Fondasionalisme adalah salah satu konsekuensi yang paling mencolok dari modernitas. Secara sederhana, isitilah ini dipahami sebagai keyakinan bahwa pengetahuan dan justifikasi epistemis manusia terhadap realitas akan senantiasa bergantung pada pengetahuan dan keyakinan yang terjustifikasi (justified belief) yang langsung (Audi, 2011). Fondasionalisme tidak dapat dipisahkan dari penemuan subjektivitas (Rene Descartes) dan metodologi eksperimental-saintifik (Francis Bacon) modern. Karena begitu menekankan dasar yang tunggal, pejal, dan pasti, fondasionalisme dapat menjadi salah satu penghambat yang serius bagi diskursus pluralisme.
Masyarakat Muslim, yang modernisasinya didorong terutama oleh kolonialisme Eropa, tentu saja terpapar oleh imajinasi fondasionalisme semacam ini. Untuk merespons Barat dan meneguhkan superioritas Islam, generasi reformis Muslim awal pun secara apologetik-reaksioner mengembangkan suatu jenis fondasionalisme. Berbeda dari Barat, mereka yang belum begitu familiar dengan wacana subjektivitas modern maupun scientific enterprise, lalu berbalik arah dan menawarkan fondasionalisme dalam bentuk, menggunakan istilah Daniel Brown (1999), strict scripturalism. Melalui ini, mereka membayangkan bahwa kitab suci telah menyediakan jawaban bagi segala persoalan kehidupan yang dihadapi umat manusia.
Menurut penulis, hal demikian merupakan salah satu persoalan krusial yang mengaburkan kekayaan dan ambiguitas tradisi Islam di masa lalu. Tidak hanya itu, fondasionalisme juga mengancam kemajukan yang telah menjadi norma kehidupan modern. Secara langsung, fondasionalisme menegasikan nalar dan etika yang sebetulnya menjadi basis bagi agensi moral manusia. Akibatnya, masyarakat Muslim modern yang dulunya sangat toleran, bahkan apresiatif, terhadap keragaman dan ambiguitas kini memandang pluralitas sebagai ancaman yang mesti disingkirkan (Bauer, 2021).
Dalam konteks keragaman agama, hal mendasar yang pertama-tama mesti diakui adalah bahwa setiap manusia berkeinginan kuat untuk menghidupi suatu kehidupan yang autentik. Maka, setiap upaya rekognisi akan pluralitas agama perlu didasarkan pada pengakuan terhadap autentisitas diri yang berkeinginan untuk merealisasikan totalitasnya menuju kesempurnaan, realisasi di dalam suatu jalan yang ia pilih menuju Yang-Maha-Lain. Tulisan ini bertujuan untuk mengulas kontribusi seorang sarjana Muslim kontemporer dari Iran, Mohammad Mojtahed Shabestari, dalam memikirkan persoalan keragaman dan perbedaan agama secara serius. Bersama Shabestari, kita akan berupaya mengartikulasikan urgensi untuk menjadikan pluralisme sebagai bagian dari pandangan dunia kita, terutama dalam domain etika dengan yang-lain.
Hermeneutika: Horizon, Kedirian, dan Yang-Maha-Lain
Shabestari merupakan seorang ulama otoritatif dengan gelar hujjah al-Islām dan profesor emeritus Filsafat Islam di Tehran. Ia sangat menguasi ilmu-ilmu keislaman klasik karena dibesarkan dalam sebuah pendidikan tradisional hauzah ‘ilmiyyah selama 18 tahun. Shabestari juga sangat fasih dalam diskursus hermeneutika filosofis berkat perkenalannya dengan filsafat kontinental, terutama di Jerman, ketika ia menjadi pemimpin Islamic Centre di Hamburg. Kontribusinya dalam pemikiran Islam tidak hanya terbatas pada upaya untuk memikirkan kembali Islam dan teks Al-Qur’an, namun juga meliputi isu-isu mutakhir, seperti kebebasan, HAM, sekularisasi, dan tentu saja, pluralisme agama.
Dalam aspek pemikiran filosofis, sumbangan paling penting dari Shabestari bagi dunia Islam adalah hermeneutika. Berbeda dari sejumlah pembaharu Islam, seperti Nasr Hamid Abu Zayd dari Mesir, Shabestari tidak mendasarkan hermeneutika pada tradisi Islam, namun pada apropriasi menyeluruh terhadap tradisi filsafat kontinental. Hal ini sangat tampak ketika ia menolak untuk menerjemahkan hermeneutika sebagai ta’wīl. Tidak hanya memperkenalkan istilah itu dalam percakapan sehari-hari, ia juga mempresentasikannya secara komprehensif dalam dunia intelektual Islam dengan mengapropriasi hermeneutika Friedrich Schleiermache, Martin Heidegger, Hans-Georg Gadamer, Paul Ricoeur, dan filsuf lainnya.
Dapat dibayangkan, bagaimana seorang ulama bersorban menggunakan term hermeneutika dalam ceramah dan tulisannya. Tidak berlebihan jika Katajun Amirpur menempatkan Shabestari sebagai pioneerhermeneutika di Iran (Amirpur, 2013). Untuk memahami bagaimana Shabestari merumuskan hermeneutika filosofis dalam konteks Islam, penulis telah menguraikannya dengan detil dalam tesis penulis, Horizon Baru Hermeneutika Islam (Afif, 2023), sehingga tidak perlu mengulangnya di sini.
Bertolak dari skema hermeneutika filosofis, Shabestari memandang bahwa Islam adalah reorientasi diri kepada Yang-Maha-Lain. Dalam perjalanannya bermigrasi menuju Yang-Maha-Lain (Tuhan), diri manusia tidak akan pernah dapat dilepaskan dari horizon yang mensituasikan sekaligus memungkinkannya dalam memahami diri, masyarakat, dan dunia. Horizon tersebut meliputi sejarah, sosial, bahasa, dan tubuh (Vahdat, 2004).
Selain mensituasikan, horizon demikian tentu saja membatasi pemahaman manusia untuk mengakses realitas secara lengkap dan menyeluruh (Shabestari, 1998). Pada titik ini, wahyu Ilahi, dalam hal ini Al-Qur’an, berperan penting dalam membuka cakrawala baru bagi manusia, dengan tanpa menegasikan horizonnya, dan membawanya melintasi keterbatasan profan menuju Tuhan (Shabestari, 2013a). Oleh karenanya, aktivitas menafsir, dengan mengelaborasi hermeneutika Ricoeurian, bukan hanya proses identifikasi dan eksplikasi makna dari teks, namun merupakan perjalanan dialektis untuk menemukan the selfhood.
Melalui pemahaman dan penghayatannya terhadap Al-Qur’an, seseorang akan mengalami suatu perjumpaan dengan Yang-Maha-Lain. Iman kemudian mengambil bentuk sebagai konten pengalaman dan ekspresi konkret dari perjumpaan tersebut. Performasi ritual dan tindakan moral tentu saja tetap dipandang sebagai posisi penting dalam keberagamaan seseorang. Namun, nilai dan autentisitasnya sangat ditentukan dari pengalaman tersebut. Dari perjumpaan dengan Yang-Maha-Lain, diri seseorang akan bertransformasi secara eksistensial di mana hatinya terhubung dengan Tuhan.
Iman vis-à-vis Pembacaan Resmi
Shabestari, dalam al-Īmān wa al-Ḥurriyyah (Faith and Freedom) (2013), berargumen bahwa syarat fundamental yang memungkinkan keimanan seseorang itu flourishing adalah kebebasan. Konstruksi kebebasan Shabestari tentu saja diartikulasikan dalam kerangka hermeneutika filosofis. Artinya, kebebasan dan otonomi diri bukanlah subjek metafisis cogito Cartesian, melainkan selfhood (kedirian) dinamis yang didasarkan pada, dan dimungkinkan melalui, pergumulan etis dengan yang-lain maupun Yang-Maha-Lain—terfasilitasi melalui interaksi hermeneutis dengan wahyu (Rizvi, 2013). Berkenaan dengan ini, tujuan agama tidak lain adalah mempromosikan suatu jenis iman yang didasarkan pada kesukarelaan (voluntary faith) (Akbar, 2021).
Konsekuensi dari penegasan ini adalah bahwa setiap individu membutuhkan pergumulan interpretatif dengan teks keagamaan. Mengapropriasi perspektif Ricoeur, Shabestari menyatakan bahwa pergumulan ini mesti dibersamai dengan distansiasi untuk mengkritisi pra-pemahaman, intensi, dan ekspektasi pembaca (Shabestari, 2014a). Dengan membedakan dimensi tsawābit/immutable dan mutaghayyirāt/mutable dari agama, Shabestari lalu menegaskan bahwa seluruh interpretasi manusia itu terbatas dalam horizon spesifik, dan oleh karenanya, tentatif.
Penegasan akan kebebasan sebagai basis iman dan pengembangan hermeneutika filosofis mengantarkan Shabestari pada kritisisme dan kecurigaan radikal terhadap segala jenis tafsir yang terinstitusionalisasi. Ia menyebutnya gejala partikularisme keagamaan semacam ini sebagai qirā’ah al-rasmiyyah li al-dīn (official reading of religion) (Shabestari, 2013b). Menurut Shabestari, bahaya laten dari pembacaan resmi bukan hanya terletak pada pembatasan terhadap kebebasan manusia, namun juga penegasian akan keabsolutan Tuhan. Jika demikian, manusia tidak lagi menemukan dirinya di hadapan Yang-Maha-Lain, namun di dalam “tuhan” yang telah dibatasi dan direifikasi (Shabestari, 2013a).
Dengan melawan tendensi fondasionalisme dalam pembacaan resmi, Shabestari turut menjadikan kebebasan sebagai basis bagi pluralisme etis. Pluralisme semacam ini membuka jalan seluas mungkin bagi realisasi diri melalui interaksi dan perjumpaan langsung dengan Yang-Maha-Lain dalam teks. Selain itu, ia juga menyediakan ruang bagi perjumpaan etis dengan yang-lain dalam keberlainannya, melalui rekognisi bahwa mereka adalah diri yang bebas dan dinamis. Dari sini, kita dapat melacak jejak dari ketegangan diskursif dari filsafat Hegelian terkait subjektivitas (otonomi, kehendak, kesadaran, dan determinasi diri) dan universalitas (rekognisi mutual terhadap subjektivitas dan kesetaraan antarindividu) dalam pikiran Shabestari (Vahdat, 2002).
Pada saat yang sama, iman yang genuine mesti terbebas dari paksaan dan hambatan, baik itu dogmatik maupun kultural. Shabestari memahami bahwa iman merupakan tindakan memilih. Dikatakan demikian jika ia ditopang oleh kehendak bebas dan pilihan yang berkesadaran (Shabestari, 2013a). Sejak pembacaan resmi memainkan peran sebagai, menggunakan istilah Khaled Abou El Fadl (2001), coercive authority yang berupaya memonopolisasi kebenaran dan memaksakan definisi tunggal bagi keimanan terhadap setiap individu, hermeneutika kecurigaan mesti diaplikasikan terhadap model pembacaan tersebut.
Pembacaan resmi terhadap agama, dalam konteks Iran, didasarkan pada dua klaim problematik: completeness dan applicability Islam sebagai sebuah sistem yang komplet. Setelah revolusi, kristalisasi tafsir dari generasi Muslim revivalis ke dalam pembacaan resmi kemudian menghadirkan krisis bagi masyarakat. Hal ini terutama terlihat dalam pembatasan akan kebebasan manusia, baik dalam berinteraksi dengan teks maupun memilih jalan keimanan.
Relasi Dialektis antara Iman dan Pluralisme
Ulasan di atas lantas mengarah kepada suatu konsekuensi hermeneutis yang tidak terhindarkan, yaitu keniscayaan keragaman pembacaan terhadap teks (Akbar, 2016). Pada titik ini, penulis hendak menegaskan bahwa Shabestari berhasil menyediakan basis hermeneutik bagi pluralisme. Tidak hanya itu, premis kebebasan yang ia promosikan akan menuntun seseorang pada toleransi dan respek terhadap keragaman dan perbedaan. Tentu saja, toleransi di sini diperoleh melalui pergumulan resiprokal terhadap yang-lain dan ditopang oleh proses hermeneutis-kritis, baik pada level iman maupun praktik sosial (Shabestari, 2013b).
Elaborasi Shabestari yang lebih ekstensif terkait pluralisme agama dapat ditemukan dalam artikelnya yang berjudul al-Ta’addudiyyah al-Dīniyyah (Religious Pluralism) (Shabestari, 2013b). Sebagaimana tulisan-tulisan sebelumnya, Shabestari terlebih dahulu menggarisbawahi bahwa ia berbicara mengenai diskursus pluralisme dari lensa hermeneutika filosofis. Menurutnya, pluralisme akan efektif jika dilengkapi dengan kesadaran skeptis-kritis terkait kapabilitas manusia dalam memastikan bahwa suatu interpretasi secara akurat dan objektif dapat menyingkap intensi mendasar teks dan mengeksplisitkan ketersembunyian Tuhan dalam benak manusia.
Setelah menegaskan keterbatasan suatu interpretasi, Shabestari menguraikan dua sifat (property) konstitutif dari agama, yaitu sifat eksistensial yang berakar pada pengalaman keagamaan individu dan sifat personal dan dialogis sebagai bentuk interaksi sang diri dengan yang-lain. Selain itu, Shabestari juga menolak kecenderungan untuk memahai agama sebagaimana sains modern memahami kenyataan secara exact.
Poin krusial yang mesti penulis tegaskan adalah bahwa pluralisme bukanlah relativisme. Bagi Shabestari, pengakuan, penerimaan, dan apresiasi positif terhadap ragam agama sebagai horizon yang dapat menuntun seseorang kepada keselamatan tidaklah mencakup suatu jenis pesimisme epistemis terhadap kebenaran yang terkandung dalam kepercayaan dan praktik suatu agama (Rizvi, 2013). Kenyataannya, dalam setiap agama, terdapat komitmen ontologis yang realis terhadap Yang-Maha-Lain. Kendati demikian, komitmen ini tidak dengan sendirinya menjadikan skema epistemis seseorang itu sebagai sebuah realisme, mengingat bahwa kerangka berpikir manusia telah senantiasa tersituasikan di dalam horizon spesifik (Shabestari, 2014a). Sebagai konsekuensi dari keragaman skema epistemis tersebut, proses dan format artikulasi pengalaman keagamaan tidak akan pernah statis dan tunggal.
Alih-alih memusatkan perhatian pada perbedaan, ketidakcocokan, bahkan kontradiksi dari pemahaman dan penghayatan manusia terhadap Yang-Maha-Lain, Shabestari memandang bahwa setiap agama menawarkan jalan keselamatan yang setara bagi pemeluknya. Dalam hal ini, Syari’at tidak dipahami sebagai satu himpunan (set) aturan spesifik, melainkan jalan dari Yang-Maha-Lain yang termanifestasikan secara beragam.
Sejak iman yang yang dipilih secara bebas mesti didasarkan pada pengalaman keagamaan dan diartikulasikan dalam bentuk etika, pluralisme sendiri tidak dapat dipisahkan dari keberagamaan seseorang. Terdapat hubungan dialektis antara keimanan seseorang dengan penerimaannya terhadap kemajemukan. Dalam kalimat lain, to be religious is to be interreligious.
Dalam buku yang dipublikasikan belakangan, Ta’ammulāt fī al-Qirā’ah al-Insāniyyah li al-Dīn (Reflections on Humanistic Reading of Religion) (2014b), Shabestari secara konsisten menguraikan dasar argumentatif bagi pluralisme agama yang didasarkan pada intersubjektivitas dan etika. Tidak hanya itu, ia bahkan meradikalkan hermeneutikanya dengan mengajukan pendekatan yang paling humanistis dalam memahami teks dan realitas. Premis yang tetap bertahan dalam buku ini adalah bahwa pengenalan dan realisasi diri hanya dimungkinkan melalui horizon dan interaksi hermeneutis bersama dengan diri yang-lain.
Dengan demikian, perjalanan diri menuju Tuhan mesti berangkat dari, dan dimulai dengan, upaya serius untuk menemukan dan merealisasikan diri melalui interaksi resiprokal-kritis dengan yang-lain, baik teks, manusia, maupun alam semesta. Identitas diri di sini tidak pernah menjadi milik pribadi seseorang. Karena, identitas tersebut sejatinya didefinisikan dan ditentukan dalam relasionalitasnya dengan yang-lain. Maka, keragaman agama sebagai artikulasi autentik dari pengalaman manusia itu sendiri adalah bagian konstitutif dari diri. Yang terpenting, seperti yang diungkapkan Ricoeur (1992), adalah keterbukaan, pengakuan, dan pembenaran akan yang-lain sebagai bagian dari diri kita, begitupun sebaliknya. Pada akhirnya, kehidupan baik memang hanya dapat diwujudkan melalui jalinan persahabatan bersama dengan yang-lain (Aristotle, 2004), maupun Yang-Maha-Lain.
Daftar Pustaka
Afif, F. (2023). Horizon Baru Hermeneutika Islam: Studi Pemikiran Hermeneutika Filosofis Mohammad Mojtahed Shabestari [MA Thesis]. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Akbar, A. (2016). A Contemporary Muslim Scholar’s Approach to Revelation: Mohammad Moǧtahed Šabestarī’s Reform Project. Arabica, 63, 656–680. https://doi.org/10.1163/15700585-12341420
Akbar, A. (2021). Freedom of Religion: The Contribution of Contemporary Iranian Reformist Scholars. Religions, 12(6), Article 6. https://doi.org/10.3390/rel12060384
Amirpur, K. (2013). Mohammad Mojtahed Shabestari: Der Prophet Liest die Welt. In Reformislam: Der Kampf für Demokratie, Freiheit und Frauenrechte (pp. 201–234). C. H. Beck Verlag.
Aristotle. (2004). Nicomachean Ethics (R. Crisp, Ed. & Trans.). Cambridge University Press.
Audi, R. (2011). Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge. Routledge.
Bauer, T. (2021). A Culture of Ambiguity: An Alternative History of Islam (H. Biesterfeldt & T. Tunstall, Trans.). Columbia University Press.
Brown, D. (1999). Islamic Ethics in Comparative Perspective. The Muslim World, 89(2), 181–192. https://doi.org/10.1111/j.1478-1913.1999.tb03677.x
El Fadl, K. A. (2001). Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women. Oneworld Publications.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as Another. Chicago University Press.
Rizvi, S. H. (2013). Oneself as the Saved Other? The Ethics and Soteriology of Difference in Two Muslim Thinkers. In M. H. Khalil (Ed.), Between Heaven and Hell: Islam, Salvation, and the Fate of Others (pp. 180–204). Oxford University Press.
Shabestari, M. M. (1998). Al-Tafsīr wa al-Hirminūtīk. Qaḍāyā Islāmiyyah Mu‘āṣirah, 4, 123–142.
Shabestari, M. M. (2013a). Al-Īmān wa al-Ḥurriyyah (A. al-Qabanji, Trans.). Mu’assasah al-Intisyār al-‘Arabī.
Shabestari, M. M. (2013b). Naqd al-Qirā’ah al-Rasmiyyah li al-Dīn (A. al-Qabanji, Trans.). Mu’assasah al-Intisyār al-‘Arabī.
Shabestari, M. M. (2014a). al-Hirminiyūṭīqā: Al-Kitāb wa al-Sunnah (A. J. al-Rifa‘i, Ed.; H. Najaf, Trans.). Dār al-Tanwīr li al-Ṭibā’ah wa al-Nasyr.
Shabestari, M. M. (2014b). Ta’ammulāt fī al-Qirā’ah al-Insāniyyah li al-Dīn (H. Najaf, Trans.). Dār al-Tanwīr li al-Ṭibā’ah wa al-Nasyr.
Vahdat, F. (2002). God and Juggernaut: Iran’s Intellectual Encounter with Modernity. Syracuse University Press.
Vahdat, F. (2004). Post-revolutionary Islam Modernity in Iran: The Intersubjective Hermeneutics of Mohamad Mojtahed Shabestari. In S. Taji-Farouki (Ed.), Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (pp. 193–224). Oxford University Press.