya …

(MAZMUR, 118:1)

Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita.

(EFESUS, 5:20)

Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran.

(YAKOBUS, 1:17)

Filsuf teistik biasanya menggemakan ekspresi tersebut dan dengan demikian merengkuh optimisme eksistensial. Mereka berpikir bahwa kita patut untuk bersyukur dan menyembah Tuhan karena Ia telah menciptakan dan menopang keberadaan kita. Thomas V. Morris, misalnya, mendukung optimisme eksistensial dengan menyatakan bahwa “Kita . . . memiliki tanggung jawab untuk beribadah kepada Tuhan dan mensyukuri nikmat-Nya” (Morris, 1984: 261). Dalam nada yang sama Robert Merrihew Adams menulis, “Orang-orang yang menyembah Tuhan biasanya tidak memuji-Nya karena kebaikan moral dan pertimbangan yang baik-Nya dalam tindakan-Nya untuk mencipta kita. Mereka berterima kasih kepada Tuhan atas keberadaan mereka sebagai pribadi yang sebenarnya tidak layak untuk memperolehnya.” (Adams, 1972: 324, penekanan pada aslinya). Richard Swinburne, bahkan lebih jauh lagi, mengatakan bahwa penyembahan bukan hanya ekspresi yang tepat dari optimisme eksistensial tetapi juga reaksi wajib terhadap Tuhan: “Penyembahan adalah wajib adanya—itu adalah respons yang tepat dari rasa hormat manusia kepada penciptanya” (Swinburne, 1981: 126).

Optimisme eksistensial, sekalipun begitu, bukan hanya klaim bagi para teis. Para ateis pada prinsipnya juga dapat mendukungnya karena klaim itu tidak memerlukan komitmen apa pun terhadap teisme. Dan, kenyataannya, sebagian besar ateis memang mendukungnya.

Ateis sering kali dikarikaturkan sebagai mereka yang bersikap negatif, nihilistik, pesimis, yang berpikir bahwa hidup adalah kesengsaraan dan absurd. Ontologi mereka terbatas pada semesta yang material dan, menurut karikatur yang ada, mereka berpikir bahwa tidak ada hal yang membahagiakan dan bisa disyukuri bagi keberadaan yang fana ini. Tentu kita akan menemukan ateis macam ini. David Benatar, misalnya, berpendapat bahwa untuk menjadi ada selalu merupakan hal yang sangat menyakitkan. Ia menulis:

Meskipun hal-hal baik dalam hidup seseorang membuat hidupnya menjadi lebih baik dibandingkan itu tidak ada sama sekali, seseorang tidak dapat direnggut oleh ketidakhadirannya jika ia tidak ada. Mereka yang tidak pernah ada tidak dapat direnggut dari keberadaannya. Namun, dengan menjadi ada, seseorang menderita rasa sakit yang cukup serius yang tidak mungkin menimpanya jika ia tidak ada.

(BENATAR, 2006: 1)

Dari pengamatannya akan fenomena itu, Benatar menarik  suatu proposisi bahwa adalah selalu salah secara moral untuk berkembang biak dan, karenanya, jumlah yang optimal bagi keberadaan manusia adalah nol. Akan lebih baik, katanya, dengan mempertimbangkan semua faktor itu, jika kepunahan manusia terjadi secepatnya.

Namun, hanya ada sangat sedikit ateis yang sungguh begitu pesimis dan nihilistik. Sejauh yang saya tahu, banyak, jika bukan yang paling banyak, ateis yang berpikir bahwa kita memiliki alasan baik untuk berpikir bahwa dunia pada umumnya baik dan bahwa kita harus bahagia dan bersyukur kalau kita hidup di dalamnya. Ateis dengan optimis mempertahankan bahwa meskipun mereka tidak percaya pada keberadaan Tuhan atau kehidupan setelah kematian, adalah masih rasional bagi mereka untuk bahagia dan bersyukur bahwa mereka masih hidup. Misalnya, Paul Kurtz, seorang filsuf Amerika yang dianggap sebagai bapak humanisme sekuler kontemporer, berpendapat bahwa seseorang dapat memiliki kehidupan yang bahagia dan memuaskan sambil menerima pandangan dunia yang naturalistik (Kurtz, 2006). Dawkins, humanis sekuler terkemuka lainnya, juga mengungkapkan rasa syukurnya karena ia hidup,  perasaan yang muncul ketika ia melihat keindahan alam. Dalam debat 2009 berjudul ‘Atheism is the New Fundamentalism’, yang disponsori oleh Intelligence Squared, dia berkata:

Ketika saya berbaring telentang dan melihat Bima Sakti pada malam yang cerah dan melihat jarak yang sangat jauh dari ruang dan merenungkan bahwa ada juga perbedaan waktu yang sangat besar, ketika saya melihat ke Grand Canyon dan melihat lapisannya yang jauh turun, turun, turun, melalui periode waktu yang tidak dapat dipahami oleh pikiran manusia, saya sangat dipenuhi dengan rasa, hampir serupa dengan penyembahan … itu adalah semacam rasa syukur abstrak bahwa saya hidup untuk mengagumi keajaiban ini. Ketika saya melihat ke bawah mikroskop, perasaan itu adalah perasaan yang sama: Saya bersyukur kalau saya hidup untuk menghargai keajaiban ini.

(DAWKINS, 2009)

Dawkins juga mengatakan hal yang sama dalam kuliahnya ‘The Greatest Show on Earth’, yang disampaikan di Universitas Auckland pada tahun 2010, bahwa “Kita memiliki alasan untuk bersyukur atas keberadaan kita yang sangat tidak mungkin, dan proses evolusi yang-nampak-seperti-hukum yang memungkinkannya. Rasa terima kasih semacam itu tidak membuat kita berhutang kepada, atau ditujukan kepada, siapa pun atau apa pun.” Ateis lainnya, Greta Christina, menulis:

Saya memiliki kesadaran yang kuat kalau saya memiliki hal-hal baik dalam hidup saya yang tidak saya peroleh dari usaha saya. Termasuk, yang paling penting, keberadaan saya. Dan rasanya salah untuk tidak mengungkapkan kesadaran ini dengan cara tertentu. Itu terasa tidak sopan, seakan saya berhak atasnya, atau bahwa saya egois. Saya tidak suka memperlakukan nasib baik saya seolah-olah itu adalah hak saya. Saya pikir rasa syukur atasnya adalah hal yang baik.

(CHRISTINA, 2011)

Tampaknya masuk akal untuk menafsirkan kutipan ini sebagai ekspresi dari optimisme eksistensial. Dawkins dan Christina menyajikan optimisme eksistensial mereka menggunakan terminologi ‘aku’, tetapi, dengan menafsirkannya secara charitable, mereka tidak hanya mengatakan bahwa mereka hanya segelintir orang-orang khusus yang merasa bahagia dan bersyukur masih hidup. Jika itu yang mereka maksudkan, maka pandangan mereka akan menjadi bentuk pesimisme kecuali tentang diri mereka sendiri; optimisme eksistensial adalah pandangan dunia, bukan sekedar pernyataan sederhana bahwa ‘Saya bahagia dan bersyukur masih hidup (tetapi saya tidak tahu tentang orang lain)’. Ateis tidak mengarahkan rasa syukur mereka kepada Tuhan karena, tentu saja, mereka tidak percaya akan keberadaan Tuhan. Sebaliknya, mereka menunjukkan rasa syukur mereka dalam hal betapa indahnya dunia ini dan betapa tidak mungkinnya keberadaan mereka. Apakah ateis dapat mengungkapkan rasa terima kasih atau tidak tanpa mengasumsikan agen apa pun, seperti Tuhan, kepada siapa untuk mengarahkan rasa terima kasih mereka adalah pertanyaan penting tetapi saya tidak membahasnya dalam esai ini.[1] Hal penting yang menjadi tujuan kita di sini adalah soal optimisme eksistensial yang direngkuh dan dianut oleh banyak orang, tidak hanya oleh kaum teis tetapi juga oleh kaum ateis.

  1. Masalah Eksistensial dari Kejahatan Sistemik bagi Teis dan Ateis

Sekarang, mari kita terapkan diskusi kita tentang optimisme eksistensial pada masalah kejahatan sistemik.

Masalah kejahatan sistemik muncul untuk teisme pada awalnya karena sistem biologis, yang menjamin rasa sakit dan penderitaan bagi banyak hewan hidup yang tak terhitung jumlahnya yang berevolusi melalui seleksi alam, tampaknya tidak sesuai dengan keberadaan Tuhan yang mahakuasa dan sempurna secara moral. Masalah tersebut menimbulkan pertanyaan: Mengapa Tuhan menciptakan sistem biologis yang begitu penuh dengan kekerasan, kejam, dan tidak adil yang sifatnya sedemikian rupa jika dia cukup kuat dan baik hati untuk menghindari sistem macam itu? Namun kita juga dapat merumuskan masalah kejahatan sistemik dalam kerangka optimisme eksistensial daripada mengaitkannya dengan perkara Tuhan yang mahakuasa dan sempurna secara moral – sebutlah itu sebagai ‘masalah eksistensial dari kejahatan sistemik’. Pokok permasalahan dapat disajikan sebagai pertanyaan berikut: Mengapa kita harus berpikir bahwa dunia secara keseluruhan baik dan bahwa kita harus bahagia dan bersyukur untuk hidup di dalamnya jika keberadaan kita secara fundamental bergantung pada sistem biologis yang penuh dengan kekerasan, kejam, dan tidak adil yang menjamin rasa sakit dan penderitaan bagi banyak hewan berkesadaran yang tak terhitung jumlahnya?

Apa yang unik tentang masalah eksistensial dari kejahatan sistemik adalah bahwa hal itu tidak merujuk sama sekali kepada Tuhan; masalah itu hanya didasarkan pada konflik yang ada antara kejahatan sistemik dan optimisme eksistensial. Artinya, masalah tersebut menimbulkan tantangan tidak hanya bagi kaum teis tetapi juga bagi kaum ateis yang menganut optimisme eksistensial. Ingat klaim Dawkins bahwa, “Kita memiliki alasan untuk bersyukur atas keberadaan kita yang sangat tidak mungkin, dan proses evolusi yang-nampak-seperti-hukum yang memunculkannya.” Jika “proses evolusioner yang-nampak-seperti-hukum” menjamin rasa sakit dan penderitaan bagi banyak manusia dan hewan berkesadaran lainnya, tampaknya mustahil bagi ateis seperti Dawkins untuk secara konsisten mempertahankan optimisme eksistensial.

Mari kita menganalisis rumusan masalah eksistensial dari kejahatan sistemik dengan lebih rinci. Inti masalahnya adalah ketidakcocokan yang nyata antara dua hal berikut: (i) fakta ilmiah bahwa keberadaan kita pada dasarnya bergantung pada sistem biologis yang penuh dengan kekerasan, kejam dan tidak adil yang menjamin rasa sakit dan penderitaan bagi banyak orang dan hewan berkesadaran lainnya; dan (ii) optimisme eksistensial, yang menyatakan bahwa dunia secara keseluruhan adalah tempat yang baik dan kita harus mensyukuri keberadaan kita di dalamnya. Memegang (ii) sambil membenarkan (i) seperti mengungkapkan kebahagiaan dan rasa syukur kita karena kita hidup dengan penuh senyuman sementara, pada saat yang sama, membenarkan bahwa kita berdiri di atas tumpukan jenazah dari banyak orang dan hewan berkesadaran yang telah mati secara menyakitkan dan menyedihkan, memungkinkan kita untuk bertahan hidup. Kuantitas dan kualitas dari harga yang harus dibayar orang-orang dan hewan-hewan ini untuk kelangsungan hidup kita tampaknya sangat tinggi.

Orang mungkin berpikir bahwa masalah eksistensial dari kejahatan sistemik adalah versi dari ‘paradoks apologi’, yang diperkenalkan oleh Janna Thompson (2003) dalam konteks lain.[2] Thompson merumuskan paradoks ini sebagai tantangan bagi orang-orang yang dengan tulus ingin mengungkapkan permintaan maaf bagi atau penyesalan tentang fakta bahwa ketidakadilan historis, seperti perbudakan dan perampasan penduduk asli, telah terjadi sambil mengakui bahwa kita mendapat keuntungan darinya.

Misalnya, ambil contoh, kakek-nenek Anda bertemu di Polandia selama Perang Dunia II. Misalkan lebih lanjut, mengingat keadaan mereka, mereka tidak akan bertemu seandainya Holocaust tidak terjadi. Ini berarti bahwa, sebagai keturunan mereka, Anda tidak akan ada jika Holocaust tidak terjadi. Artinya, keberadaan Anda secara kausal bergantung pada Holocaust. Pada saat yang sama, Anda berpendapat bahwa Holocaust adalah hal mengerikan yang seharusnya tidak pernah terjadi. Jika Anda seorang pemimpin politik, yang Anda mungkin inginkan bukan hanya mengungkapkan penyesalan, tetapi juga meminta maaf atas ketidakadilan sejarah. Pada saat yang sama, Anda juga ingin menegaskan bahwa Anda senang masih hidup. Namun, mengingat hubungan sebab akibat antara Holocaust dan keberadaan Anda, tampaknya tidak konsisten untuk mempertahankan optimisme eksistensial sambil menyesali atau meminta maaf atas fakta bahwa Holocaust terjadi.

Namun, ada banyak alasan untuk berpikir bahwa masalah eksistensial dari kejahatan sistemik bukanlah versi lainnya dari paradoks apologi. Saya menyampaikan bahwa tantangan yang dimunculkan oleh masalah eksistensial dari kejahatan sistemik lebih mendasar daripada tantangan yang dimunculkan oleh paradoks apologi. Pertama, seperti masalah kejahatan tradisional, paradoks apologi berfokus pada peristiwa sejarah tertentu seperti Holocaust (atau jenis peristiwa sejarah tertentu, seperti genosida) yang dianggap jahat atau salah secara moral, sedangkan masalah eksistensial dari kejahatan sistemik berfokus pada seluruh sistem biologis, seperti seleksi alam, yang dianggap jahat. Tak perlu dijelaskan lebih jauh, sistem biologis lebih mendasar daripada peristiwa sejarah yang terjadi di dalam sistem. Kedua, paradoks apologi berfokus pada hubungan yang cukup kausal antara peristiwa sejarah tertentu dan keberadaan kita, sementara masalah eksistensial dari kejahatan sistemik berfokus pada hubungan yang diperlukan secara nomologis antara sistem biologis dan keberadaan kita. Tak perlu dijelaskan lebih jauh, keniscayaan nomologis lebih kuat dari kecukupan kausal. (Saya akan menjelaskan poin ini secara lebih rinci di bawah.) Ketiga, paradoks apologi berfokus pada ketidakadilan historis yang menjadi tanggung jawab bagi manusia yang bebas, sedangkan masalah eksistensial dari kejahatan sistemik berfokus pada sistem biologis yang bukan menjadi tanggung jawab manusia. Keempat, paradoks apologi berkaitan dengan keberadaan individu tertentu, sedangkan masalah eksistensial dari kejahatan sistemik berkaitan dengan keberadaan dunia dan kemanusiaan secara keseluruhan.

Kita juga dapat melihat bahwa masalah eksistensial kejahatan sistemik lebih mendasar dan lebih kuat daripada paradoks apologi dengan menerapkan solusi dari Thompson bagi paradoks apologi pada masalah eksistensial dari kejahatan sistemik. Thompson menggambarkan ‘solusi terbaiknya’ untuk paradoks apologi sebagai berikut:

Banyak orang merasa tidak nyaman atau bahkan menyesal karena mendapatkan keuntungan dari ketidakadilan bahkan ketika mereka tidak bertanggung jawab untuk itu. Mereka menyesal bahwa hal-hal baik yang mereka miliki ada bagi mereka karena ketidakadilan di masa lalu. Mereka tidak menyesal bahwa mereka memiliki hal-hal ini, tetapi mereka menyesal kalau hal-hal baik itu mereka miliki dengan cara yang seperti itu. Permintaan maaf bisa diartikan sebagai ekspresi penyesalan semacam ini. Jadi itu tidak dipahami, secara tegas, sebagai permintaan maaf atas perbuatan nenek moyang kita atau ekspresi penyesalan atas apa yang telah terjadi. Melainkan merupakan permintaan maaf atas perbuatan pada masa lalu, dan penyesalan yang diungkapkan adalah bahwa kita berhutang atas keberadaan kita dan hal-hal lain yang kita nikmati yang disebabkan ketidakadilan nenek moyang kita. Apa yang kita inginkan adalah untuk dunia yang mungkin di mana keberadaan kita tidak bergantung pada perbuatan-perbuatan ini.

(THOMPSON, 2000: 475, PENEKANAN DITAMBAHKAN PADA KALIMAT TERAKHIR)

Yang Thompson maksudkan adalah hal berikut: kita dapat secara konsisten mengatakan bahwa kita bahagia untuk hidup sambil menyesali atau meminta maaf atas fakta bahwa ketidakadilan historis, yang secara kausal terkait dengan keberadaan kita, terjadi karena adalah koheren untuk berharap kalau seandainya keberadaan kita terwujud oleh tautan kausal lainnya. Poin ini dapat diperjelas dengan menganalisisnya dalam kaitannya dengan dunia yang mungkin. Paradoks apologi didasarkan pada asumsi berikut:

(1) Jika peristiwa sejarah tertentu, katakanlah, Holocaust, tidak terjadi, maka kita tidak akan ada.

Menurut semantik dunia yang mungkin, hal itu tidak memerlukan hal  berikut:

(2) Tidak ada dunia yang mungkin di mana Holocaust tidak terjadi dan kita ada.

Sebaliknya, (1) memerlukan hal berikut:

(3) Di dunia yang mungkin yang paling dekat dengan dunia aktual di mana Holocaust tidak terjadi, kita tidak ada.

Dan ini kompatibel dengan yang berikut:

(4) Ada dunia yang mungkin di mana Holocaust tidak terjadi dan kita ada.

Dunia seperti itu mungkin sangat berbeda dari dunia aktual karena itu bukan dunia yang mungkin yang paling dekat dengan dunia aktual di mana Holocaust tidak terjadi. Tetapi konsistensi dari (1) (dan padanannya (3)) dengan (4) menunjukkan bahwa orang dapat secara koheren berharap bahwa kita telah ada tanpa Holocaust. Jadi, menurut Thompson, apa yang kita lakukan ketika kita berharap Holocaust tidak terjadi sambil memegang optimisme eksistensial adalah mengekspresikan preferensi kita untuk dunia yang digambarkan dalam (4) daripada dunia yang sebenarnya.

Saya percaya, bagaimanapun, bahwa tanggapan Thompson terhadap paradoks apologi tidak berlaku untuk masalah eksistensial kejahatan sistemik dan ini memang menunjukkan kekuatan dari masalah itu.

Masalah eksistensial kejahatan sistemik didasarkan pada asumsi berikut:

(1′) Jika seleksi alam tidak mengatur alam, maka kita tidak akan ada.

Ini tidak mencakup hal-hal berikut:

(2′) Tidak ada dunia yang mungkin di mana seleksi alam tidak mengatur alam dan kita ada.

Sebaliknya, (1′) memerlukan hal berikut:

(3′) Di dunia yang paling dekat dengan dunia aktual di mana seleksi alam tidak mengatur alam, kita tidak ada.

Dan ini kompatibel dengan yang berikut:

(4′) Ada kemungkinan dunia di mana seleksi alam tidak mengatur alam dan kita ada.

Tetapi dunia yang dijelaskan dalam (4′) sangat berbeda dari dunia aktual karena hukum alam di dunia seperti itu berbeda dari yang berlaku di dunia aktual. Mengubah hukum alam jauh lebih radikal dibandingkan dengan, misalnya, menghapus ketidakadilan sejarah tertentu dari dunia aktual. Menginginkan hukum alam yang berbeda adalah sangat mendasar sehingga itu akan merusak optimisme eksistensial, yang menurutnya dunia pada umumnya baik dan kita harus bahagia dan bersyukur untuk hidup di dalamnya. Dunia macam apa yang mana kita hidup tanpa hasil kerja dari seleksi alam? Mungkin dunia itu adalah dunia dimana kita (atau organisme lainnya) adalah makhluk yang secara fisiologis tersusun dari silikon yang diciptakan oleh kecerdasan yang lebih tinggi, atau roh-roh non-materi yang tidak muncul melalui evolusi. Tetapi dengan berharap bahwa dunia seperti itu, alih-alih dunia kita, adalah aktual, dan berharap bahwa kita hidup di dunia seperti itu, berarti kita tidak berpikir bahwa dunia aktual di mana kita hidup sekarang ini baik atau bahwa kita bahagia dan bersyukur untuk hidup di dalamnya.


[1] Lihat, misalnya, Bishop (2010), Colledge (2013) dan Lacewing (2015).

[2] Menurut Neil Levy (2002), paradoks apologi itu sendiri adalah versi dari apa yang disebut sebagai masalah non-identitas yang awalnya diperkenalkan oleh Derek Parfit (1984).


Referensi

Adams, Robert Merrehew. 1972. “Must God Create the Best?” Philosophical Review 81: 317-32.

Benatar, David. 2006. Better Never to Have Been: The Harm of Coming into Existence. Oxford: Clarendon Press.

Bishop, John. 2010. “Secular Spirituality and the Logic of Giving Thanks,” Sophia 49: 523-34.

Christina, Greta. 2011. “Intransitive Gratitude: Feeling Thankful in a Godless World,” http://freethoughtblogs.com/greta/2011/11/28/intransitive-gratitude-feeling-thankfulin-a-godless-world/.

Colledge, Richard J. 2013. “Secular Spirituality and the Hermaneutics of Ontological Gratitude,” Sophia 52: 27-43.

Dawkins, Richard. (2009). “Atheism is the New Fundamentalism.” Debate sponsored by Intelligence Squared at Wellington College on November 29. https://www.youtube.com/watch?v=I5PPIOuTBFM

Lacewing, Michael. forthcoming. “Can Non-Theists Appropriately Feel Existential Gratitude?” Religious Studies.

Levy, Neil. 2002. “The Apology Paradox and the Non-Identity Problem,” Philosophical Quarterly 52: 358-68.

Morris, Thomas V. 1984. “Duty and Divine Goodness,” American Philosophical Quarterly 21: 261-68.

Swinburne, Richard. 1981. Faith and Reason. Oxford: Clarendon Press.

Thompson, Janna. 2003. “The Apology Paradox,” Philosophical Quarterly 50: 470-75.

Bacaan Lainnya