Ontologi yang Mubazir dan Akrobatik

Setiap entitas yang kita postulatkan dalam kerangka ontologis membawa konsekuensi teoritis yang harus ditanggung.

Risalatul Hukmi
Risalatul Hukmi
Mahasiswa doktoral di School of History and Philosophy of Science, University of Sydney.

Dalam dua dekade terakhir, gagasan “ontologi datar” (flat ontology) tampaknya menjadi semacam balikan baru dalam filsafat kontemporer—setidaknya dalam tradisi kontinental. Seirama dengan semangat zamannya, ia hadir dengan janji egalitarian dan pembebasan: setiap entitas, baik manusia, batu, waifu, siti jenar, maupun tuyul dan mbakyul, memiliki status ontologis yang setara. Pemikir seperti Graham Harman dan Levi Bryant—para eksponen Object-Oriented Ontology (OOO)—menyerukan bahwa dunia bukanlah hirarki yang menempatkan manusia di posisi puncak, melainkan jaringan datar objek-objek yang saling berinteraksi tanpa pusat.

Dua artikel terakhir Antinomi tampaknya ingin memperkenalkan semangat baru ini kepada pembaca filsafat di Indonesia—meski tulisan terakhir adalah semangat lama. Namun, kita paham bahwa sebuah teori filsafat bukanlah doktrin komprehensif yang harus dipeluk erat. Oleh karenanya, dalam tulisan ini saya akan mengajukan beberapa catatan dari Russell dan Quine terhadap Meinong, lalu saya akan membangun keberatan saya sendiri terhadap OOO dengan berangkat dari kritik mereka. Keberatan-keberatan tersebut saya rangkum dalam argumen bahwa “ontologi datar—dalam wacana realisme spekulatif—dan meinongian tidak membawa kita menuju demokratisasi objek, melainkan pada kemubaziran karena beban ontologis yang begitu berat untuk ditanggung.”

Tiga masalah sistem meinongian

Salah satu ambisi besar dalam filsafat Meinong adalah membangun suatu teori tentang objek yang tidak bergantung pada eksistensi. Dalam sistemnya, setiap deskripsi yang mungkin dipikirkan menunjuk pada suatu objek, meskipun objek itu tidak ada di dunia aktual. Entah itu tentang “Pegasus”, “persegi bundar”, atau “Raja Perancis sekarang”. Pandangan ini, yang disebut “Teori Objek” (Gegenstandstheorie), dianggap memberikan dasar bagi pembicaraan yang bermakna tentang hal-hal fiktif atau bahkan kontradiktif.

Tampak sederhana, tapi Russell tidak suka. Bagi Russell, sistem semacam itu membawa dua masalah serius: paradoks eksistensial dan kontradiksi logis. Yang pertama, paradoks eksistensial, muncul dari cara Meinong memperlakukan terma yang tampak gagal memiliki rujukan. Jika setiap terma menunjuk pada suatu objek, maka kalimat seperti “Raja Perancis sekarang tidak ada” menjadi membingungkan, sebab untuk menolak keberadaannya, kita justru harus menganggap bahwa ia ada sebagai sesuatu yang dapat disebutkan. Russell melihat ini sebagai kekeliruan logis: istilah yang tidak memiliki rujukan seharusnya tidak dianggap menunjuk apa pun (Russell, 1905). 

Masalah kedua, kontradiksi logis, muncul dari tesis bahwa setiap kombinasi sifat yang dapat dipikirkan melahirkan objeknya sendiri. Jika begitu, maka kita bisa bilang bahwa “persegi bundar” adalah suatu objek, walaupun tidak mungkin eksis. Russell menganggap pandangan ini absurd karena melanggar hukum non-kontradiksi: bagaimana mungkin sesuatu sekaligus bundar dan tidak bundar? Dengan membiarkan objek-objek kontradiktif, sistem Meinong tampak menanggalkan fondasi logika klasik dan menjadikan dunia penuh dengan objek-objek absurd, dan kata Russel “… this is intolerable” (Russell, 1905:483).

Namun oleh Edward N. Zalta, seorang neo-meinongian, intuisi Meinong ini ingin diselamatkan tanpa terjerumus ke dalam jebakan Russell. Zalta membedakan dua cara suatu objek dapat memiliki sifat: exemplify dan encode. Suatu objek mengejawantahkan (exemplify) sifat ketika sifat itu benar-benar berlaku atas dirinya di dunia aktual, seperti Socrates yang mengejawantahkan sifat “manusia”. Tetapi suatu objek dapat pula menyandang (encode) sifat secara deskriptif, tanpa benar-benar memilikinya secara aktual. “Pegasus” misalnya, tidak mengejawantahkan apa pun, tetapi menyandang sifat “kuda” dan “bersayap”. Pembedaan ini memungkinkan Zalta menjelaskan mengapa kalimat seperti “Pegasus tidak ada” tetap bermakna: Pegasus memang tidak mengejawantahkan keberadaan, tetapi tetap menyandang sifat yang membuatnya dapat disebut dan dibicarakan (Zalta, 1993).

Meski Zalta tampak bisa mengatasi dua masalah yang diajukan Russell, tetap saja, Zalta tidak mampu menyelamatkan sistem meinongian ini dari masalah ketiga dari W.V.O Quine: komitmen ontologis berlebihan. Jika persoalannya hanya agar pembicaraan tentang objek non-eksisten tetap bermakna, menurut Quine, kita tidak perlu memiliki komitmen ontologis terhadap objek tersebut. “Teori Deskripsi” yang diajukan Russell, bagi Quine sudah bisa menyelesaikan masalah ini (Quine, 1948). Dalam teori Russell, frasa seperti “Raja Perancis sekarang” tidak diperlakukan sebagai nama, melainkan sebagai ekspresi kuantifikasi tersusun, misalnya, “ada tepat satu x sedemikian sehingga x adalah raja Prancis dan x botak.” Dengan cara ini, kalimat dapat dinilai salah tanpa mengasumsikan keberadaan “raja Perancis” sebagai entitas.

Saya tidak punya alasan untuk tidak sepakat dengan Quine; pertanyaan tentang “apa yang ada” bukanlah soal semantik atau empati ontologis, melainkan soal komitmen teoretis—“apa yang harus ada agar teori kita benar?”. Oleh karenanya, kita tidak perlu mengakui keberadaan entitas non-eksisten hanya karena kita dapat membicarakannya. Merancukan yang semantik dengan yang ontologis hanya mengantarkan kita pada kesesatan berpikir. Contoh kesesatan berpikir semacam ini sudah lama dikhawatirkan oleh Nietzsche dalam “Senjakala Berhala” (Götzen-Dämmerung), “Aku takut kita tidak bisa membuang Tuhan karena kita masih percaya pada gramatika.” Dengan kata lain, kita suka mengasumsikan sesuatu “ada” hanya karena kebiasaan kita dalam berbahasa—dan itu sesat pikir. Karena seperti yang Quine katakan, kita tidak otomatis berkomitmen pada keberadaan sesuatu hanya karena kita bisa menamainya.

Dari Meinong ke OOO

Semangat meinongianisme ini tampaknya tak padam hanya karena kritik Russell. Semangat ini bertransformasi dalam bentuk baru melalui Object-Oriented Ontology (OOO), yang digagas Harman, dkk.. Secara ringkas—semoga tidak terlalu menyederhanakan—kita bisa memahami klaim OOO dalam satu tarikan nafas:  “segala sesuatu, nyata atau fiktif, memiliki eksistensinya tersendiri.” Jadi, tak hanya meja dan planet, tetapi juga tokoh fiksi, algoritma, bahkan lubang hitam dianggap sama-sama “objek” dengan status ontologis yang setara. Dalam hal ini, kita bisa bilang bahwa OOO secara tidak langsung mewarisi semangat kedermawanan ontologis (ontological generosity) ala Meinong.

Tentu saja, saya tidak berniat untuk menyamakan dua teori ini—meski Wolfendale (2014) bilang Harman memang mengadopsi Husserl dan Meinong sekaligus dalam filsafatnya. Saya juga tidak akan mencoba mengajukan kritik serius terhadap konstruksi teoritis dari OOO sebab Wolfendale sudah melakukannya dengan cukup baik; bahwa itu hanya mereproduksi korelasionisme dengan versi yang lebih buruk; prinsip quadruple yang cuma retoris; kausalitas yang paradoksal dan tak dapat diuji (Wolfendale, 2014).

Alih-alih mengulang kritik serupa, saya lebih tertarik untuk mengujinya di level meta-teori: “Apa sebenarnya motivasi [filosofis] utama dari OOO? Apa keuntungan yang kita dapatkan dari teori ini tapi tidak dari teori lain? Is that even a theory at all?” Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk memastikan apakah OOO ini merupakan teori yang dibangun untuk menyelesaikan persoalan filosofis yang legit, atau hanya bentuk akrobat filosofis? Namun untuk menjawab semua pertanyaan tersebut membutuhkan uraian yang panjang, oleh karenanya saya hanya akan fokus pada pertanyaan pertama.

Jika kita merujuk Wolfendale, OOO ini lahir dari perdebatan orang-orang Speculative Realism (SR) di blog—terutama Harman dan Levi Bryant. Sepintas, motivasi utamanya cukup meyakinkan, yakni untuk melampaui kutukan korelasionisme yang diwariskan Immanuel Kant. Singkatnya, korelasionisme adalah pandangan bahwa kita tidak pernah dapat berpikir tentang keberadaan dunia tanpa relasinya dengan pikiran manusia. Artinya, kita hanya bisa memahami dunia “sebagaimana ia muncul bagi kita” (Phänomenon), bukan “sebagaimana ia ada pada dirinya sendiri” (Noumenon). Untuk itu, Harman mengusulkan supaya kita mereorientasi filsafat kita kepada pembicaraan tentang “Objek”, mengembalikan otonominya, dan meratakan ontologi. Sialnya, konsep withdrawn—bahwa objek selalu menarik dirinya—yang diusulkan Harman justru malah menegaskan sekali lagi kutukan tersebut, yang menurut Wolfendale, dengan versi yang lebih buruk. 

Saya melihat kegagalan ini sebenarnya merupakan konsekuensi dari kesalahan mendekati persoalan yang ditinggalkan oleh Kant. Jika masalahnya adalah ketidakmungkinan kita mengakses dunia an-sich, solusinya bukan bagaimana cara memberikan status ontologis baru, melainkan meninjau ulang cara kita berbicara tentang dunia dalam batas-batas epistemik kita sendiri. Begitu OOO menjawab persoalan kantian dengan menambah “lapisan realitas” yang menarik-diri, ia justru memperbanyak ontologi tanpa memperbaiki struktur pengetahuan. Akhirnya, hanya mengulang tesis lama dengan bungkus baru.

Oleh karenanya, pertanyaan yang lebih tepat seharusnya: apa yang membuat konsep kita tentang dunia bekerja, dan bagaimana ia bisa direvisi agar tetap koheren dengan pengalaman dan teori kita? Dalam kerangka ini, persoalan kantian bukan krisis ontologis, tapi masalah konseptual. Dan di titik inilah OOO tersesat; ia mengganti kerja analitis atas konsep dengan mitologi baru tentang “Objek”. Dengan kata lain, OOO gagal bukan karena terlalu spekulatif—meski memang demikian, tapi lebih karena salah mengidentifikasi jenis persoalan yang ia hadapi: yang epistemik dijawab dengan ontologi, yang konseptual dijawab dengan metafor.

Soal tanggung jawab metafisik

Tidak bisa disangkal bahwa OOO dan ontologi datar lain (dalam tradisi kontinental) membuka ruang diskursus baru dalam perdebatan etika lingkungan, teknologi, juga soal dunia non-manusia. Ia juga banyak berpengaruh dalam bidang seni, sastra, dan kajian media. Namun, pengaruh yang besar tidak kemudian membuat sesuatu menjadi bisa dipertanggungjawabkan—Sokal affair mengajarkan banyak soal ini. 

Yang perlu dicatat, pertama-tama, ontologi bukan melulu soal inventarisasi daftar apa saja yang “ada” laiknya kerja-kerja sensus, sehingga lebih banyak daftar yang kita miliki tidak kemudian membuat teori ontologi kita lebih baik. Tidak hanya klaim etis dan epistemik, klaim ontologis juga harus dipertanggungjawabkan. Setiap klaim ontologis yang kita buat juga membutuhkan penjelasan mengapa kita membutuhkan itu dan untuk apa.

Kita tidak seharusnya menganggap entitas metafisik sebagai “bonus konseptual” yang bisa ditambahkan tanpa beban. Setiap entitas yang kita postulatkan dalam kerangka ontologis membawa konsekuensi teoritis yang harus ditanggung. Ketika sebuah teori menumpuk entitas yang tidak memiliki peran eksplanatoris yang jelas, maka ia hanya akan menambah beban ontologis, dan itu sebuah kemubaziran. Metafisika bukan sekadar soal estetika teoretis, tapi soal komitmen rasional: kita hanya bisa menanggung entitas yang diperlukan (indispensable) bagi koherensi dan kekuatan penjelasan teori. Spekulasi metafisik yang tidak terikat pada keperluan eksplanasi hanya akan menambah beban ontologis tanpa justifikasi yang memadai. 

Kita bisa melihat mengapa efisiensi ontologis ini penting melalui ilustrasi berikut: “Andaikan ada bangunan yang tiba-tiba roboh dan menelan puluhan korban, lalu kita membutuhkan penjelasan tentang apa penyebabnya agar kita bisa memutuskan siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Kita bisa memberikan setidaknya tiga penjelasan: (1) bangunan roboh karena kelalaian manusia; (2) bangunan roboh karena jin marah tidak diberi sesajen sebelum pembangunan; (3) bangunan roboh karena Tuhan menghendakinya roboh. Ketiga penjelasan tersebut sama-sama mungkin secara logis karena tidak ada kontradiksi di dalamnya. Namun, penjelasan (2) atau (3) mengharuskan kita memercayai jin atau Tuhan dan akhirnya tidak ada yang bisa dimintai pertanggungjawaban. Penjelasan (1) tidak mengharuskan kita memercayai entitas baru dalam ontologi saintifik dan, dengan demikian, memungkinkan adanya sebuah penyelidikan untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab.”

Untuk itu, dalam hal ini saya kira kita harus kembali lagi pada prinsip parsimoni ontologis bahwa kita tidak seharusnya mempostulatkan lebih banyak entitas daripada yang benar-benar diperlukan, atau dalam bahasa Ockham, “Entia non sunt multiplicanda praeter necessitatem—entitas tidak seharusnya dilipatgandakan melampaui yang semestinya.” 

Benar bahwa “spekulatif” memang salah satu ciri berpikir filsafat, tapi dalam metafisika, spekulasi tanpa logika yang ketat hanya menghasilkan konstruksi imajiner. Di sinilah filsafat spekulatif seperti OOO sering terjebak: ia terlalu menyandarkan konstruksi teoritisnya pada imajinasi akrobatik daripada prinsip ketahanan (robustness) dan daya eksplanatoris. Begitu kita membangun metafisika di atas spekulasi-spekulasi akrobatik semacam ini—yakni klaim yang tampak canggih secara retoris tetapi tak memiliki struktur inferensial yang memadai—maka kita tidak lagi bekerja dalam wilayah filsafat, melainkan dalam arena retorika artistik yang hanya memproduksi konsep-konsep estetik.

Kalau kita membiarkan hal yang demikian berkembang dalam studi-studi kefilsafatan kita, tampaknya kita harus mulai menerima asumsi bahwa metafisika memang adalah studi tentang alam gaib, dunia klenik, “orang pintar”, dan perdukunan. Sederhana, tapi “pesulap merah” tidak suka.

Referensi

Quine, Willard V. “On What There Is.” The Review of Metaphysics, vol. 2, no. 5, 1948, pp. 21–38. JSTOR, http://www.jstor.org/stable/20123117. Accessed 8 Oct. 2025.

Russell, Bertrand. “On Denoting.” Mind, vol. 14, no. 56, 1905, pp. 479–93. JSTOR, http://www.jstor.org/stable/2248381. Accessed 8 Oct. 2025.

Wolfendale, P. (2014). Object-oriented philosophy: The noumenon’s new clothes. Windsor Quarry: Urbanonic.

Zalta, E. N. (1993). Twenty-five basic theorems in situation and world theory. Journal of Philosophical Logic, 22(4), 385-428.

Risalatul Hukmi
Risalatul Hukmi
Mahasiswa doktoral di School of History and Philosophy of Science, University of Sydney.

Bacaan Lainnya