Agama, Sains, dan Korona: Masalahnya di Mana?

Tulisan Direktur Antinomi Institute Risalatul Hukmi berjudul Tuhan di Sisa-sisa Wabah: Antara Korona, Sains, dan Agama (24/3) sebenarnya tidak perlu nggaya dengan mengutip Gould, Russell, Barbour, dan Dawkins segala, karena tidak benar-benar relevan. Sebelum meloncat membawa topik ini ke wacana hubungan antara agama dan sains, tulisan si Hukmi itu mengandaikan dua hal yang ia kira bisa diterima begitu saja, padahal tidak.

Pertama, tidak jelas, setidaknya dalam tulisan itu, di mana masalah riil pertentangan agama dan sains dalam persebaran wabah Covid-19Kedua, ketika menyebut agama dan sains, juga tak jelas rujukannya: apakah agama di situ mengacu pada satu tafsir keagamaan atau perilaku sebagian umat beragama; dan apakah sains di situ mengacu secara ketat hanya pada pembacaan terhadap data dari alam, atau melebar dengan juga mencakup sikap etis yang seharusnya diambil dalam menyikapi bacaan itu.

Jangan-jangan pertentangan itu hanya ada dalam imajinasi Hukmi, tapi riilnya tidak ada. Begini bila kita mau menguraikannya.

Sebagai pembacaan terhadap dunia material, sains mengatakan bahwa virus korona masuk melalui pernapasan dan merusak paru-paru. Tidak ada (ajaran) agama yang menentangnya. Sains mengatakan virus korona menyebar melalui kontak dengan orang yang positif Covid-19 dan akan teramplifikasi potensi persebarannya melalui kerumunan orang. Tidak ada (ajaran) agama yang menentangnya. Tidak ada klaim ekplisit di kitab-kitab suci sumber ajaran agama yang menentang itu. Satu contoh yang bisa disebut pertentangan itu ialah, misalnya, sains menyebut bumi ini bulat, tapi ada tafsir keagamaan yang menyebut bumi ini datar—nah, ini baru bisa disebut pertentangan, dan dalam kasus demikian mengutip Barbour, Russell, atau Dakwins bisa relevan. Tapi model pertentangan macam ini tidak ada dalam isu wabah Covid-19.

Pertentangan yang ada (dan ini yang tampaknya diandaikan oleh si Hukmi sebagai pertentangan antara agama dan sains) ialah kenyataan sebagian umat beragama yang tahu bahwa virus korona menyebar melalui kerumunan orang tapi tetap saja mereka bersikukuh menyelenggarakan acara perkumpulan orang banyak, dengan alasan bahwa kematian ada dalam kekuasaan Tuhan, bukan Covid-19.

Kenyataan itu tidak bisa dibaca sebagai pertentangan antara agama dan sains. Itu adalah kenyataan pertentangan antara satu tafsir keagamaan dan ‘sikap etis saintifik’, dengan syarat physical distancing valid disebut sebagai sikap etis dengan tambahan adjektif ‘saintifik’, yang tentu juga harus mengasumsikan bahwa pembacaan sains dalam dirinya inheren mengandung nilai etis. [Perhatikan berbagai qualifier yang saya berikan dalam uraian ini, agar tidak terjerumus dalam falasi.]

Karena hanya satu tafsir saja, ia tidak bisa disebut mewakili agama—dengan syarat bahwa agama di sini merujuk pada umat beragama (yang sebenarnya merupakan perujukan yang bermasalah).

Pun bahkan jika kita mengikuti alur pikir “agama = umat beragama”, dan lebih khusus lagi Islam (karena di bidang ini saya lumayan tahu), sebagian besar pemimpin Muslim saat ini menganjurkan untuk melakukan physical distancing itu, atau dengan kata lain mengikuti himbauan dari apa yang di atas kita sebut dengan ‘sikap etis saintifik’ (sekali lagi jika istilah ini valid).

Anjuran physical distancing itu (bahkan disertai dengan himbauan untuk sementara tidak salat berjemaah di masjid, termasuk Jumatan) muncul merentang dari Al-Azhar, Arab Saudi (yang menutup Masjidil Haram), hingga MUI. Anjuran ini muncul dari beragam kelompok, dari yang kerap disebut moderat, hingga konservatif, hatta tokoh pendukung khilafah. Sikap yang umum muncul dari tokoh-tokoh Muslim saat ini ialah “ikhtiar dan tawakal”, bukan tawakal saja. Sebagaimana tawakal adalah perintah Tuhan, ikhtiar juga perintah Tuhan. Simpel, saya kira.

Ironisnya, sikap melawan terhadap himbauan untuk physical distancing itu malah muncul dari tokoh yang kerap digolongkan ke dalam kelompok moderat. Tapi tetap, yang terakhir ini bukan suara mayoritas pemimpin umat beragama Islam, dan dengan demikian menjadikannya sebagai representasi agama (Islam) adalah bentuk overgeneralisasi, yang mana bukan merukapan sikap saintifik (dalam pengertian yang sebenarnya), tapi ironisnya diadopsi oleh beberapa orang yang mendaku dirinya mengampanyekan kebenaran sains.

Pun bahkan jika kita mau mengatribusikan tafsir keagamaan yang membuat orang bersikeras berkumpul di tengah pandemi itu pada agama itu sendiri, maka gerakan organisasi keagamaan arus utama yang menganjurkan untuk mematuhi dokter, bahkan bergerak nyata hingga ke tingkat kampung-kampung untuk menyadarkan masyarakat akan bahaya virus korona serta melakukan penyemprotan disinfektan di tempat-tempat publik, juga mesti diatribusikan pada agama. Di sini tantangannya adalah memberikan penisbahan yang fair, yang juga merupakan sikap saintifik.

Demikianlah. Untuk mengingatkan kembali, jika mau diperas dalam satu kalimat yang padat, pertentangan yang terjadi adalah: antara perilaku sebagian umat beragama yang didasari satu tafsir keagamaan (yang tidak merepresentasikan pandangan mayoritas) dengan nilai etis yang diandaikan oleh Hukmi sebagai sikap sains. 

Sampai di sini saja saya berharap inti tulisan ini sudah cukup jelas, dan tidak perlu berpanjang lebar. Di masa krisis ini, kita sebaiknya memperbanyak tertawa dan bercinta, untuk menjaga imun tubuh, bukannya malah berpolemik. Boleh jadi, anjuran untuk tertawa dan bercinta ini malah lebih ‘etis-saintifik’ ketimbang perilaku sebagian pengikut saintisme yang suka mengajak berpolemik, di tengah-tengah pandemi lagi. Astaghfirullah, orang kok kayak gitu. Hih!

*Artikel ini dimuat atas seizin dari penulis. Sumber asli: https://contingentbeing.wordpress.com

Sumber gambar: www.usnews.com

Bacaan Lainnya