Menggugat Kosmosentrisme

Pada akhirnya—walau terdengar lucu untuk mengakui ini—barangkali kita membutuhkan sebuah pendekatan pluralistik dalam memberikan sebuah nilai moral, yakni tidak semua entitas kosmis harus dapat diperlakukan setara secara moral.

Fajar N.
Fajar N.
Peneliti di Antinomi Institute dalam bidang Bioetika. Area risetnya melingkupi kesehatan, lingkungan, sains dan teknologi.

Perdebatan moral terraforming bukanlah sekadar persoalan teknologi maupun sebuah ambisi luar angkasa, melainkan bagian dari upaya untuk menyentuh inti dari bagaimana kita memahami tempat yang kita tinggali (sebagai manusia) dalam semesta—serta bagaimana kita memperlakukan yang-lain di luar dari Bumi, entah itu planet, lanskap geografis, maupun potensi kehidupan asing di dalamnya, serta mempertanyakan kembali dasar moralitas dari relasi manusia dengan alam semesta. Gagasan terraforming, secara sederhana, dapat dipahami sebagai tindakan untuk mengubah lanskap suatu planet agar menjadi layak huni bagi manusia, dan tentu ini mengandung muatan etis yang menarik—dalam prosesnya, ia selalu terhalangi oleh tembok-tembok raksasa etika lingkungan (khususnya ekosentrisme dan kosmosentrisme). Sehingga, dalam refleksi kali ini saya membagi ke dalam dua titik bahasan: (1) penjelasan mengenai kerangka argumentasi kosmosentris yang ditawarkan oleh Paul York dalam artikel The Ethics of Terraforming[1] bahwa alam semesta, baik entitas biotik (hidup) maupun abiotik (tidak hidup) memiliki nilai intrinsiknya tersendiri dan dianggap sebagai komunitas moral yang layak untuk dihormati; dan (2) ketidaksepakatan saya terhadap argumentasi tersebut, khususnya dalam bingkai nilai kosmosentris yang secara binal menempatkan terraforming sebagai terorisme alam semesta, dengan membawa antroposentrisme.

Terraforming dalam Wacana Kosmosentris

York, dalam artikelnya, mengawali dengan satu klaim signifikan bahwa praktik terraforming tidak dapat dibenarkan secara etis, bahkan disangsikan landasan moralnya.[2] York mengkritik pendekatan-pendekatan seperti antroposentris dan biosentrisme yang mendasarkan pertimbangan moralnya hanya pada entitas yang tergolong sebagai pasien moral—istilah yang digunakan untuk merujuk entitas yang terdampak oleh tindakan agen moral.[3] Dengan asumsi ini, menurutnya, benda-benda mati seperti halnya planet Mars justru dianggap tidak termasuk ke dalam komunitas moral karena dianggap tidak memiliki nilai intrinsik; kecuali jika mereka dapat menunjang kehidupan biologis—hal ini berkaitan dengan pandangan antroposentrisme dan/atau biosentrisme sebagai bilah pedangnya.[4],[5] Ketajaman kritik York terletak pada penolakannya terhadap reduksi nilai alam semesta menjadi nilai guna bagi manusia, dan ia menyoroti bahayanya dari bias antroposentris yang terlalu melegitimasi eksploitasi total atas alam.[6] York mengusulkan perlunya basis etika kosmosentrisme, yang dianggapnya lebih memberikan pertimbangan moral kepada semua entitas—baik itu biotik maupun abiotik, sebagai bagian dari komunitas moral; walaupun definisi tentang hidup di sini dapat diperdebatkan, tapi biarlah itu menjadi pembahasan lain hari—sebagai bentuk koreksi terhadap bias antroposentris.[7] Pandangan semacam York ini sangat lazim ditemukan pada pegiat-pegiat kosmosentris, di mana mereka menuntut pendekatan etika yang dapat memprioritaskan semesta sebagai pusat dari nilai—bukan manusia sebagai jangkarnya.[8]

Poin yang kerap diajukan oleh para pegiat kosmosentris atas pertanyaan terraforming ini adalah mengenai apakah tindakan mengubah lanskap suatu planet lain demi kepentingan manusia ini dapat dibenarkan secara moral? Bagi mereka, planet semacam Mars bukanlah sebuah tanah kosong tanpa sejarah, ataupun dianggap sekadar objek mati yang dapat ditaklukkan maupun dimodifikasi. Sebaliknya, ia adalah entitas kosmis yang memiliki nilai intrinsik—melekat tanpa perlu disadari dan campur tangan oleh manusia sekalipun—melalui kenampakan dan kesejarahan lanskap purba yang terbentang, ngarai raksasa Valles Marineris, bahkan keberadaan gunung Olympus Mons yang gagah menjulang, dianggap sebagai gunung tertinggi di tata surya kita.[9] Sehingga, bagi mereka, entitas kosmis tersebut layak mendapatkan penghormatan etis, bukan karena potensi manfaatnya bagi manusia, namun karena keberadaan alamiahnya yang unik dan nilai intrinsik yang dimilikinya.

Bagi kosmosentris merekayasa planet demi kolonisasi manusia, merupakan bentuk vandalisme antariksa—sebagai tindakan arogan yang mewarisi semangat antroposentris, yang berakar pada warisan dominasi manusia atas alam ribuan tahun lamanya, sebagaimana halnya perintah dalam kitab-kitab keagamaan untuk memenuhi dan menaklukan Bumi.[10]Pandangan semacam ini dianggap menjadi sumber dari krisis ekologis di Bumi, yang bahkan sekarang ini tengah kita rasakan, dan dengan keegoisan manusia (melalui terorisme ekologis dalam bentuk terraforming), katastrofi ini kelak akan dibawa ke luar angkasa—untuk membagikan pengalaman kehancuran bersama dalam kosmis.[11] York berulang kali menegaskan dalam pernyataannya, manusia bukanlah pusat dari segala nilai, dan alam semesta tidak harus terikat pada nilai keberdayagunaan bagi hidup umat manusia.[12] Argumentasi ini merupakan basis dari perpanjangan ekologis, di mana nilai suatu entitas tidak semata-mata dilihat hanya dari kegunaannya saja, melainkan juga dilihat dari keberadannya sebagai bagian dari jejaring kehidupan dan evolusi kosmis yang besar.[13] Pemaksaan terhadap upaya terraforming hanya menegaskan ketidaksensitifan manusia atau bahkan menunjukkan kebutaan moral manusia terhadap nilai intrinsik kosmis.

Selain itu, hal menarik dari pandangan kosmosentris ini adalah adanya tendensi pemberian nilai moral terhadap semesta, yang justru seringkali dibalut dalam sebuah pandangan spiritual, di mana keseluruhan setiap bagiannya dianggap memiliki kesadaran sakralitasnya tersendiri.[14],[15] Hal ini termanifestasi dalam upaya-upaya perluasan atas spiritualitas pagan dan astronisme, yang menganggap bahwa dunia material tidak harus dilihat sebagai sesuatu yang mesti dilampaui demi sebuah keselamatan transendental; sebaliknya, ia perlu dilihat sebagai sesuatu yang layak untuk dicintai dan dihargai, sebagaimana bagian dari Yang-Ilahi—atau bahkan sebagai Yang-Ilahi itu sendiri.[16] Sehingga, yang ditawarkan oleh kerangka kosmosentris adalah dunia ini, termasuk alam semesta, bukanlah sebuah ilusi yang fana, melainkan manifestasi dari kesakralan itu sendiri.[17],[18] Dalam pengandaian lain, alam semesta ini dianggap seperti lingkaran yang ada pada cangkang kerang laut, di mana pada cangkang tersebut terdapat pola garis spiral yang menunjukkan kemenjadian semesta, yang bermula dari satu titik, dan terus berkembang serta meluas; dari satu titik, menuju keanekaragaman yang tak terhingga.[19] Asumsi yang diterapkan adalah, dengan menghormati keanekaragaman bentuk dan proses dalam kosmos, manusia justru memahami tempatnya dalam relasi kehidupan semesta, di mana bukan berlaku sebagai tuan, namun hanya sebagai penghuni dalam jejaring yang lebih besar.

Maka kembali lagi, tindakan terraforming atau dalam kasus mengubah lanskap Mars secara radikal tanpa pertimbangan terhadap nilai-nilai intrinsiknya, justru menjadi sebuah tindakan profan—dengan menyangkal kesakralan kosmis. Dalam kerangka ini, proyek terraforming dituntut untuk melihat semesta bukan semata dari sisi pragmatisnya, namun juga dari nilai moral dan spiritualnya. Selain itu, pandangan kosmosentris ini juga menawarkan pentingnya membangun relasi etis terhadap semesta sebagai sesuatu yang bukan hanya bersifat pasif, namun juga menciptakan upaya-upaya untuk memelihara dan menghubungkan segala sesuatunya, di mana nilai kosmis tidak terikat pada manusia, namun pada keterhubungan dan jejak evolusi yang melahirkan ragam gerak kehidupan.[20],[21] Dengan kita mengakui kapasistas dalam semua bentuk kehidupan[22]—walau demarkasi atas hidup dalam pengetahuan kita sebagai manusia masih terbatas pada basis karbon; saya tidak ingin berbicara pada ranah spekulatif, yang memungkinkan pada penarikan basis silikon, plasma, maupun tholin—maka kita harus mampu memberikan nilai intrinsik pada mereka. Meskipun bentuk kehidupan tersebut belum memiliki kecerdasan setingkat manusia—untuk menyederhanakannya, anggap saja berbentuk mikroba primitif—namun tetap saja mereka adalah ekspresi dari potensi semesta untuk menjadi kehidupan yang lebih kompleks.[23] Sehingga, tindakan menganggu ataupun menghacurkan potensi kehidupan di planet Mars melalui upaya terraformingdemi umat manusia, menjadi tidak dapat dijustifikasi secara moral.

Menggugat Kosmosentrisme

Di bagian ini, saya akan mengajukan sanggahan terhadap argumentasi York, serta kosmosentrisme secara luas. Dalam upaya membangun etika kosmosentris, York terjebak pada pengandaian bahwa semua entitas memiliki hak moral yang sama tanpa menawarkan distingsi yang jelas, bahkan ketika entitas tersebut tidak menunjukkan tanda kehidupan. Pandangan semacam ini menjadi problematik, sebab konsep nilai intrinsik yang berdiri independen dari penilai tentu sulit untuk dipertahankan secara epistemologis.[24] Bahkan di dalam perdebatan etika lingkungan, pengakuan atas nilai intrinsik justru seringkali bergantung pada subjek penilai, di mana ia mampu memeroyeksikan sebuah makna ke dalamnya. Hal ini mengingatkan saya pada perdebatan lain mengenai ontologi hewan yang digagas oleh Géraldine Paring, bahwa dalam kenyataannya, fondasi keilmuwan kita atas hewan dan relasi-relasi terhadapnya dibangun berdasarkan antroposentrisme.[25] Bahkan, meski Paring menawarkan pendekatan fenomenologi untuk memberikan ruang dan membiarkan hewan berbicara dengan bahasanya sendiri—sebagai bentuk penghormatan pada subjektivitasnya—namun tetap saja konsekuensinya adalah kita tidak pernah dapat memahami sepenuhnya mengenai hal tersebut, dan pengetahuan kita terhadap hewan akan sulit untuk dibangun. Sesederhana jika serigala bukan karnivora, domba bukan herbivora, serta kita menolak adanya pemberian label terhadap keduanya, maka bagaimana dengan nasib ilmu biologi dan bagaimana kita memahami relasi di antaranya—saya tidak akan membahas bagian ini lebih jauh, sebab ini merupakan topik dalam domain yang berbeda.

Selain itu, York juga memberikan klaim bahwa terraforming tidak dapat dibenarkan secara moral, sebab, pada keyakinannya, setiap entitas dalam alam semesta—termasuk planet Mars—memiliki nilai intrinsiknya sendiri, yang melekat tanpa perlu pengakuan manusia, dan untuk mengubahnya demi kepentingan manusia berarti mengabaikan sejarah serta lanskap kosmis yang ada. Pandangan semacam ini justru terbalik dari antroposentrisme, di mana dalam kosmosentrisme seolah menempatkan alam semesta sebagai pusat nilai moral dan di sinilah letak kelemahan lainnya. Asumsi untuk menerima semua entitas kosmis memiliki hak moral yang setara, tanpa mempertimbangkan perbedaan-perbedaan kehidupan di dalamnya justru menyebabkan kepusingan. Sesederhana, membedakan tindakan merusak batu karang dan tindakan merusak mikroba, apakah keduanya memiliki pertimbangan etis yang sama (setara).

Maka, di titik ini, keberadaan nilai intrinsik tentu tidak pernah dapat sepenuhnya dilepaskan dari konstruksi manusia—bahkan, jika bukan manusia, lantas siapa? Secara umum, saya sependapat dengan argumen Charles S. Cockell, yang menyatakan bahwa tanpa adanya penilai, objek di alam semesta hanya sekadar materi yang menjalankan reaksi kimianya, dan ia menjadi tidak relevan secara etis.[26] Pandangan sederhana semacam ini justru yang seringkali diabaikan dalam kosmosentrisme, seolah-olah nilai moral telah melekat begitu saja tanpa perlu dimediasi dan/atau ditangkap agen moral. Sementara, ketika semua entitas dianggap memiliki nilai moral yang setara, hanya akan menyebabkan stagnasi etika dalam menentukan prioritas. Padahal dalam kerangka antroposentris, nilai moral diberikan berdasarkan seberapa jauh sesuatu berhubungan dengan eksistensi, perkembangan, dan keberlanjutan kehidupan manusia—baik langsung maupun tidak langsung.[27]

Bagi saya, kosmosentrisme yang diuraikan York sudah terlalu jauh menyeret manusia keluar dari perannya sebagai makhluk yang memiliki kesadaran moral. Dengan menegaskan nilai intrinsik pada setiap entitas, termasuk pada abiotik—seperti batu-batuan ataupun lanskap Mars—kosmosentrisme seolah menghapuskan peran sentral manusia sebagai entitas yang mampu menilai dan memberi makna. Selain itu, kosmosentrisme juga telah gagal mengakui bahwa tindakan manusia dalam terraforming dapat dilihat sebagai kelanjutan dari proses kosmik itu sendiri. Mengacu pada argumentasi Martyn J. Fogg, upaya mengubah Mars agar dapat mendukung kehidupan manusia bukanlah tindakan di luar alam, melainkan ekspresi yang sah dari sifat evolusioner manusia sebagai makhluk yang merupakan bagian dari alam. Bahkan di titik ini, terraforming menjadi representasi dari tahap baru dalam evolusi kehidupan, di mana kehidupan Bumi—melalui manusia—telah mampu memutus rantai pengikat spesies dari planet asalnya (Bumi) untuk dapat tetap eksis dan menuju kehidupan lebih luas dalam kosmis. Perlu diingat bahwa alam semesta—melalui ruang angkasa—dapat menjadi frontier bagi evolusi manusia untuk berkembang ke tahap berikutnya sebagai spesies penjelajah antariksa, beradaptasi dengan biosfer baru, dan memperluas kelangsungan hidupnya.[28] Meminjam argumentasi kontinuitas oleh Iris Fry, justru seringkali kita melupakan bahwa sejatinya kehidupan merupakan hasil dari proses alamiah yang terjadi berkali-kali (lagi dan lagi) di berbagai kondisi fisik tertentu, yang bahkan mungkin bersifat memaksa.[29]

Saya juga sepakat dengan klaim Fry, bahwa munculnya suatu kehidupan tidak dapat dipandang sebagai mukjizat, namun ia adalah manifestasi dari racikan ragam hukum alam semesta, dan tentu bisa saja kehidupan lahir melalui intervensi manusia[30]—di mana kita mengamini terraforming sebagai ekspresi perluasan kehidupan melalui akal-teknologi, dan menjadi sah secara etis. Maka, jelas bahwa penolakan kosmosentris terhadap terraforming dengan menciptakan demarkasi banal antara alam (yang dianggap sebagai natural) dan hasil manusia (yang dianggap sebagai intervensi) tentu keliru—untuk memahami alam semesta sebagai entitas yang murni dan tidak boleh diganggu. Sesederhana menghormati planet Mars, bukan berarti kita membiarkannya membeku steril sepanjang masa, namun dapat menjadikannya bagian dari kehidupan yang terus berkembang. Dalam sejarah evolusi Bumi, saya yakin, kita sama-sama mengamini tidak ada batasan mutlak antara apa yang alami dan yang rekayasa, sebab kehidupan sendiri telah menjadi agen perubahan terbesar—baik melalui fotosintesis, siklus karbon, atau lainnya—bahkan jauh sebelum umat manusia hadir ke dunia ini.

Pada akhirnya—meski terdengar lucu untuk mengakui ini—barangkali kita membutuhkan sebuah pendekatan pluralistik dalam memberikan sebuah nilai moral, yakni tidak semua entitas kosmis harus dapat diperlakukan setara secara moral.[31],[32] Pemberian atas nilai moral perlu untuk melihat sejauh mana entitas tersebut berkontribusi terhadap keterhubungan, kompleksitas, dan potensi, yang lagi-lagi memiliki keterkaitan terhadap peran manusia dan bukannya semata dari keberadaannya yang ada.[33] Sehingga, nilai instrinsik ini pun harus tetap dapat dikualifikasikan nantinya, dengan mempertimbangkan kapasitas-kapasitas dan potensi dari suatu entitas dalam jaringan kosmik yang lebih luas. Dengan begitu, asumsi yang diterapkan adalah nilai intrinsik suatu entitas di sini bukan menjadi sesuatu yang melekat dan abadi di luar pengamatan, melainkan sesuatu yang diproyeksikan oleh makhluk yang mampu memberikannya makna[34]—dalam konteks ini adalah tentu saja manusia.

“Manusia adalah ukuran segala sesuatu,
baik dari yang ada (sebagaimana adanya),
maupun dari yang tidak ada (sebagaimana tidak adanya).”

~Protagoras


Catatan Kaki

[1] Paul York, “The Ethics of Terraforming,” Philosophy Now, 2002, https://philosophynow.org/issues/38/The_Ethics_of_Terraforming.

[2] York.

[3] York.

[4] York.

[5] Martyn J Fogg, “The Ethical Dimensions of Space Settlement,” Space Policy 16, no. 3 (Juli 2000): 205–11, https://doi.org/10.1016/S0265-9646(00)00024-2.

[6] York, “The Ethics of Terraforming.”

[7] York.

[8] Mark Lupisella dan John Logsdon, “Do We Need A Cosmocentric Ethic?” (Conference: International Astronautical Congress, Torino, Italy, 1997), 1–9, https://www.researchgate.net/publication/2317949_Do_We_Need_A_Cosmocentric_Ethic.

[9] York, “The Ethics of Terraforming.”

[10] York.

[11] Alan Marshall, “Ethics and the Extraterrestrial Environment,” Journal of Applied Philosophy 10, no. 2 (1993): 227–36.

[12] York, “The Ethics of Terraforming.”

[13] Marshall, “Ethics and the Extraterrestrial Environment.”

[14] Eric Otto, “Kim Stanley Robinson’s Mars Trilogy and the Leopoldian Land Ethic,” Utopian Studies 14, no. 2 (2003): 118–35.

[15] Mark Lupisella, “Precedent,” dalam Cosmological Theories of Value, oleh Mark Lupisella, Space and Society (Cham: Springer International Publishing, 2020), 7–19, https://doi.org/10.1007/978-3-030-25339-4_2.

[16] Michael York, “Geocentric and Cosmocentric Spiritualities from a Contemporary Western Pagan Perspective,” Journal of Astronist Studies 1, no. 1 (2024): 130–62.

[17] York.

[18] Lupisella, “Precedent.”

[19] Otto, “Kim Stanley Robinson’s Mars Trilogy and the Leopoldian Land Ethic.”

[20] Mark Lupisella, “Cosmological Theories of Value: Relationalism and Connectedness as Foundations for Cosmic Creativity,” dalam The Ethics of Space Exploration, ed. oleh James S.J. Schwartz dan Tony Milligan, Space and Society (Cham: Springer International Publishing, 2016), 75–91, https://doi.org/10.1007/978-3-319-39827-3_6.

[21] Lupisella, “Precedent.”

[22] Anna Frammartino Wilks, “Kantian Foundations for a Cosmocentric Ethic,” dalam The Ethics of Space Exploration, ed. oleh James S.J. Schwartz dan Tony Milligan, Space and Society (Cham: Springer International Publishing, 2016), 181–94, https://doi.org/10.1007/978-3-319-39827-3_13.

[23] Wilks.

[24] Charles S. Cockell, “The Ethical Status of Microbial Life on Earth and Elsewhere: In Defence of Intrinsic Value,” dalam The Ethics of Space Exploration, ed. oleh James S.J. Schwartz dan Tony Milligan, Space and Society (Cham: Springer International Publishing, 2016), 167–79, https://doi.org/10.1007/978-3-319-39827-3_12.

[25] Géraldine Paring, “Animal Ontologies: Phenomenological Insights for Posthumanist Research,” dalam The Oxford Handbook of Phenomenologies and Organization Studies, ed. oleh François-Xavier De Vaujany, Jeremy Aroles, dan Mar Pérezts, 1 ed. (Oxford University Press, 2023), 384–95, https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780192865755.013.21.

[26] Cockell, “The Ethical Status of Microbial Life on Earth and Elsewhere.”

[27] Zlatica Plašienková dan Eva Smolková, “In Defence of Environmental Anthropocentrism,” Studia Ecologiae et Bioethicae 22, no. 3 (6 Agustus 2024): 5–15, https://doi.org/10.21697/seb.5816.

[28] Fogg, “The Ethical Dimensions of Space Settlement.”

[29] Iris Fry, “Are the Different Hypotheses on the Emergence of Life as Different as They Seem?,” Biology & Philosophy 10, no. 4 (Oktober 1995): 389–417, https://doi.org/10.1007/BF00857591.

[30] Fry.

[31] Lupisella, “Precedent.”

[32] Mark Lupisella, “Meaning and Ethics,” dalam Cosmological Theories of Value, oleh Mark Lupisella, Space and Society (Cham: Springer International Publishing, 2020), 171–94, https://doi.org/10.1007/978-3-030-25339-4_9.

[33] Lupisella.

[34] Cockell, “The Ethical Status of Microbial Life on Earth and Elsewhere.”


Referensi

Cockell, Charles S. “The Ethical Status of Microbial Life on Earth and Elsewhere: In Defence of Intrinsic Value.” Dalam The Ethics of Space Exploration, disunting oleh James S.J. Schwartz dan Tony Milligan, 167–79. Space and Society. Cham: Springer International Publishing, 2016. https://doi.org/10.1007/978-3-319-39827-3_12.

Fogg, Martyn J. “The Ethical Dimensions of Space Settlement.” Space Policy 16, no. 3 (Juli 2000): 205–11. https://doi.org/10.1016/S0265-9646(00)00024-2.

Fry, Iris. “Are the Different Hypotheses on the Emergence of Life as Different as They Seem?” Biology & Philosophy 10, no. 4 (Oktober 1995): 389–417. https://doi.org/10.1007/BF00857591.

Lupisella, Mark. “Cosmological Theories of Value: Relationalism and Connectedness as Foundations for Cosmic Creativity.” Dalam The Ethics of Space Exploration, disunting oleh James S.J. Schwartz dan Tony Milligan, 75–91. Space and Society. Cham: Springer International Publishing, 2016. https://doi.org/10.1007/978-3-319-39827-3_6.

———. “Meaning and Ethics.” Dalam Cosmological Theories of Value, oleh Mark Lupisella, 171–94. Space and Society. Cham: Springer International Publishing, 2020. https://doi.org/10.1007/978-3-030-25339-4_9.

———. “Precedent.” Dalam Cosmological Theories of Value, oleh Mark Lupisella, 7–19. Space and Society. Cham: Springer International Publishing, 2020. https://doi.org/10.1007/978-3-030-25339-4_2.

Lupisella, Mark, dan John Logsdon. “Do We Need A Cosmocentric Ethic?,” 1–9. Torino, Italy, 1997. https://www.researchgate.net/publication/2317949_Do_We_Need_A_Cosmocentric_Ethic.

Marshall, Alan. “Ethics and the Extraterrestrial Environment.” Journal of Applied Philosophy 10, no. 2 (1993): 227–36.

Otto, Eric. “Kim Stanley Robinson’s Mars Trilogy and the Leopoldian Land Ethic.” Utopian Studies 14, no. 2 (2003): 118–35.

Paring, Géraldine. “Animal Ontologies: Phenomenological Insights for Posthumanist Research.” Dalam The Oxford Handbook of Phenomenologies and Organization Studies, disunting oleh François-Xavier De Vaujany, Jeremy Aroles, dan Mar Pérezts, 1 ed., 384–95. Oxford University Press, 2023. https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780192865755.013.21.

Plašienková, Zlatica, dan Eva Smolková. “In Defence of Environmental Anthropocentrism.” Studia Ecologiae et Bioethicae 22, no. 3 (6 Agustus 2024): 5–15. https://doi.org/10.21697/seb.5816.

Wilks, Anna Frammartino. “Kantian Foundations for a Cosmocentric Ethic.” Dalam The Ethics of Space Exploration, disunting oleh James S.J. Schwartz dan Tony Milligan, 181–94. Space and Society. Cham: Springer International Publishing, 2016. https://doi.org/10.1007/978-3-319-39827-3_13.

York, Michael. “Geocentric and Cosmocentric Spiritualities from a Contemporary Western Pagan Perspective.” Journal of Astronist Studies 1, no. 1 (2024): 130–62.

York, Paul. “The Ethics of Terraforming.” Philosophy Now, 2002. https://philosophynow.org/issues/38/The_Ethics_of_Terraforming.

Fajar N.
Fajar N.
Peneliti di Antinomi Institute dalam bidang Bioetika. Area risetnya melingkupi kesehatan, lingkungan, sains dan teknologi.

Bacaan Lainnya

Previous article
Next article