Pengetahuan Saintifik yang Tersituasikan

Ketergantungan epistemik kita tersituasikan oleh kepercayaan, komunikasi, dan kepercayadirian yang terjadi dalam komunitas saintifik.

Yohanes Bima Sakti
Yohanes Bima Sakti
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Filsafat UGM. Sedang mempelajari metafisika, filsafat sains, filsafat biologi, serta isu-isu antroposentrisme dan lingkungan.

Sains merupakan pengetahuan terbaik yang manusia kembangkan. Melalui sains, berbagai problem dapat diselesaikan, meskipun pada dirinya sendiri juga terdapat problem tertentu (terutama pada basis epistemiknya). Problem-problem seperti: apa justifikasi dari metodologi saintifik, bagaimana kita mendapat pengetahuan saintifik, apakah memang pengetahuan kita tersituasikan dan dibentuk oleh komunitas saintifik, atau bagaimana kita menjustifikasi problem kepercayaan pada epistemologi saintifik, dan sebagainya.

Ketika kita melihat problem epistemologi (umum), pengetahuan dan pengetahuan-saintifik merupakan hal yang berbeda. Kita dapat berkaca dari perbedaan pengetahuan umum dan pengetahuan-saintifik dari hal-hal berikut: Semisal kita mengetahui bahwa jalanan basah karena air hujan, maka penyebabnya pasti karena “air hujan.” Pengetahuan umum hanya mendasarkan dirinya pada ihwal yang terindra di hadapan kita. Sedangkan sains, memiliki prosedur khusus untuk bisa mengetahui bagaimana hujan dapat terbentuk. Kita langsung akan bisa berpendapat (dalam hal ini melalui pengetahuan saintifik kita yang tersituasikan) bahwa hujan terbentuk karena tiga proses berikut: evaporasi, kondensasi, dan presipitasi. Hal itu akan terus berulang sebelum kita menemukan suatu dunia-mungkin yang mengandaikan bahwa hukum (L) mengenai proses terbentuknya hujan salah atau ketika hukum tersebut tidak memenuhi adekuasi empiris.

Hal tersebut merupakan produk dari pengetahuan saintifik karena membasiskan dirinya pada pengamatan yang berbasis pada asumsi saintifik, dapat digoyahkan/dikuatkan sedemikian rupa, telah teruji validitasnya, memiliki metode tertentu, serta telah dipercaya kredibilitasnya. Memang agak terdengar konstruktivis ketika kita menyatakan bahwa pengetahuan kita mengenai sains terbentuk oleh komunitas saintifik. Pengaruh komunitas saintifik memang sedemikian besar karena sains dikerjakan oleh mereka dan hasilnya adalah sains untuk masyarakat-saintifik dan masyarakat-awam. Kriteria-kriteria ini dapat kita lihat pada pernyataan Peter Vickers mengenai dua syarat produksi pengetahuan pada sains: 1) 95% ilmuwan bersedia untuk menyatakan bahwa alasan atas klaim itu jelas, dan 2) komunitas saintifik bersifat besar (Vickers, 2023). Namun, apakah memang benar demikian? Mari kita telusuri wacana yang berusaha penulis nadakan.

Ketergantungan Pengetahuan Saintifik pada Komunitasnya

Kita akan mencoba melihat mengenai bagaimana problem-problem epistemik yang muncul ketika kita mencoba untuk memandang sains dari sisi epistemiknya. Ketika sains dikerjakan oleh para saintis—tidak mungkin tidak—para saintis tersebut mengambil gagasan para saintis terdahulu. Gagasan-gagasan tersebut dipakai karena mereka ingin: 1) menguji keakuratan validitasnya, atau 2) menggoyahkan validitas dari teori tersebut. Pada faktanya kepercayaan epistemik memang dependen pada empat hal berikut: 1) kepercayaan dan, 2) komunikasi; 3) ketergantungan (reliance), dan kepercayadirian (confidence) (McCraw, 2015). Hal ini merujuk pada apa yang ingin dipertarungkan pada medan perdebatan epistemologi kepercayaan. Natur dari kepercayaan sendiri memang merujuk pada “kepada siapa kita percaya (dengan kapabilitasnya)” melawan “informasi apa yang dimiliki orang itu (yang darinya kebenaran bisa saja dimiliki pada proposisi yang diutarakan). Semisal, kita memiliki proposisi bahwa S1 itu benar karena orang-itu mengatakannya, melawan S2 itu benar karena pada dirinya sendiri benar; tidak peduli siapa yang mengatakan. Secara epistemik, kita akan merujuk pada S2 karena kita percaya pada konten proposisi tersebut benar serta merujuk pada peristiwa yang nyata dan komunikasi atasnya memang berasal dari orang yang memiliki kapabilitas. Hal itu akan menghantarkan kita pada kepercayaan terhadap kerja-kerja para saintis yang darinya kita memperoleh pengetahuan “yang saintifik.”

Hal ini merujuk pada bagaimana cara saintis memutuskan metodologi apa yang hendak dipakai dalam penelitian saintifik dan bagaimana memercayai apa yang dikerjakan saintis sebelumnya. Berdasarkan wacana yang berusaha penulis nadakan, kita dapat mengetahui bahwa keputusan sang protagonis untuk memilih satu metode tertentu daripada metode lain, melibatkan kepercayaan epistemik (epistemic trust)[1] yang berada pada putusan sang saintis. Putusan ini melibatkan bagaimana kapabilitas seorang saintis yang mumpuni ternyata memiliki pengaruh dalam putusan-putusan saintis setelahnya. Di sini kepercayaan epistemik memainkan peran penting ketika seseorang hendak memutuskan untuk percaya pada kapasitas seseorang dalam menyediakan suatu informasi saintifik (Wilholt, 2013).

Untuk sampai pada hal tersebut (kepercayaan epistemik), kita perlu merujuk pada kata yang bersinonim dalam bahasa Indonesia, tetapi berbeda dalam bahasa Inggris: trust dan reliance. Reliance merujuk pada “percaya-pada” sesuatu yang karenanya dapat menyebabkan p karena peristiwa a. Dengan demikian, penyebaban p dari a ke merupakan reliance.[2] Ketergantungan epistemik ini (epistemic reliance) akan menyebabkan produksi pengetahuan saintifik nampak bahwa ternyata ia melibatkan komunitas saintifik dan orang awam dalam melihat sains (Wilholt, 2013). Ini juga berasal dari derajat keakuratan dalam sains yang nyatanya terbentuk dari hasil akumulasi statistik. Di sini, kita juga harus mempertimbangkan beberapa hal seperti: derajat reliabilitas dan konfirmasi terhadap bukti-bukti empiris.

Poin keberangkatan yang sedang dipertimbangkan adalah karakteristik esensial dari semua investigasi empiris, yaitu bahwa bukti (evidence) tidak pernah memberi dukungan yang konklusif untuk hipotesis apa pun. Untuk mengomunikasikan sesuatu sebagai hasil penyelidikan, kita harus memilih beberapa level konfirmasi empiris dan menyatakan bahwa hal itu cukup untuk penyelidikan yang sedang dipermasalahkan. Logika induktif dan statistika tidak memberikan panduan untuk memilih pada level ini. Satu-satunya fakta yang secara rasional relevan untuk pertanyaan itu adalah evaluasi kita atas kemungkinan-kemungkinan hasil (outcomes)—khususnya, seberapa baik konsekuensi dari hasil yang benar dan seberapa buruk konsekuensi dari hasil yang salah. Mengikuti kata-kata Rudner: “Seberapa yakin kita sebelum menerima sebuah hipotesis akan bergantung kepada seberapa serius kesalahan yang mungkin terjadi” ([1953]: 2).

Wilholt, 2013: 237.

Bagaimana Pengetahuan Saintifik Tersituasikan

Model di atas merupakan salah satu model yang bisa kita terapkan pada model pengetahuan saintifik yang mengandalkan kegunaan dalam mengomunikasikan S. Pada setiap S yang pada faktanya benar dan pada setiap S yang pada faktanya salah, kita mendapatkan model bahwa pada setiap peristiwa c, e, i, dan j memiliki luaran untuk mengomunikasikan S atau tidak sama sekali. Pada model di atas, kita bisa melihat terdapat dua ekspektasi kegunaan dari dengan opsi mengomunikasikan atau tidak ada hasil. Hubungan antarvariabel ternyata dibentuk oleh kegunaan dari informasi yang didapat; antara dapat mengomunikasikan S atau tidak ada hasil.

Dalam hal kendala pada kegunaan (utilities) peneliti, kami hanya mengandaikan bahwa hasil yang benar lebih disukai daripada ketidaktahuan (c > i) dan ketidaktahuan daripada kesalahan (j > e). Kegunaan yang diharapkan dari kedua opsi tersebut diarahkan terhadap probabilitas S pada gambar 1 [di atas].

Wilholt, 2013: 237.

Sekali lagi, tujuan sains adalah memproduksi pengetahuan saintifik (Bird, 2010). Model empirisis pada sains ternyata membuahkan kekhasan dari sains itu sendiri yang berusaha menangkap apa saja yang terindra. Dengan komitmen epistemik yang sedemikian rupa, sains tentunya tidak dikerjakan oleh sembarang orang. Sains yang serius membutuhkan orang-orang yang kompeten dan oleh kompetensinya, para saintis tersebut bisa mengonstruksi pengetahuan saitnifik yang sedemikian rupa yang kemudian akan disebarkan kepada masyarakat. Ketergantungan saintifik ini bersumber dari bagaimana para saintis dan komunitas saintis bisa memandang sains sejauh sains menyelidiki tentang kebenaran-kebenaran (dan yang membedakannya dengan pengetahuan secara umum).

Reproduksi pengetahuan saintifik juga bergantung pada bagaimana komunitas saintifik memproduksi pengetahuan saintifik mereka. Hal ini tidak dapat dilepaskan, ketika mereka hendak melakukan penelitian saintifik. Ketergantungan epistemik inilah yang membuat pengetahuan saintifik “tersituasikan.” Atau dalam contoh lain, ketika pengetahuan yang tersituasikan ternyata membuat para saintis berpindah kebenaran (seperti kasus frenologi: cabang sains yang menyelidiki hubungan antara kerangka tengkorak manusia dan kaitannya dengan karakter manusia). Atau ketika epistemologi-epistemologi di luar arus utama mulai mengkritik epistemologi arus utama. Dalam kasus epistemologi feminis, misalnya, reproduksi pengetahuan ditentukan oleh bagaimana maskulinitas harus disingkirkan dan bergantung padaetnisitas, ras, nasionalitas, dll (Lukenchuk & Ulysse, 2013). Hal-hal seperti itu akan menghantarkan kita pada bagaimana kita mempercayai pengetahuan saintifik karena 1) konten yang terkandung dalam proposisinya benar, dan 2) kerja-kerja serta komunikasi yang secara masif dilakukan oleh para saintis [Sic.]. Ketergantungan epistemik kita ternyata tersituasikan oleh kepercayaan, komunikasi, ketergantungan, dan kepercayadirian yang terjadi dalam komunitas saintifik. Pada akhirnya, penulis masih memikirkan suatu pertanyaan yang menarik untuk ditelisik lebih lanjut, “apakah pengetahuan saintifik tanpa komunitas saintifik itu mungkin?”


[1] Epistemic trust adalah konsep yang sering digunakan dalam kajian epistemologi sosial (Wilhot, T. 2013: 233).

[2] Hal ini untuk menghindari kasus epistemic voluntarism (epistemologi yang didasarkan pada kehendak). Pada kasus tertentu, semisal ada seseorang yang terjebak di kandang singa, ia percaya bahwa ia bisa keluar dari kandang. “Ia bisa keluar” mengindikasikan bahwa terdapat voluntas (kehendak) daripada—di situasi lain—ia dapat “menerima fakta” bahwa ia bisa keluar dengan menggunakan tali atau apapun yang menyebabkan ia bisa keluar. Meskipun kita dapat mempertanyakan apa yang menyebabkan seseorang lebih percaya pada voluntas daripada eviden-eviden saintifik yang tersedia (Wilhot, T. 2013: 234).


Daftar Pustaka

Bird, A. (2010). The epistemology of science—A bird’s-eye view. Synthese, 175(S1), 5–16. https://doi.org/10.1007/s11229-010-9740-4

Lukenchuk, A., & Ulysse, B. K. (2013). CHAPTER TWO: Epistemology and Philosophy of Science: Traditions, Perspectives, and Controversies. Dalam Paradigms of Research for the 21st Century; Perspectives and Examples from Practice (Counterpoints #436) (Vol. 436). Peter Lang AG.

McCraw, B. W. (2015). The Nature of Epistemic Trust. Social Epistemology, 29(4), 413–430. https://doi.org/10.1080/02691728.2014.971907

Vickers, P. (2023, Januari 27). Bagaimana kebenaran ilmiah bisa saja berubah (Z. I. Trijatna, Penerj.). The Conversation. https://theconversation.com/bagaimana-kebenaran-ilmiah-bisa-saja-berubah-198558

Wilholt, T. (2013). Epistemic Trust in Science. The British Journal for the Philosophy of Science, 64(2), 233–253. https://doi.org/10.1093/bjps/axs007

Bacaan Lainnya