Object Oriented Ontology: Sebuah Pengantar

Object-oriented ontology bukanlah sekadar metafisika akademis yang bermukim di menara gading. Ia adalah sensitivitas etis sekaligus sikap politis terhadap realitas.

Fakhri Afif
Fakhri Afif
Seorang pemikir Hermeneutika. Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan peneliti di Odyssey Centre for Philosophy

The thing sought and always causing perplexity as regards what being is, of old and now and always, is just this: what is substance (οὐσία)?.

Aristotle 

Kita hidup di suatu zaman yang ditandai oleh satu fenomena global yang memprihatinkan, yaitu post-truth. Istilah tersebut, yang bahkan pernah dinobatkan sebagai word of the year oleh Oxford English Dictionary pada tahun 2016, merujuk pada kondisi ketika fakta objektif tampak kehilangan daya determinannya, tidak lagi memberikan pengaruh dalam membentuk percakapan publik, hingga akhirnya digantikan oleh opini, emosi, keyakinan personal, bahkan “fakta alternatif” (Ball, 2017; McIntyre, 2018). Krisis epistemik seperti ini kemudian sering didiagnosis sebagai krisis relativisme—seakan-akan segala kebenaran runtuh dan pada akhirnya tergantikan oleh klaim dan standar subjektif individu (D’Ancona, 2017). Dalam situasi semacam itu, banyak kalangan memandang bahwa yang kita butuhkan sejatinya adalah kembali kepada “fakta objektif.” Berkali-kali mereka menekankan bahwa ilmu pengetahuan, terutama sains, adalah obat paling mujarab yang saat ini dimiliki oleh umat manusia untuk menyingkap kebenaran sekaligus melawan virus relativisme post-truth.

Akan tetapi, Graham Harman, seorang filsuf asal Amerika yang menjadi salah satu penggagas arus realisme spekulatif (speculative realism) di era kontemporer, justru mengajukan pertanyaan yang lebih mendasar: apakah benar bahwa pengetahuan faktual adalah jalan keluar satu-satunya dari masalah tersebut? Menurutnya, problem utama zaman kita sebetulnya bukanlah relativisme, melainkan idealisme, yaitu suatu bentuk keyakinan bahwa realitas pada akhirnya akan selalu bergantung pada, dan dideterminasi oleh, pikiran, bahasa, maupun berbagai bentuk konstruksi manusia (Harman, 2017). Harman menekankan bahwa yang hilang dari lanskap filsafat modern sehingga perlu dipulihkan kembali bukan hanya berkaitan dengan masalah kebenaran faktual, melainkan realitas itu sendiri; realitas yang selalu lebih kaya, lebih dalam, dan tidak pernah habis ditangkap oleh sains, tidak pernah terserap sepenuhnya dalam bahasa, dan tidak dapat direduksi pada hubungan manusia-dunia semata.

Hal demikian yang kemudian menjadi titik tolak bagi kelahiran Object-Oriented Ontology (selanjutnya saya sebut OOO), sebuah aliran filsafat yang berusaha menempatkan kembali objek di pusat perbincangan ontologi. Bagi Harman, filsafat seharusnya tidak lagi bertolak pada keraguan radikal maupun dualisme subjek-objek ala René Descartes, melainkan bermula dari naïveté (kenaifan): keberanian untuk mengakui bahwa manusia, hewan, dan bahkan ilmu pengetahuan itu sendiri, senantiasa akan berurusan dengan objek (Harman, 2011). Poin penting yang perlu segera saya kemukakan di sini adalah bahwa yang dimaksud dengan “objek” tidak hanya terbatas pada benda fisik (meja, gunung, atau atom) tetapi juga meliputi entitas fiksi (unicorn, Sherloc Holmes, Naruto), institusi sosial (negara, universitas, agama), hingga abstraksi matematis (angka prima, ruang Euclidean).

OOO menolak secara kritis dua strategi klasik yang berkembang dalam tradisi filsafat dan ilmu pengetahuan ketika bergumul dengan objek, yaitu undermining dan overmining. Secara spesifik, undermining mereduksi objek menjadi komponen dasar yang lebih kecil—misalnya atom, quark, atau prinsip kosmis yang tunggal. Sebaliknya, overminingjustru menghapus keberadaan objek dengan menyamakannya pada penampakan, kualitas, atau relasi belaka. Kehadiran OOO kemudian dimaksudkan untuk menawarkan jalan ketiga: membangun sebuah metafisika baru yang memberikan tempat bagi objek sebagai entitas otonom yang eksis dalam dirinya sendiri, terlepas dari reduksi ke atas (overmining) maupun ke bawah (undermining). Dalam tulisan ini, saya hendak memperkenalkan OOO kepada pembaca dengan menguraikan gagasan Harman terkait lapisan-lapisan dalam struktur objek, bagaimana setiap objek berinteraksi satu sama lain, hingga afirmasi bahwa OOO adalah teori segala sesuatu (theory of everything). Tidak hanya itu, saya juga akan menunjukkan urgensi OOO berikut relevansinya dengan kehidupan kita hari ini, baik secara teoretis maupun praktis.

Melawan Dua Kesalahan: Undermining dan Overmining

Kita perlu menelusuri terlebih dahulu dua strategi problematik yang berkembang dalam sejarah filsafat tatkala berinteraksi dengan objek untuk memahami mengapa posisi filosofis OOO disebut sebagai suatu posisi yang radikal (Harman, 2011, pp. 6–12). Pertama, undermining, yaitu upaya untuk mereduksi objek ke sesuatu yang lebih fundamental. Dalam filsafat pra-Sokratik, misalnya, Thales menganggap bahwa segala sesuatu pada dasarnya adalah air. Anaximenes memilih udara, sementara Demokritos menurunkan segala sesuatu pada atom. Sains modern pun sering jatuh pada bentuk serupa dengan mengklaim bahwa segala sesuatu yang ada direduksi menjadi partikel subatomik seperti quark atau string. Tidak mengagetkan jika seorang ilmuwan seperti Stephen Hawking pernah mendeklarasikan kematian filsafat karena pertanyaan-pertanyaan besar yang kini dihadapi oleh manusia dapat dijawab dengan sains, khususnya fisika. Dalam semua kasus tersebut, objek konkret—kucing, air, motor—dianggap tidak fundamental; ia hanya efek dari komponen yang lebih mendasar.

Sebaliknya, overmining bergerak ke arah berlawanan dari undermining: alih-alih melucuti objek hingga ke elemen-elemen yang lebih kecil, ia justru menganggap bahwa objek terlalu dalam untuk dipercaya sehingga lebih aman untuk mereduksinya pada gejala permukaan seperti kualitas, relasi, atau efek bagi kesadaran. David Hume (1973), misalnya, mendefinisikan objek sebagai sekadar kumpulan sifat yang berkorelasi dengan pengamatan manusia: tidak ada “apel” yang berdiri secara mandiri, melainkan hanya bundle of qualities (kumpulan sifat), yakni warna merah, rasa manis, maupun sensasi dingin. Pandangan ini dibawa lebih jauh ke titik ekstremnya oleh George Berkeley (1878), yang menegaskan bahwa objek tidak pernah benar-benar otonom, karena setiap eksistensinya bergantung pada, dan didefinisikan oleh, persepsi, baik dalam pikiran manusia maupun Tuhan. Tren demikian lantas mendapatkan landasan yang semakin solid setelah Immanuel Kant menerbitkan karya monumentalnya, Critique of Pure Reason (1998), di mana ia menekankan bahwa manusia tidak pernah benar-benar berhadapan dengan realitas “apa adanya” (das ding an sich), melainkan telah selalu berhadapan dengan realitas yang telah dikonstruksi melalui kategori-kategori pikiran. Sejak saat itu, filsafat kontinental cenderung memandang dunia dan manusia sebagai dua entitas yang tidak dapat dipisahkan, sebuah pandangan yang di kemudian hari dikritik oleh Quentin Meillassoux (2008) sebagai sebuah korelasionisme, yakni keyakinan bahwa manusia dan dunia hanya dapat dipikirkan dalam hubungan timbal-baliknya yang niscaya.

Kedua strategi filosofis ini, kendatipun berlawanan arah, sama-sama merampas otonomi objek. Harman kemudian melontarkan kritik yang tajam terhadap kedua-duanya melalui OOO. Jika kita hanya mengandalkan undermining, kita akan kehilangan kenyataan konkret: anjing bukanlah sekadar kumpulan molekul. Apabila kita hanya terjebak dalam overmining, kita akan kehilangan otonomi objek dalam dunia: apel bukanlah sekadar sifat (property) “merah” atau “manis.” Mengikuti Manuel DeLanda (2006), Harman kemudian menunjukkan bahwa objek, termasuk emergence object, memiliki empat ciri utama: (1) tidak dapat direduksi pada bagian-bagiannya; (2) dapat memengaruhi bagian-bagiannya; (3) dapat memperoleh bagian baru; dan (4) tetap eksis meskipun komponennya berubah. Kota Kairo, misalnya, bukan hanya sekadar kumpulan gedung. Ia dapat berkembang, menarik penduduk baru, membangun infrastruktur baru, dan pada saat yang sama tetap disebut “Kairo” kendatipun warganya berganti. Dengan demikian, OOO kemudian menawarkan alternatif: objek eksis dalam dirinya sendiri, dengan realitas yang tidak dapat diturunkan ke dalam komponen yang lebih kecil maupun dibenamkan ke dalam relasi eksternal. Sebagaimana yang ditulis oleh Harman (2017, p. 9), “Objects are irreducible to their components and also to their effects”

Menuju Sebuah Teori Baru tentang Segalanya

Harman bahkan melangkah lebih jauh dengan menantang klaim sains modern bahwa para saintis telah berhasil menuntun kita menuju “theory of everything”; sebuah teori tunggal yang sanggup menjelaskan segala sesuatu di realitas. Dalam keilmuan fisika, misalnya, kita mengenal upaya untuk menyatukan semua gaya fundamental dalam satu kerangka matematis. Bagi Harman, klaim seperti ini menjadi problematik karena cenderung jatuh pada empat jebakan (Harman, 2017, pp. 19–24). Pertama, fisikalisme, yakni mengidentikkan realitas hanya dengan materi fisik. Kedua, smallism, yakni menganggap partikel terkecil lebih nyata daripada entitas yang lebih besar. Ketiga, anti-fiksionalisme, yakni menolak keberadaan entitas non-fisik seperti fiksi, mitos, maupun institusi sosial. Terakhir, literalisme, yakni menduga bahwa realitas dapat sepenuhnya diungkapkan dalam proposisi literal.

OOO mengembangkan strategi filosofis untuk melampaui keempat jebakan tersebut dengan mengusulkan flat ontology: semua entitas, baik quark maupun korporasi, baik mitos maupun mesin, baik pegasus maupun mobil sama-sama eksis secara setara dan dalam haknya masing-masing (cf. Bryant, 2011). Tidak ada hierarki ontologis yang membuat partikel lebih nyata daripada bangsa, atau karya seni lebih rendah daripada molekul. Dalam hal ini, entitas besar tidak lebih “sekunder” daripada partikel, serta entitas fiksi tidak kurang nyata secara ontologis dibandingkan objek-objek fisik. Bayangkan, misalnya, sebuah simfoni Beethoven. Dari perspektif fisikalisme, simfoni hanya dipahami sebagai getaran udara. Dari perspektif overmining, ia hanyalah efek dari interpretasi para pendengar. Kontras dengan keduanya, OOO akan mengatakan bahwa simfoni itu sendiri adalah objek, eksis dengan kedalaman yang tidak dapat direduksi pada gelombang suara maupun tafsir manusia.

Objek Sensual dan Objek RiilDari Fenomenologi ke Withdrawal

Untuk menjelaskan bagaimana objek hadir dalam kesadaran manusia, Harman bertolak dari fenomenologi Edmund Husserl (1988). Menurut Husserl, kesadaran akan selalu bersifat intensional dalam pengertian bahwa ia mesti terarah pada sesuatu. Apa yang kita jumpai dalam pengalaman kita bersama objek bukanlah atom atau getaran gelombang, melainkan objek fenomenologis. Ketika kita mendengar sirene, kita tidak berurusan dengan frekunesi getaran udara, melainkan mengalami “sirene” itu sebagai sebuah kesatuan. Objek fenomenologis yang muncul dalam kesadaran inilah yang Harman sebut sebagai objek sensual (sensual objects) (2011, pp. 23–25). Mereka adalah kesatuan yang ditangkap, dikelilingi oleh kualitas sensual (sensual qualities): bunyi, warna, tekstur, rasa, bentuk, serta emosi. Tatkala kita mengalami lilin menyala sebagai objek sensual, misalnya, pengalaman tersebut juga akan diliputi dengan cahaya hangat, aroma lilin meleleh, dan kesan romantis sebagai kualitas sensual. Dengan demikian, fenomenologi secara tepat menunjukkan bahwa kita telah selalu berurusan dengan objek, bukan fragmen-fragmen kualitas seperti yang dibayangkan oleh sebagian promotor empirisme.

Akan tetapi, terdapat keterbatasan dalam fenomenologi Husserl: objek hanya eksis sejauh ia hadir dalam pengalaman yang diakses kesadaran manusia. Dalam kalimat lain, Husserl masih meyakini bahwa keberadaan objek itu sepenuhnya ditentukan sejauh mereka tampil sebagai fenomena di hadapan kita. Sehubungan dengan ini, Harman bukan sekadar mengadopsi gagasan Husserl, melainkan juga memperluasnya: ia mengakui objek sensual, tetapi menolak membatasi eksistensinya pada hubungan dengan kesadaran manusia. Harman lantas mengambil langkah yang lebih radikal dengan mengungkapkan bahwa objek sensual tidak hanya eksis dan diperuntukkan bagi manusia, namun juga berinteraksi dengan objek-objek non-manusia. Api misalnya, “mengalami” kapas melalui kualitas terbakar yang hadir bagi dirinya. Dengan demikian, objek sensual menjadi perantara universal bagi seluruh objek di realitas, bukan hanya terbatas pada fenomena kesadaran manusia. Dengan menyatakan bahwa objek sensual adalah riil dalam pengalaman namun bukan merupakan keseluruhan dari kisah objek, kita dapat melihat bagaimana Harman mengelaborasi Husser sekaligus berusaha untuk melampauinya. 

Dimensi lain dari objek yang hampir tidak mendapatkan perhatian oleh Husserl kemudian dikembangkan Harman dengan menoleh ke pemikiran Martin Heidegger (1962). Salah satu gagasan Heidegger yang terkenal adalah analisisnya mengenai tool-being. Dalam hal ini, alat-alat (zuhandenheit) yang digunakan oleh manusia, seperti palu, akan menghilang dari kesadaran manusia justru ketika ia berfungsi dengan baik. Harman menyebutnya sebagai “withdraws,” suatu fenomena di mana palu mundur dan mengambil jarak dari pandangan kita. Hanya ketika rusak, palu kemudian muncul sebagai objek bagi kita. Atas dasar itu, Harman kemudian memperluas dan menggeneralisasinya menjadi suatu prinsip umum: seluruh objek memiliki dimensi tersembunyi yang tidak akan pernah sepenuhnya hadir, bahkan bagi dirinya sendiri. Dimensi tersembunyi itu yang kemudian disebut sebagai objek riil. Selanjutnya, setiap objek riilmemiliki kualitas riil, tetapi kualitas-kualitas tersebut tidak pernah sepenuhnya terekspos dalam relasi apa pun (Harman, 2011, pp. 30–32).Analogi gunung es mungkin akan membantu di sini. Apa yang tampak, yaitu puncak gunung es di permukaan laut, dalam kesadaran kita sebetulnya merupakan objek sensual yang disertai dengan kualitas sensual. Namun, sebagian besar dari dimensi objek itu selalu bersembunyi di bawah permukaan laut: objek riildan kualitas rril. Boleh jadi, kita bisa memetakan, mempelajari, atau merusaknya, tetapi selalu ada sesuatu yang akan withdraws, menarik diri dan tidak dapat disentuh.

Struktur Empat Lipat: The Quadruple Object

Harman lantas mengembangkan struktur empat lapis bagi objek (quadruple object) untuk menegaskan bahwa realitas tidak pernah bertepatan dengan representasi atau relasi apa pun (2011, pp. 75–85): objek riil (OR), yaitu inti tersebunyi dari objek; kualitas riil (KR) yaitu sifat laten yang di satu sisi melekat pada inti tersebut, dan pada sisi yang lain tidak pernah sepenuhnya hadir; objek sensual (OS), yaitu bagaimana suatu objek hadir dalam pengalaman atau relasi secara riil; kualitas sensual (KS), yaitu berbagai ciri atau sifat (warna, bentuk, suara, tekstur, dan rasa) yang kita tangkap dalam relasi bersama OS. Empat kutub ini akan selalu terikat dalam relasi yang penuh dengan ketegangan, dan justru dari ketegangan inilah lahir kategori-kategori mendasar yang biasa kita anggap sebagai struktur kosmos: waktu, ruang, esensi, dan eidos (Harman, 2013).

Pertama, ketegangan antara OS dan KS melahirkan waktu. Husserl, yang dijadikan pijakan oleh Harman, menunjukkan bahwa pengalaman waktu sebetulnya bukanlah aliran abstrak, melainkan kesadaran akan objek yang relatif stabil (OS) namun tampil dengan kualitas yang selalu berubah-ubah (KS). Misalnya, apel yang sama dapat terlihat kemerahan saat fajar dan lebih gelap saat senja, tetapi tetap dapat kita kenali sebagai apel. Pergeseran kualitas demikianlah yang memberikan kita kesadaran temporal, bahwa sesuatu bertahan melalui perubahan. Jadi, waktu adalah ketegangan antara stabilitas objek sensual dengan fluktuasi kualitas-kualitas objek.

Kedua, ketegangan antara OR dan KS menghasilkan ruang. Heidegger menggarisbawahi bahwa objek riil selalu tersembunyi, tetapi kehadirannya ditandai oleh kualitas sensual yang membuatnya terasa “dekat” atau “jauh.” Ruang di sini bukan sekadar koordinat geometris, melainkan jarak ontologis antara objek yang tidak pernah sepenuhnya terjangkau (OR) dan kualitas yang kita alami darinya (KS). Kita kembali ke apel: yang hadir dalam kesadaran kita adalah kemerahan kulitnya, kilauan di permukaan, atau teksturnya yang renyah (KS). Namun, “apel sebagai OR” tetap menarik diri, tidak pernah dapat dihadirkan sepenuhnya dalam persepsi. Kita seolah mendekati apel melalui kualitas-kualitas ini, tetapi pada saat yang sama apel sebagai inti realitas selalu menjauh. Keterjauhan yang sekaligus kehadiran inilah—objek yang tampak melalui kualitas namun tetap tersembunyi—yang oleh Harman diidentifikasi sebagai ruang.

Ketiga, ketegangan antara OS dan KR melahirkan eidos. Husserl menyebut ini sebagai reduksi eidetis (eidetic reduction): upaya untuk menentukan kualitas esensial dari suatu objek yang memungkinkan ia tetap dikenali meskipun banyak cirinya yang berubah. Dalam contoh apel, kita dapat membayangkan variasi dalam ukuran, warna, atau tekstur, tetapi tetap ada batas kualitas laten yang jika dilampaui, apel berubah menjadi “bukan apel.” Namun, Harman menekankan bahwa KR tetap menarik diri, sehingga eidos hanya dapat didekati secara alusif, bukan dipahami secara menyeluruh. Dengan demikian, eidos adalah horizon potensial yang tidak terjangkau langsung, tetapi menentukan apa yang membuat sesuatu menjadi dirinya.

Keempat, ketegangan antara RO dan KR menghasilkan esensi. Inilah lapisan terdalam dari semua objek, mengingat bahwa esensi merujuk pada inti realitas yang sama sekali tidak identik dengan sifat-sifat laten itu sendiri. OR selalu menarik diri dalam pengertian bahwa ia tidak pernah sepenuhnya hadir atau dapat ditangkap dalam pengalaman maupun representasi konseptual. Sementara itu, KR juga tidak pernah sepenuhnya transparan, sebab meskipun dapat diakses melalui eksperimen atau analisis ilmiah, kualitas-kualitas ini selalu hadir sebagai terjemahan parsial dari sesuatu yang sejatinya lebih dalam. Dari ketersembunyian ganda seperti inilah lahir gagasan bahwa setiap objek memiliki inti yang membuatnya eksis sebagai dirinya sendiri, tanpa pernah dapat direduksi ke dalam daftar sifat maupun relasi yang dapat diketahui.

Apabila kita merujuk kepada apel sebagai permisalan, maka esensinya hadir sebagai tegangan antara OR (apel sebagai inti realitas yang tidak pernah sepenuhnya hadir) dan KR (struktur genetik, kandungan kimia, atau potensi biologis yang dimilikinya). OR apel selalu melampaui setiap usaha epistemik, bahkan ketika kita berusaha memetakan DNA atau meneliti proses metaboliknya. Di sisi lain, KR apel tidak pernah hadir secara utuh. Maksudnya, kita hanya mengetahui sebagian dari potensi laten apel, yang selalu dapat menyingkap sisi baru yang bergantung pada kondisi atau instrumen yang digunakan. Dengan demikian, esensi apel bukan sekadar daftar sifat seperti “merah, manis, atau renyah,” tetapi horizon ontologis yang memungkinkan apel itu eksis sebagai apel, terlepas dari kualitas yang tampil di hadapan kita.

Di titik ini, argumen Gottfried W. Leibniz (1925) dapat membantu kita untuk memperjelas posisi Harman. Bagi Leibniz, setiap entitas harus memiliki sifat-sifat spesifik agar tidak identik dengan entitas lain; tanpa kualitas laten, semua objek akan menjadi identik. Namun, meskipun kualitas-kualitas riil ini yang memberi keunikan pada apel, ia tidak pernah identik dengan apel itu sendiri. Esensi, karenanya, adalah kebutuhan eksistensial yang muncul dari tegangan antara OR dan KR; OR membutuhkan KR untuk memastikan diferensiasinya, tetapi keduanya tetap tidak dapat dilebur satu sama lain. Esensi adalah apa yang membuat apel hadir sebagai entitas yang otonom, melampaui reduksi baik ke arah sifat-sifat partikularnya maupun ke arah relasi yang ia jalani.

Berdasarkan kerangka tersebut, Harman kemudian menolak dua reduksionisme dominan yang telah saya bahas di atas, yakni undermining dan overmining. Justru karena objek selalu “lebih” daripada kualitas-kualitas maupun relasinya, maka ketegangan empat kutub itu membuka medan ontologis yang luas, di mana waktu, ruang, esensi, dan eidos bukanlah kategori transendental Kantian, melainkan efek dari dinamika ontologis objek itu sendiri. Pada titik ini, filsafat tidak lagi dipahami sebagai upaya penyingkiran berbagai paradoks yang eksis di antara struktur-struktur quadruple objek, melainkan perihal bagaimana kita berusaha memetakan ketegangan-ketegangan yang menjadikan objek itu apa adanya. Filsafat kemudian menjadi apa yang Harman sebut sebagai ontografi: sebuah peta tentang bagaimana objek-objek saling berjumpa, berhubungan, namun tetap menjaga jarak ontologisnya satu sama lain (cf. Bogost, 2012). Dengan cara ini, Harman berargumen bahwa kita dapat mengembangkan suatu jenis metafisika yang tidak hanya adil bagi sains, tetapi juga bagi seni, sastra, politik, dan keseluruhan ambiguitas yang eksis di realitas.

Vicarious Causation

Salah satu tantangan besar yang dihadapi OOO adalah eksplanasi terkait kausalitas (sebab-akibat). Apabila diformulasikan dalam bentuk pertanyaan, bagaimana mungkin objek dapat berinteraksi satu sama lain jika OR itu selalu withdraws? Bagaimana api dapat membakar kapas, atau palu memukul paku? Harman akan menjawab pertanyaan tersebut melalui konsep indirect causation atau vicarious causation (Harman, 2005). Dalam hal ini, dimensi OR dari objek-objek tidak pernah saling bersentuhan secara langsung. Api tidak benar-benar menyentuh kapas dalam keseluruhannya. Ia hanya berhubungan dengan karikatur kapas—kualitas terbakar dari kapas yang dapat ditangkap api. Dengan kata lain, interaksi selalu terjadi melalui mediasi OS.

Apa yang diusulkan oleh Harman memiliki resonansi dengan tradisi occasionalism dalam bentangan sejarah filsafat (misalnya pada Malebranche atau al-Ghazali), yang mengemukakan bahwa Tuhan menjadi perantara dalam setiap relasi kausalitas. Dalam konteks ini, Harman menolak peran Ilahi sebagai perantara dalam seluruh peristiwa sebab-akibat sekaligus menggantinya dengan mekanisme internal objek: relasi selalu metaforis. Harman kemudian mengeksplisitkan bahwa objek-objek tidak pernah benar-benar saling menyentuh, tetapi selalu berinteraksi melalui representasi parsial. Oleh karena seluruh objek itu sendiri tidak pernah hadir sepenuhnya (withdraws), maka peristiwa mediasi merupakan suatu keniscayaan yang memungkinkan mereka berinteraksi.

Sebagai contoh, ketika kita mendengarkan musik dengan khidmat, kita sebetulnya tidak memahami realitas dari objek musik secara menyeluruh. Sehubungan dengan ini, kita hanya berinteraksi dengan bunyi, ritme, dan harmoni musik yang merupakan kualitas-kualitas sensual (KS). Akan tetapi, musik sebagai OR tetap lebih dalam daripada seluruh pengalaman mendengarkan. Dengan demikian, kita dapat menuliskan bahwa kausalitas sejatinya bersifat metaforis: objek saling berhubungan lewat representasi, terjemahan, atau kualitas yang hanya parsial. Tidak ada kontak penuh, melainkan hanya pertemuan yang selalu menyisakan jarak.

Pada titik ini, saya hendak mengeksplisitkan bahwa objek tidak pernah sepenuhnya terungkap melalui interaksi. Terdapat sesuatu di dalam diri objek yang selalu tersembunyi. Inilah mengapa kita tidak pernah sepenuhnya mengenal orang lain, mengapa pengetahuan ilmiah tidak pernah final, dan mengapa interaksi antar objek tetap selalu menjadi misteri yang menyisakan ragam pertanyaan. Dalam kanvas filosofis OOO, seluruh objek diandaikan pasti mempunyai bagian-bagian, dan oleh karenanya, Harman sering mengungkapkan komitmennya terhadap regresi objek yang tidak terhingga (Young, 2021). Berkaitan dengan ini, pengetahuan kemudian mengambil bentuk bukan sebagai akses langsung ke realitas, melainkan merupakan peristiwa perjumpaan tidak langsung yang dimediasi oleh kualitas-kualitas sensual dari objek.

Menghuni Dunia Objek

Harman merangkum maksim-maksim primer dari OOO agar kita lebih mudah memahami proyek filsafat yang ia kembangkan. Pertamaflat ontology, yakni komitmen bahwa semua objek eksis secara setara. Kedua, anti-reduksionisme, yakni afirmasi bahwa objek tidak dapat direduksi ke komponen penyusunnya maupun ke relasi eksternal. Ketigawithdrawal, yaitu penegasan bahwa objek selalu menyimpan surplus yang tidak akan pernah dapat diakses sepenuhnya (cf. Morton, 2013). Keempat, estetika sebagai filsafat, yaitu afirmasi kedekatan filsafat dengan seni yang bergerak melalui intuisi dan imajinasi, bukan dengan akumulasi data seperti dalam sains (cf. Braver, 2007). Dalam hal ini, filsafat bukan jalan menuju kepastian absolut, melainkan merupakan seni untuk mendekati realitas yang selalu menolak reduksi.  Terakhirindirect relations, yakni penegasan bahwa interaksi antar objek senantiasa termediasi, tidak pernah langsung (cf. Latour, 2005). Berdasarkan maksim-maksim tersebut, OOO menampilkan dirinya bukan hanya sebagai sistem metafisika baru, tetapi sebagai kerangka global untuk memahami realitas di setiap level: dari partikel subatomik hingga institusi sosial, dari puisi hingga planet.

Mengapa OOO Penting?

Pembaca mungkin akan mengajukan pertanyaan, apa pentingnya mengenal OOO? Bagi saya, OOO menjadi penting karena ia bermaksud menggeser fokus filsafat dari yang sebelumnya berpusat pada manusia menuju dunia itu sendiri. Dengan kata lain, OOO mendesentralisasi posisi manusia dan mengingatkan bahwa dunia dipenuhi oleh entitas yang otonom. Di era Antroposen, ketika sebagian manusia menganggap bahwa diri mereka adalah pusat kosmos, ketika aktivitas manusia mulai mendominasi planet Bumi, OOO kemudian tampil sebagai alarm ontologis yang mengingatkan kita bahwa dunia dihuni oleh entitas yang tidak terhitung, masing-masing dengan kedalaman dan kemandiriannya sendiri. OOO mengoreksi cara pandang arogan kita dengan menegaskan bahwa manusia hanyalah satu objek di antara sekian banyak objek lain. 

Harman juga menunjukkan bagaimana OOO menawarkan relevansi di berbagai bidang. Dalam kajian sejarah, OOO dapat dipadukan dengan metode konterfaktual (counterfactual) untuk menyingkap potensi tersembunyi yang tidak sempat terwujud, seperti membayangkan jika keputusan politik tertentu diambil secara berbeda. Dalam wacana sains, eksperimen pun sebetulnya bekerja dengan cara menyerupai konterfaktual: ia menciptakan kondisi buatan untuk mengungkap potensi laten objek, sehingga sifat-sifat yang tidak muncul dalam kehidupan sehari-hari dapat diakses melalui eksperimen (cf. Bhaskar, 2008). Relevansi OOO juga terasa dalam kritik sastra, karena ia menolak reduksi karya sastra semata-mata pada konteks sosial seperti dalam historisisme baru (new historicism) maupun pada harmoni internal sebagaimana ditekankan kritisisme baru (new criticism). OOO menegaskan bahwa sebuah teks menyimpan kekuatan tersembunyi yang tidak pernah sepenuhnya diwujudkan dalam konteks aktualnya (Harman, 2012). Begitu pula dalam seni rupa dan arsitektur, OOO melawan pandangan yang melihat karya hanya sebagai produk sosial, politik, atau ekologis, dengan menegaskan otonomi objek yang memiliki potensi baru jika ditempatkan dalam kondisi yang berbeda. 

Lebih jauh lagi, saya melihat bahwa OOO juga menawarkan relevansi yang signifikan dalam studi agama, filsafat ketuhanan, dan juga hermeneutika kitab suci. Dalam studi agama, OOO akan menolak pandangan yang semata-mata mengartikan ritual, doa, maupun simbol keagamaan terbatas pada konstruksi sosial atau ekspresi pengalaman manusia. Sebaliknya, mereka dipahami sebagai objek yang memiliki realitas otonom, dengan daya yang melampaui fungsinya bagi komunitas manusia. Dalam filsafat ketuhanan, OOO akan membantu memperluas pemahaman tentang Tuhan sebagai “objek yang senantiasa menarik diri”, yakni sebuah entitas yang tidak pernah dapat sepenuhnya direduksi pada konsep, dijelaskan dengan argumen metafisis, maupun diakses melalui pengalaman religius tertentu, melainkan selalu menyisakan surplus misteri. Dan dalam hermeneutika kitab suci, pendekatan OOO akan mendorong kita untuk melihat teks-teks religius bukan hanya sebagai refleksi sosial atau sekadar kumpulan doktrin keagamaan, melainkan sebagai objek mandiri dengan lapisan makna laten yang terus-menerus dapat dibuka melalui aktivitas interpretatif yang baru. Saya sendiri membayangkan bahwa OOO dapat dijadikan mitra berpikir dalam studi agama dan hermeneutika kontemporer untuk menekankan bahwa baik teks maupun realitas Ilahi tidak akan pernah habis direduksi oleh pembacaan manusia.

Penutup

Saya akan mengakhiri tulisan ini dengan menyatakan bahwa OOO bukan sekadar metafisika akademis yang bermukim di menara gading. Ia adalah sensitivitas etis sekaligus sikap politis terhadap realitas. Ia mengajarkan kita untuk menghargai otonomi objek-objek serta mendengarkan suara non-manusia. Secara spesifik, OOO mengatur ulang keberadaan manusia dengan menempatkannya sebagai salah satu objek di antara objek-objek yang lain, bukan di atas mereka. Jika diartikulasikan dalam bentuk imperatif moral, OOO mendorong kita untuk merendahkan ego manusia dan memberi ruang bagi objek-objek untuk hadir secara apa adanya. Dengan begitu, OOO tidak hanya membebaskan tradisi filsafat (empirisme, fenomenologi, konstruksivisme sosial, dll.) maupun sains dari obsesi antroposentrisme, tetapi juga menata ulang relasi kita dengan dunia: dengan teknologi, dengan lingkungan, dengan seni, dengan hewan, dengan tumbuhan, dan dengan sesama. Harman lantas menutup proposalnya dengan spirit optimistik yang berani: OOO adalah “teori baru tentang segalanya.” Bukan dalam pengertian saintifik yang berambisi mencari persamaan tunggal, melainkan sebagai kerangka metafisis yang membentangkan suatu jalan baru bagi kita untuk memahami realitas dengan cara yang lebih kaya, lebih egaliter, dan lebih penuh keajaiban.


Daftar Pustaka 

Ball, J. (2017). Post-Truth: How Bullshit Conquered the World. Biteback Publishing.

Berkeley, G. (1878). A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (C. P. Krauth, Ed.). J. B. Lippincott & Co.

Bhaskar, R. (2008). A Realist Theory of Science. Routledge.

Bogost, I. (2012). Alien Phenomenology, or What It’s Like to Be a Thing. University of Minnesota Press.

Braver, L. (2007). A Thing of this World: A History of Continental Anti-Realism. Northwestern University Press.

Bryant, L. (2011). The Democracy of Objects. Open Humanities Press.

D’Ancona, M. (2017). Post-Truth: The New War on Truth and How to Fight Back. Ebury Press.

DeLanda, M. (2006). A New Philosophy of Society: Assemblage Theory and Social Complexity. Continuum.

Harman, G. (2005). Guerilla Metaphysics: Phenomenology and the Carpenty of Things. Open Court Publishing Company.

Harman, G. (2011). The Quadruple Object. Zero Books.

Harman, G. (2012). The Well-Wrought Broken Hammer: Object-Oriented Literary Criticism. New Literary History43(2), 183–203.

Harman, G. (2013). An Outline of Object-Oriented Philosophy. Science Progress96(2), 187–199. https://doi.org/10.3184/003685013X13691199842803

Harman, G. (2017). Object-Oriented Ontology: A New Theory of Everything. Pelican Books.

Heidegger, M. (1962). Being and Time (John Macquarrie & Edward Robinson, Trans.). Blackwell.

Hume, D. (1973). A Treatise of Human Nature. Oxford University Press.

Husserl, E. (1988). Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy (F. Kersten, Trans.). Kluwer Academic Publishers.

Kant, I. (1998). Critique of Pure Reason (P. Guyer & A. W. Wood, Eds. & Trans.). Cambridge University Press.

Latour, B. (2005). Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory. Oxford University Press.

Leibniz, G. W. (1925). The Monadology and Other Philosophical Writings (R. Latta, Trans.). Oxford University Press.

McIntyre, L. (2018). Post-Truth. The MIT Press.

Meillassoux, Q. (2008). After Finitude: An Essay on the Necessity of Contingency (R. Brassier, Trans.). Continuum.

Morton, T. (2013). Hyperobjects: Philosophy and Ecology after the End of the World. University of Minnesota Press.

Young, N. (2021). Object, Reduction, and Emergence: An Object-Oriented View. Open Philosophy4(1), 83–93. https://doi.org/10.1515/opphil-2020-0159

Fakhri Afif
Fakhri Afif
Seorang pemikir Hermeneutika. Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan peneliti di Odyssey Centre for Philosophy

Bacaan Lainnya