Membayangkan Negara Indonesia: Aristoteles hingga Benedict Anderson

Jika nasionalisme dikendalikan secara ketat oleh negara, justru ia dapat berubah menjadi alat yang membatasi kebebasan individu dan menekan keberagaman dalam masyarakat.

Fajar N.
Fajar N.
Peneliti di Antinomi Institute dalam bidang Bioetika. Area risetnya melingkupi kesehatan, lingkungan, sains dan teknologi.

Imaji tentang Negara

Jika ditelusuri jauh ke belakang, konsep tentang negara berakar dari polis, yang dalam pengertian awalnya merujuk pada suatu tempat atau pusat kehidupan di mana para penghuninya diatur dan diikat oleh hukum tertentu agar dapat tumbuh dan berkembang (Namang, 2020). Aristoteles menegaskan bahwa polis secara alami akan terbentuk dalam setiap kehidupan manusia, kapan pun dan di mana pun mereka berada; hal ini berakar dari pernyataannya, bahwa sifat dasar manusia adalah sebagai makhluk politik—mereka cenderung berkumpul, berinteraksi, dan membangun sesuatu secara kolektif demi mencapai tujuan bersama (Namang, 2020). Gagasan ini dapat dipahami melalui perumpamaan sederhana bahwa kehidupan sosial manusia selalu berawal dari unit terkecil, yakni keluarga, dan seiring waktu, hubungan ini berkembang menjadi kelompok yang lebih besar, seperti halnya tetangga, desa, hingga membentuk suatu tatanan yang lebih kompleks, yakni negara. Dengan eksplanasi tersebut, dapat dipahami bahwa polis terlahir sebagai respons terhadap kebutuhan manusia untuk hidup bersama, dengan tujuan akhir mencapai kehidupan yang lebih baik dan mewujudkan kebaikan tertinggi.

Lebih lanjut, Aristoteles menyatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah ‘eudaimonia’ atau mencapai kebahagiaan sejati (TamBari & Igben, 2021). Akan tetapi, kebahagiaan ini tidak dapat dimaknai secara sempit sebagai sesuatu yang bersifat semu atau sementara, seperti halnya kesenangan yang diperoleh dari harta ataupun status. Sebab menurut Aristoteles, kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui kebajikan dan perbuatan baik (TamBari & Igben, 2021). Sebaliknya, kebahagiaan yang bergantung pada hal-hal materi itu bersifat rapuh—saat harta hilang, kebahagiaan pun ikut sirna. Oleh sebab itu, hidup bersama dalam sebuah polis serta menciptakan aturan yang didasarkan pada kebaikan bersama merupakan hal yang selaras dengan konsep eudaimonia. Gambaran sederhana dari pemikiran ini dapat dilihat dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Pertautan sepasang manusia dalam pernikahan bukan sekadar sarana untuk melanjutkan keturunan, tetapi juga perlu ditujukan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Sebagiamana, misalnya, ketika kita memiliki lahan dan ternak, keluarga dapat mengelola sumber daya tersebut demi kehidupan yang lebih layak serta memberi manfaat bagi banyak orang. Seiring waktu, mereka menetapkan tujuan yang lebih luas, membentuk komunitas dengan peran yang lebih beragam—bukan hanya keluarga petani, tetapi juga keluarga pandai besi, pengrajin, dan profesi lainnya. Dari sinilah terbentuk suatu tatanan sosial yang lebih kompleks dan berkelanjutan, yang pada akhirnya mewujudkan polis sebagai bentuk kehidupan bersama yang ideal.

Justru, di sinilah letak pentingnya polis sebagai entitas yang lahir secara alami dari kebutuhan manusia untuk mengatur dirinya sendiri. Kebebasan mutlak tanpa adanya aturan hanya akan menciptakan ketidakpastian dan kekacauan, yang pada akhirnya bertentangan dengan esensi kehidupan berkelompok itu sendiri. Oleh sebab itu, argumen Aristoteles dapat dipertahankan—bahwa polis bukan sekadar hasil rekayasa sosial, melainkan bagian yang tidak terpisahkan dari kodrat manusia itu sendiri. Kodrat ini berakar pada harapan dan tujuan bersama yang dianggap baik. Sederhananya, sebuah kelompok tidak akan terbentuk tanpa adanya nilai atau cita-cita yang menjadi perekatnya. Salah satu manifestasi dari tujuan tersebut adalah pembentukan aturan. Dari sini, kita dapat menemukan pertanyaan menarik, jika manusia pada dasarnya bebas, lantas mengapa mereka membutuhkan aturan? Tidakkah lebih baik jika setiap individu dibiarkan bertindak sesuka hati mereka?

Jika Aristoteles menekankan bahwa negara terbentuk secara alami dari dorongan manusia untuk hidup bersama, Ibn Khaldun menawarkan perspektif berbeda yang lebih menekankan pada peran kepemimpinan dan solidaritas sosial dalam menjaga keberlangsungan negara. Dalam menjawab pertanyaan mengapa manusia membutuhkan aturan dalam kehidupan bernegara, Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menyatakan bahwa negara tidak hanya terbentuk dari dorongan manusia untuk hidup bersama, tetapi juga dari keberadaan seorang pemimpin yang kuat dengan dukungan solidaritas sosial (asabiyyah) (Sulastri, 2019). Menurutnya, hanya pemimpin yang memiliki otoritas dan moralitas tinggi yang mampu menjaga stabilitas negara serta mengarahkan masyarakat menuju kesejahteraan. Moralitas tinggi yang dimaksudkan di sini berkaitan erat dengan kemampuan seorang pemimpin dalam membedakan dan memilih mana yang baik dan buruk. Akan tetapi, Ibn Khaldun juga menekankan bahwa negara berada dalam sebuah siklus yang terus berulang—ia akan berkembang di bawah kepemimpinan yang kuat, namun juga berisiko mengalami kemunduran ketika penguasa kehilangan moralitasnya (Sulastri, 2019). Dalam hal ini, Ibn Khaldun melihat negara sebagai entitas yang sangat bergantung pada dinamika kekuasaan dan ikatan sosial. 

Kekuatan yang dimaksud oleh Ibn Khaldun di atas bukanlah sekadar kekuasaan, melainkan kepemimpinan yang dilandasi oleh moralitas yang tinggi serta kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan buruk (Sulastri, 2019). Lebih lanjut, Ibn Khaldun juga menekankan bahwa negara merupakan bagian dari sebuah siklus—ia akan berdiri dan berkembang di bawah kepemimpinan yang kuat, tetapi akan mengalami kemunduran dan kehancuran jika dipimpin oleh sosok yang lemah atau korup (Sulastri, 2019). Konsep ini sejalan dengan adagium terkenal bahwa masa penuh kesusahan akan melahirkan orang-orang kuat dan menciptakan masa kemakmuran, sedangkan masa kemakmuran akan melahirkan orang-orang malas dan pada akhirnya kembali menciptakan masa kesusahan. Dengan begitu, kemajuan suatu negara seringkali lahir dari tantangan dan perjuangan yang berat, sementara kemunduran terjadi ketika masyarakat mulai kehilangan daya juang akibat kenyamanan yang berlebihan.

Dalam kajian sejarah, Aristoteles membedakan bentuk polis menjadi tiga model utama (Namang, 2020): (1) monarki, yang didasarkan pada kepemimpinan satu orang yang bijaksana; (2) aristokrasi, yang dipimpin oleh sekelompok elit yang berbudi luhur; dan (3) politeia, di mana masyarakat memiliki suara dalam menentukan kebaikan bersama. Bila diperhatikan, ketiga bentuk ini memiliki satu kesamaan mendasar, yakni semuanya berlandaskan pada dorongan akan kebaikan, sebab bagi Aristoteles, tanpa adanya dorongan moral yang kuat, kehidupan manusia akan runtuh dan berakhir dalam kehancuran. 

Penafsiran yang serupa di atas juga ditemukan dalam pemikiran Ibn Khaldun, yang menegaskan bahwa negara harus memiliki sistem hukum yang kokoh guna memastikan keadilan serta ketertiban sosial bagi masyarakatnya (Namang, 2020). Oleh sebab itu, keberadaan individu-individu yang bijaksana dan bermoral tinggi, terutama di posisi kepemimpinan, menjadi aspek krusial dalam menjaga keberlangsungan hidup negara. Pemimpin yang mengutamakan kesejahteraan rakyatnya akan mampu mempertahankan stabilitas, sedangkan pemimpin yang abai terhadap kepentingan bersama akan mempercepat kehancuran negaranya. Jika sebuah negara gagal memenuhi dan menjaga prinsip-prinsip keadilan serta kesejahteraan, maka kehancuran hanyalah masalah waktu—baik melalui pemberontakan, peperangan, maupun konflik internal lainnya.

Di sisi lain, pemikiran berbeda datang dari Thomas Hobbes, seorang filsuf yang hidup di masa-masa akhir sistem feodalisme di Eropa. Berbeda dengan Ibn Khaldun yang melihat negara dalam siklus moral dan kekuasaan, Hobbes justru menganggap negara sebagai kebutuhan yang muncul dari naluri bertahan hidup manusia dalam kondisi alamiah yang brutal. Hobbes menyaksikan bagaimana sistem tersebut seringkali dipimpin oleh penguasa yang tidak mengutamakan kepentingan bersama, sehingga menciptakan ketidakstabilan dan ketidakadilan. Dari pengamatannya ini, ia kemudian berkesimpulan bahwa dalam keadaan alamiah, manusia ibarat serigala bagi sesamanya atau “homo homini lupus”—selalu siap menerkam yang lain demi kelangsungan hidupnya (Wijanarko & Riyanto, 2021). Dalam kondisi seperti itu, tanpa aturan yang jelas, masyarakat jatuh ke dalam kekacauan dan penuh konflik.

Keadaan yang mengerikan dalam kondisi di atas membuat Hobbes menyatakan bahwa negara dibentuk oleh manusia bukan sekadar untuk hidup bersama, namun lebih dari itu, melindungi dirinya dari ancaman manusia lainnya. Dalam pandangannya, negara harus memiliki otoritas yang kuat, yang ia ibaratkan sebagai Leviathan atau sosok monster raksasa yang melambangkan kekuatan absolut yang mengatur dan mengawasi kehidupan individu dalam masyarakat (Wijanarko & Riyanto, 2021). Leviathan inilah yang bertugas mengendalikan ‘serigala-serigala’ agar tidak saling memangsa satu sama lain—dan ketika melanggar, maka ia sendiri akan dimangsa oleh Leviathan sebagai bentuk hukumannya. Oleh sebab itu, keberadaan kontrak sosial melalui hidup dalam bernegara, memungkinkan para serigala untuk membuat aturan dan hukum terhadap sesamanya, dan memungkinkan mereka untuk hidup berkelompok dan berkembang—sebagai bagian dari negara—serta menjadi beradab. Bagi Hobbes, adanya hukum dan norma-norma sosial lainnya itu bukanlah hal yang alamiah, tapi produk yang politis dari manusia (Wijanarko & Riyanto, 2021).

Pemikiran Hobbes ini tampak bertolak belakang dengan pandangan Aristoteles yang melihat manusia sebagai makhluk yang rasional dan bijaksana—mampu berpikir matang dengan berbagai pertimbangan. Sebagai makhluk yang rasional, manusia tentu tidak dapat hidup sendiri dan saling membutuhkan keberadaan satu sama lainnya, dan selalu mempertimbangkan segala hal di dalam kehidupannya secara seksama—yang tidak hanya tentang dirinya, namun juga orang lain. Dengan hidup berkelompok, manusia dapat menjaga ketersalingan hidupnya dan akan berusaha berkontribusi, melayani, dan laku lainnya di dalam kelompoknya, di mana tidak ada tinggi atau rendah, semua setara dan melengkapi. Akan tetapi, Aristoteles juga menyadari bahwa manusia tidak luput dari godaan dan nafsu, yang ia sebut sebagai watak dasar dari kejahatan (Namang, 2020). Oleh sebab itu, Aristoteles sangat menentang pemberian kekuasaan kepada satu atau sebagian kecil pihak saja, karena hal ini berpotensi besar melahirkan penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Baginya, negara seharusnya menjadi tempat yang menjamin kehidupan masyarakat, bukan alat untuk menindas atau bertindak sewenang-wenang.

Imaji tentang Warga Negara

Setelah memahami bagaimana negara terbentuk, penting pula untuk melihat bagaimana individu dalam negara tersebut diposisikan. Dalam pemikiran Aristoteles, konsep warga negara merujuk pada individu-individu yang memiliki hak dan tanggung jawab—ditunjukkan dengan terlibat secara aktif dan memiliki kemampuan—untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik (Mijuskovic, 2016; Syifa dkk., 2023). Akan tetapi, keterlibatan dalam politik di sini tidak boleh dipahami secara sempit sebagai sekadar keterlibatan dalam perebutan kekuasaan, melainkan sebagai upaya kolektif untuk mewujudkan kebaikan bersama, termasuk memastikan kesejahteraan sosial dan pemenuhan kebutuhan masyarakat (Syifa dkk., 2023). Oleh sebab itu, warga negara dalam pandangan Aristoteles tidak boleh bersikap individualistis, karena hal tersebut bertentangan dengan esensi dari kehidupan bernegara yang berorientasi pada kepentingan bersama. Sebagai ilustrasi, Aristoteles membayangkan keadaan masyarakat seperti halnya sebuah kapal yang berlayar di lautan lepas, di mana setiap orang di dalamnya memiliki peran dan fungsi masing-masing yang tidak dapat digantikan oleh yang lain—terdapat yang bertugas mengemudi, mengatur layar, menjaga keseimbangan kapal, dan sebagainya. Semua peran ini berkontribusi pada kesejahteraan dan keselamatan bersama, setidaknya adalah untuk memastikan bahwa kapal dapat kembali ke daratan dengan selamat. Demikian pula dalam kehidupan bernegara, warga negara ideal menurut Aristoteles adalah mereka yang aktif berkontribusi bagi kebaikan bersama melalui keterlibatan dalam berbagai aspek kehidupan politik dan sosial (Mijuskovic, 2016).

Secara historis, pada masa Aristoteles, masyarakat terbagi ke dalam tiga kelas utama (Syifa dkk., 2023): (1) warga negara, (2) orang asing, dan (3) budak. Dari ketiga kelompok ini, hanya warga negara yang memiliki hak politik penuh—untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik; sedangkan orang asing dan budak tidak diperkenankan untuk turut serta dalam pengambilan keputusan politik. Hal ini menegaskan bahwa konsep kewarganegaraan dalam masa Aristotles adalah suatu hak ekslusif yang hanya dimiliki oleh kelompok tertentu di dalam masyarakat. Pada masa itu juga, terdapat sebuah tempat bernama Ecclesia, yaitu sebuah tempat di mana seluruh warga negara berkumpul untuk mendiskusikan serta mengambil keputusan secara kolektif. Sistem pemerintahan yang terbentuk kala itu merupakan salah satu bentuk demokrasi paling awal, di mana berbagai persoalan dibahas secara terbuka dan keputusan diambil melalui musyawarah yang melibatkan banyak pihak.

Akan tetapi, seiring perkembangan sejarah, konsep kewarganegaraan yang eksklusif pada zaman Aristoteles mengalami perubahan. Konsep kewarganegaraan tidak lagi hanya terbatas pada kelompok tertentu, tetapi mulai meluas mengikuti perkembangan sosial dan politik. Charles Tilly (1995) dan Maarten Prak (2022) mengkaji bagaimana konsep ini berkembang di berbagai belahan dunia, terutama dalam konteks kolonialisme dan negara-bangsa modern yang semakin kompleks. Tilly (1995) menunjukkan bahwa perubahan konsep kewarganegaraan seringkali beriringan dengan dinamika identitas sosial, hak-hak individu, dan perkembangan institusi politik. Tilly menyoroti bagaimana peristiwa-peristiwa global, seperti runtuhnya Uni Soviet, perjuangan melawan apartheid—sistem pemisahan ras—di Afrika Selatan, serta meningkatnya nasionalisme dan etnisitas di berbagai belahan dunia, telah mempengaruhi pemahaman tentang kewarganegaraan. Secara lebih spesifik, dalam konteks kolonialisme, kewarganegaraan mengalami perubahan menjadi alat untuk membedakan kelompok yang memiliki hak-hak istimewa dan kelompok yang berada di bawah kekuasaan kolonial. Tamar Herzog (dalam Prak, 2022) dalam kajiannya tentang kewarganegaraan di koloni Spanyol menunjukkan bagaimana konsep kewarganegaraan telah berkembang dari suatu kategori hukum menjadi suatu identitas sosial yang eksklusif. Di wilayah kolonial, kewarganegaraan seringkali digunakan sebagai alat untuk mempertahankan dominasi kelompok tertentu dan mengecualikan kelompok lainnya dari akses terhadap hak-hak politik dan ekonomi yang ada. Akan tetapi, dalam beberapa kasus, komunitas lokal justru berhasil mengembangkan praktik-praktik kewarganegaraan yang lebih inklusif, terutama di daerah di mana kelompok dominan tidak memiliki kendali penuh atas sistem sosial dan politik (Herzog, dalam Prak, 2022).

Kemudian, kembali lagi, Tilly (1995) juga mencatat bahwa dalam sejarah Barat, konsep atas kewarganegaraan tidak luput mengalami pergeseran, yakni dari model eksklusif menuju inklusif, di mana hak-hak politik dan sosial diperluas kepada kelompok-kelompok yang sebelumnya tidak memiliki akses terhadapnya. Dalam kajian sejarah yang lebih luas, Prak (2022) menunjukkan bahwa konsep kewarganegaraan yang awalnya didominasi oleh pemikiran Aristoteles berkembang secara berbeda di berbagai belahan dunia. Di mana awalnya, kewarganegaraan dipahami sebagai hak istimewa yang hanya dimiliki oleh laki-laki dalam sistem politik Eropa, namun dalam perkembangannya, sejarah menunjukkan bahwa kewarganegaraan tidak hanya berakar dalam tradisi filsafat Yunani, tetapi juga berkembang dalam berbagai bentuk di luar Eropa, seperti halnya di Tiongkok dan negara-negara kolonial (Prak, 2022). Di Tiongkok, misalnya, meskipun konsep kewarganegaraan dalam pengertian Barat tidak sepenuhnya ada, namun terdapat bentuk-bentuk partisipasi politik yang menunjukkan kesadaran akan hak dan kewajiban individu dalam kehidupan publik.

Sementara Sriprapha Petcharamesree (2023) menyoroti konsekuensi lain dari bentuk penafsiran kewarganegaraan sebagai ekslusi atau pemisahan yang terjadi saat ini, di mana batas-batas negara telah digunakan untuk menentukan siapa yang diakui sebagai anggota sah dari komunitas politik dan siapa yang tidak. Mekanisme ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan, seperti halnya hak untuk berpartisipasi dalam pemilu, akses terhadap bantuan sosial, serta layanan publik lainnya. Sebagaimana misalnya, meskipun kesehatan diakui sebagai hak dasar setiap individu, namun akses terhadap layanan kesehatan tetap bergantung pada penerapan kebijakan masing-masing negara yang ada. Di Asia sendiri, kajian yang dilakukan oleh Bijl & van Klinken (2019) menunjukkan bahwa meskipun kewarganegaraan seringkali masih dikaitkan dengan model Eropa, namun kenyatannya berbagai bentuk partisipasi politik dan sosial justru telah ada jauh sebelum konsep kewarganegaraan Barat diperkenalkan. Di Tiongkok, India, dan Indonesia, terdapat tradisi-tradisi yang menunjukkan bahwa individu-individu dalam masyarakat memiliki peran dalam pemerintahan, meskipun tidak dalam bentuk formal seperti halnya yang dikenal dalam model demokrasi Barat (Bijl & van Klinken, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa kewarganegaraan dapat dipahami tidak hanya sebagai status hukum, tetapi juga sebagai serangkaian praktik sosial dan politik yang mencerminkan keterlibatan individu dalam kehidupan bernegara.

Kemudian, dalam konteks spesifik di Asia Tenggara, terdapat perbedaan sistem dalam menentukan status kewarganegaraan. Beberapa negara menerapkan prinsip jus sanguinis yang mengaitkan kewarganegaraan dengan garis keturunan, sementara negara lain menggunakan prinsip jus soli yang mendasarkan status kewarganegaraan pada tempat kelahiran (Petcharamesree, 2023). Perbedaan sistem ini seringkali menimbulkan dilema kewarganegaraan, seperti halnya yang dialami oleh etnis Rohingya di Myanmar. Akibat kebijakan eksklusi yang diterapkan oleh negara, kelompok ini menjadi stateless atau hidup tanpa kewarganegaraan—tidak diakui sebagai bagian dari komunitas politik mana pun (Petcharamesree, 2023). Fenomena ini menunjukkan bahwa konsep kewarganegaraan tidak hanya berkaitan dengan hak dan kewajiban, namun juga dengan persoalan keadilan serta pengakuan dalam tatanan politik global. Dengan begitu, pemikiran tentang kewarganegaraan tentu tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan historis di mana ia berkembang. Dari model eksklusif yang digagas oleh Aristoteles hingga konsep kewarganegaraan yang lebih inklusif sebagaimana yang terdapat dalam bentuk-bentuk negara modern, perkembangan ini mencerminkan bagaimana masyarakat secara terus-menerus menegosiasikan hak dan kewajiban individu dalam kehidupan bernegara. Pada konteks global seperti saat ini, konsep kewarganegaraan tentu masih terus berkembang, terutama dalam menghadapi tantangan seperti persoalan migrasi, globalisasi, dan perubahan sosial yang menjadi semakin kompleks.

Imaji Negara dan Warga Negara dalam Bingkai Indonesia

Konsep negara dan kewarganegaraan dalam konteks Indonesia memiliki sejarah yang relatif unik. Berbeda dari banyak negara lain yang terlahir dari tradisi monarki atau sistem feodal (kerajaan) yang mapan, Indonesia justru terbentuk dari sebuah gagasan kolektif yang disebut Benedict Anderson (dalam Putri dkk., 2018) sebagai imagined community atau komunitas terbayang. Menurut Anderson, suatu negara dapat terbentuk bukan semata karena batas wilayah (geografis) atau kekuatan politik, tetapi juga dari hasil imajinasi kolektif masyarakatnya yang membayangkan diri mereka sebagai bagian dari komunitas yang lebih luas, terhubung oleh identitas, budaya, sejarah, serta simbol-simbol tertentu. Dalam hal ini, Indonesia, menurut Anderson lahir dari proses tersebut—bukan karena kesamaan etnis, agama, ataupun hal lainnya, melainkan karena adanya kesadaran bersama akan pengalaman sejarah dan imajinasi yang mengikat masyarakat dari berbagai latar belakang.

Kemerdekaan Indonesia dan perjuangan untuk mencapainya merupakan contoh nyata dari hasil imajinasi kolektif ini. Keinginan untuk bebas dari penjajahan menjadi faktor pemersatu bagi masyarakat yang berbeda-beda dari Sabang hingga Merauke (McVey, 2016). Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman luar biasa—dengan ratusan etnis, bahasa, serta tradisi yang berbeda—dan tidak ada satu pun alasan tunggal yang cukup kuat untuk menyatukan masyarakat yang begitu majemuk, kecuali satu pengalaman bersama, yakni sejarah penjajahan dan sebuah keinginan untuk hidup merdeka. Kesadaran inilah yang kemudian membentuk ‘bayangan bersama’ yang mampu melampaui keterikatan terhadap identitas lokal dan menciptakan alat pemersatu, seperti lahirnya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional (McVey, 2016). Bahasa nasional Indonesia dipilih bukan karena jumlah penuturnya, melainkan karena ia menjadi alat pemersatu yang melampaui batas-batas identitas lokal dan menciptakan kesadaran nasional yang lebih luas—seandainya berdasarkan alasan dominan, maka bahasa Jawa atau Melayu menjadi bahasa nasional. Imajinasi kolektif ini membuat masyarakat merasa terhubung dalam kesadaran yang lebih besar, yaitu kebangsaan, serta hak dan kewajiban yang dimiliki bersama. Kesadaran inilah yang kemudian mendorong perjuangan untuk merdeka dan membangun kehidupan bersama dalam satu kesatuan yang disebut negara (Harnita dkk., 2019).

Selain itu, menurut Anderson, konsep kewarganegaraan Indonesia bukanlah sesuatu yang terbentuk secara alami, melainkan hasil dari sebuah konstruksi sosial yang didasarkan pada pengalaman sejarah dan budaya bersama (Putri dkk., 2018). Oleh sebab itu, dalam konteks Indonesia, kewarganegaraan bukan hanya berkaitan dengan status hukum semata, tetapi juga dengan identitas nasional yang dibangun melalui pengalaman sejarah dan budaya. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam berbagai kebijakan naturalisasi atlet sepak bola Indonesia, yang mengacu pada perpaduan prinsip-prinsip keturunan maupun tempat kelahiran.

Keberadaan ‘bayangan bersama’ ini pada akhirnya melahirkan nasionalisme yang memainkan peran penting dalam mempertahankan negara melalui narasi budaya dan politik. Nasionalisme memudahkan masyarakat untuk merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, sehingga lebih mudah untuk membangkitkan semangat kebangsaan dan siap membela negaranya, meskipun berasal dari latar belakang yang beragam. Meskipun Craig Calhoun (2016) mengkritik keberadaan konsep nasionalisme ini sebagai sekadar ilusi politik yang dimanfaatkan oleh penguasa; namun dalam konteks Indonesia, nasionalisme justru menjadi alat yang efektif untuk menciptakan kesadaran bersama di tengah perbedaan yang begitu besar, seperti yang tercermin dalam penyebaran bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang mampu menyatukan masyarakat dari berbagai etnis dan daerah.

Meskipun begitu, perlu diingat bahwa nasionalisme tidak selalu bersifat positif. Dalam beberapa kasus, negara justru menggunakan nasionalisme sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dan membungkam kritik. Sebagaimana negara yang lahir dari bayangan bersama seperti halnya Indonesia ini, juga tidak terlepas dari kritik. Salah satu kritik utamanya adalah kecenderungan negara dalam mengabaikan kompleksitas hubungan kekuasaan dan ketimpangan sosial yang terjadi sebagai akibat dari kesenjangan antara imajinasi dan realitas yang ada (Harnita dkk., 2019). Pemerintah seringkali menggunakan narasi ‘nasionalisme’ untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya, sementara pada kenyataannya, kehidupan warga negara bisa sangat berbeda dari idealisme persatuan yang dipromosikan oleh negara. Terdapat beberapa contoh faktual yang mencerminkan perbedaan antara retorika nasionalisme—atau dapat dikatakan sebagai jargon omong kosong—dan kenyataannya seperti:

  • Retorika keadilan terhadap praktik korupsi dan ketimpangan sosial, di mana pemerintah sering berbicara tentang keadilan bagi seluruh rakyat, tetapi dalam praktiknya, banyak pejabat terlibat dalam kasus korupsi yang menyebabkan penderitaan bagi masyarakat. Sebagaimana misalnya, dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang awalnya bertujuan memberikan akses makanan sehat bagi masyarakat—dengan modal yang bersumber dari pemotongan anggaran dengan dalih efisiensi—namun kenyatanannya, program ini jauh dari harapan dan berubah menjadi sekadar ‘Makan Asal Gratis’ di mana kualitas makanan tidak diperhatikan dan bahkan memprihatinkan (Izzuddin dkk., 2025). Bahkan, dalam momentum bulan Ramadhan seperti saat ini, pemerintah, lewat program MBG, justru menggaet korporasi-korporasi besar dalam menyediakan makanan yang dianggap lebih ‘sesuai’ dengan keadaan berpuasa; hal ini jelas bertolak belakang dengan upaya-upaya yang digaungkan pemerintah terhadap keadilan khususnya dalam memprioritaskan kerjasama pelaksanaan program MBG dengan pihak-pihak UMKM di Indonesia, sebagaimana para petani, perternak, nelayan, dan sebagainya (Suryakusumah, 2025). Selain itu, dalam kasus lainnya, yakni subsidi bahan bakar yang seharusnya mencerminkan keadilan sosial juga menjadi sekadar omong kosong. Bahan bakar Pertamax misalnya, dipasarkan sebagai bahan bakar bagi mereka yang mampu, sementara Pertalite disubsidi dan ditujukan bagi masyarakat kurang mampu. Akan tetapi, dalam praktiknya, terjadi pengoplosan Pertamax dengan Pertalite oleh pihak pemerintah, sehingga kualitas bahan bakar yang dibayar lebih mahal dan tidak jauh berbeda dari yang disubsidi (Fika & Rahayu, 2025)—akhirnya, Pertamax hanyalah Pertalite tanpa antrean.
  • Retorika persatuan terhadap praktik provokasi dan perpecahan politik, di mana pemerintah sering menyerukan pentingnya persatuan nasional, tetapi pada saat yang sama, praktik politik yang terjadi justru memanfaatkan perpecahan untuk kepentingan kekuasaan (Hatia, 2023). Sebagaimana misalnya, penggunaan buzzer di media sosial selama masa pemilu. Fenomena seperti perseteruan Cebong-Kampret-Kadrun menjadi bukti bagaimana polarisasi politik sengaja diperkuat oleh kelompok tertentu untuk mempertahankan dominasi politik mereka; sedangkan pihak penguasa menikmati kekuasaan yang mereka menangkan, namun di tingkat akar rumput, perpecahan ini meninggalkan bekas luka mendalam dan berkepanjangan di masyarakat (Hatia, 2023; Tazri, 2019). 
  • Retorika kemanusiaan terhadap represi kebebasan berpendapat, di mana negara seringkali mengklaim menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, tetapi realitanya menunjukkan hal sebaliknya. Banyak warga negara yang berusaha menyuarakan pendapatnya justru mengalami represi dari aparat. Demonstrasi yang dilakukan untuk menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah seringkali berakhir dengan tindakan represif, termasuk pembubaran paksa, pemukulan, bahkan dalam beberapa kasus, penangkapan paksa (Saputra & Kamal, 2023). Aparat yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat justru semakin menunjukkan dirinya sebagai alat kekuasaan pemerintah dalam menjalankan opresi terhadap rakyatnya sendiri.

Pada akhirnya, nasionalisme seringkali digunakan sebagai jargon omong kosong belaka untuk melanggengkan ketidakadilan. Narasi seperti “kita harus tetap mendukung pemerintah” atau “kita harus percaya pemerintah” menjadi alat untuk meredam kritik dan mempertahankan kekuasaan. Lebih dari itu, nasionalisme juga kerap mengorbankan kebebasan individu dan kelompok minoritas, di mana segala sesuatu yang dianggap berseberangan dengan upaya pemerintah akan diredam dan ditekan. Hal ini dimungkinkan karena negara memiliki kapasitas untuk membentuk serta mengontrol bayangan bersama melalui berbagai instrumen seperti pendidikan, media massa, dan institusi negara (Harnita dkk., 2019). Dalam situasi seperti ini, nasionalisme bukan lagi menjadi alat pemersatu, melainkan mekanisme kontrol yang membatasi kebebasan berpikir dan berekspresi, sekaligus menciptakan ilusi bahwa segala bentuk ketidakadilan yang terjadi merupakan bagian dari upaya mempertahankan negara. Klaim ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Pryke (1995) bahwa keberadaan nasionalisme modern tidaklah muncul secara alami, melainkan dibentuk oleh negara melalui berbagai mekanisme politik dan budaya yang menegaskan ‘identitas kolektif’ (bersama) sebagai alat kontrol ideologis—apa yang menyatukan ‘saya’ dan ‘kamu’ dalam bentuk ‘kita’ sebenarnya adalah omong kosong negara.

Kontrol negara terhadap nasionalisme, dalam praktiknya, dapat terlihat dalam berbagai bentuk. Kritik terhadap pemerintah seringkali dibungkam melalui pelabelan negatif, di mana kelompok yang menyuarakan pandangan berbeda kerap dicap sebagai anti-nasionalisme atau anti-pemerintah (Saputra & Kamal, 2023). Media massa yang seharusnya menjadi pilar demokrasi dengan menyajikan informasi yang objektif, justru seringkali digunakan sebagai alat propaganda untuk membentuk opini publik agar menekan suara-suara yang tidak sejalan dengan kepentingan penguasa. Akibatnya, ruang diskusi yang sehat semakin menyempit dan masyarakat didorong menerima narasi tunggal yang dikendalikan negara atas nama nasionalisme. Selain itu, kontrol terhadap nasionalisme juga terlihat dalam sistem pendidikan. Meskipun pemerintah mengusung kebijakan ‘Kurikulum Merdeka’ dengan dalih memberi kebebasan lebih dalam pembelajaran, namun materi pengajaran tetap seringkali diintervensi atas nama ideologi.

Ideologi Pancasila sendiri tidak dapat dikritik secara esensial, sebab ia merupakan falsafah dasar dan cita-cita masyarakat Indonesia sejak sebelum kemerdekaan. Akan tetapi, justru pemaknaan serta penerapan nilai-nilai Pancasila di dalam kebijakan negara adalah yang perlu untuk terus dikritisi, terutama ketika implementasinya bertentangan dengan kenyataan sosial yang terjadi. Sayangnya, banyak dari kita yang masih buta melihat Pancasila secara teoretis memang terbuka untuk dimaknai—sebab tidak ada panduan yang tegas, bahkan sejak diresmikannya tentang apa yang dimaksud di dalam tiap butir-butirnya—dan dalam praktiknya, hadirnya pemaknaan yang berbeda dari versi pemerintah akan dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional (Pesurnay, 2018). Dengan begitu, akhirnya pendidikan justru tidak akan pernah berfungsi sebagai media untuk mengasah berpikir kritis, melainkan lebih sebagai sarana menciptakan warga negara yang patuh-buta terhadap otoritas negara, tanpa mungkin pernah mempertanyakan kebijakan yang diterapkan. Kekeliruan ini yang pada akhirnya dipakai oleh pemerintah untuk tetap memainkan peran-kepentingannya di dalam negara.

Sebagaimana misalnya, dalam pemaknaan sila pertama Pancasila, yakni ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, apakah makna sebenarnya dari ungkapan ‘Maha Esa’ ketika diterjemahkan ke dalam kebijakan negara? Apakah ia berarti Tuhan yang tunggal, ataukah dapat mencakup konsep keesaan dalam bentuk jamak? Ketika dimaknai sebagai Tuhan yang tunggal, maka bagaimana nasib masyarakat Indonesia yang memiliki konsep ketuhanan dalam bentuk jamak, seperti halnya penganut Marapu di Sumba atau Aluk Todolo di Toraja? Apakah lantas mereka diabaikan begitu saja di dalam penerapan kebijakan yang ada, seperti halnya dipaksa untuk mengosongkan atau bahkan mengadopsi agama nasional yang diakui oleh pemerintah di kolom kartu identitas nasional mereka (Girsang, 2025; “MK: Penghayat kepercayaan masuk kolom agama di KTP dan KK,” 2017)? Sebaliknya, terdapat pula kepercayaan lokal yang memahami konsep keesaan Tuhan dengan cara yang berbeda, seperti Kapitayan dengan konsep ‘Sang Hyang Taya’ atau Tuhan yang tak terbayangkan/tak terlihat, serta Sunda Wiwitan dengan konsep ‘Sang Hyang Kersa’ atau Tuhan yang menghendaki. Perdebatan mengenai tafsir sila pertama ini menjadi bukti bahwa nasionalisme yang dikontrol oleh negara seringkali tidak cukup inklusif untuk mengakomodasi keberagaman yang justru menjadi bagian dari identitas bangsa.

Lantas, mengapa semua ini bisa terjadi? Dalam konteks Indonesia, Pancasila sebagai dasar negara juga mengalami perubahan di dalam penggunaannya sebagai ideologi nasional. Menurut Pesurnay (2018), tanpa disadari, Pancasila telah menjadi ruang interpretasi yang terbuka, di mana maknanya terus mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan politik yang berkembang—dan lagi-lagi, yang mengontrol atas pemaknaan ini, sejauh yang terjadi sampai saat ini masih sangat terbatas dan mungkin dilakukan semena-mena oleh pemerintah. Sebagaimana sejak era orde baru, Pancasila tidak lagi dijadikan hanya sebagai dasar negara, namun juga sebagai alat untuk menekan oposisi politik dan membatasi kebebasan berpendapat. Seperti misalnya, pada masa pemerintahan Soeharto, Pancasila dijadikan ideologi tunggal yang harus dianut oleh seluruh organisasi politik dan sosial, yang tidak lain adalah dengan tujuan menstabilkan kekuasaan serta mengendalikan perkembangan politik nasional (Pesurnay, 2018). Adanya potret ini justru menunjukkan bahwa nasionalisme dalam konteks Pancasila bukan hanya sekadar identitas kebangsaan, melainkan juga sebuah konstruksi politik yang dapat dimanipulasi untuk kepentingan para penguasa—atau dalam konteks ini sangat jelas ditekankan pada pemerintah.

Pryke (1995) menambahkan bawha nasionalisme tidaklah muncul sebagai entitas budaya yang independen, melainkan sebagai hasil dari wacana politik yang dikendalikan oleh negara; negara membentuk narasi tentang apa itu kebangsaan, dan sayangnya justru seringkali mengabaikan kemajemukan dari masyarakatnya. Hal ini dapat kita lihat dalam penerapan Pancasila sebagai ideologi yang justru dianggap final dan bahkan dikeramatkan (dikultuskan) sebagai sesuatu yang tidak dapat diganggu gugat—ingat, posisinya tetap dan tidak berubah; esensi Pancasila tidak bisa dikritik, tapi pemaknaan dan penerapannya ini justru yang harus dikritik. Sedeharnanya, kita dapat melihat dalam kasus Perppu Ormas, di mana pemerintah menggunakan Pancasila sebagai alasan untuk membubarkan organisasi yang dianggap bertentangan dengan ideologi negara—yang padahal ini menimbulkan pertanyaan, bertentangan dengan negara atau dengan kepentingan pemerintah yang sedang berlangsung? Oleh sebab itu, dalam posisi ini, sekiranya saya bisa sepaham dengan Pesurnay (2018), apakah kita akan diam saja dan membiarkan Pancasila dijadikan sebagai alat represif terhadap kelompok yang memiliki pandangan yang berbeda dan di luar dari penafsiran pemerintah? Tidak mengherankan jika pada akhirnya konsep nasionalisme ini mendapat banyak kritik, di mana salah satunya seringkali bersifat ekslusif dan banyak menimbulkan perpecahan di dalam masyarakat. Menurut Kausar (2003), nasionalisme yang dilandaskan pada identitas etnis atau agama dapat menjadi ancaman bagi solidaritas sosial, karena cenderung mengutamakan satu kelompok di atas lainnya. Keadaan ini, sayangnya, sangat relevan dengan kondisi di Indonesia, di mana nasionalisme seringkali digunakan sebagai alat untuk menekan kelompok minoritas, dengan dalih untuk menjaga keutuhan bangsa. Tentu tindakan semacam ini pada akhirnya dapat dipertanyakan kembali, apakah benar nasionalisme masih menjadi alat pemersatu? Ataukah dipaksa bersatu dan dibuat seragam dengan cara membatasi hak-hak individu atas nama stabilitas nasional dan sesuai kepentingan sebagian golongan saja dengan mengatasnamakan negara Indonesia?

Dengan mempertimbangkan sedikit perspektif ini, setidaknya kita dapat membayangkan jika nasionalisme dikendalikan secara ketat oleh negara, justru ia dapat berubah menjadi alat yang membatasi kebebasan individu dan menekan keberagaman dalam masyarakat. Sebaliknya, jika nasionalisme dipahami sebagai sebuah konstruksi yang terbuka dan terus berkembang, maka ia dapat berfungsi sebagai alat yang inklusif untuk mengakomodasi pluralitas dalam suatu bangsa. Di dalam konteks Indonesia, menjadi penting—dan kita harus senantiasa—untuk terus mengkritisi bagaimana Pancasila dan nasionalisme diartikulasikan dalam kebijakan-kebijakan negara agar tidak menjadi alat yang justru mempersempit ruang kebebasan dan keberagaman di masyarakat, bahkan memecah-belah. 

Sebagai penutup, sekalipun nasionalisme di negara kita ini masih sering dijadikan alat legitimasi kekuasaan dan mekanisme kontrol sosial, namun saya masih percaya dengan adanya perkembangan teknologi serta dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk bersedia membaca dan mempertimbangkan narasi yang berbeda—seperti melalui tulisan singkat ini—setidaknya dapat sedikit membuka peluang bagi merebak-luasnya konsep nasionalisme yang lebih inklusif dan reflektif. Saya masih percaya bahwa nasionalisme di Indonesia tidak seharusnya menjadi sekadar alat politik untuk menekan perbedaan, melainkan harus berkembang menjadi kesadaran bersama yang menghargai keberagaman serta memberi ruang bagi semua warga negara untuk merasa menjadi bagian dari bangsa ini, tanpa harus mengorbankan kebebasan atau identitas mereka sendiri.


Daftar Pustaka

Bijl, P., & Van Klinken, G. (2019). Citizenship in Asian history. Citizenship Studies23(3), 189–205. https://doi.org/10.1080/13621025.2019.1603268

Calhoun, C. (2016). The Importance of Imagined Communities – and Benedict Anderson. Annual Review. Debats. Revista de Cultura, Poder i Societat1, 11–16. https://doi.org/10.28939/iam.debats-en.2016-1

Fika, D. R., & Rahayu, R. (2025, Februari 28). Netizen Serbu Akun Pertamina Usai Terungkap Skandal BBM Oplosan: Stop Beli Pertamax. TEMPO. https://www.tempo.co/hukum/netizen-serbu-akun-pertamina-usai-terungkap-skandal-bbm-oplosan-stop-beli-pertamax-1213185

Girsang, V. I. (2025, Januari 7). Kelompok Penghayat Kepercayaan Sarankan Kolom Agama di KTP Dihapus. TEMPO. https://www.tempo.co/politik/kelompok-penghayat-kepercayaan-sarankan-kolom-agama-di-ktp-dihapus-1191048

Harnita, P. C., Hergianasari, P., Ahmad, J., & Sari, D. K. (2019). A Critical Narrative of the Anderson Theory of Imagined Community: An Indonesian Perspective. International Journal of Media, Journalism and Mass Communications5(3). https://doi.org/10.20431/2454-9479.0503005

Hatia, A. M. (2023, Juli 24). Luka Dalam Ibu Pertiwi Akibat Cebong-Kampret 2019 Belum Pulih. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/research/20230724161612-128-456848/luka-dalam-ibu-pertiwi-akibat-cebong-kampret-2019-belum-pulih

Izzuddin, H., Revanda, H., & Antara. (2025, Januari 22). Siswa SD Kritik Rasa Menu Makan Bergizi Gratis, Begini Jawaban BGN. TEMPO. https://www.tempo.co/politik/siswa-sd-kritik-rasa-menu-makan-bergizi-gratis-begini-jawaban-bgn-1197309

Kausar, Z. (2003). A Philosophical Critique of Nationalism: Reflections of Iqbal. American Journal of Islam and Society20(2), 1–25. https://doi.org/10.35632/ajis.v20i2.519

McVey, R. (2016). Ben Anderson and the Imagining of Indonesia. Indonesia101, 15. https://doi.org/10.5728/indonesia.101.0015

Mijuskovic, O. (2016). Aristotle’s concept of the state. Journal Socrates4(4), 13–20. https://www.researchgate.net/publication/315648262_2_Aristotle’s_concept_of_the_state

MK: Penghayat kepercayaan masuk kolom agama di KTP dan KK. (2017, November 7). BBC News Indonesia. https://www.tempo.co/politik/kelompok-penghayat-kepercayaan-sarankan-kolom-agama-di-ktp-dihapus-1191048

Namang, R. B. (2020). Negara dan Warga Negara Perspektif Aristoteles. Jurnal Ilmiah Dinamika Sosial4(2), 247. https://doi.org/10.38043/jids.v4i2.2449

Pesurnay, A. J. (2018). Pancasila Ideology as A Field of Interpretation. Dalam M. Amini, M. Yusuf, & V. I. Yulianto (Ed.), UGM Digital Press Social Sciences and Humanities: Vol. 1. Proceeding of the 2nd International Conference on South East Asia Studies (Vol. 1, hlm. 161–170). https://digitalpress.ugm.ac.id/article/322

Petcharamesree, S. (2023). Borders, Citizenship, ‘Imagined Community’ and ‘Exclusive State’ and Migration in Southeast Asia. Dalam S. Petcharamesree & M. P. Capaldi (Ed.), Migration in Southeast Asia (hlm. 23–38). Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-031-25748-3_2

Prak, M. (2022). Citizenship among the historians. Citizenship Studies26(4–5), 608–614. https://doi.org/10.1080/13621025.2022.2091245

Pryke, S. (1995). Nationalism as Culturalism: A Critique. Politics15(1), 63–70. https://doi.org/10.1111/j.1467-9256.1995.tb00022.x

Putri, I. P., Nasruddin, E., & Wahab, J. A. (2018). Imagined Communities and the Construction of National Identity. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences8(7), Pages 565-572. https://doi.org/10.6007/IJARBSS/v8-i7/4399

Saputra, Y., & Kamal. (2023, Agustus 23). Kesaksian keluarga demonstran tolak RUU Pilkada yang jadi korban kekerasan aparat—’Anak saya melawan ketidakadilan, kenapa diperlakukan seperti binatang?’. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cj35yzz1570o

Sulastri, N. (2019). The Concept of State and Government in Ibn Khaldun’s Thought. International Journal of Nusantara Islam7(2), 143–149. https://doi.org/10.15575/ijni.v7i2.5634

Suryakusumah, I. (2025, Maret 16). Program MBG Tuai Banyak Kritik, Kepala BGN Harus Tanggung Jawab! Inilah.com. https://www.inilah.com/program-mbg-tuai-banyak-kritik-kepala-bgn-harus-tanggung-jawab

Syifa, S. N., Rahardianto, R. D., Ramadhan, S. N., Sultan, N. R., & Fitria, S. D. (2023). Bentuk Pemerintahan dalam Pandangan Aristoteles serta Bentuk dan Sistem Pemerintahan di Indonesia Menurut Undang – Undang Dasar Tahun 1945. Praxis: Jurnal Filsafat Terapan1(1), 1–25. https://journal.forikami.com/index.php/praxis/article/view/149/72

TamBari, P. N., & Igben, F. I. (2021). The Concept of Happiness in Aristotle’s Politics: A Reconstructive Adaptation for Contemporary Nigeria. Jurnal Ilmu Sosiologi Dialektika Kontemporer9(1), 22–27. https://ojs.unm.ac.id/elektikakontemporer/article/view/31795

Tazri, M. (2019). Cebong dan Kampret dalam Perspektif Komunikasi Politik. Jurnal PIKMA: Publikasi Ilmu Komunikasi Media dan Cinema3(1), 126–134. https://doi.org/10.24853/pk.3.1.1-7

Tilly, C. (1995). Citizenship, Identity and Social History. International Review of Social History40, 1–17. JSTOR. https://doi.org/10.1017/S0020859000113586

Wijanarko, R., & Riyanto, F. X. A. (2021). Thomas Hobbes on Human Rights and Its Relevance to The Populist Movement in Indonesia. Politika: Jurnal Ilmu Politik12(2), 272–296. https://doi.org/1682852392

Fajar N.
Fajar N.
Peneliti di Antinomi Institute dalam bidang Bioetika. Area risetnya melingkupi kesehatan, lingkungan, sains dan teknologi.

Bacaan Lainnya