Dua Masalah Antroposentrisme

Menolak antroposentrisme bukan berarti menghapus manusia dari daftar pertimbangan etis, tetapi hanya melepaskannya sebagai pusat nilai.

Risalatul Hukmi
Risalatul Hukmi
Mahasiswa doktoral di School of History and Philosophy of Science, University of Sydney.

Dalam perdebatan etika kontemporer, terutama yang berkaitan dengan krisis ekologis dan masa depan keberlanjutan planet, antroposentrisme biasa menjadi titik tolak sekaligus sasaran kritik. Menariknya, Fajar Nurcahyo dalam artikelnya Menggugat Kosmosentrisme mencoba membangunkan kembali argumen yang mulai ditinggalkan tersebut untuk melawan kosmosentrisme (sedikit juga ekosentrisme). Secara ringkas, argumen utama Nurcahyo berbunyi bahwa alam tidak memiliki nilai an sich, sehingga pemberian nilai apa pun padanya hanya mungkin dilakukan sejauh berkaitan dengan manusia.

Tentu saja ini bukan argumen baru. Tim Hayward (1997) pernah menulis bahwa antroposentrisme adalah hal yang tak terhindarkan, tak bisa dibantah, atau bahkan diperlukan. Alasannya, sebagaimana ia kutip dari Ferré (dalam Hayward, 1997: 51), karena “kita tidak punya pilihan selain hanya berpikir sebagai manusia.” Sebelumnya, Bryan Norton (1995) juga berargumen bahwa baik antroposentrisme maupun non-antroposentrisme pada akhirnya akan menghasilkan tindakan dan kebijakan lingkungan yang sama: menjaga ekosistem alam itu penting—yang pertama demi manusia, yang kedua demi alam itu sendiri.

Banyak sudah kritik yang diajukan untuk argumen-argumen tersebut: bahwa ia tidak memadai untuk konservasi biodiversitas (Rolston, 2012), kontribusi positifnya terbatas pada sejauh mana kesadaran menangkap manfaat langsung yang didapat manusia (Kopnina, dkk., 2018), logika instrumentalnya menafikan pertimbangan-pertimbangan etis lain yang melampaui kepentingan manusia (McShane, 2007).

Namun, dalam tulisan ini saya tidak hendak berusaha menyangkal argumen-argumen antroposentrisme atau bahkan memberikan pembelaan terhadap kosmosentrisme ataupun ekosentrisme. Saya hanya akan mengajukan dua persoalan mendasar dari antroposentrisme yang sering luput dari perhatian tapi penting dipertimbangkan. Pertama, bahwa antroposentrisme tidak memiliki batas epistemologis dan etis yang tegas. Hal ini membuat antroposentrisme bersifat resorptif: ia menyerap bentuk-bentuk kritik terhadap dirinya tanpa benar-benar berubah dalam strukturnya. Kedua, antroposentrisme gagal memberikan standar internal yang dapat membantu pengambilan keputusan etis, terlebih dalam kondisi krisis. Ketika suatu tindakan atau kebijakan diklaim sebagai demi kepentingan “manusia,” selalu muncul pertanyaan lanjutan yang tidak dapat dijawab secara netral: manusia yang mana? Dengan kata lain, ada semacam relativisme internal dalam tubuh antroposentrisme sebab ia tidak memiliki mekanisme yang cukup untuk mendefinisikan kepentingan manusia secara universal dan inklusif.

Masalah pertama: elastisitas normatif

Salah satu kesulitan utama dalam mengevaluasi antroposentrisme sebagai kerangka etis adalah sifatnya yang secara epistemik dan normatif tidak memiliki batas yang tegas. Secara konseptual, antroposentrisme memang terlihat mudah dikenali: yakni, pandangan bahwa nilai moral tertinggi selalu kembali kepada manusia sebagai pusat. Namun, ketika konsep ini diuji dalam praktik moral dan perumusan kebijakan, batasnya menjadi kabur. Banyak argumen yang pada permukaannya tampak non-antroposentris—misalnya, seruan untuk melindungi hutan tropis, menyelamatkan spesies yang terancam punah, atau menghentikan pencemaran laut—pada akhirnya tetap dapat diklaim sebagai bagian dari antroposentrisme karena alasan yang mendasarinya adalah keberlangsungan hidup manusia. 

Masalah ambang-batas ini pada akhirnya mengantarkan antroposentrisme ke dalam elastisitas normatif. Dengan kata lain, antroposentrisme jatuh menjadi self-immunizing concept yang mengakomodasi hampir semua bentuk perhatian etis terhadap entitas non-manusia, asalkan dapat disusun dalam argumen kebermanfaatannya bagi manusia. Hal ini tampak, misalnya, dalam argumen kebijakan yang menyebut bahwa “keanekaragaman hayati penting bagi kesehatan sistem imun manusia,” atau bahwa “perlindungan spesies laut penting untuk ketahanan pangan global.” Meskipun argumen ini mungkin tampak progresif, mereka tetap beroperasi dalam horizon antroposentris, di mana entitas non-manusia hanya bernilai sejauh mereka mendukung kehidupan manusia. Implikasi lebih jauhnya adalah bahwa antroposentrisme dapat menyamarkan dirinya sebagai etika ekologis, padahal ia sebenarnya belum bergeser dari logika instrumental. Ini menciptakan ilusi perubahan paradigma etis, padahal dalam kenyataannya hanya terjadi pengulangan kerangka lama dengan bahasa yang lebih inklusif secara semu.

Konsekuensinya, jika antroposentrisme mampu menyerap seluruh bentuk argumen etis hanya dengan mengubah orientasi manfaatnya, maka ia menjadi suatu kerangka yang tak terfalsifikasi—bukan dalam artian empiris, melainkan ketidakmungkinannya diuji secara kritis menurut standar rasional yang biasa digunakan dalam filsafat moral. Akhirnya, dengan demikian, antroposentrisme hanya akan menjadi dogma yang kebal dari kritik karena bisa menyesuaikan diri dengan segala bentuk justifikasi etis dan kehilangan kapasitasnya untuk menjadi kerangka normatif yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini menunjukkan bahwa antroposentrisme bukan hanya sebuah teori moral yang terbatas, tetapi sebuah struktur penalaran yang hegemonik—ia tidak memberi ruang bagi bentuk nilai yang sungguh-sungguh otonom di luar manusia, dan karena itu menutup kemungkinan bagi etika yang lebih adil secara ontologis.

Masalah kedua: relativisme internal

Masalah kedua yang melekat dalam antroposentrisme adalah kegagalannya untuk menyediakan standar internal yang stabil dan inklusif ketika dihadapkan pada situasi krisis. Dalam kerangka antroposentris, keputusan moral seharusnya didasarkan pada pertimbangan terbaik bagi “manusia.” Namun, rumusan ini sendiri bersifat ambigu dan rentan terhadap politisasi. Ketika sebuah kebijakan dinyatakan sebagai “demi kepentingan manusia,” selalu muncul pertanyaan lanjutan: manusia yang mana? Apakah yang dimaksud adalah mayoritas populasi, kelompok yang paling rentan, generasi yang akan datang, atau justru mereka yang memiliki kekuasaan dan sumber daya untuk mendefinisikan kebijakan publik? Dan siapa yang berhak menentukan prioritas moral itu? Dalam situasi normal, dilema ini mungkin tidak terlalu mengganggu, tetapi dalam situasi krisis—seperti kelangkaan sumber daya, konflik geopolitik, atau bencana iklim—ketidakjelasan ini menjadi sumber konflik etis yang serius.

Saya bisa memahami kalau, tampaknya, persoalan inilah yang menjadi dasar bagi Hayward untuk bersikeras bahwa kritik terhadap antroposentrisme adalah sebuah kekeliruan dan oleh karenanya kontraproduktif. Hayward menolak anggapan bahwa semua antroposentrisme itu keliru secara moral, karena dalam banyak kasus perhatian terhadap sesama manusia justru menjadi dasar bagi perlakuan etis terhadap makhluk non-manusia. Ia juga menunjukkan bahwa sebagai makhluk bernalar, manusia tak bisa menghindari perspektif manusiawi dalam menilai dunia, sehingga antroposentrisme dalam pengertian ini bersifat tak terelakkan. Karena itu, Hayward menyarankan agar kritik lebih tepat diarahkan pada spesiesisme—yaitu perlakuan istimewa terhadap manusia hanya karena ia manusia—dan chauvinisme manusia, yaitu penggunaan standar moral yang tampaknya universal namun pada kenyataannya selalu memihak manusia. Kedua bentuk bias inilah yang menurutnya menghalangi relasi etis yang setara antara manusia dan alam, bukan antroposentrisme secara umum yang masih bisa menjadi landasan etika lingkungan yang bertanggung jawab (Hayward, 1997). 

Tapi justru inilah kelemahan mendasar antroposentrisme: ia bukan hanya gagal menyediakan standar moral yang stabil dan inklusif dalam menghadapi konflik kepentingan antar manusia, tetapi juga cenderung hanya menerima atribusi yang positif terhadap manusia—sebagai makhluk rasional, etis, dan bertanggung jawab—di saat yang sama menutup mata terhadap sifat destruktif, predatoris, dan oportunistik manusia sebagai spesies. Dengan membingkai etika lingkungan atas dasar “kepentingan manusia,” antroposentrisme menempatkan manusia di posisi istimewa tanpa evaluasi kritis, dan karenanya tidak sanggup mengakomodasi pertanyaan-pertanyaan moral yang lebih radikal: apakah manusia memang layak menjadi pusat nilai? Ketika kerangka ini terlalu cepat memaafkan atau membenarkan dominasi manusia atas alam, ia justru menjadi penghalang bagi munculnya kesadaran ekologis yang lebih jujur dan transformatif.

Yang perlu dipertimbangkan

Ada baiknya kita mempertimbangkan pembedaan tiga tipe antroposentrisme yang diajukan Thompson (2007), yang sering kali tumpang tindih namun memiliki implikasi yang berbeda: antroposentrisme ontologis, konseptual, dan etis. Antroposentrisme ontologis mengandaikan bahwa manusia adalah pusat dari realitas itu sendiri—bahwa dunia ada demi manusia atau memperoleh maknanya karena manusia. Antroposentrisme konseptual merujuk pada keterbatasan struktural dalam pengetahuan kita, yakni bahwa manusia tidak dapat memahami dunia kecuali melalui kerangka pikir, bahasa, dan nilai-nilainya sendiri. Sementara itu, antroposentrisme etis adalah pandangan bahwa hanya kepentingan manusia yang memiliki nilai moral langsung, sedangkan makhluk atau entitas lain hanya bernilai sejauh mereka berguna bagi manusia. 

Saya tidak menyangkal bahwa dalam tingkat konseptual, antroposentrisme memang tak terhindarkan—kita menilai dan memahami dunia nyaris “selalu” dari dalam horizon manusia. Namun pengakuan atas keterbatasan ini tidak harus membuat kita menerima begitu saja bentuk antroposentrisme ontologis dan etis. Justru sebaliknya, kita perlu membuka kemungkinan bagi suatu pandangan yang tidak menjadikan manusia sebagai pusat segala hal: pandangan yang secara ontologis mengakui keberadaan dan nilai entitas non-manusia secara independen, dan secara etis menimbang bahwa hak atau pertimbangan moral bisa diberikan tanpa harus selalu berpusat pada manusia. Menolak antroposentrisme bukan berarti menghapus manusia dari daftar pertimbangan etis, tetapi melepaskannya sebagai pusat nilai atau pertimbangan utama dan menjadikannya hanya sebagai salah satu pertimbangan di antara banyak pertimbangan lain. Singkatnya, ada begitu banyak nilai yang perlu dipertimbangkan secara setara dan manusia hanya salah satu (bukan yang paling utama apalagi satu-satunya) di antaranya.

Dalam kesimpulannya, Nurcahyo sebenarnya sudah cukup progresif dengan mempertimbangkan pendekatan yang lebih pluralistik, alih-alih hanya mempertahankan antroposentrisme. Namun tampaknya ia masih setengah hati sebab mengandaikan keberagaman nilai itu dalam struktur hirarki yang tidak setara, yang menempatkan manusia tetap di urutan pertama. Yang artinya, pluralisme yang diandaikan tidak bermakna apapun—jika bukan sebuah kesalahpahaman.

Referensi

Hayward, Tim. “Anthropocentrism: A misunderstood problem.” Environmental Values 6.1 (1997): 49-63.

Kopnina, Helen, et al. “Anthropocentrism: More than just a misunderstood problem.” Journal of Agricultural and Environmental Ethics 31.1 (2018): 109-127.

McShane, Katie. “Anthropocentrism vs. nonanthropocentrism: Why should we care?.” Environmental Values 16.2 (2007): 169-185.

Norton, Bryan G. “Why I am not a nonanthropocentrist: Callicott and the failure of monistic inherentism.” Environmental Ethics 17.4 (1995): 341-358.

Rolston III, Holmes. “Values gone wild.” Inquiry 26.2 (1983): 181-207.

Thompson, Allen. “Anthropocentrism: Humanity as peril and promise.” (2015).

Risalatul Hukmi
Risalatul Hukmi
Mahasiswa doktoral di School of History and Philosophy of Science, University of Sydney.

Bacaan Lainnya