Kesesatan yang Tersesat: Kritik atas Raisa Rahima

Yang bermasalah sejatinya bukan bermula pada proses justifikasi “psikologistik” maupun “substansial”, tetapi pada ranah utilitas yang pragmatis.

Steve Laurent Montong
Steve Laurent Montong
Penulis adalah seorang mahasiswa filsafat UGM semester 4. Penulis aktif di LSF Cogito sebagai redaktur pelaksana dan pengurus acara. Sedang mendalami filsafat analitik khususnya Russellian. Tertarik juga dengan kajian kontinental, realisme spekulatif, Lingkaran Wina, dan beberapa ilmu yang dikatakan pseudosains.

Raisa Rahima dalam tulisannya yang berjudul “Sesat Pikir Argumen Berbasis Kapasitas untuk IISMA” di website Antinomi pada tanggal 26 April 2023 mengkritik para pendukung IISMA yang menurutnya telah melakukan kesesatan berpikir. Tulisan yang sejatinya ditujukan bagi para lawannya yang notabene khalayak non-filsafat tersebut tidak hanya bermasalah secara substansial, tetapi juga redaksional. Hal tersebut tampak dari kolom komentar akun media sosialnya yang dipenuhi ekspresi ketidakpahaman atas tulisannya, bahkan turut disampaikan oleh akun media sosial sasaran utama tulisannya. Tidak hanya itu, bahkan  tulisannya seolah tidak memikirkan kemudahan akses epistemik bagi mereka yang ingin dibela (penolak IISMA).

Argumentasi Raisa dalam menolak IISMA dapat dirangkum dalam satu kalimat: “fakta tidak peduli dengan perasaan Anda”. Menurutnya, justifikasi berbasis kepercayaan tidaklah cukup dan perlu justifikasi yang lebih substansial dalam menuntut pengetahuan. Namun, yang jadi pertanyaannya adalah: apa yang lebih substansial, dan apakah yang riil itu? Tulisan ini ingin menunjukkan paradoks, trivialitas, dan inkonsistensi argumen Raisa—dengan kata lain kesesatan berpikir yang ia lakukan ketika mengkritik kesesatan berpikir yang lain.

Raisa menunjukkan sesat pikir argumen berbasis kapasitas (merit-based argument) untuk IISMA sebagai berikut: 1) “Saya memercayai IISMA harus dipertahankan maka saya mengetahui seluruh peserta memiliki kapasitas untuk mendapati kesempatan IISMA”. Hal ini berarti Q mengimplikasikan P.[1] Namun, proposisi 1) tersebut diubah menjadi 2) “Saya mengetahui seluruh mahasiswa memiliki kesempatan untuk mengikuti IISMA, maka saya terjustifikasi dalam mempercayai bahwa IISMA lebih baik dipertahankan”. Hal ini berarti P mengimplikasikan Q. Saya tidak mengerti apakah memang proposisi-proposisi tersebut bikondisional, tetapi jika tidak dijelaskan, implikasi argumennya akan membingungkan.

Justifikasi Substansial yang Tidak Substansial

Pada akhir tulisannya, Raisa tidak menunjukkan justifikasi substansial—meminjam istilahnya—ketika ia mencontohkan penolakannya terhadap IISMA. 3) “Saya mengetahui dana IISMA lebih baik digunakan untuk dana riset, maka saya terjustifikasi dalam mempercayai bahwa IISMA lebih baik dihilangkan”. Raisa tidak menjelaskan apa-apa mengenai alasan menyebut persoalan riset sebagai yang-substansial dan hanya menulis demikian:

“Argumen tersebut mengimplikasikan suatu identifikasi kondisi x yang butuh diisi suatu kepercayaan. Kondisi x tersebut adalah riset-riset potensial yang tidak diberikan dana oleh pemerintah. Variabel untuk kondisi x tersebut adalah dana IISMA lebih baik digunakan untuk dana riset, sehingga penghapusan IISMA terjustifikasi.”

Apakah justifikasi substansial hanyalah berbasis kepercayaan bahwa riset-riset potensial tidak diberikan dana oleh pemerintah? Saya rasa pasti tidak hanya itu, karena kalau memang iya, maka Raisa tersesat dalam argumen sirkular. Sekali lagi, ia tidak menjelaskan apa yang-substansial dan hanya mendasarkan argumennya pada asumsi belaka.

Saya akan mencoba untuk mencontohkan beberapa asumsi yang sebenarnya adalah aksioma yang menjadi causa prima para penolak IISMA—yang katanya substansial—kira-kira, kemudian menunjukkan kesalahannya. Sebutlah riset yang potensial itu dijustifikasi karena dapat menghasilkan perbaikan masyarakat. Riset yang didanai dapat menyejahterakan masyarakat dengan potensinya itu dibandingkan dengan IISMA. Namun, bukankah postulat itu sejatinya adalah pokok permasalahan yang Raisa kritik? Bukankah justifikasi yang substansial itu perlu keluar dari justifikasi perasaan psikologis tadi? Bila kita mempostulatkan tujuan riset yang berbasis nilai masyarakat artinya kita juga mempostulatkan nilai individu dan pasti melekat dengan dimensi moral si penolak IISMA.

Saya percaya bahwa semua proposisi argumentatif pasti bersinggungan dengan kepercayaan kita in the first place. Kepercayaan tersebut menjadi landasan tak tergoyahkan yang menjadi aksioma dasar dalam pandangan dan argumen-argumen kita. Bahkan dalam paradigma yang rigid sekalipun, seperti sains, sebagaimana Lakatos katakan, terdapat hard core yang berupa hipotesis umum yang menjadi basis dari sebuah program riset. Hard core tersebut berupa asumsi-asumsi yang perlu diterima untuk mendefinisikan sebuah program riset.[2]  Oleh karenanya, baik pendukung atau penolak IISMA berada pada posisi yang sama: keduanya sama-sama berpegang teguh pada komitmen ontologisnya (program riset), yaitu hard core dari pandangan yang mereka pegang.

Hal lain yang cukup membingungkan dari pandangan Raisa adalah penggunaan istilah “kondisi riil” dan “substansial” yang menjadi salah satu pokok justifikasi argumennya. Secara mudah, dapat disimpulkan bahwa bagi Raisa, kondisi riil menjadi dasar bagi adekuasi sebuah argumen—yang kemudian disebut “substansial”—agar bisa dijustifikasi. Raisa memberi contoh bahwa kondisi riil yang bisa menjadi justifikasi kemudian di antaranya adalah angka (2, 3, 4, dst) dan kenikmatan. Entah karena saya kurang banyak membaca—atau karena memang Raisa terlalu berani sehingga ceroboh—hingga saat ini saya belum menemukan demarkasi yang memadai untuk menjelaskan apa yang-riil dan non-riil, bahkan memberikan contoh. Ditambah lagi, Raisa tidak memberikan definisi yang eksplisit mengenai yang riil tersebut dalam tulisannya.

Menurut hemat saya, dalam arti tertentu bahkan angka dan kenikmatan menempati posisi yang sama secara ontologis dengan “perasaan psikologis” yang Raisa bantah dalam tulisannya. Ketiganya merupakan sesuatu yang sifatnya abstrak, dalam arti, tidak merujuk pada sesuatu yang material. Ketiganya perlu menghinggapi sebuah entitas untuk dapat diidentifikasi eksistensinya, misalnya menempati buah apel. Perlu sebuah apel untuk bisa menunjukkan “satu”; perlu pula apel yang dikunyah dan ditelan untuk menunjukkan “kenikmatan”; dan apel yang nikmat untuk menghasilkan gejolak psikologis. Saya tidak sama sekali menemukan distingsi antara ketiganya kecuali memang ada asumsi dasar yang dijadikan patokan untuk menentukan yang-riil yang sayangnya sampai saat ini belum terdapat satupun pandangan yang memadai. Yang-riil sebagaimana yang Raisa sampaikan tidak ubahnya dengan yang-serampangan sebab penggunaannya sama sekali tak berdasar dan sungguh serampangan.

Tidak sampai di situ, menjadikan “kenikmatan” sebagai contoh untuk mendasari justifikasi juga cukup bermasalah secara epistemologis. Kenikmatan pada-dirinya-sendiri merupakan pengalaman subjektif (baca: qualia) yang tak terbahasakan.[3] Bagaimana bisa seseorang menjelaskan nikmatnya menghisap sebatang rokok sembari menyeruput kopi di kaki gunung Ciremai? Pengalaman kenikmatan tersebut hanya mungkin diperoleh orang lain (merasuk ke dalam mental state orang lain) ketika orang lain tersebut melakukan hal yang sama di kaki gunung Ciremai. Sementara, di sisi lain, bahasa merupakan unsur yang penting dalam menjustifikasi sebuah hal. Bahasa menjadi sarana bagi kita untuk menyampaikan argumen yang kita bangun kepada orang lain sebagai bentuk justifikasi yang telah kita bangun. Bahasa menjadi syarat bagi justifikasi untuk merasuk ke dalam mental state orang lain. Oleh karenanya, berupaya menjadikan kenikmatan sebagai justifikasi merupakan upaya membahasakan yang-tak-terbahasakan. Selain urgensi untuk menjustifikasinya nihil, upaya untuk menjustifikasinya pun tidak ada.

Terakhir, adalah sebuah kesesatan apabila kita berupaya menggeneralisasi pendukung IISMA hanyalah manusia-manusia yang bersandar pada urgensi personal. Perhatikan kalimat berikut! “Pendukung IISMA jatuh pada kemacetan argumentasi dalam mempertahankan program IISMA.” Raisa seolah menutup kemungkinan adanya beberapa dari mereka yang altruistik dan tidak mementingkan urgensi personal. Layaknya yang kita ketahui, untuk menggagalkan proposisi A Aristoteles yakni “semua S adalah P” cukup satu “S” yang “non-P”. Ia tidak memperhitungkan justifikasi lain selain urgensi personal. Di sinilah letak kegagalan nalar yang terdapat dalam kesimpulan tulisan Raisa.

Kesimpulan

Pada akhirnya, pendukung dan penolak IISMA sama-sama berpegang pada “perasaan psikologis” yang menjadi aksioma dasar bagi argumen mereka. Oleh karenanya, yang bermasalah sejatinya bukan bermula pada proses justifikasi “psikologistik” maupun “substansial”, tetapi pada ranah utilitas yang pragmatis. Cara lain yang mungkin dapat dicoba adalah menilik di antara keduanya mana yang memiliki “beban ontologis” (ontological baggage) yang lebih ringan.

Pada ranah praksis, menjadi awardee IISMA, berangkat ke luar negeri, belajar dengan sungguh-sungguh, lalu membagikan apa yang diperoleh secara nyata kepada warga bangsa merupakan hal yang baik. Namun, apabila IISMA hanya dijadikan ajang untuk mencicipi English Breakfast, membuka “jastip”, dan pamer story Instagram, tentu bermasalah secara moral. Demikian pula dengan para periset yang melakukan penelitian untuk memajukan negara dan menghasilkan kemajuan ilmu pengetahuan tentu merupakan hal yang secara moral baik. Akan tetapi, mereka yang memanfaatkan medium riset, seperti PKM, hanya sebagai ajang mengeruk dana pemerintah: jelas korup!

Saya juga mempertanyakan kembali intensi penulis ketika ingin memberikan pencerahan. Apakah ia benar-benar ingin membantu dan mencurahkan isi hatinya? Atau jangan-jangan ia hanya menginginkan kredit sosial yang sejatinya—kembali lagi ke istilah yang Raisa gunakan—adalah urgensi personal.[4] Bila kemungkinan kedua adalah benar, tulisannya tidak lebih dari sekadar bentuk masturbasi intelektual.


[1] Q adalah kepercayaan dan P adalah pengetahuan.

[2] Alan.F. Chalmers. 1999. What is this thing called Science?. (Queensland: University of Queensland Press), h. 131.

[3] Frank Jackson, “Epiphenomenal Qualia” dalam David. J. Chalmers (Ed.). 2002. Philosophy of Mind: Classical and Contemporary Readings. (New York: Oxford University Press), h. 273.

[4] Saya sendiri tidak menolak apabila ada yang menganggap saya menginginkan kredit, karena bukankah kerja-kerja ilmu pun bersandar pada kedekatan emosional sang peneliti? [bdk. Bruno Latour & Steve Woolgar. 1986. Laboratory Life: The Construction of Scientific Facts. (West Sussex: Princeton University Press), h. 189]. Namun, yang jadi pertanyaannya kemudian adalah seberapa besar dampak dan ketercapaian tulisan tersebut di ranah akademik maupun sosial.


Referensi

Chalmers, A. F. (1999). What is this thing called Science?. Queensland: University of Queensland Press.

Latour, B. & Steve. W. (1986). Laboratory Life: The Construction of Facts. West Sussex: Princeton University Press.

Jackson, F. (2002). “Epiphenomenal Qualia” dalam David. J. Chalmers (Ed.). Philosophy of Mind: Classical and Contemporary Readings. New York: Oxford University Press.

Bacaan Lainnya