Sejak diterbitkannya buku Jonathan Z. Smith, Imagining Religion (1982), status ontologis dari kategori ‘religion‘ mulai dipertanyakan dalam studi agama-agama; apakah agama betul-betul eksis sebagai kenyataan atau hanya merupakan produk dari konstruksi sosial, historis, dan konseptual akademis? Dalam buku itu, Smith berargumen bahwa meski banyak data yang menunjukkan fenomena, pengalaman, dan ekspresi manusia yang bisa disebut ‘religius’ namun ‘religion‘ sebagai sebuah kategori itu sendiri tidak ada.
Skeptisisme semacam ini kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai “teori konstruksionis tentang agama”. Klaim utama dari teori ini adalah bahwa ‘religion’ (selanjutnya akan saya sebut ‘agama’) bukanlah kategori alamiah dan netral, melainkan kategori yang secara sosial dan historis dikonstruksi oleh kesarjanaan Barat modern. ‘Agama’, dalam pandangan ini, bukanlah kategori yang bisa dipisahkan dari politik dan budaya sehingga memerlukan perhatian dan perlakuan yang berbeda.
Tentu saja, klaim besar tersebut memerlukan tanggapan yang serius. Untuk itu, dalam ulasan ini, saya akan mencoba menguraikan pandangan dari Kevin Schilbrack (2010, 2014) sebagai respons terhadap skeptisisme tersebut. Secara umum, Schilbrack mengakui dan menerima sebagian besar kritik dari konstruksionis, tetapi ia menolak kesimpulan radikal dari mereka yang menganggap bahwa ‘agama’ sama sekali tidak ada, sehingga istilah tersebut mesti dihapus atau ditinggalkan. Dengan mengusung perspektif realisme kritis (critical realism), Schilbrack bermaksud mencari jalan tengah bagi ketegangan ontologis antara realisme naif dengan abolisionisme radikal. Baginya, kendatipun ‘agama’merupakan hasil dari proses konstruksi sosial, ia tetap menunjuk pada pola-pola perilaku dan praktik yang sungguh-sungguh nyata di dunia, independen dari sekadar pengandaian maupun definisi para akademisi.
Pandangan Konstruksionis
Schilbrack memulai uraiannya dengan mengakui keabsahan kritik dari konstruksionis terhadap konsep ‘agama’. Apabila kita menelusuri rekaman dari catatan-catatan sejarah, kita akan menemukan bahwa terminologi ‘agama’memang merupakan produk modernitas Barat (Harrison, 2010). Sebelum memasuki abad ke-17, ragam penghayatan dan praktik yang hari ini diidentifikasi sebagai religius senantiasa terhubung dengan, dan tidak dapat dipisahkan dari, ranah politik, praktik ekonomi, penghayatan kultural, maupun dinamika sosial. Peristiwa Reformasi Gereja yang monumental berikut perjumpaannya dengan berbagai kebudayaan di luar Eropa-Amerika lantas menjadi penanda zaman bagi kelahiran suatu bentuk generalisasi baru: ‘agama’ sebagai kategori ‘esensial’ yang memungkinkan orang Eropa-Amerika mengklasifikasi berbagai tradisi non-Kristen dan non-Barat. Oleh karena itu, sebagaimana yang dieksplisitkan oleh Wilfred Cantwell Smith, Talal Asad, Timothy Fitzgerald, dan Daniel Dubuisson, ‘agama’ bukanlah sebuah esensi yang universal, melainkan merupakan rancang-bangun historis yang lahir dari horizon kultural spesifik, yakni pengalaman kesejarahan Barat.
Smith (1962) menegaskan bahwa terminologi ‘agama’ semata-mata adalah ciptaan para akademisi untuk kepentingan analitis, bukan entitas yang nyata. Senada dengan itu, Asad (1993) menunjukkan bahwa konsep ‘agama’ hanya dapat dipahami dengan jernih jika diposisikan sebagai diskursus historis yang terbentuk dalam relasi kuasa (Barat dengan non-Barat) melalu berbagai proses, mulai dari sekularisasi, kolonialisme, hingga diferensiasi sosial. Melangkah lebih jauh, Fitzgerald (1999) menyatakan bahwa terminologi ‘agama’ adalah kategori kolektif-imajiner yang justru mengaburkan realitas. Baginya, berbagai fenomena keagamaan yang terjadi lebih tepat apabila dibahas dalam kategori ritual, politik, maupun soteriologi. Tidak mengherankan jika agama, seperti yang dinyatakan oleh Dubuisson (2007), merupakan selubung ideologis, di mana konsep tersebut diciptakan secara sengaja untuk menjadi alat dominasi kolonial Barat terhadap selainnya. Argumen-argumen dengan intonasi nominalis semacam itu kemudian menempatkan ‘agama’ sebagai ilusi konseptual yang sarat akan berbagai kepentingan pragmatis (Barat). Konsekuensi ontologis yang amat serius dari afirmasi tersebut, ‘agama’ tidak lebih dari sekadar rekayasa fiktif yang tidak memiliki referensi faktual apa pun “di luar sana”.
Tidak berhenti di situ, kritik-kritik demikian menekankan bahwa penggunaan terminologi ‘agama’ bersifat menyesatkan karena memuat berbagai lapisan distorsi. Dalam hal ini, distorsi tersebut muncul dalam tiga bentuk utama. Pertama, distorsi berupa reifikasi, yakni memperlakukan tradisi yang beragam dan dinamis seolah-olah merupakan sesuatu yang statis dan monolitik (McCutcheon, 1997). Kedua, distorsi berupa asumsi otonomi, yakni mengandaikan bahwa ‘agama’ adalah entitas mandiri yang dapat diceraikan dari ranah politik atau ekonomi. Padahal, pembagian seperti ini mencerminkan distingsi yang khas dari dunia Barat modern pasca-pencerahan (Asad, 1993). Ketiga, distorsi berupa privatisasi, yakni kecenderungan untuk mengartikulasikan ‘agama’ sebagai urusan iman dan keyakinan batiniah yang bersifat privat belaka; suatu pemahaman yang amat diwarnai oleh bias tradisi Protestan dan warisan rasionalisme modern(Casanova, 1994).
Bagi para kritikus, distorsi berlapis seperti ini bukan sekadar kekeliruan konseptual semata, melainkan merupakan bagian dari proyek kolonial yang mengandung dimensi ideologis spesifik. Dalam konteks ini, klasifikasi masyarakat tertentu ke dalam rubrik “tidak memiliki agama” akan dijadikan justifikasi untuk membenarkan pendisiplinan dan penjajahan Barat, sementara mereka yang dianggap “terlalu religius” akan dicitrakan sebagai pramodern, irasional, serta terbelakang (Lincoln, 2003). Tidak berlebihan jika dituliskan bahwa sejak awal, terminologi ‘agama’ berikut wacana yang berkembang darinya akan mengabdi kepada kepentingan Barat.
Schilbrack dan Realisme Kritis
Schilbrack mengakui bahwa ragam kritik yang diajukan oleh para sarjana terhadap terminologi ‘agama’ memang memiliki basis yang solid. Ia pun menilai bahwa posisi “realisme naif”—melihat ‘agama’ sebagai entitas objektif, alamiah, dan universal—tidak lagi dapat dipertahankan. Akan tetapi, Schilbrack juga menolak kesimpulan abolisionis mereka yang secara ekstrem mengemukakan bahwa ‘agama’ sama sekali tidak ada. Menurutnya, sekalipun istilah agama merupakan hasil dari proses konstruksi sosial, hal demikian tidaklah berarti bahwa ia hanyalah fiksi atau ilusi belaka.
Sebagai respons, Schilbrack mengusulkan pendekatan realisme kritisdalam menjelaskan status ontologis dari ‘agama’. Dalam pandangan ini, ‘agama’ memang merupakan fakta sosial yang keberadaannya secara niscaya bergantung pada manusia (transitive reality). Ia berbeda dari jenis (natural kinds), seperti gunung, katak, atau petir yang independen dari manusia (intransitive reality). Namun, ‘agama’, sebagai fakta sosial, tetaplah merupakan factual reality yang termanifestasikan dalam pola praktik, ritual, narasi, etika, institusi, hingga politik yang diakui, dihayati, sekaligus dihidupi secara kolektif oleh manusia. Dalam pengertian itu, status ontologis dari konsep ‘agama’ menyerupai konsep ‘negara’, ‘ekonomi’, atau ‘presiden’: semuanya merupakan konstruksi sosial yang bergantung pada kesepakatan intersubjektif manusia, namun tetap eksis secara objektif dan tidak dapat dihapus begitu saja berdasarkan preferensi individual.
Schilbrack, yang mengembangkan argumennya dengan mengelaborasi external realism John Searle (1995), membedakan antara fakta yang bergantung pada masyarakat (socially dependent facts/institutional facts dalam istilah Searle) dengan fakta yang berdiri secara mandiri dari manusia (brute facts dalam istilah Searle). Menjadi seorang presiden, memukul bola dalam pertandingan bisbol, atau mengatur sistem ekonomi adalah fakta institusional yang bersifat sosial: mereka eksis karena adanya institusi dan kesepakatan bersama oleh manusia. Akan tetapi, hal demikian tidak menjadikan mereka ilusi.
Begitu juga dengan ‘agama’: ia eksis sebagai dunia yang dihuni oleh, dan merupakan kekuatan yang memberikan pengaruh pada, manusia. Meskipun istilah ‘agama’ itu lahir dan berkembang di kemudian hari, ragam praktik ‘religius’ di masa lalu tetap dapat dikatakan eksis dalam perjalanan sejarah kehidupan umat manusia (Schilbrack, 2018). Dengan kata lain, ‘agama’ tetap ada di dunia, sebagai realitas yang transkultural, bahkan ketika ia dilepaskan dari konsep ‘agama’ itu sendiri (Schilbrack, 2017). Dengan mengadopsi perspektif realisme kritis yang dikembangkan oleh Roy Bhaskar (2008, 2010) dalam wacana filsafat sains, Schilbrack lantas mengeksplisitkan bahwa ‘agama’ memang “ontologically subjective” (bergantung pada kesadaran dan refleksi manusia), namun pada saat yang sama, ‘agama’juga “epistemically objective” (benar adanya terlepas dari opini pribadi seseorang).
Dalam rangka membantu kita dalam memahami eksposisi filosofisnya yang kompleks, Schilbrack memberikan contoh mengenai bagaimana seorang anak lelaki Thailand ditahbiskan menjadi biksu. Dalam hal ini, ia tidak sekadar diberi label ‘biksu’, tetapi benar-benar menjadi biksu melalui proses tonsur, mengenakan jubah, menjalani kehidupan sesuai dengan etos Vinaya, dan terlibat dalam sangha. Pada titik ini, ‘agama’ bukan sekadar kata, konsep, atau gagasan, melainkan merupakan praktik yang mengubah tubuh, memengaruhi komunitas, dan membentuk realitas yang kemudian dijalani. Maka dari itu, ‘agama’ adalah dunia yang dihidupi, sama seperti bangsa atau negara: realitas sosial yang dijalani dan diperformasikan, bukan sekadar kategori diskursif.
Alih-alih menghapus istilah ‘religion‘ dari perbincangan akademis—yang akan melahirkan dampak signifikan bagi keilmuan studi agama itu sendiri, karena akan kehilangan objek studinya, Schilbrack mengusulkan agar kita tetap menggunakannya dengan cara yang lebih reflektif. Ia menekankan perbedaan antara description(penggambaran berdasarkan istilah yang dipakai aktor sendiri) dan redescription(interpretasi akademis yang menggunakan terminologi eksternal). Praktik penghormatan leluhur dalam masyarakat tertentu, misalnya, dapat dideskripsikan sebagaimana para pelakunya memahami praktik tersebut, dan, pada saat yang bersamaan, juga bisa diredeskripsikan sebagai ‘religion‘, jika pola praktik, mitos, dan institusi yang mereka hidupi memiliki keterkaitan yang koheren satu sama lain.
Beberapa Catatan dan Pertanyaan
Dari apa yang sudah diajukan Schilbrack, beberapa hal saya kira cukup penting untuk direnungkan lebih lanjut. Pertama, mengenai status ontologis dari apa yang kita sebut sebagai fakta sosial. Bagaimana kita dapat membedakan antara konstruksi sosial yang arbitrer dengan konstruksi sosial yang koheren? Schilbrack menjawab, kunci koherensinya terletak pada sejauh mana para pelaku itu sendiri menghubungkan unsur-unsur praktik mereka dalam satu kesatuan yang padu (cf. Reisebrodt, 2010). Kedua, dalam hubungannya dengan realisme kritis dan pasca-strukturalisme di domain epistemologi, Schilbrack sejalan dengan Bhaskar dalam menegaskan bahwa realitas tidak sepenuhnya dideterminasi oleh wacana. Dalam hal ini, ia menolak gugatan dekonstruksionis (cf. J. Derrida) yang membayangkan fakta sebagai semata-mata produk deskripsi bahasa, sehingga pada akhirnya jatuh pada relativisme yang akan menolak keberadaan ‘agama’. Dalam kalimat lain, walaupun konsep ‘agama’itu menyejarah di dalam, dan senantiasa berkaitan erat dengan, horizon hermeneutik, linguistik, dan diskursif manusia, praktik-praktik yang ia rujuk secara ontologis tetap merupakan realitas yang nyata (Schilbrack, 2024).
Ketiga, mengenai dimensi hermeneutik dari proses ‘redeskripsi’, sekalipun ia membuka ruang bagi penggunaan istilah ‘agama’ untuk masyarakat yang tidak mengenal konsep tersebut, risiko imperialisme, setidaknya di level konseptual, tetap ada di sana. Karena itu, Schilbrack mengemukakan imperatif etis terkait refleksivitas intelektual yang berkelanjutan, di mana seorang sarjana harus memberikan alasan yang jujur dan bertanggung jawab terkait mengapa redeskripsinya berguna dan tidak menyesatkan. Sejalan dengan teori hermeneutik Paul Ricoeur (1976) terkait surplus of meaning, interpretasi ‘agama’tidak akan pernah mengambil bentuknya yang final, namun senantiasa mengalami kembang-kempis dan membuka kemungkinan bagi lahirnya makna-makna baru. Dengan strategi interpretatif tersebut, Schilbrack bermaksud menghindari bahaya laten dari reduksionisme deskriptif sekaligus membentangkan horizon yang memungkinkan interpretasi kritis itu berlangsung.
Keempat, irisan yang terjalin antara filsafat ‘agama’dengan teologi. Sejumlah teolog, baik konservatif seperti Karl Barth maupun liberal seperti John Hick, juga menyambut kritik terhadap konsep ‘agama’dengan baik. Sementara Barth menolaknya demi menegaskan otoritas wahyu Ilahi, Hick justru melihatnya sebagai peluang yang baik untuk membangun suatu model teologi pluralisme. Schilbrack, berbeda dari keduanya, tetap mempertahankan ‘agama’ sebagai objek kajian akademik yang sah, terlepas dari komitmen teologis seseorang. Terakhir, secara etis, Schilbrack, yang menolak nihilisme konseptual, menegaskan bahwa akademisi harus mewaspadai kerja-kerja intelektualnya agar tidak mereproduksi bias kolonial atau melakukan “kekerasan simbolik”.
Akan tetapi, strategi ontologis Schilbrack bukanlah tanpa persoalan. Dengan menekankan pola sosial yang menghubungkan ritual, narasi, berikut institusi, proposal yang ia usulkan berisiko mereduksi ‘agama’ hanya menjadi struktur sosial semata. Tentu saja, hal ini berpotensi mengabaikan dimensi pengalaman religius yang bersifat batin, internal, dan subjektif yang sanggup mengubah kehidupan seseorang (James, 2008) sekaligus tidak dapat ditangkap dalam kategori sosial (Otto, 1950). Selain itu, batasan konseptual dari tawaran Schilbrack masih sangat kabur dan cenderung problematis. Apabila setiap pola yang menggabungkan cerita, ritual, dan institusi bisa disebut ‘agama’, maka apakah nasionalisme atau komunisme juga termasuk agama? Sehubungan dengan ini, proposal Schilbrack belum menjawab pertanyaan mengenai bagaimana ‘agama’ bisa disebut real sebagai kategori yang distingtif. Di samping itu, meskipun ia menolak etnosentrisme dan elitisme Barat, sejumlah argumentasi yang ia kemukakan relatif masih bergantung pada kerangka filsafat Barat modern. Dalam konteks ini, kontribusi dari perspektif Asia atau Afrika masih sangat minim kita temukan, untuk tidak mengatakan absen sama sekali, dari apa yang ia usulkan. Padahal, istilah ‘agama’ di sana memiliki warna, kontur, dan resonansi yang sangat berbeda dari apa yang dibayangkan dalam dunia Barat.
Oleh karena itu, saya hendak mengusulkan sejumlah pertanyaan terbuka bagi para pembaca untuk direfleksikan lebih jauh: apakah terminologi ‘agama’ akan selalu membawa bias Kristen-Barat berupa reifikasi, otonomisasi (separasi dari politik/ekonomi), dan privatisasi (penekanan pada iman/batin; bisakah terminologi ‘agama’ dibersihkan dari beban historis-diskursif semacam ini, atau setiap penggunaan terminologi tersebut tetap akan mereproduksi distorsi epistemologis yang serupa; apabila ‘agama’ tidak dapat dipisahkan dari politik, ekonomi, maupun budaya, apakah masih bermakna untuk mempertahankan kategori ‘agama’ sebagai sesuatu yang distingtif; dengan mempertahankan dan membela istilah ‘agama’ melalui lensa realisme kritis, apakah Schilbrack tidak lagi melakukan reifikasi—menjadikan sesuatu yang historis dan kontingen seakan-akan esensial dan universal; apakah realisme kritis cukup mampu menghindari jebakan esensialisasi yang sudah dikritik secara tajam oleh para sarjana (cf. Hukmi, 2021); apakah perbandingan Schilbrack antara ‘agama’ dengan fenomena sosial lain, seperti negara atau ekonomi, valid secara epistemik, atau justru mengaburkan dimensi transenden maupun aspek ‘metafisis’ yang diklaim oleh sejumlah tradisi ‘agama’; bagaimana cara menyeimbangkan analisis institusional dengan perhatian pada pengalaman religius; bagaimana kita membedakan antara deskripsi yang berintegritas dari interpretasi yang ideologis ketika menjelaskan agama; bagaimana membuka ruang yang mengakomodir pluralitas ontologi lokal-spesifik yang boleh jadi tidak sejalan dengan kategori Barat (cf. Smart, 1996); apakah tugas dari studi agama adalah untuk melestarikan tradisi agama-agama atau sudah seharusnya melampaui itu dan mengevaluasi praktik-praktik historis dan kultural dari komunitas beragama (cf. McCutcheon, 2023); dan lain seterusnya.
Terlepas dari itu, kontribusi utama Schilbrack bagi perbincangan filsafat agama sangat signifikan. Selain mempertahankan keberlanjutan studi agama, Schilbrack juga mengingatkan bahwa realitas ‘agama’ bersifat nyata sekaligus rapuh: ia eksis sejauh dipraktikkan, namun eksistensinya tetap objektif secara epistemik. Dalam ungkapan lain, ‘agama’ adalah konstruksi sosial, namun pada saat yang sama, juga memengaruhi dunia yang dihidupi oleh manusia.
Sehubungan dengan itu, Schilbrack mengingatkan kita terkait pentingnya memikirkan kembali suatu format ontologi yang lebih fleksibel dalam memahami ‘agama’: bukan sebagai esensi transhistoris, bukan pula sebagai ilusi belaka, melainkan merupakan realitas sosial-intersubjektif yang dibentuk, sekaligus membentuk, pengalaman-pengalaman sejarah berikut praktik kehidupan manusia (Schilbrack, 2013). Tidak hanya itu, ia juga menekankan pentingnya refleksivitas hermeneutik, yaitu kesadaran terkait siapa yang mendefinisikan ‘agama’ dan untuk kepentingan apa ia didefinisikan. Bagi saya, Schilbrack telah memperluas cakrawala filsafat agama dengan membuka pintu bagi dialog yang konstruktif antara studi agama, teori sosial, antropologi, hermeneutika, dan filsafat kritis. Dalam dialog tersebut, ‘agama’ tidak lagi diartikan sebagai esensi tunggal, melainkan dipahami sebagai realitas sosial yang kompleks, historis, dan senantiasa terbuka bagi pluralitas dan diversitas interpretasi.
Daftar Pustaka
Asad, T. (1993). Genealogies of Religion: Discipline and Reasons of Power in Christianity and Islam. Johns Hopkins University Press.
Bhaskar, R. (2008). A Realist Theory of Science. Routledge.
Bhaskar, R. (2010). Reclaiming Reality: A Critical Introduction to Contemporary Philosophy. Routledge.
Casanova, J. (1994). Public Religions in the Modern World. University of Chicago Press.
Dubuisson, D. (2007). The Western Construction of Religion: Myths, Knowledge, and Ideology (W. Sayers, Trans.). John Hopkins University Press.
Fitzgerald, T. (1999). The Ideology of Religious Studies. Oxford University Press.
Harrison, P. (2010). ‘Religion’ and the Religions in the English Enlightenment. Cambridge University Press.
Hukmi, R. (2021). The Ontological Status of Religion and Its Significance for Religious Freedom. Antinomi Press.
James, W. (2008). The Varieties of Religious Experience: A Study In Human Nature. Routledge.
Lincoln, B. (2003). Holy Terrors: Thinking about Religion after September 11. The University of Chicago Press.
Mccutcheon, R. T. (1997). Manufacturing Religion: The Discourse on Sui Generis Religion and the Politics of Nostalgia. Oxford University Press.
McCutcheon, R. T. (2023). Critics Not Caretakers: Redescribing the Public Study of Religion. Routledge.
Otto, R. (1950). The Idea of the Holy: An Inquiry into the Non-Rational Factor in the Idea of the Divine and its Relation to the Rational (J. W. Harvey, Trans.). Oxford University Press.
Reisebrodt, M. (2010). The Promise of Salvation: A Theory of Religion. The University of Chicago Press.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. The Texas Christian University Press.
Schilbrack, K. (2010). Religions: Are There Any? Journal of the American Academy of Religion, 78(4), 1112–1138. https://doi.org/10.1093/jaarel/lfq086
Schilbrack, K. (2013). After We Deconstruct “Religion,” Then What? A Case for Critical Realism. Method & Theory in the Study of Religion, 25(1), 107–112.
Schilbrack, K. (2014). Philosophy and the Study of Religions: A Manifesto. Wiley Blackwell.
Schilbrack, K. (2017). A Realist Social Ontology of Religion. Religion, 47(2), 161–178. https://doi.org/10.1080/0048721X.2016.1203834
Schilbrack, K. (2018). What Does the Study of Religion Study? Harvard Theological Review, 111(3), 451–458. https://doi.org/10.1017/S0017816018000196
Schilbrack, K. (2024). The Revival of Realism and the Study of Religions. Religious Studies Review, 50(1), 55–60. https://doi.org/10.1111/rsr.17070
Searle, J. R. (1995). The Construction of Social Reality. Free Press.
Smart, N. (1996). Dimensions of the Sacred: An Anatomy of the World’s Beliefs. University of California Press.
Smith, J. Z. (1982). Imagining Religion: From Babylon to Jonestown. The University of Chicago Press.
Smith, W. C. (1962). The Meaning and End of Religion. Macmillan Press.