Apakah Gangguan Mental itu Nyata?

Memahami realitas gangguan mental berarti memahami bahwa realitas tersebut bukan hanya persoalan biologis atau psikologis saja, tetapi jejaring kompleks yang menuntut kepekaan epistemologis dan etis.

Risalatul Hukmi
Risalatul Hukmi
Mahasiswa doktoral di School of History and Philosophy of Science, University of Sydney.

Thomas Szasz, seorang psikiater Hongaria-Amerika, pernah menulis, “there is no such thing as mental illness, it’s only problem of living.” Pernyataan ini, meskipun kontroversial, telah menjadi salah satu kutipan paling terkenal dalam perdebatan filsafat psikiatri kontemporer. Dalam bukunya yang berjudul The Myth of Mental Illness, Szasz berpendapat bahwa konsep penyakit mental hanyalah metafora, bukan diagnosis medis sungguhan: ia hanyalah cara masyarakat memberi label pada perilaku yang menyimpang atau sulit diterima. Bagi Szasz, menyebut perilaku tertentu sebagai “penyakit” adalah tindakan moral atau politik, bukan temuan ilmiah. Walaupun banyak yang menganggap pandangan Szasz ekstrem, kritiknya berhasil membuka pintu bagi perdebatan dalam filsafat psikiatri hingga hari ini: apakah gangguan mental (mental disorder) sungguh-sungguh nyata?

Tentu saja, pertanyaan ini penting bukan hanya bagi para filsuf atau akademisi, tetapi juga bagi dokter, pembuat kebijakan, pasien, dan masyarakat luas. Apakah penderitaan psikologis merupakan fenomena biologis yang dapat diukur seperti kanker atau diabetes? Ataukah ia lebih mirip dengan konstruksi sosial yang dibentuk oleh norma, sejarah, dan budaya? Jawaban atas pertanyaan ini memengaruhi pendekatan kita: apakah prioritasnya adalah pencarian penanda biologis (biomarker) dan obat, ataukah pemahaman kontekstual dan intervensi sosial?

Sejarah psikiatri memperlihatkan pergeseran besar: dari era moral di abad ke-18, ke model biologis abad ke-19, lalu ke operasionalisme DSM-III di akhir abad ke-20. Setiap fase membawa klaim yang berbeda tentang apa itu “realitas” gangguan mental. Jika di era moral penyakit jiwa dilihat sebagai kelemahan moral, di era biologis ia dipandang sebagai persoalan dalam otak, sementara operasionalisme lebih fokus pada reliabilitas klinis daripada validitas ontologis. Namun, apakah pendekatan terkini ini cukup? Ataukah kita perlu mempertanyakan kembali: apa sebenarnya status ontologis dari gangguan-gangguan ini?

Pandangan Realis

Dalam filsafat psikiatri, realisme mengacu pada pandangan bahwa gangguan mental adalah entitas yang nyata dan eksis secara mandiri dari konsep, bahasa, atau konstruksi sosial kita. Realisme ini biasanya dipahami dalam dua tingkatan: metafisik, yang menegaskan bahwa gangguan mental eksis secara objektif di dunia, dan epistemologis, yang berargumen bahwa sains psikiatri mampu mengetahui atau menggambarkan gangguan tersebut sebagaimana adanya. Meski banyak ragam realisme, mulai dari yang paling lemah (seperti Hacking dan Cooper)  sampai yang kuat (seperti Ghaemi, Jablensky, dan McHugh), kita dapat membuat definisi paling luasnya sebagai pandangan yang meyakini bahwa, terlepas dari konstruksi dan konvensi, gangguan mental itu nyata.

Pandangan realisme kuat (strong realism) biasanya mengambil bentuknya dalam model medis (medical model), yang meyakini bahwa gangguan mental itu nyata sebagaimana penyakit fisik. Artinya, ia bukan hanya sekumpulan gejala namun juga memiliki penyebab atau etiologi yang spesifik, yang merujuk pada entitas biologis tertentu. S. Nassir Ghaemi (2016), misalnya, berargumen bahwa pendekatan modern yang menekankan gejala dan pengukuran telah melupakan karakter alamiah penyakit: penyakit adalah entitas kausal, bukan hanya deskripsi fenomenologis. Menurut Ghaemi, diagnosis seperti skizofrenia atau gangguan bipolar memiliki struktur sebab-akibat biologis yang khas, dan tugas sains adalah menemukan struktur itu, bukan sekadar mencatat gejala yang muncul di permukaan.

Assen Jablensky (2016) mendukung pendekatan ini dengan menekankan pentingnya membedakan antara validitas dan utilitas. Diagnosis yang berguna secara klinis belum tentu valid secara ilmiah. Misalnya, meskipun klasifikasi tertentu mempermudah komunikasi antar dokter, ia bisa saja gagal mencerminkan realitas biologis yang mendasarinya. Jablensky berargumen bahwa klasifikasi yang baik harus mampu mendeteksi pola alamiah—semacam klasifikasi yang memang ditemukan di realitas, bukan dibuat. Sejalan dengan Ghaemi dan Jablensky, Paul McHugh (2012) juga meyakini bahwa gangguan mental adalah gangguan sistem biologis yang spesifik. Menurutnya, sama seperti kita mempelajari kanker sebagai pertumbuhan sel yang abnormal, kita seharusnya mempelajari gangguan mental sebagai gangguan fungsi otak yang dapat didefinisikan. Baginya, diagnosis seperti skizofrenia bukan sekadar label praktis, melainkan hipotesis ilmiah tentang jenis kerusakan tertentu.

Namun, para kritikus menunjukkan bahwa tidak semua gangguan mental memiliki penanda biologis yang jelas. Bahkan skizofrenia, yang sering dikutip sebagai contoh klasik, menunjukkan heterogenitas klinis yang sangat besar. Meski begitu, para realis seperti Ghaemi menanggapi bahwa kurangnya penanda biologis saat ini tidak berarti ketiadaan entitas biologis; bisa saja sains kita belum cukup maju untuk menemukannya. Dengan kata lain, absennya bukti bukanlah bukti absensi. Lebih jauh, realisme juga mendapatkan dukungan dari penemuan genetik dan neurobiologis mutakhir. Studi asosiasi genom dan neuroimaging, meskipun belum menghasilkan pemetaan yang definitif, menunjukkan adanya pola risiko dan kerentanan yang stabil pada populasi tertentu. Para realis memandang temuan ini sebagai tanda bahwa kita sedang bergerak menuju pemahaman ontologis yang lebih dalam, meski jalannya panjang.

Pandangan Pragmatis/Instrumentalis

Berbeda dari realis, pandangan pragmatis atau instrumentalis meyakini bahwa kategori diagnosis psikiatri bukanlah representasi dari entitas tetap, melainkan hanyalah alat praktis untuk memandu tindakan. Dalam hal ini Peter Zachar (2015) memperkenalkan apa yang ia sebut dengan “jenis praktis” (practical kinds), yang menempatkan diagnosis sebagai perangkat kerja, bukan kebenaran metafisik. Artinya, validitas diagnosis tidak diukur dari seberapa baik ia mencerminkan realitas, tetapi dari seberapa efektif ia membantu prediksi, komunikasi, dan intervensi klinis.

Pendekatan pragmatis ini tercermin jelas dalam sistem klasifikasi psikiatri modern seperti DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) dan ICD (International Classification of Diseases), yang keduanya mengadopsi model berbasis gejala (symptom-based). Alih-alih mendasarkan diagnosis pada pemahaman etiologi atau mekanisme biologis yang jelas, kedua sistem ini menggunakan daftar gejala yang harus terpenuhi agar seseorang didiagnosis dengan suatu gangguan. Pendekatan ini sengaja dirancang untuk meningkatkan reliabilitas—memastikan bahwa berbagai klinisi dapat memberikan diagnosis yang konsisten berdasarkan kriteria yang eksplisit dan terstandardisasi. Namun, pendekatan ini juga menegaskan sifat instrumentalis dari diagnosis: gejala-gejala tersebut dikumpulkan dan diorganisasi untuk memfasilitasi keputusan klinis, bukan karena mereka merepresentasikan struktur alamiah yang mendasari penyakit. Dengan demikian, DSM dan ICD memperlihatkan bagaimana psikiatri beroperasi lebih sebagai ilmu terapan yang pragmatis, memprioritaskan kegunaan klinis ketimbang ambisi untuk mengungkap kebenaran metafisik tentang hakikat gangguan mental. 

Namun, sebagaimana dikatakan oleh Nick Haslam (2013), pendekatan semacam ini mengantarkan kita pada apa yang disebut sebagai mixed-blessing operationalism. Maksudnya, meskipun pendekatan ini berhasil meningkatkan konsistensi dan keseragaman dalam praktik diagnostik, ia membawa konsekuensi negatif: diagnosis yang dihasilkan sering kali dangkal secara ontologis. Dengan kata lain, meskipun kita tahu siapa yang cocok dengan label gangguan tertentu, kita tidak selalu tahu apa yang sebenarnya diwakili label itu dalam hal realitas biologis atau psikologis yang mendasarinya. Benar bahwa sistem menjadi lebih reliabel, tetapi bukan berarti lebih valid atau bermakna secara ilmiah. Berdasarkan DSM-III, psikiater atau psikolog bisa sepakat tentang siapa yang memenuhi kriteria depresi atau skizofrenia, tetapi kita tidak tahu apa yang sebenarnya tercermin dari label itu. 

Tentu saja, kedangkalan ontologis ini memperkuat posisi antirealis, yang berargumen bahwa gangguan mental tidak dapat dipandang sebagai entitas alamiah yang objektif. Salah satu bukti paling mencolok yang sering dikutip oleh para antirealis adalah penghapusan homoseksualitas dari DSM pada tahun 1973. Keputusan tersebut tidak diambil berdasarkan temuan ilmiah baru yang membuktikan bahwa homoseksualitas bukan gangguan mental, melainkan melalui voting anggota American Psychiatric Association (APA), menyusul tekanan politik dan protes dari gerakan hak-hak gay (Davies, 2014). Fakta bahwa sebuah kategori diagnostik dapat dihapus hanya melalui pemungutan suara—dan bukan hasil kajian etiologi atau bukti biologis baru—menjadi bantahan serius terhadap klaim bahwa kategori psikiatrik merefleksikan realitas objektif. Ini menunjukkan bahwa kategori-kategori tersebut bersifat kontingen terhadap nilai-nilai sosial, norma budaya, dan kekuasaan politik yang berlaku pada waktu tertentu, bukan sekadar hasil penyelidikan ilmiah yang netral. Dalam kerangka ini, perubahan kategori psikiatri tampak lebih sebagai revisi dalam konstruksi sosial ketimbang penyesuaian terhadap temuan objektif tentang alam. Oleh karenanya, antirealis beranggapan bahwa klasifikasi dalam psikiatri, sebagaimana dinyatakan Szasz, lebih menyerupai sistem klasifikasi sosial daripada alamiah.

Mencari Titik Temu

Setidaknya terdapat dua strategi yang sudah dan sedang diupayakan untuk menyelamatkan psikiatri dari tuduhan serius ini: satu melalui jalur sains, dan satu lagi melalui jalur filsafat. Upaya saintifik diwujudkan melalui proyek Research Domain Criteria (RDoC) yang diinisiasi oleh National Institute of Mental Health. RDoC bertujuan membangun fondasi psikiatri baru yang berbasis pada biomarker, genetika, dan sirkuit neurobiologis, dengan harapan menggantikan kategori diagnosis tradisional yang berbasis gejala dengan kerangka klasifikasi yang lebih dekat pada mekanisme kausal dan dasar biologis yang objektif. Pendekatan ini berusaha memperkuat klaim realisme dengan menggeser psikiatri ke arah yang lebih mirip dengan ilmu saraf, menuntut agar gangguan mental didefinisikan dan dipahami melalui dimensi biologis yang dapat diukur secara empiris.

Namun, meskipun proyek RDoC menjanjikan fondasi ilmiah yang lebih kokoh, pendekatan ini juga menghadapi berbagai kritik serius. Salah satu masalah utamanya adalah bahwa fokus eksklusif pada penanda biologis dan sirkuit neurobiologis cenderung mereduksi kompleksitas gangguan mental menjadi sekadar fenomena biologis, sehingga mengabaikan dimensi psikologis, sosial, dan budaya yang secara nyata membentuk pengalaman penderitaan mental. Selain itu, hingga kini RDoC belum berhasil menghasilkan klasifikasi yang siap pakai dalam praktik klinis; banyak temuan biologisnya masih bersifat tentatif dan belum mampu menggantikan kategori diagnosis tradisional yang sudah mapan. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa upaya “menggenetiskan” atau “menyepadankan” psikiatri dengan ilmu-ilmu alam lainnya justru dapat menyesatkan dan gagal menangkap hakikat multidimensional dari gangguan mental. Bagi sebagian filsuf dan teoritisi psikiatri, jalan saintifik semacam ini dianggap terlalu sempit dan belum memadai. Untuk itu, mereka memilih untuk bergeser ke pendekatan filosofis yang lebih fleksibel, yang dianggap lebih realistis untuk mempertahankan legitimasi psikiatri di tengah keterbatasan ontologisnya.

Sebagai respons terhadap keterbatasan pendekatan saintifik yang terlalu menekankan penanda biologis sebagai jangkar ontologis, sejumlah filsuf dan teoritisi psikiatri telah mengusulkan cara-cara alternatif untuk memikirkan realitas gangguan mental yang tidak bergantung pada esensialisme. Kenneth Kendler (2011), melalui teori mechanistic property cluster (MPC), berargumen bahwa gangguan mental sebaiknya dipahami sebagai kumpulan sifat-sifat (properties) yang cenderung muncul bersama karena diikat oleh mekanisme kausal yang kompleks. Dalam kerangka ini, tidak diperlukan satu esensi tetap (seperti penanda biologis) untuk mendefinisikan suatu gangguan; yang penting adalah adanya keteraturan dalam hubungan antarsifat yang didorong oleh mekanisme yang relatif stabil. Muhammad Khalidi (2013) mengembangkan gagasan serupa melalui konsep causal networks, yang memandang gangguan mental sebagai simpul dalam jaringan kausal yang melibatkan berbagai gejala, faktor lingkungan, dan predisposisi biologis yang saling memengaruhi. Pendekatan ini secara eksplisit meninggalkan esensialisme klasik, yang mencari hakikat tetap bagi setiap natural kind, dan menggantikannya dengan model yang lebih fleksibel dan dinamis. Dengan demikian, realitas gangguan mental tidak lagi bergantung pada penemuan penanda biologis tunggal, melainkan pada keberadaan pola-pola kausal yang stabil dan dapat diidentifikasi dalam jaringan kompleks yang membentuk fenomena gangguan tersebut. Pendekatan ini memungkinkan psikiatri untuk tetap berakar pada kajian ilmiah yang serius tanpa harus terikat pada ambisi menemukan esensi biologis yang mungkin tidak pernah ada.

Untuk melengkapi tawaran-tawaran tersebut, kita juga dapat mempertimbangkan pandangan Rachel Cooper. Cooper (2013) menawarkan perspektif yang memperluas pemahaman kita tentang gangguan mental dengan secara eksplisit mengakui bahwa klasifikasi psikiatri tidak pernah sepenuhnya bebas nilai. Dalam karya-karyanya, Cooper menekankan bahwa meskipun psikiatri berupaya menggunakan kriteria yang objektif dan ilmiah, konsep “gangguan” atau “disorder” selalu melibatkan unsur evaluatif—yakni penilaian tentang apa yang dianggap buruk, menyimpang, atau merugikan dalam konteks kehidupan manusia. Ia berargumen bahwa untuk sebuah kondisi dapat dikategorikan sebagai gangguan mental, tidak cukup hanya menunjukkan adanya disfungsi biologis atau psikologis; kondisi tersebut juga harus melibatkan kerugian atau penderitaan yang diakui secara sosial. Dengan demikian, Cooper menolak pandangan yang memisahkan secara tegas antara fakta dan nilai dalam psikiatri, dan menegaskan bahwa dimensi normatif adalah bagian tak terpisahkan dari konsep gangguan mental itu sendiri. Tawaran ini memberi ruang bagi pemahaman yang lebih realistis terhadap psikiatri sebagai disiplin yang tidak hanya berurusan dengan mekanisme kausal, tetapi juga dengan norma-norma budaya dan sosial yang menentukan apa yang dianggap patologis.

Penutup

Apakah gangguan mental nyata? Tentu, jawabannya tidak sesederhana ya atau tidak. Beberapa gangguan, seperti skizofrenia atau bipolar, mendekati status penyakit biologis, meskipun memiliki persoalan heterogenitas. Gangguan lain, seperti gangguan kepribadian atau beberapa gangguan kecemasan, mungkin lebih tepat dipahami sebagai konstruksi praktis yang membantu komunikasi klinis, bukan sebagai entitas alamiah yang pasti.

Dengan mengadopsi pendekatan yang ditawarkan Kendler dan Khalidi, kita dapat menghindari reduksionisme yang terburu-buru sebagaimana tercermin dalam proyek RDoC. Kita mau tidak mau harus mengakui bahwa psikiatri adalah domain sains yang berbeda: ia beroperasi di persimpangan antara sains, nilai, budaya, dan pengalaman manusia. Memahami realitas gangguan mental berarti memahami bahwa realitas tersebut bukan hanya persoalan biologis atau psikologis saja, tetapi jejaring kompleks yang menuntut kepekaan epistemologis dan etis.

Pendekatan semacam ini tidak hanya penting untuk filsafat, tetapi juga untuk praktik: ia membantu kita menjadi klinisi, peneliti, dan pembuat kebijakan yang lebih peka, yang tidak hanya mengejar kebenaran ilmiah, tetapi juga menghormati martabat dan pengalaman hidup mereka yang paling terdampak oleh label “gangguan mental.”

Referensi

Cooper, R. (2013). Natural Kinds (K. W. M. Fulford, M. Davies, R. G. T. Gipps, G. Graham, J. Z. Sadler, G. Stanghellini, & T. Thornton, Eds.; Vol. 1). Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199579563.013.0056

Davies, J. (2014). Cracked: Why psychiatry is doing more harm than good. Icon.

Ghaemi, S. N. (2016). Utility without validity is useless. World Psychiatry: Official Journal of the World Psychiatric Association (WPA)15(1), 35–37. https://doi.org/10.1002/wps.20287

Haslam, N. (2013). Reliability, Validity, and the Mixed Blessings of Operationalism (K. W. M. Fulford, M. Davies, R. G. T. Gipps, G. Graham, J. Z. Sadler, G. Stanghellini, & T. Thornton, Eds.; Vol. 1). Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199579563.013.0058

Jablensky, A. (2016). Psychiatric classifications: Validity and utility. World Psychiatry: Official Journal of the World Psychiatric Association (WPA)15(1), 26–31. https://doi.org/10.1002/wps.20284

Kendler, K. S., Zachar, P., & Craver, C. (2011). What kinds of things are psychiatric disorders? Psychological Medicine41(6), 1143–1150. https://doi.org/10.1017/S0033291710001844

Khalidi, M. A. (2013). Natural categories and human kinds: Classification in the natural and social sciences. Cambridge University Press.

McHugh, P. R. (2012). Seeing sense in psychiatric diagnoses. In Philosophical Issues in Psychiatry II: Nosology. Oxford Academic. https://doi.org/10.1093/med/9780199642205.003.0030

Zachar, P. (2015). Psychiatric disorders: Natural kinds made by the world or practical kinds made by us? World Psychiatry14(3), 288–290. https://doi.org/10.1002/wps.20240

Risalatul Hukmi
Risalatul Hukmi
Mahasiswa doktoral di School of History and Philosophy of Science, University of Sydney.

Bacaan Lainnya