Mempertahankan Antroposentrisme

Antroposentrisme, dalam bentuknya yang paling sadar dan reflektif, bukanlah tembok yang menghalangi perhatian terhadap yang-lain, melainkan sebuah jendela.

Fajar N.
Fajar N.
Peneliti di Antinomi Institute dalam bidang Bioetika. Area risetnya melingkupi kesehatan, lingkungan, sains dan teknologi.

Menemukan posisi antroposentrisme sebagai terdakwa utama dalam diskursus etika lingkungan merupakan sebuah hal yang umum. Pada awalnya, ketika menulis artikel “Menggungat Kosmosentrisme”, saya justru berharap para pegiat lingkungan berbasis kosmosentris dan ekosenstris dapat menguji premis-premis yang saya ajukan. Namun sangat disayangkan, sebagian kecil dari mereka justru lebih nyaman membuat thread ketimbang menuliskannya dalam sebuah artikel yang sama-sama dapat kita uji-paparkan kepada khalayak.

Terlepas dari itu, saya justru tidak menyangka respons yang hadir justru berangkat dari sisi yang cukup filosofis. Risalatul Hukmi (2025) dalam artikelnya yang berjudul “Dua Masalah Antroposentrisme” mengajukan dua tuduhan—sebagai bentuk sanggahan—terhadap antroposentrisme, yakni kerangka etis yang disebutnya sebagai suatu hal yang terjebak pada ‘elastisitas normatif’ dan ‘relativisme internal’. Sehingga, dalam tulisan ini, saya hendak menanggapi Hukmi dengan mencoba mengeksplorasi bentuk-nafas antroposentrisme yang mungkin berbeda—dimungkinkan dengan daya transformatifnya, yakni bahwa: (1) elastistas bukanlah kelemahan, namun kekuatan adaptif dalam konteks etika yang pluralistik; (2) moral antroposentrisme adalah kerangka yang tidak terhindarkan dan justru penting untuk dipertahankan; dan (3) tuduhan imunitas terhadap kritik justru mengabaikan fungsi reflektif dalam dialog yang dilakukan. Dengan begitu, artikel ini berupaya menunjukkan bahwa antroposentrisme tidak hanya dapat dipertahankan, tetapi juga merupakan kerangka etis yang paling realistis, adaptif, serta bertanggung jawab dalam menghadapi tantangan dan/atau konteks etika lingkungan yang terus berubah.

Tuduhan atas Elastisitas Normatif

Hukmi mengklaim bahwa antroposentrisme tidak memiliki batas epistemik dan normatif yang tegas, sehingga ia dapat serap-menyerap[1] semua masalah etika terhadap alam dengan menyusun argumen kebermanfaatannya bagi manusia. Bagi Hukmi, hal ini menjadi masalah karena ia menjadi tidak dapat diuji/dipatahkan secara normatif, sebab struktur penjelas kerangkanya selalu (dipaksa) mampu memperbaharui diri ketika diserang[2]—seolah-olah menjadi imun. Argumen ini tentu menarik, tetapi juga bermasalah. Sebab, bagi saya ini bukanlah bentuk ‘imun’ sebagaimana Hukmi bayangkan, namun sebagai bentuk pluralisme rasional yang mencerminkan kenyataan kita dalam merespons beragam tantangan etika lingkungan yang terus berubah—atau menjadi bagian dari adaptabilitas epistemik.

Kita andaikan pada argumen Laÿna Droz (2022), bahwa menurutnya konsep ‘antroposentrisme’ itu merupakan suatu konsep yang  ambigu dan memiliki banyak interpretasi yang berbeda-beda, tergantung pada konteks disiplin ilmu dan linguistiknya.[3] Maka, dari hal ini kita dapat menarik satu pemahaman mendasar, bahwa elastisitas sebagaimana yang dituduhkan bukanlah sebuah kekaburan/ketidakjelasan normatif,melainkan ekspresi dari sebuah kerangka nilai yang mencoba (tetap) relevan dengan konteks yang ada dan menjadi plural. Kekeliruan Hukmi di sini terletak pada seolah-olah menuntut suatu kerangka etis hanya sah apabila ia rigid—dan mungkin tertutup terhadap reinterpretasi, menjadi tidak adaptif. Padahal elastisitas adalah kekuatan moral dalam ranah pluralistik—yang saya yakin, Hukmi dapat mengamini hal ini. Pun fleksibilitas antroposentrisme untuk tetap bertahan dan relevan dalam berbagai konteks, bukan menandakan kelemahan, melainkan—sekali lagi saya anggap sebagai—ciri adaptabilitas epistemik dan normatif yang mampu menampung berbagai bentuk permasalahan etika tanpa harus membatalkan titik tolak moralnya: manusia (sebagai jangkarnya).

Selain itu, tuduhan Hukmi juga mengabaikan kenyataan bahwa dalam perspektif etika lingkungan mana pun—entah itu antroposentrisme, ekosentrisme, kosmosentrisme, ataupun biosentrisme—tetap dikonstruksi (dimediasi) oleh manusia, dalam bahasa dan persepsi manusia juga terhadap dunia. Maka, pada akhirnya, ia tetap tidak terlepas dari penjangkaran manusia, atau yang dapat kita pahami sebagai sensibilitas manusia dalam merasakan nilai intrinsik alam[4]—sebagai jembatan makna. Sehingga, dalam hal ini, anggaplah keanekaragaman hayati dianggap penting bagi kesehatan manusia[5] lantas tidak serta-merta mereduksi atau bahkan menegasikan nilai intrinsik alam pada kepentingan instrumental manusia, namun menunjukkan kepadu-padanan antara kepentingan manusia dan sisi nilai keberlanjutan ekologis. Terlebih, bila mau diandaikan lebih jauh, toh pendekatan antroposenstris maupun non-antroposentris ini seringkali bermuara menghasilkan kesimpulan/rekomendasi yang sama—khususnya dalam konservasi lingkungan. Walaupun argumentasi pendasarannya bisa jadi berbeda. Tetapi bagi saya ini bukan persoalan, yang jelas, antroposentrisme (tetap) memungkinkan manusia untuk menginternalisasi nilai-nilai ekologis (termasuk yang-lain) karena kepedulian keberlangsungan hidup manusia sebagai spesies adalah bagian dari etika ekologis itu sendiri.

Kemudian, Hukmi juga menegaskan bahwa kita tidak punya pilihan selain berpikir sebagai manusia. Bagi saya ini bukan sebuah pembelaan epistemologis, tetapi kondisi atas realitas moral yang tidak terhindarkan,[6] yang tidak lain karena keterbatasan epistemik manusia itu sendiri. Sebab kita tidak (mungkin) dapat mengakses dunia yang-lain (non-manusia) secara langsung dan otonom. Kita selalu dimediasi oleh struktur pengalaman dan bahasa manusia—kembali lagi pada posisi saya dalam artikel sebelumnya, sekalipun ada yang bisa (dan benar adanya), mungkin ia sudah kita anggap sebagai seorang nabi. Maka konsekuensinya, kapasitas kita untuk memberi nilai etis bukan karena superioritas egoistik, namun karena keterbatasan ontologis dan epistemologis yang niscaya—dan barangkali ini menjadi posisi yang sangat realistis.

Oleh karena itu, mengharapkan adanya etika yang sepenuhnya non-antroposentris dan otonom dari manusia justru berisiko menciptakan utopia normatif, yang justru sulit dijadikan sebagai sebuah pijakan.[7] Dalam hal praksis, pendekatan etika yang tetap berakar pada kepentingan manusia justru lebih bisa menuntun pada tindakan konkret. Tindakan etis yang nyata bermula dari rasa peduli terhadap kelangsungan hidup manusia itu sendiri, dan dari sana baru kemudian perhatian pada makhluk lain dapat ikut bertumbuh[8]—tidak mungkin atau tidak masuk akal sebaliknya. Droz juga memperkuat ini, bahwa banyak narasi ekologi justru gagal mendapatkan respons luas ketika hanya menggunakan argumen yang sepenuhnya bergantung pada klaim non-antroposentris.[9] Sesederhana, siapa yang sudi membela keberlangsungan hidup ‘badak bercula satu’ hanya demi badak bercula satu saja[10]?

Tuduhan atas relativisme internal

Hukmi menganggap antroposentrisme telah gagal memberikan standar etis yang inklusif, tertutama dalam kondisi krisis. Tuduhan ini berangkat dari asumsi bahwa setiap perspektif etika yang berpusat pada manusia pasti bersifat partikular dan rentan dimanipulasi kekuasaan, sehingga ia tidak mampu untuk menjawab pertanyaan lanjutan tentang siapa yang patut diselamatkan—manusia atau non-manusia; dan bila manusia, manusia yang mana? Tetapi bagi saya, permasalahan ini tidak layak untuk ditanyakan secara lantang pada antroposentrisme. Sebab, dalam kerangka etika lingkungan lainnya, mereka juga dihantui oleh pertanyaan yang sama: makhluk hidup mana yang harus didahulukan; apakah kepentingan non-manusia selalu lebih tinggi daripada manusia; siapa yang patut dianggap sebagai subjek moral di sana. Maka, untuk menyalahkan antroposentrisme atas dugaan relativisme moral internal dalam pengambilan keputusan etis pada model kasuistik adalah hal yang kurang tepat.

Selanjutnya, argumen relativisme internal yang diajukan Hukmi juga dapat kita temui dalam perspektif etika lingkungan lainnya yang mengklaim bersifat universal, khususnya ketika menghadapi tantangan partikularitas. Sesederhana siapa yang menetukan nilai, atas dasar apa, dan pada konteks yang seperti apa/bagaimana. Sebagaimana halnya pada lanskap geologis Olympus Mons, bukankah kita justru memproyeksikan nilai manusiawi ke dalam entitas non-manusia di sana (keagungan dan purba), yang kemudian kita sebut sebagai nilai intrinsik?[11] Upaya menolak/menghapus posisi manusia sebagai pusat penilaian etis justru membahayakan dan mungkin terjatuh pada lembah-curam nihilisme normatif—sebuah kondisi di mana tidak ada lagi subjek moral yang mampu memikul tanggung jawab reflektif. Sesederhana anggapan bahwa planet Mars harus dihormati demi ‘nilai intrinsiknya’ walaupun tidak ada entitas yang merasakannya—ini menjadi moralitas yang absurd bila tidak dimediasi oleh kesadaran manusia. Maka dari itu, bentuk antroposentrisme menjadi tidak terhindarkan, bukan sebagai bentuk dominasi, namun sebagai kondisi ontologis yang memungkinkan terbentuknya sistem etika dari manusia, oleh manusia, dan untuk dunia yang dipahami manusia.

Sanggahan Hukmi lainnya adalah juga kecenderungan kekhawatiran untuk memadu-padankan antroposentrisme dengan spesiesismeatau dalam konteks ini jelas dimaksudkan sebagai chauvinisme manusia. Padahal sudah jelas bahwa pembedaan ini sudah ditegaskan Hayward (1997)—sebagaimana yang dikutip dalam artikelnya[12]—dan David Samways (2025) bahwa terdapat perbedaan penting antara antroposentrisme sebagai struktur penilaian etis berbasis pengalaman dan sensibilitas manusia (entah terhadap keamanan dan lainnya), dengan spesiesme sebagai bentuk dominasi ekslusif atas non-manusia.[13] Bahkan Hayward juga menjelaskan bila kerangka antroposentris dapat digunakan membangun fondasi etika lingkungan yang kuat, asalkan tidak terjatuh pada chauvinisme.[14] Sehingga, tarikan kekhawatiran Hukmi terhadap antroposentrisme sebagai penghalang kesadaran ekologis merupakan bentuk penyerdehanaan analitis yang tidak mempertimbangkan keragaman teori dan praktik di dalam antroposentrisme itu sendiri. 

Sebagaimana halnya Attfield (2011) yang menawarkan adanya bentuk antroposentrisme-perspektif yang menempatkan manusia sebagai makhluk dengan kapasitas etis untuk bertangung jawab terhadap keberlanjutan ekologis, tanpa menutup/menafikkan kemungkinan adanya nilai intrinsik dalam alam[15]; atau bahkan Plasienková dan Smolková (2024) yang memperkenalkan model antroposentrisme-alam yang memandang bahwa meskipun manusia menjadi pusat penilaian moral, namun ia tetap menjadi bagian dari ekosistem yang lebih luas, dan bukan sebagai penguasa mutlak terhadapnya, sehingga memerlukan keterlibatan secara sadar serta reflektif dalam jejaring kehidupan.[16] Keberadaan dua model ini memperlihatkan kita bahwa antroposentrisme tidak menyangkal bahwa manusia punya dampak destruktif terhadap lingkungan, namun justru menggarisbawahi bahwa pengakuan akan hal itu adalah bagian dari evaluasi moral manusia yang bertanggung jawab. Maka, tuduhan Hukmi bahwa antroposentrisme buta terhadap sifat destruktif tidak dapat dipertahankan.

Tuduhan eksploitasi lingkungan yang disebut sebagai produk dari antroposentrisme juga merupakan hal yang keliru. Sebab ‘eksploitasi’ sama sekali tidak merepresentasikan kepentingan manusia secara keseluruhan. Padahal yang seringkali terjadi justru hanya segilitir orang yang mengorbankan kepentingan/masa depan kolektif. Maka, yang perlu dikritik bukanlah antroposentrisme sebagai sebuah kerangka etis, melainkan keberadaan egoisme sempit yang merampas makna dan interpretasi kolektif dari prinsip-prinsip moral kemanusiaan itu sendiri. Untuk memperkuat jawaban ini, saya meminjam argumen dari Chelsea Batavia (2020), yang menjelaskan bahwa preferensi manusia terhadap kepentingannya sendiri seringkali bukan berasal dari kecacatan etis, tetapi dari tekanan untuk meredam disonansi antara moralitas ideal dan kenyataan yang tertawarkan.[17] Maka, kegagalan pada pengambilan keputusan ‘demi manusia’ (terlebih manusia yang mana) bukan terletak pada kelemahan bangun-ruang antroposentrisme itu sendiri, melainkan pada institusi—dan mungkin norma sosial—yang belum mampu melibat-terapkan nilai-nilai ekologis dengan konsisten.

Alih-alih mengecam antroposentrisme dari diskursus etika lingkungan, saya justru melihat potensi lebih layak untuk mengembangkannya menjadi fondasi moral yang lebih realistis dan inklusif. Dan dalam bentuknya yang reflektif—yang sadar akan keterbatasan manusia, sekaligus memikul tanggung jawab atas relasinya dengan dunia non-manusia—dapat menjadi batu pijakan yang menjembatani dimensi nilai.[18] Ia tidak menafikan keberadaan nilai-nilai lain di luar manusia, tetapi justru menyadari bahwa semua nilai yang kita perjuangkan pada akhirnya tetap berasal dari kapasitas manusia untuk memberi makna. Dalam kerangka ini, sejauh yang saya bayangkan, antroposentrisme justru menjadi medan artikulasi bagi pluralitas nilai yang lebih luas dengan membuka kemungkinan adanya partisipasi makna dari berbagai titik alasan yang lebih luas (majemuk)[19]. Oleh karena itu, saya jelas tidak sepakat bila membela antroposentrisme berarti mengukuhkan dominasi manusia; justru mengakui keterbatasan kita sebagai makhluk bernalar, sekaligus upaya untuk lebih bertanggung jawab terhadap dunia yang dihuni bersama.

Epilog

Akhirnya, pengisahan tentang antroposentrisme ini tentu tidak sesederhana terselesaikan hanya dengan pertarungan argumen atau saling-tuding antardoktrin, melainkan sebuah cerita panjang tentang bagaimana manusia terus bergulat dengan makna dan tanggung jawab, bahkan dengan keterbatasannya sendiri dalam memaknai dunia. Dalam kisah ini, saya membayangkan, antroposentrisme bukanlah tokoh jahat seperti yang sering digambarkan dalam diskursus lain—atau oleh Hukmi sekali pun. Barangkali, ia lebih serupa dengan sosok tua yang bijak—ada kalanya keras kepala dan mengesalkan, namun penuh pengalaman hidup—yang duduk di pinggir panggung zaman, menyaksikan perubahan demi perubahan yang terjadi dalam sebuah lanskap moral manusia.

Sedari awal, ia mungkin tidak sempurna, namun ia tetap belajar—memaknai dirinya lagi dan lagi dari tuduhan dan/atau sanggahan yang diberikan; pun darinyalah, bahasa-bahasa etika itu pertama kali diucapkan. Dalam dirinya juga terdapat kesadaran bahwa semua makna, betapapun luhur dan universalnya, tetap membutuhkan subjek untuk merasakan dan merawatnya. Narasi tentang antroposentrisme mengajarkan kita bahwa keberadaan manusia tidak dapat dilepaskan dari jalinan ekologis yang lebih besar. Manusia memang tidak dapat keluar dari dirinya sendiri, namun justru karena itulah ia dapat mengembangkan tanggung jawab yang etis. Sebagaimana dengan menyadari bahwa rumah yang ditinggali bukan hanya miliknya, melainkan tempat bersama, maka ia pun belajar untuk menjaga dan memperbaikinya. Bukan hanya karena diperintah, namun juga menyadari nilai hidup yang dibagi. 

Bagi saya, kisah ini belum berakhir. Mungkin, tidak akan pernah benar-benar selesai. Seperti halnya manusia yang terus bertumbuh, maka kerangka etikanya pun harus sanggup menyesuaikan diri—elastis, plural, namun tetap bernapas dari sumber yang sama: manusia. Antroposentrisme, dalam bentuknya yang paling sadar dan reflektif, bukanlah tembok yang menghalangi perhatian terhadap yang-lain, melainkan sebuah jendela—dari mana manusia dapat melihat keluar, merenung, dan pada akhirnya, kembali kepada dirinya sendiri dengan pemahaman yang lebih dalam. Maka, jika hari ini antroposentrisme berhasil dipertahankan, itu bukan karena manusia enggan berubah. Justru sebaliknya, karena manusia tahu, bahwa hanya dengan mengenali dirinya—beserta kelemahan, keraguan, dan pertanggungjawabannya—ia dapat membuka ruang moral yang lebih luas. Barangkali perlu untuk dicatat, ini bukan akhir dari pembelaan saya terhadap antroposentrisme, melainkan babak awal—yang mungkin turut mengundang—pengisah-pengisahan lain, yang mungkin bergelut tentang bagaimana menjadi manusia yang tidak hanya hidup di dunia, tetapi juga hidup untuk dunia. Sebab yang penting bagi masa depan adalah bukan siapa yang paling benar, tetapi siapa yang mampu mewariskan tuntunan moral terbaik untuk generasi berikutnya.


Catatan Akhir

[1] Atau istilah yang digunakan Hukmi di sini sebagai resorptif, yang mungkin diandaikan sebagai sikap selalu menyerap dan menelan bantahan-bantahan terhadapnya dengan merasionalisasinya dalam jangkar kebermanfaatan terhadap manusia. Dan ini digunakan untuk memperkuat keberadaan/sikap dirinya (antroposentrisme). Lih. lebih lanjut Hukmi, “Dua Masalah Antroposentrisme.”

[2] Sebagaimana halnya ketika manusia melindungi hutan demi kesehatan ataupun menjaga keanekaragaman hayati demi keberlanjutan sumber pangan dapat dikatakan sebagai ekspresi rasa tanggung jawab yang muncul dari kesadaran akan ketergantungan eksistensial manusia pada lingkungan. Sesederhana ketika lingkungan (alam) rusak, maka manusia terancam punah. Argumen seperti inilah yang mungkin Hukmi bayangkan sebagai kemampuan imunitas dari antroposentrisme.

[3] Droz, “Anthropocentrism as the Scapegoat of the Environmental Crisis.” hal. 26-28.

[4] Attfield, “Beyond Anthropocentrism.” hal. 40-44.

[5] Anggap lah tawarannya untuk obat-obatan dan lainnya.

[6] Droz, “Anthropocentrism as the Scapegoat of the Environmental Crisis.” hal. 29-30.

[7] Hui, “Moral Anthropocentrism Is Unavoidable.” hal. 25.

[8] Attfield, “Beyond Anthropocentrism.” hal. 34-35, 40.

[9] Droz, “Anthropocentrism as the Scapegoat of the Environmental Crisis.” hal. 33-39.

[10] Dimaksudkan sebagai as itself, sesuatu yang inheren dan independen dari pengamatan yang-lain.

[11] Lih. lebih lanjut pada Nurcahyo, “Menguggat Kosmosentrisme.”

[12] Lih. lebih lanjut Hukmi, “Dua Masalah Antroposentrisme.”

[13] Samways, “The Anthropocentrism Thesis.” hal. 26-28.

[14] Lih. lebih lanjut Hukmi, “Dua Masalah Antroposentrisme.”

[15] Lih. lebih lanjut pada Attfield, “Beyond Anthropocentrism.” hal. 32, 41-42.

[16] Lih. lebih lanjut pada Plašienková dan Smolková, “In Defence of Environmental Anthropocentrism.” hal. 7, 10-11, 13-14.

[17] Batavia, “Is Anthropocentrism Really the Problem?” hal. 2.

[18] Batavia, “Is Anthropocentrism Really the Problem?” hal. 3.

[19] Sehingga argumen mempertahankan keberlangsungan hidup cicak atas dasar: (1) manusia membutuhkan cicak sebagai predator alami nyamuk (nyamuk dianggap menganggu manusia), serta cicak dapat memberikan manfaat manusia sebagai obat herbal; dan (2) cicak sebagaimana dirinya sendiri (as itself), justru tidak perlu diperdebatkan. Sebab keduanya bermuara pada kesimpulan yang sama, mempertahankan keberlangsungan hidup cicak. 


Referensi

Attfield, Robin. “Beyond Anthropocentrism.” Royal Institute of Philosophy Supplement 69 (2011): 29–46. https://doi.org/10.1017/s1358246111000191.

Batavia, Chelsea. “Is Anthropocentrism Really the Problem?” Animal Sentience 4, no. 27 (2020). https://doi.org/10.51291/2377-7478.1557.

Droz, L. “Anthropocentrism as the Scapegoat of the Environmental Crisis: A Review.” Ethics in Science and Environmental Politics 22 (2022): 25–49. https://doi.org/10.3354/esep00200.

Hui, Katrina. “Moral Anthropocentrism Is Unavoidable.” The American Journal of Bioethics 14, no. 2 (2014): 25–25. https://doi.org/10.1080/15265161.2013.868953.

Hukmi, Risalatul. “Dua Masalah Antroposentrisme.” Internet. Antinomi, 2025. https://antinomi.org/dua-masalah-antroposentrisme/.

Nurcahyo, Fajar. “Menguggat Kosmosentrisme.” Internet. Antinomi, 2025. https://antinomi.org/menggugat-kosmosentrisme/.

Plašienková, Zlatica, dan Eva Smolková. “In Defence of Environmental Anthropocentrism.” Studia Ecologiae et Bioethicae 22, no. 3 (2024): 5–15. https://doi.org/10.21697/seb.5816.

Samways, David. “The Anthropocentrism Thesis: (Mis)Interpreting Environmental Values in Small-Scale Societies.” Environmental Values 34, no. 1 (2025): 25–42. https://doi.org/10.1177/09632719241245170.

Fajar N.
Fajar N.
Peneliti di Antinomi Institute dalam bidang Bioetika. Area risetnya melingkupi kesehatan, lingkungan, sains dan teknologi.

Bacaan Lainnya