Semacam ada keengganan, jika bukan malah penghinaan, kala manusia disamakan dengan spesies lainnya. Kecerdasan adalah satu-satunya hal yang selalu dianggap unik dan sekaligus menjadi pembeda di antara manusia dan spesies lainnya. Pada manusia, kecerdasan dipahami sebagai bentuk kesadaran dalam tindak dan perilaku, sedang spesies lain seperti hewan dan tumbuhan dianggap tidak memiliki kesadaran[1] dalam tindak dan perilaku mereka, semua yang dilakukan hanya dianggap sebagai instingtif semata, yakni pemahaman bahwa hewan dan tumbuhan hanya bisa bereaksi tanpa kesadaran. Penalarannya bahwa kesadaran hanya dimiliki oleh spesies yang miliki otak yang kompleks, dan menolak tumbuhan sebagai spesies yang memiliki kesadaran, sebagaimana yang dipahami oleh ilmu neurosains.
Ungkapan semacam itu mungkin sangat wajar untuk ditemukan dan didengar. Akan tetapi, hal itu memicu timbulnya berbagai pemahaman yang keliru atas manusia dan spesies lain, bahkan dengan tumbuhan yang sering dinafikkan keberadaannya. Pertanyaan yang sangat wajar untuk diajukan adalah, mengapa demikian? Upaya untuk memisahkan dan memberi batas garis tegas antara manusia dan spesies lain hanya berdasar pada bentuk kecerdasan merupakan keputusan yang amat terburu-buru, sebab beberapa temuan studi lanjut mengungkapkan bahwa beberapa spesies menunjukkan berbagai tindakan dan perilaku yang tergolong kreatif. Upaya kreatif tersebut tentu sudah menggugurkan klaim bahwa kesadaran hanya dimiliki oleh spesies manusia, sebab upaya kreatif bergaris lurus dengan keberadaan kecerdasan, sebagaimana halnya perilaku adaptif[2].
Kecerdasan sebagai Bentuk Kemampuan
Barangkali, Aristotle dahulu, pada pemahaman tentang spesies yang masih sangat muda, sempat mengungkapkan bahwa manusia sebagai hewan yang mampu berpikir rasional. Akan tetapi, terlalu keliru untuk menerima pemahaman seperti itu sekarang ini, khususnya dalam ilmu hayati, klaim Aristotle tidak terbukti, dan bahkan terbantahkan. Kecerdasan bukanlah kemampuan yang unik yang hanya dimiliki oleh manusia, melainkan juga dapat ditemui pada mamalia, reptil, aves, fungi, dan spesies lainnya. Setiap spesies memiliki kecerdasannya masing-masing, atau yang mungkin dapat dipahami secara sederhana sebagai kemampuan untuk berpikir dan bertindak. Mengutip salah satu klaim Marchesi[3] tentang konsep universalitas antar spesies, bahwa setiap spesies dan makhluk hidup memiliki sensivitas dan kecakapan tersendiri untuk merasakan dan menghindari rasa sakit, mempelajari dan merepetisi tindakan yang dapat memberikan rasa menyenangkan, dan kecapakan-kecapakan lainnya.
Bahkan, argumentasi lain, klaim bahwa manusia seutuhnya spesial karena faktor kecerdasan (unik) yang dimiliki, sangat sulit untuk dipertahankan, sebab dalam studi lanjut mengungkapkan bahwa sekelas tumbuhan yang seringkali diabaikan oleh manusia, juga memiliki kecerdasannya sendiri[4]. Semisal tanaman rumput teki. Rumput teki sewaktu dipangkas akan mengeluarkan bau khas, yang memiliki fungsi: 1) sebagai bentuk pertahanan diri dengan memformulasikan sel-sel baru di bagian yang terluka agar tidak menyebabkan infeksi; 2) memberitahu tanaman di sekitar bahwa ada sesuatu yang dapat menjadi sebuah ancaman bagi kehidupan tanaman lain.
Atas temuan tentang rumput teki seperti di atas, apakah kemampuan tumbuhan untuk mempelajari dan bertindak bukan termasuk sebagai kategori kecerdasan yang manusia pahami? Pemahaman spesies lain selain manusia yang tidak dimungkinkan untuk memiliki kecerdasan boleh jadi sangat keliru, terlebih bila memakai sudut pandang zoosentris. Pada zoosentris[5] jelas dipahami bahwa hewan dan tumbuhan termasuk dalam kategori kelas sentient atau kategori makhluk yang memiliki kesadaran untuk merasakan, sedang manusia diberikan tempat yang berbeda yakni kategori sapient atau kategori makhluk yang memiliki kesadaran untuk berpikir. Definisi berpikir yang dimaksudkan adalah merujuk pada upaya kreatif di luar dari pemenuhan dasar.
Akan tetapi, pada posisi ini, peneliti memiliki ketidaksetujuan terhadap pemahaman dan pemisahan yang disebutkan dalam pandangan zoosentrisme. Ketidaksetujuan tersebut didasarkan pada tesis bahwa setiap spesies memiliki kesadarannya sendiri-sendiri, akan tetapi keliru bila memaknai bahwa hewan dan tumbuhan hanya dianggap mampu memiliki kecerdasan merasakan. Pada studi beberapa spesies hewan ditemukan beberapa pemahaman dan tingkah laku yang menunjukkan upaya kreatif di luar pemenuhan dasar. Semisal pada beberapa spesies semut dan tanaman Pisonia.
- Beberapa spesies semut diketahui memiliki pemahaman dan kemampuan di bidang agrikultur sederhana dengan melakukan proses domestifikasi jamur dan beberapa serangga lain, yakni Aphids dan Mealybugs[6]. Selain bentuk agrikultur sederhana, semut diketahui memiliki pengetahuan untuk menggunakan pestisida alami yang ditujukan untuk membunuh hama yang menyerang pertanian jamur miliknya[7]. Pestisida tersebut merupakan cairan kimiawi yang dihasilkan secara alami dalam tubuh semut. Secara keseluruhan, spesies semut juga diketahui memiliki pengetahuan mengenai pembangunan toilet dan tempat pembuangan sampah yang terpisah dari tempat tinggal mereka, dan mengenai pembangunan ventilasi udara yang ditujukan untuk membuang emisi gas yang dihasilkan dari pertanian jamur yang dibuat khusus di bawah tanah[8].
- Tanaman Pisonia memiliki buah berbentuk biji berukuran panjang. Biji tersebut memiliki lapisan getah tipis yang sangat lengket sebagaimana layaknya lem perekat[9]. Tentu saja, serangga-serangga awam yang memutuskan untuk rehat sejenak di dekat biji tersebut akan menghadapi nasib yang naas dan terjebak pada lapisan getah lengket yang ada. Di saat yang bersamaan, serangga-serangga yang telah terjebak menjadi umpan hidup bagi burung-burung di sekitar tanaman Pisonia[10]. Bagi burung-burung awam, tentu saja nasibnya tiada beda dengan sang serangga, lapisan getah lengket tersebut akan melingkupi beberapa bagian tubuh sang burung dan menyebabkan burung kesulitan untuk bergerak atau terbang. Dapat untuk dipastikan, bahwa burung tersebut akan terjebak di sekitar tanaman Pisonia berada. Dari studi yang dilakukan, dengan terjebaknya burung-burung di dekat tanaman Pisonia, membuat tanaman Pisonia mendapatkan keuntungan besar. Keuntungan pertama, melalui hasil sekresi burung yang terjebak, tanaman Pisonia akan mendapat sebagian nutrisi alami[11]. Keuntungan kedua, jika burung tersebut mati, maka tanaman Pisonia akan mendapatkan nutrisi yang melimpah dari bangkai sang burung[12]. Keuntungan ketiga, bagi burung yang terjebak namun sempat berhasil bergerak menjauhi tanaman Pisonia, kelak tanaman-tanaman Pisonia baru dimungkinkan untuk tumbuh di tempat yang berbeda dari indukannya, tergantung pada di mana burung yang terjebak tadi mati dan menjadi bangkai[13].
Tentu dari dua studi atas kasus hewan dan tumbuhan di atas, membuktikan bahwa beberapa spesies hewan dan tumbuhan memiliki kecerdasan yang mungkin tergolong sama seperti manusia, yakni pemahaman dan tingkah laku yang menunjukkan upaya kreatif di luar pemenuhan dasar. Pada kasus tanaman Pisonia, meski tumbuhan tersebut bukan tergolong sebagai karnivora, namun tanaman Pisonia mampu membuktikan bahwa di luar dari proses pemenuhan dasarnya yakni memperoleh makanan melalui fotosintesis, tumbuhan Pisonia dapat memahami dan melakukan tindakan yang dapat memberikan kontribusi besar dalam kehidupan spesiesnya dengan berperan aktif dalam alam. Pada posisi ini, peneliti meyakini yang dapat dipertahankan adalah tesis bahwa setiap spesies memiliki kecerdasannya sendiri, namun kecerdasan tersebut terbagi dalam kedalamnnya masing-masing. Pemisahan atas kemampuan untuk merasakan dan kemampuan untuk berpikir terbantahkan melalui dua studi kasus di atas.
Kecerdasan sebagai Bentuk Aspek Spiritualitas
Argumentasi lain yang umum untuk diungkapkan adalah bahwa manusia menjadi spesial karena tidak ditemukannya aspek spiritualitas pada spesies lain. Aspek spiritualitas yang dimaksud merujuk pada sebuah keyakinan akan suatu kekuatan eksternal yang memiliki peran terhadap kehidupan suatu spesies. Sebagaimana yang tertera dalam sajak-sajak kitab, bahwa manusia merupakan makhluk yang tercipta sesuai gambaran yang Mahaghaib. Bila berkaca pada aspek spritual manusia masa sekarang, dalam kehidupan spesies lain, tentu tidak mungkin ditemukan, oleh sebab sudah terlampau kompleksnya perkembangan aspek spiritual yang telah manusia lalui. Plato pernah mengungkapkan kritiknya dalam anekdot tentang Thales, bahwa Thales, sebagai manusia, teramat sibuk berusaha mempelajari bintang-bintang di angkasa sampai tidak melihat tanah yang dipijakinya dan hal-hal lain yang ada di sekitarnya, sehingga membuatnya terjatuh pada sumur.
Dari penalaran atas anekdot tersebut, jika manusia hanya berusaha melihat apa yang di atas dan mengabaikan apa yang ada dan dekat di sekitarnya, manusia mungkin tidak pernah mampu untuk menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini manusia ajukan, yakni tentang keunikan manusia sebagai spesies[14]. Kemudian, dengan menggunakan anekdot tersebut, peneliti berupaya untuk mematahkan tesis keunikan manusia terhadap spesies lain melalui bentuk aspek spiritualitas, dengan apa yang mungkin terlewat dari perhatian manusia, sebagaimana anekdot tadi. Peneliti akan coba untuk mengajukan tesis lain dengan menggunakan satu studi kasus yang telah dilakukan, yakni mengenai pemahaman dan tingkah laku simpanse, khususnya di daerah Afrika Barat[15] dan sebagian Afrika Timur.
Umum diketahui bahwa simpanse yang tergolong sebagai kera besar[16] dan kera lain secara umum memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menggunakan batu sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, semisal seperti upaya untuk memecahkan biji-bijian yang nampak pada spesies Kera Kapusin Brazil dan Kera Ekor Panjang Thailand[17]. Akan tetapi pada kasus tertentu, kawanan simpanse di Afrika Barat memperlihatkan bentuk tindakan lain dalam menggunakan batu. Kawanan simpanse tersebut terlihat memukul-mukul dan melempar bebatuan pada suatu pohon tertentu yang memiliki rongga alami di tengahnya, sehingga menyebabkan menumpuknya bebatuan di rongga pohon tersebut[18]. Secara sederhana dapat ditanyakan, untuk apa simpanse tersebut berusaha melempar dan menumpuk batuan di pohon, bila tidak ditujukan selain dari upaya memenuhi kebutuhan dasar mereka? Apa yang ingin mereka capai dengan perilaku tersebut?
Meninjau dari pola perilaku manusia, batuan memiliki arti dan peran khusus dalam peradaban manusia, seperti membuat bangunan semisal tempat pemujaan dan pekuburan[19]. Upaya menumpuk batu, bagi peradaban manusia adalah hal yang sangat dasar bagi peletakkan fondasi kepercayaan, sebagaimana yang tercatat pada perilaku masyarakat asli Afrika Barat, yakni ritual mereka untuk mengumpulkan batuan pada pohon yang dianggap keramat[20]. Indikasi yang sangat mungkin adalah bahwa tumpukan batuan yang berada di pohon merupakan tempat pemujaan sederhana oleh para kawanan simpanse[21]. Indikasi tersebut diperkuat oleh adanya repetisi perilaku yang dilakukan oleh kawanan simpanse dengan terus menumpuk bebatuan pada beberapa pohon memiliki rongga di dalamnya. Upaya repetisi hanya dimungkinkan pada sesuatu hal yang memberikan umpan balik baik bagi suatu spesies. Jika asumsi tujuannya bukan terletak pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar yakni makanan, maka jelas upaya repetisi tersebut dapat membuka kemungkinan untuk dipahami sebagai bentuk ritus sederhana yang dilakukan oleh kawanan simpanse tersebut. Selain ritus sederhana menumpuk batuan pada pohon berongga tersebut atau yang mungkin dapat dipahami sebagai upaya membangun kuil sederhana, beberapa observasi yang dilakukan di Afrika Barat dan di sebagian Afrika Timur juga menemukan indikasi ritus sederhana lain, yakni tarian khusus terhadap hujan dan api.
Kawanan simpanse yang memiliki ritus sederhana berupa tarian sewaktu hujan turun. Observasi tersebut menemukan bahwa simpanse memiliki pola tarian yang ditujukan kepada hujan meliputi: 1) ketika petir menyambar di langit, simpanse pejantan akan berdiri dan begerak secara berirama dari kaki ke kaki, yang diikuti dengan duduk terdiam beberapa waktu; 2) dua simpanse pejantan lain akan berusaha menyusul simpanse tersebut dengan berlari[22] dan membawa ranting besar, menyeret ranting tersebut ke tanah dan kemudian di lempar ke arah depan; 3) empat simpanse penjantan lain akan menyusul, dan berdiam diri di antara cabang rendah pohon di dekat simpanse pertama tersebut; 4) tiga simpanse pejantan lain dan beberapa simpanse betina dalam suatu kawanan akan berlari menyusul dan melalukan tindakan mengulang dari simpanse pertama, sedang simpanse betina hanya akan duduk dan melihat dari dekat, seiring dengan hujan yang turun kian lebat dan sambaran petir silih berganti dan bersautan di langit. Upaya berlari dengan kekuatan penuh tersebut tentu aneh, sebab tidak ditemukannya musuh atau subjek lain yang ingin ditakhlukan dan didominasi, sebagaimana umumnya perilaku primata lain[23]. Pemahaman yang mungkin diterima adalah bahwa sambaran petir dan hujan bukan dianggap sebagai subjek yang ingin ditakhlukan dan didominasi, melainkan sebagai bentuk ritus atas kekaguman[24] atas fenomena alam yang tidak terkuasai[25][26].
Observasi lain yang dilakukan di Taman Nasional Gombe[27] di Tanzania, menemukan hal serupa, yakni sebuah ritus yang ditujukan pada elemen air. Keberadaan air terjun di Lembah Kakombe, menjadi tempat terbaik bagi kawanan primata yang tinggal di Taman Nasional Gombe. Berdasar observasi yang dilakukan, kawanan simpanse terlihat sering bermain di dekat air terjun. Beberapa simpanse pejantan sering terlihat mendekati air terjur dan melalukan teriakan kuat, yang disusul dengan larian berirama di air, dan mengambil dan melembar batuan serta ranting yang ada di sekitarnya ke arah air terjun[28]. Perilaku tersebut berlangsung selama sepuluh sampai lima belas menit, setelah itu simpanse tersebut akan menjauh dan duduk terdiam di tepian sungai dengan tatapan penuh ke arah permukaan aliran sungai, dan sesekali terlihat menyentuh dan membelai permukaan air sungai[29]. Manusia hanya dapat menerka-nerka, apa yang simpanse tersebut pikirkan? Apakah simpanse tersebut memikirkan bagaimana semua air yang ada dihadapannya tersebut selalu berasal dari puncak atas? Mengapa tidak pernah habis? Apakah air itu hidup?
Indikasi ritus sederhana terhadap elemen air tersebut, memungkikan untuk memahami bahwa simpanse mempunyai kepekaan untuk merasakan kehidupan[30] yang mengalir pada air sungai. Pola perilaku terdiam dan memandang dengan tatapan penuh kepada aliran sungai dan sesekali menyentuh dan membelai aliran sungai tersebut, seakan memberikan pemahaman bahwa simpanse sedang merasakan kekagumannya dan berusaha untuk memahami perasaan dan keadaan yang dirasakan dan alami[31]. Pola perilaku tersebut tentu sangat aneh bila dibandingkan dengan primata lain, karena hanya kawanan simpanse saja yang terlihat berperilaku seperti itu di kawasan Taman Nasional Gombe[32].
Observasi yang dilakukan pada kawanan simpanse di wilayah Kedougou di Senegal[33], menunjukan adanya indikasi ritus sederhana dengan melakukan tarian khusus terhadap api. Pada observasi yang dilakukan di Senegal, ditemukan bahwa Alpha Male dalam satu kawanan akan melakukan tarian khusus dihadapan kobaran api yang menyala di antara sabana[34]. Pola tingkah laku tersebut tentu sangat aneh bila dibandingkan dengan spesies hewan pada umumnya. Spesies hewan pada umumnya justru lebih memilih untuk panik dan menghindari kobaran api[35], namun tidak dengan temuan kawanan simpanse di Senegal. Alpha Male kawanan simpanse tersebut justru mampu meredam kepanikan yang timbul, dan mulai melakukan tarian khusus terhadap kobaran api untuk beberapa waktu sebelum memutuskan untuk menuntun kawanannya menjauh dari kobaran api[36].
Tentu tidak ada yang dapat sepenuhnya menjamin bahwa kawanan simpanse tersebut telah menemukan konsep yang Mahaghaib, namun dengan adanya repetisi perilaku dan tindakan yang tidak ditujukan pada pemenuhan atas kebutuhan dasar, tindakan tersebut setidaknya dapat menjadi indikasi adanya aspek spiritual. Indikasi tersebut dibuktikan pada pemahaman mengenai ritus-ritus sederhana yang pernah peradaban manusia lalui, bagaimana elemen batuan, api, air, dan kayu menjadi faktor penting di dalamnya. Upaya untuk mempelajari dan memahami lebih lanjut studi terhadap kawanan simpanse, memungkinkan manusia untuk dapat menemukan muasal lahirnya kepercayaan terhadap yang Mahaghaib atau aspek spiritualitas dalam diri spesies[37]. Atas tesis tersebut, jika temuan lanjutan atas studi kawanan simpanse ini lebih mendukung, maka dapat dipastikan tesis manusia sebagai spesies yang unik oleh keberadaan aspek spiritualitasnya dapat terbantahkan secara penuh[38]. Pada posisi ini, tentu tesis aspek spiritualitas yang hanya ada dalam manusia dapat terbantahkan.
Kecerdasan sebagai Bentuk Aspek Kultural
Argumentasi lain yang umum digunakan sebagai pembeda antara manusia dan spesies lainnya adalah dalam aspek kultural. Aspek kultural yang dimaksudkan merujuk pada pengertian kecakapan dalam membangun dan menjaga sebuah tradisi dan kebudayaan. Manusia dipahami sebagai satu-satunya spesies yang memiliki kecakapan atas aspek kultural, semisal tradisi-tradisi tertentu dalam meyambut kelahiran, kematian, perkawinan, dan tradisi lainnya. Berdasar pemahaman tersebut, peneliti berusaha untuk menguggat bahwa beberapa spesies lain pun memiliki aspek kulturalnya sendiri, yang tentu tesis ini dibangun berdasarkan beberapa temuan studi lanjut. Sama halnya pada aspek spiritualitas, spesies simpanse merupakan spesies yang paling banyak dilakukan studi, oleh karena anggapan kedekatannya dengan manusia. Akan tetapi, tesis anggapan tersebut tidak mengubah apapun, karena peneliti berkeyakinan bahwa spesies lain memiliki aspek kulturalnya masing-masing, hanya saja yang menjadi kendala adalah kuatnya temuan penelitian lanjutan di spesies selain simpanse.
Pada studi kawanan simpanse yang tersebar di wilayah Gombe dan Mahale di Tanzania, Hutan Taï di Pantai Gading, beberapa kebun binatang, menunjukan kesamaan pola dari tradisi menyambut kematian pada salah satu kawanan spesiesnya. Pada observasi yang dilakukan di Kebun Binatang Burgers, simpanse betina akan meratap dan menangis kuat ketika mengalami keguguran kandungan[39]. Pola serupa juga terjadi ketika salah satu simpanse betina bernama Oortje mati, yang disusul oleh tangisan para simpanse betina lainnya beberapa saat sampai kemudian berganti menjadi hening di seluruh kandang[40]. Observasi lain yang dilakukan di Taman Nasional Gombe di Tanzania menunjukan, ketika salah satu simpanse pejantan bernama Rix mati akibat terjatuh dari pohon, kawanan simpanse mengalami kehebohan besar yang diikuti dengan teriakan dan laku agresif pejantan lain yang ditujukan pada lingkungan sekitar seperti memukul pohon dan merusak tanaman[41]. Pola perilaku tersebut berlangsung beberapa waktu, kemudian seluruh kawanan simpanse datang mendekati mayat simpanse Rix, menatapinya dan terdiam selama beberapa jam, dan berjalan menjauhi mayat simpanse Rix beriringan.
Observasi lain yang dilakukan di Hutan Taï simpanse berumur dua tahun bernama Bambou mati akibat terjatuh dari sang indukan bernama Bijou[42]. Sang induk kemudian terhuyung mendekati sang anak dan menggendongnya di dada dan disusul dengan teriakan kuat selama beberapa saat. Kemudian, sang Alpha Male, bernama Kendo mendekat dan mengendus-endus mayat simpanse Bambou, yang kemudian pola tindakan tersebut diikuti oleh kawanan simpanse lain untuk beberapa saat. Kendo, sang Alpha Male, kemudian memutuskan untuk berjalan pergi dan diikuti oleh kawanan simpanse lain, namun tidak dengan Bijou yang masih terdiam dekat mayat anaknya. Sampai lima simpanse betina lain kembali dan mendekat simpanse Bijou untuk beberapa saat, sampai kemudian enam simpanse tersebut memutuskan untuk berjalan mengikuti kawanannya yang telah lebih dulu di depan.
Dari temuan studi tersebut, didapatkan bahwa simpanse memiliki ikatan emosi yang kuat di antara kawanan spesiesnya, yang dapat diwujudkan melalui pemahaman dan pola menyambut kematian sebagaimana berbagai kasus di atas. Proses tradisi menyambut kematian tersebut diungkapkan melalui tangisan dan teriakan kuat, meratapi dan terdiam sebagai bentuk penghormatan terakhir sebelum memutuskan untuk meninggalkan yang sudah mati[43]. Temuan studi ini, tentu mematahkan apa yang pernah diungkapkan oleh René Descartes, bahwa selain manusia hanyalah hewan kejam dan kasar[44] yang tidak memiliki kesadaran dan kecerdasan, serta dianggap layaknya mesin atau automata[45]. Atas penalaran akan bantahan tersebut, tentu dipahami bahwa spesies lain selain manusia, seperti simpanse, memiliki kehidupan dan ikatan emosional yang kuat, yang diwujudkan melalui berbagai pola tradisi, sebagaimana salah satunya adalah tradisi menyambut kematian. Tindakan agresif, seperti teriakan kuat dan memukul-mukul benda lain secara umum dipahami sebagai bentuk dominasi, namun pada temuan studi lanjut terhadap kawanan simpanse tersebut membuktikan indikasi lain, bahwa tindakan agresif yang tidak ditujukan kepada sesama spesiesnya mungkin saja bukan pemahaman mutlak sebagai bentuk dominasi[46]. Salah satunya sebagai bentuk meyakinkan bahwa fenomena yang terjadi dan dihadapi saat ini tidak terelakkan[47].
Pada studi kawanan simpanse di Pusat Penelitian Primata Daerah Yerkes di Atlanta[48] temuan observasi menunjukan bahwa seluruh kawanan simpanse mendekati salah satu simpanse betina bernama Mai, yang sedang mengandung dan diketahui akan melahirkan di hari itu[49]. Seluruh kawanan simpanse terdiam dan terlihat memperhatikan simpanse Mai dari dekat. Sampai seketika, simpanse Mai melakukan setengah berdiri, dan mulai meregangkan kedua kakinya, dengan salah satu tangannya yang menahan di antara kedua kaki yang meregang. Perilaku simpanse Mai tersebut kemudian disusul oleh salah satu kawanan simpanse betina yang lebih tua. Sampai beberapa menit kemudian, bayi simpanse mungil mulai nampak dan berlabuh di dekapan simpanse Mai, dan simpanse Mai mulai memakan sisa-sisa paskakelahiran. Seluruh kawanan simpanse yang berada di dekat simpanse Mai mulai berteriak kuat beriringan, dan beberapa di antara kawanan simpanse tersebut terlihat saling memeluk simpanse lain. Beberapa di antara kawanan simpanse tersebut, seperti simpanse Atlanta, bahkan terlihat menemani simpanse Mai dan bayi simpanse mungilnya untuk beberapa minggu paskakelahiran.
Atas temuan studi tersebut, pola perilaku yang dilakukan oleh kawanan simpanse di pusat penelitian primata di Atlanta, memungkinkan untuk dipahami sebagai bentuk perasaan bahagia atas kelahiran salah satu spesies simpanse dalam suatu kawanan, yang diwujudkan melalui tindakan berteriak kuat dan upaya untuk memeluk satu sama lain[50]. Sikap diam saat menyaksikan proses kelahiran tersebut, dimungkinkan untuk dipahami sebagai bentuk empati dan simpati yang dirasakan, serupa halnya dengan upaya salah satu simpanse betina yang menirukan tindakan simpanse Mai sewaktu melahirkan[51]. Upaya menirukan tersebut memungkinan untuk dipahami sebagai tindakan komunikasi fisik untuk menenangkan simpanse Mai[52]. Kedua temuan studi di atas, tradisi menyambut kematian dan kelahiran, merupakan perilaku yang memiliki pola khusus yang saling berurutan, sehingga memungkinkan untuk digolongkan sebagai bentuk tradisi dan kebudayaan. Pola khusus yang saling berurutan tersebut meliputi[53]: 1) teriakan kuat yang berfungsi untuk menyampaikan perasaan atau keadaan; 2) keadaan diam dan tidak bersuara yang berfungsi untuk menyampaikan penghormatan, dedikasi, dan rasa sayang yang kuat; dan 3) teriakan kuat lanjutan yang berfungsi untuk menyampaikan umpan balik atas suatu perasaan dan keadaan.
Simpulan Akhir
Atas temuan studi tersebut dan beberapa indikasi dan penjelasan berbagai aspek kecerdasan yang dimiliki oleh spesies lain, seharusnya dapat menyadarkan manusia, bahwa manusia sebagai predator puncak atau Apex, memiliki kontribusi besar terhadap alam sekitar. Selama ini manusia selalu meyakini bahwa manusia adalah spesies yang unik berkat kecerdasannya, dan label tersebut kemudian dipergunakan untuk mengeksploitasi alam. Setidaknya, melalui temuan studi tersebut dan beberapa indikasi dan penjelasan berbagai aspek kecerdasan yang dimiliki oleh spesies lain, manusia dapat mulai memahami, keunikan atas kecerdasan tersebut adalah fana, oleh sebab kecerdasan dan potensi atas kecerdasan tentu dimiliki oleh semua spesies. Melalui pemahaman dan penalaran tersebut, dihadapkan setidaknya manusia dapat mengembangkan empati, simpati, rasa hormat, dan upaya melindungi berbagai spesies yang berpartisipasi dalam perjalanan evolusi kehidupan.
Kemudian, temuan atas studi lanjut ini juga kembali memicu pertanyaan, jika manusia menyadari bahwa seluruh spesies lain memiliki potensi untuk menjadi seperti manusia, satu spesies yang dianggap memiliki kecerdasan paling tinggi di antara spesies lain dan dianggap sebagai Apex, apakah temuan ini dapat berimplikasi dengan bagaimana manusia seharusnya bersikap dan bertindak kepada spesies lain di alam, terlebih pada spesies yang memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat dengan manusia? Melalui temuan studi ini, apakah masih mungkin untuk menerima berbagai tindakan uji coba atau suatu eksperimentasi terhadap spesies lain, atau bahkan mengurung spesies lain dalam tempat khusus bernama kebun binatang? Mengingat, bila spesies-spesies lain atau bahkan yang terdekat tersebut mengalami kepunahan, tentu akan memiliki implikasi langsung terhadap peradaban manusia, seperti terputusnya rantai pengetahuan yang mungkin dapat menjawab segala pertanyaan mendasar manusia: bagaimana manusia bisa hadir di alam; dari mana lahirnya kecerdasan manusia; dari mana lahirnya keyakinan beragama, dsb..
Daftar Rujukan
[1] Istilah “kesadaran” tentu berbeda dengan istilah “sadar”. Kesadaran memiliki tingkatan kualitas, dan kesadaran selalu berimplikasi pada tindakan yang memang sudah dipahami dan memiliki tujuan. Semisal pada kasus manusia, manusia sadar akan api, tetapi kesadaran manusia atas api dapat menuntun manusia untuk mempergunakan api.
[2] Istilah “perilaku adaptif” dapat dipahami sederhana dalam perandaian manusia. Manusia merupakan salah satu hewan yang memiliki perilaku sangat adaptif, dibuktikan dengan spesies manusia yang tidak membutuhkan secara mutlak tempat yang menguntungkan bagi mereka hidup. Manusia dapat melakukan perburuan ke manapun dan wilayah manapun, tidak terikat satu macam lingkungan tertentu, semisal pantai, sabana, stepa, hutan, lembah, pegungungan, dsb., sebagaimana spesies lain yang pada umumnya hanya terikat di satu macam lingkungan tertentu saja.
[3] Lih. Roberto Marchesini, 2015, “Against Anthropocentrism. Non-human Otherness and the Post-human Project”, Jurnal Nanoethics, Vol. 9., hal. 78.
[4] Lih. Compound Interest, 2015, “Aroma Chemistry: The Aroma of Fresh-Cut Grass”, Info Grafis.
[5] Lih. iGEM Valencia Team 2010, 2010, “The Ethics of Terraforming Mars: A Review” Artikel Ilmiah, hal. 2–3.
[6] Lih. SciShow, 2015, “How Ants Take Care of Their Farms”, Video Youtube.
[7] Lih. Ibid.
[8] Lih. Ibid.
[9] Lih. Josh Davis, 2017, “Two New Species Of Sinister Bird-Catching Trees Discovered In The Caribbean”, Artikel IFLSCIENCE.
[10] Lih. Ibid.
[11] Lih. Jason Bittel, 2017, “This Tree Lures Birds with a Free Lunch and then Kills Them”, Artikel The Washington Post.
[12] Lih. Ibid.
[13] Lih. Ibid.
[14] Lih. Ibid.
[15] Lih. Hjalmar S. Kühl, Ammie K. Kalan, dkk., 2016, “Chimpanzee Accumulative Stone Throwing”, Laporan Ilmiah Nature.
[16] Istilah “kera besar” merujuk pada kategori “Great Apes” yakni Orangutan, Bonobo, Gorila, dan Simpanse.
[17] Lih. Hjalmar S. Kühl, Ammie K. Kalan, dkk., 2016, “Chimpanzee Accumulative Stone Throwing”, Laporan Ilmiah Nature.
[18] Lih. Ibid.
[19] Lih. Ibid.
[20] Lih. Ibid.
[21] Lih. Ibid.
[22] Istilah “berlari” merujuk pada terjemahan yang dirasa paling mendekati dari “charging display”.
[23] Lih. Harrod, James B., 2014, “The Case for Chimpanzee Religion”, Jurnal for the Study of Religion, Nature and Culture, Vol. 8 No. 1, hal. 29.
[24] Istilah “kekaguman” merujuk pada terjemahan yang dirasa paling mendekati dari “reverence”.
[25] Istilah “tidak terkuasai” merujuk pada terjemahan yang dirasa paling mendekati dari “indomitable”.
[26] Lih. Harrod, James B., 2014, “The Case for Chimpanzee Religion”, Jurnal for the Study of Religion, Nature and Culture, Vol. 8 No. 1, hal. 29.
[27] Istilah “Taman Nasional Gombe” merujuk pada terjemahan yang dirasa paling mendekati dari “Gombe Stream National Park”.
[28] Lih. Harrod, James B., 2014, “The Case for Chimpanzee Religion”, Jurnal for the Study of Religion, Nature and Culture, Vol. 8 No. 1, hal. 29.
[29] Lih. Ibid, hal. 29.
[30] Istilah “kehidupan” merujuk pada terjemahan yang dirasa paling mendekati dari “aliveness”.
[31] Lih. Harrod, James B., 2014, “The Case for Chimpanzee Religion”, Jurnal for the Study of Religion, Nature and Culture, Vol. 8 No. 1, hal. 30.
[32] Lih. Ibid, hal. 30.
[33] Lih. Jill D. Pruetz; Thomas C. LaDuke, 2009, “Brief Communication: Reaction to Fire by Savanna Chimpanzees (Pan troglodytes verus) at Fongoli, Senegal: Conceptualization of “Fire Behavior” and the Case for a Chimpanzee Model”, American Journal of Physical Anthropology, Vol. 141, hal. 647.
[34] Lih. Ibid, hal. 647–648.
[35] Lih. Ibid, hal. 647.
[36] Lih. Ibid, hal. 648–649.
[37] Lih. Harrod, James B., 2014, “The Case for Chimpanzee Religion”, Jurnal for the Study of Religion, Nature and Culture, Vol. 8 No. 1, hal. 9–10.
[38] Istilah “terbantahkan secara penuh” merujuk pada pengertian tidak lagi berada pada tingkat indikasi dan kecurigaan.
[39] Lih. Harrod, James B., 2014, “The Case for Chimpanzee Religion”, Jurnal for the Study of Religion, Nature and Culture, Vol. 8 No. 1, hal. 16.
[40] Lih. Ibid, hal. 16.
[41] Lih. Ibid, hal. 17.
[42] Lih. Ibid, hal. 18.
[43] Sederhananya, temuan studi tersebut menjelaskan pola tradisi bahwa pengabaran berita kematian dalam spesies simpanse. Tradisi tersebut dilakukan oleh pengamat pertama atau sosok yang berada di dekat yang mengalami kematian melalui teriakan kuat. Berita tersebut ditangkap oleh Alpha Male dan kawanan lainnya, dan mengungkapkan kesedihannya melalui berbagai tindakan dan teriakan, yang kemudian disusul dengan perilaku meratap dan terdiam untuk beberapa saat. Lih. Ibid, hal. 21–22.
[44] Istilah “hewan kejam dan kasar” merujuk pada terjemahan yang dirasa paling mendekati dari “brute animals”
[45] Lih. Harrod, James B., 2014, “The Case for Chimpanzee Religion”, Jurnal for the Study of Religion, Nature and Culture, Vol. 8 No. 1, hal. 19.
[46] Lih. Ibid, hal. 22–23.
[47] Lih. Ibid, hal. 23.
[48] Istilah “Pusat Penelitian Primata Daerah Yerkes di Atlanta” merujuk pada terjemahan yang dirasa paling mendekati dari “Yerkes Regional Primate Research Center, Atlanta”.
[49] Lih. Harrod, James B., 2014, “The Case for Chimpanzee Religion”, Jurnal for the Study of Religion, Nature and Culture, Vol. 8 No. 1, hal. 25.
[50] Lih. Ibid, hal. 25.
[51] Lih. Ibid, hal. 25.
[52] Lih. Ibid, hal. 25.
[53] Lih. Ibid, hal. 25–26.