Perdebatan dalam etika, pertama-tama, adalah perdebatan tentang doktrin normatif; soal apa yang seharusnya (ought to) atau tidak seharusnya (ought not to) dilakukan. Dalam tulisannya “Mempertahankan Antroposentrisme,” Nurcahyo tampaknya melupakan pengertian paling dasar ini sehingga menciptakan kerancuan konseptual dalam argumen-argumennya untuk membela antroposentrisme.
Kerancuan yang saya maksud ini terjadi karena Nurcahyo gagal membedakan antara antroposentrisme sebagai “keniscayaan epistemik” dan antroposentrisme sebagai “doktrin normatif”. Konsekuensinya, hal ini mengantarkan pada dikotomi palsu dalam perdebatan etika lingkungan antara “menerima antroposentrisme sebagai sesuatu yang tak terhindarkan” atau “meninggalkan antroposentrisme dan membayangkan god-point-of-view.”
Dikotomi palsu ini menutup ruang untuk memahami hubungan yang lebih tepat antara perspektivalitas pengetahuan dan pilihan nilai moral. Padahal, membedakan keduanya adalah kunci untuk mengurai perdebatan: keniscayaan epistemik tentang keterbatasan perspektif manusia memang tak terhindarkan, tetapi itu tidak memaksa kita untuk memusatkan nilai moral pada manusia semata.
Demikianlah, dalam tulisan ini saya tidak akan menanggapi satu-persatu kritik Nurcahyo atas tulisan saya sebelumnya, yang hampir semuanya merupakan konsekuensi dari kesalahpahaman konseptual. Karenanya, tulisan ini hanya akan mengklarifikasi konsep antroposentrisme, yang tampaknya disalahpahami Nurcahyo, secara hati-hati. Pertama, saya akan membedakan antara antroposentrisme epistemologis dan antroposentrisme etis. Kedua, saya membedakan antara subjek moral dan agen moral. Klarifikasi konsep (conceptual clarification) semacam ini penting supaya kita terhindar dari sesat pikir dan argumen panjang yang tidak bermakna.
Keniscayaan epistemik dan doktrin normatif
Kita bisa sepakat dengan apa yang dinyatakan Nurcahyo bahwa “perspektif etika lingkungan mana pun…tetap dikonstruksi (dimediasi) oleh manusia, dalam bahasa dan perspektif manusia juga terhadap dunia.” Dengan kata lain, hampir—jika bukan sama sekali—tidak mungkin kita membangun penalaran moral sepenuhnya di luar kondisi ‘kemanusiaan’ kita. Oleh karenanya, antroposentrisme sering kali dianggap sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan.
Namun, dalam perdebatan filsafat, antroposentrisme memiliki dua level pemahaman yang harus dibedakan secara hati-hati[1]. Pertama, sebagai tesis epistemologis, ia membawa klaim bahwa semua pengetahuan kita tentang dunia, termasuk tentang alam dan nilai-nilai ekologis, tak terelakkan dibentuk oleh perspektif manusia—oleh kerangka konseptual, bahasa, dan perangkat kognitif manusia. Kedua, sebagai doktrin moral, antroposentrisme membawa klaim normatif bahwa hanya manusia yang memiliki nilai intrinsik (strong anthropocentrism) atau, setidaknya, nilai tertinggi (weak anthropocentrism); segala sesuatu di luar manusia dinilai terutama dari manfaatnya bagi manusia.
Yang penting dicatat di sini, dua pengertian di atas tidak memiliki hubungan logis yang niscaya: menerima tesis epistemologis tidak memaksa kita menerima doktrin moralnya. Menjadikan manusia sebagai jangkar pengetahuan tidaklah sama dengan menempatkan manusia sebagai pusat segala nilai, sebab perspektivalitas berbicara tentang bagaimana kita mengetahui, bukan apa yang layak kita anggap bernilai.
Dengan demikian, keniscayaan epistemik bahwa pengetahuan kita selalu berangkat dari perspektif manusia tidak serta-merta membenarkan penempatan manusia sebagai pusat nilai moral; ia hanya menandai batas cara kita memahami dunia, sementara landasan dan arah kompas nilai tetap terbuka bagi kemungkinan untuk mengakui nilai intrinsik entitas di luar manusia.
Namun, di sinilah salah satu jebakan berpikir muncul. Ada kecenderungan untuk mengubah keterbatasan epistemik ini menjadi klaim normatif: karena semua penilaian moral dirumuskan manusia, maka semua nilai moral pasti atau harus manusia-sentris. Ini seperti mengatakan: karena Nurcahyo, dalam kehidupan rumah-tangganya, satu-satunya orang “yang paling tahu” maka segala keputusan hidup berumah-tangga harus “tentang Nurcahyo”—sebuah kesimpulan yang jelas keliru, jika bukan egois.
Yang penting dicermati di sini adalah “tentang Nurcahyo” (subjek moral) berbeda dengan “diputuskan Nurcahyo” (agen moral). Subjek moral merujuk pada entitas yang bisa dirugikan dan oleh karenanya layak untuk masuk dalam pertimbangan moral. Sementara, agen moral merujuk pada entitas yang memiliki kapasitas untuk memutuskan dan bertindak berdasarkan pertimbangan moral[2]. Dari dua pengertian ini, kita bisa memahami apa yang membedakan antara antroposentrisme, ekosentrisme, biosentrisme, atau sentrisme yang lain adalah subjek moralnya bukan agen moral. Jadi, mungkin benar bahwa manusia adalah sesuatu yang tak terhindarkan, tapi dalam posisinya sebagai agen moral—sejauh hanya manusia yang diasumsikan memiliki kesadaran moral—bukan sebagai subjek moral.
Singkatnya, perdebatan “-sentrisme” seharusnya lebih tepat dipahami sebagai perdebatan soal siapa saja yang diakui, atau lebih diutamakan, sebagai subjek moral. Sementara, atribusi agen moral tetap—setidaknya untuk saat ini—berada pada manusia sebagai konsekuensi dari keniscayaan epistemik. Artinya, kewajiban dan tanggung jawab etis melekat secara asimetris pada manusia sebagai pengambil keputusan, tanpa harus memusatkan kepentingan moral pada manusia semata. Pembedaan ini mencegah kesesatan berpikir yang kerap menciptakan dikotomi palsu antara “menerima antroposentrisme” atau “meninggalkan antroposentrisme sepenuhnya.” Selain itu, hal ini juga membuka ruang bagi pengakuan moral terhadap hewan, ekosistem alam, atau entitas non-manusia lain sebagai entitas yang layak masuk pertimbangan moral tanpa menyematkan beban dan tanggungjawab moral secara keliru.
Implikasi dari kerancuan
Kerancuan antara “yang epistemik” dan “yang normatif”; antara “subjek moral” dan “agen moral”, setidaknya memiliki dua implikasi penting. Pertama, pada level konseptual, kerancuan ini mengantarkan kita pada argumen-argumen panjang tidak bermakna dalam perdebatan etika lingkungan. Dalam argumen Nurcahyo, misalnya, “mengharapkan adanya etika yang sepenuhnya non-antroposentris dan otonom dari manusia justru berisiko menciptakan utopia normatif, yang justru sulit dijadikan sebagai sebuah pijakan.” Argumen ini muncul karena Nurcahyo menganggap bahwa jika kita berkomitmen pada etika non-antroposentris, artinya kita harus memaksa mereka (yang bukan manusia) bersuara untuk kepentingan mereka sendiri dan menyerahkan semua beban moral kepada mereka.
Adalah absurd memahami etika non-antroposentris, seperti ekosentrisme atau biosentrisme, dengan membayangkan pohon atau sungai berbicara mewakili kepentingan mereka sendiri. Sama absurdnya dengan mengandaikan pohon yang tumbang menimpa manusia harus bertanggungjawab secara moral atau bahkan legal. Jadi, kesimpulan bahwa jika pada akhirnya manusia yang bersuara mewakili kepentingan mereka (non-manusia) berarti masih terjebak dalam antroposentrisme, adalah keliru. Keabsurdan cara berpikir seperti ini lahir dari kegagalan memahami ‘-sentrisme’ dalam etika lingkungan sebagai tesis tentang subjek moral, bukan tentang agen moral.
Kedua, pada level praktis, menggunakan keterbatasan epistemik sebagai justifikasi moral antroposentrisme sangat kontra-produktif dengan kebijakan-kebijakan konservasi alam. Jika setiap konservasi memerlukan justifikasi ‘pengetahuan’ tentang manfaatnya secara langsung untuk manusia, banyak entitas yang harus kita eksklusi dari daftar ontologis konservasi. Persis seperti yang dinyatakan Nurcahyo, “siapa yang sudi membela keberlangsungan hidup badak bercula satu hanya demi badak bercula satu saja” kalau tidak ada untungnya untuk manusia?
Jelas, antroposentrisme sebagai doktrin normatif tidak bisa memberikan jawaban untuk pertanyaan “mengapa kita harus menyelamatkan badak bercula satu?” Kalaupun bisa, ia akan memerlukan justifikasi epistemik yang begitu kompleks seperti: karena badak membantu persebaran biji tanaman dan tumbuhan di Taman Nasional Ujung Kulon, dan tumbuhan di sana menyumbang 0,005% (misalnya) persediaan oksigen dunia, dan manusia tidak bisa hidup tanpa oksigen, maka kita harus menyelamatkan badak bercula satu dari kepunahan. Bisa saja—tapi apa tidak terdengar absurd?
Dalam persoalan inilah mengapa kita butuh justifikasi moral non-antroposentris. Keterbatasan epistemik justru menjadi alasan penting mengapa kita perlu mempertimbangkan nilai intrinsik di luar manusia; sebab kita tidak memiliki pengetahuan lengkap tentang kebermanfaatan segala hal untuk manusia. Kalau pun kita memiliki pengetahuan itu, tidak serta merta menjustifikasi prioritas tindakan moral yang harus kita ambil. Andaikan misalnya, kita tahu bahwa tambang nikel memiliki manfaat untuk manusia, sementara kita tidak tahu apa manfaat orangutan dan entitas lain di lokasi perencanaan tambang itu, mana yang harus kita prioritaskan? Dalam spektrum antroposentrisme, dari yang kuat sampai yang lemah, jawabannya hanya satu: tambang lebih bermanfaat untuk manusia. Boleh saja—tapi apa tidak terlalu naif?
Penutup
Membedakan antroposentrisme sebagai keniscayaan epistemik dari antroposentrisme sebagai doktrin normatif adalah langkah penting untuk menghindari kesalahan berpikir dalam perdebatan etika lingkungan. Keniscayaan epistemik tentang keterbatasan perspektif manusia memang tak terhindarkan: kita tidak bisa keluar dari kerangka bahasa, konsep, dan perangkat kognitif manusia. Namun, hal ini tidak kemudian mengandaikan bahwa semua nilai moral harus manusia-sentris. Kita tetap dapat, atas dasar argumen normatif yang kuat, mengakui nilai intrinsik dan hak moral bagi entitas non-manusia.
Jadi, yang bermasalah dari antroposentrisme bukanlah biasnya sebagai ‘manusia’, melainkan ‘sentralitas’ yang dijadikan sebagai landasan doktrin etika. Sebaliknya, penolakan terhadap antroposentrisme normatif tidak membutuhkan pelepasan total dari kondisi-kondisi faktis kita sebagai manusia. Ia dapat dijalankan melalui prosedur yang secara sadar memperluas lingkaran pertimbangan moral, merancang indikator yang menampilkan suara entitas tak bersuara, dan membentuk institusi yang memberi ruang bagi kepentingan non-manusia. Demikianlah, keterbatasan perspektif manusia tidak menjadi alasan untuk mengecilkan horizon moral—atau bahkan mereduksinya, melainkan menjadi titik awal untuk merancang kerangka keadilan ekologis yang realistis dan inklusif.
Catatan Akhir
[1] Aleardo Zanghellini, ‘Affirming Animal Rights, Anthropocentrically’, Jurisprudence, 31 July 2025, 1–23, https://doi.org/10.1080/20403313.2025.2533609. Zanghellini juga membuat pembedaan semacam ini dengan menyebutnya sebagai ‘antroposentrisme epistemik’ dan ‘antroposentrisme normatif’. Namun, saya tidak sepakat bahwa keduanya sama-sama tidak terhindarkan.
[2] Mark Rowlands, Can Animals Be Moral? (Oxford University Press, 2012), https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780199842001.001.0001.