Apakah indra kita memberikan ide yang akurat tentang bagaimana dunia ini sebenarnya? Setiap hari kita menemui banyak data tentang dunia: suara, bau, bentuk, corak, tekstur. Tetapi apakah informasi indrawi yang kita punya itu sama dengan gambaran realitas—dalam arti merupakan ide tentang segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya?
Memahami dunia di sekitar kita secara tepat dan akurat pasti akan menguntungkan dalam hal seleksi alam. Kita dapat memahami mengapa manusia dan spesies lain telah mengembangkan alat indra yang tajam melalui proses evolusi. Kita dapat memikirkan rusa yang dapat mendeteksi musuhnya dalam jarak bermil-mil dengan indra penciuman yang tajam, sehingga bisa menghindari kematian yang menyedihkan; atau manusia, yang setelah mengenali jamur biru pada apel busuk, memutuskan untuk makan makanan yang lebih enak dan tidak beracun.
Lebih dari 90% spesies hewan memiliki pemrosesan visual terhadap beberapa hal. Mata pembentuk gambar sederhana yang pertama telah berkembang antara 500 dan 350 juta tahun yang lalu pada sejenis siput laut. Sebelumnya, kehidupan itu buta. Tetapi daya lihat sebagai sebuah sifat itu soal tingkatan: ini bukan soal memiliki atau tidak memiliki daya penglihatan. Manusia, misalnya. Daya penglihatan kita biasanya tiga warna (trichromatic). Hal itu berarti bahwa retina kita cenderung untuk memproses tiga jenis sel yang bisa menerima warna, yang masing-masing untuk cahaya gelombang panjang berwarna biru, hijau, dan merah. Orang yang hanya memiliki dua jenis sel warna akan mengalami ‘buta warna’. Mereka tidak bisa membedakan antara, misalnya, warna biru dan hijau.
Sekarang coba perhatikan capung. Selain mampu mendeteksi cahaya gelombang panjang berwarna biru, hijau, dan merah, capung juga bisa memersepsi cahaya yang di luar batas kemampuan visual manusia, termasuk cahaya ultraviolet dan cahaya yang terpolarisasi karena dipantulkan oleh air. Beberapa ilmuwan telah menggambarkan capung sebagai makhluk ultra-HD karena memiliki ommatidia (sisi mata serangga yang merupakan unit fotoreseptor individual) lebih dari 30,000. Persepsi capung terhadap kepingan gambar yang sebagian tumpang-tindih juga memungkinkan ia untuk melihat dalam berbagai arah pada saat yang bersamaan.
Manusia mungkin memang memiliki hal yang lebih berharga dibandingkan siput kebun, yang tidak dapat memersepsi warna sama sekali atau memfokuskan penglihatannya; tetapi pada saat yang sama, apakah kita persepsi kita yang relatif sempit terhadap spektrum cahaya itu kurang sempurna dibandingkan capung? Dengan kemampuan mendeteksi cahaya yang superior itu, apakah capung memiliki pandangan yang lebih realistik tentang dunia?
Locke yang Terkunci
John Locke (1632-1704) skeptis terhadap pandangan bahwa warna ada di luar sana di dunia, inheren di dalam objek fisikal itu sendiri. Menurut filsafat persepsinya, apa yang kita persepsi secara langsung di dalam pengalamaan itu bukanlah objek itu sendiri, melainkan ’salinan’ dari objek fisikal yang ada di dalam pikiran kita—apa yang sekarang kita sebut sebagai ‘data indrawi’. Apa yang disebut kualitas indrawi ‘sekunder’ yang kita persepsi itu adalah aspek dari persepsi kita dan bukan merupakan objek yang independen dari persepsi kita. Jadi, sifat merah dari apel itu bukan sifat apel itu sendiri, melainkan hanya sifat dari gambaran apel yang ada di dalam pikiran kita.
Locke dengan agak problematis menegaskan bahwa data indrawi kita ‘menyerupai’ objek fisikal yang darinya data indrawi itu berasal. Pandangan ini problematik karena, menurut penjelasannya, kita hanya bisa memersepsi data indrawi, bukan objek fisikal itu sendiri. Tetapi bagaimana bisa dia mengklaim bahwa satu hal menyerupai hal lainnya jika dia hanya pernah melihat salah satunya? Ini mirip dengan menyatakan “Oh ya, Steve benar-benar mirip pamannya” tanpa pernah sekalipun melihat paman Steve. Menegaskan keserupaan tanpa mengenali kedua hal yang dibandingkan itu tidak masuk akal.
Ada masalah lain terkait teori Locke. Masalah ini lagi-lagi terkait pernyataannya bahwa kita hanya bisa memersepsi kualitas yang menyerupai objek dan bukan objek fisikal yang eksternal itu sendiri. Skeptisisme tidak hanya tentang alam, tetapi juga tentang keberadaan dunia eksternal yang tampak tidak jelas jika kita tidak dapat melihat melampaui selubung data indrawi. Jika kita hanya pernah memersepsi representasi, bagaimana bisa kita mengetahui bahwa dunia objek fisikal yang independen dari pikiran itu terletak di luar selubung data indrawi? Jawaban Locke adalah bahwa kesesuaian di antara indra kita itu menunjukkan bahwa dunia eksternal itu terletak di luar indra. Misalnya, ketika menilai sebuah objek itu ‘halus’ setelah melihat sekilas objek tersebut, kita dapat menggunakan indra peraba kita untuk menguatkan bukti yang telah diberikan oleh mata. Dukungan lain terhadap pandangan bahwa ada dunia fisikal yang eksternal dapat diperoleh melalui kesamaan pengalaman di antara satu manusia dengan manusia lainnya yang dapat dikomunikasikan melalui bahasa dan perilaku yang sama.
Revolusi Kopernikan versi Kant
Namun barangkali kita salah memikirkan hubungan dunia dengan pikiran, jika kita beranggapan bahwa kita harus berusaha menyesuaikan pemahaman kita dengan dunia. Immanuel Kant (1724-1804) membantah pandangan tersebut. Menurutnya, dunia yang harus menyesuaikan dengan pikiran manusia. Jika klaim ini tampak aneh, kita harus mundur ke belakang dan mencari tahu dari mana penalaran ini berasal.
Kopernikus (1473-1543) menemukan bahwa sistem tata surya itu bersifat heliosentris atau berpusat pada Matahari dan tidak, sebagaimana diterima sebelumnya, bersifat geosentris atau berpusat pada Bumi. Bagi orang Eropa yang hidup di abad ke-16, yang terikat pada doktrin Gereja bahwa pusat semesta adalah Bumi, pandangan heliosentris itu tentu akan menimbulkan kontroversi. Revolusi Kopernikan tidak hanya menentang ortodoksi yang ada di dalam sains, tetapi juga yang di dalam agama.
Kant, dengan menggunakan nama yang sama, merumuskan sendiri versi ‘Revolusi Kopernikan’-nya; meskipun perhatiannya adalah hubungan antara dunia eksternal dan pikiran manusia daripada hubungan antara Bumi dan Matahari. Dia menyejajarkan revolusinya dengan revolusi Kopernikus karena, baginya, bukan dunia eksternal (Bumi dalam revolusi Kopernikus) yang menjadi pusat di dalam filsafat persepsinya, melainkan pikiran orang yang memersepsi (Matahari dalam revolusi Kopernikus). Kant menentang pikiran yang hanya menyesuaikan dengan dunia eksternal, dan menyatakan bahwa dunia juga harus menyesuaikan dirinya dengan pikiran yang memersepsinya. Di dalam memersepsi dunia, orang-orang memasukkan sifat dasar tertentu pada data mentah yang dihasilkan oleh organ indra mereka karena struktur bawaan pikiran manusia. Dengan kata lain, pengalaman perseptual kita dibentuk oleh susunan kognitif kita, dan apa pun yang eksternal bagi kita harus menyesuaikan pada susunan ini agar bisa terpersepsi. Sayangnya ini berarti bahwa seperti apa objek eksternal itu di dalam dirinya tidak pernah dapat diketahui.
Teorema Kant mensyaratkan bahwa konsep (yang dia sebut ‘kategori’) seperti waktu itu merupakan aspek bawaan dari cara pikiran menyusun informasi yang bertentangan dengan sifat objektif dunia. Kita mungkin mengatakan, waktu itu inheren di dalam subjek daripada di dalam objek. Bayangkan seorang manusia yang melihat seekor capung berputar-putar dengan cepat di masa lalu. Manusia memersepsi serangga sebagai makhluk yang bergerak dengan kecepatan tertentu; tetapi persepsi spesies lain itu berbeda. Bagi kura-kura, misalnya, serangga akan kelihatan bergerak dengan kecepatan nyaris dua kali lipat daripada yang dipersepsi oleh manusia; bagi banyak spesies lain yang terbang, serangga itu bergerak sepuluh kali lipat lebih lambat dibandingkan bagi persepsi manusia. Semisal, otak menerima gambar dari mata beberapa kali tiap detik; otak manusia akan menerima rata-rata 24 gambar tiap detik, kura-kura 15 gambar, dan lalat 250 gambar. Gagasan ini berguna untuk menggambarkan pandangan Kant tentang subjektivitas waktu, dan juga berguna untuk menjelaskan mengapa jika kamu mencoba menepuk lalat kamu tidak mungkin berhasil.
Teka-teki lain terkait apakah gambaran perseptual kita tentang dunia itu akurat muncul dari proses fisikal yang ada dalam persepsi. Semisal, cahaya memerlukan waktu kira-kira 8 menit 20 detik untuk melintas dari Matahari ke Bumi. Ini berarti bahwa jika Matahari mendadak hilang, kita masih dapat melanjutkan kehidupan dengan ketidaktahuan yang penuh kegembiraan selama lebih dari 8 menit sampai ada kabar buruk tentang hilangnya matahari yang menggelapkan kehidupan. Tetapi bukan hanya ada jeda waktu antara cahaya matahari yang menjangkau Bumi, tetapi juga ada jeda waktu di dalam persepsi kita sehari-hari, karena otak memerlukan waktu untuk memproses informasi yang datang dari indra kita dan menciptakan pengalaman bagi pikiran. Ini berarti bahwa kita bahkan setiap hari memersepsi sesuatu bukan sebagaimana ia kini ada melainkan sebagaimana ia telah ada seperseribu detik yang lalu.
Kita mungkin tidak terlalu peduli dengan penyingkapan ini. Apakah ini secara substansial meruntuhkan pandangan bahwa kita memersepsi dunia sebagaimana adanya? Yah, mungkin seperseribu detik kemudian hanya ada sedikit penyimpangan dan kita masih mungkin memersepsi secara langsung dunia objek fisikal yang eksternal—hanya dengan sedikit tertunda. Namun, beberapa implikasi menarik bagi kehidupan di luar bumi (ekstraterrestrial) bisa jadi lebih mengerikan. Kita mungkin hanyalah salah satu dari ratusan peradaban maju di galaksi ini. Sayangnya, ruang angkasa yang menjadi tempat planet itu ada sangat luas, sehingga jarak rata-rata antara dua peradaban tidak mungkin kurang dari dua ratus tahun kecepatan cahaya. Jika makhluk di luar bumi telah mengembangkan teleskop yang cukup canggih untuk melihat kita, maka mereka meyaksikan cahaya yang telah meninggalkan Bumi setidaknya dua ratus tahun yang lalu. Jadi, mereka tidak melihat aku dan kamu, tetapi mengamati George Stephenson menemukan mesin uap, Kerajaan Meksiko Pertama mendeklarasikan kemerdekaannya dari penjajahan Spayol, dan penduduk dunia yang baru mencapai satu miliyar. Selain itu, alien mungkin memiliki fakultas persepsi yang berbeda sama sekali…
Bagaimana Rasanya Menjadi Manusia?
Di dalam artikelnya yang berjudul ‘Bagaimana Rasanya Menjadi Kelelawar?’ (1974) Thomas Nagel menyatakan bahwa penjelasan biologis yang lengkap terhadap kehidupan kelelawar, mulai dari soal penggunaan sonarnya, caranya terbang, hingga kebiasaanya menggantung terbalik di gua-gua, tidak akan cukup bagi kita manusia untuk memahami pengalaman subjektif seekor kelelawar. Kita mungkin mencoba untuk membayangkan seperti apa rasanya menjadi kelelawar, tetapi kita akan gagal melakukan itu karena kita tetap menggunakan pikiran manusia daripada pikiran kelelawar untuk membayangkannya.
Kita juga mungkin akan gagal saat berusaha memahami bagaimana rasanya jadi capung. Persepsi itu bersifat subjektif dan karenanya sifat fisikal yang teramati dari organisme yang terlibat tidak dapat dipahami. Ini berlaku untuk kelelawar, capung, dan alien. Jadi, jika ingin menganalisis kesadaran secara objektif itu bisa jadi juga sia-sia oleh karena subjektivitas kesadaran. Pencarian kita terhadap pemahaman itu terlalu manusiawi.
Jadi jika Kant benar di dalam Revolusi Kopernikan-nya dan pikiran adalah dasar bagi bagaimana dunia ini tampak, maka kita mungkin meninggalkan tugas yang melelahkan, yaitu berusaha mati-matian memahami dunia yang ada di dalam dirinya, dan menerima kenyataan yang pada dasarnya adalah manusia. Hal ini tidak perlu menjadi realisasi yang gagal. Kita mungkin perlu untuk menerima bahwa dunia yang kita ketahui itu diatur oleh struktur pikiran manusia; tetapi ketakjuban demi ketakjuban masih dapat ditemukan saat merenungkan bagaimana kita sendiri dan juga makhluk lain yang menempati semesta kita memersepsi dunia.
*Diterjemahkan dari “What is it Like to be a Dragonfly?” karya Benedict O’Connell yang terbit di Philosophy Now edisi 131