Surat Terbuka untuk Bung James dan Pertanyaan tentang Tugas Filsafat

Filsafat menjadi bobrok jika hanya menjadi justifikasi bagi ujaran kebencian dan provokasi untuk mempersekusi mereka yang dianggap berada di luar arus.

Syarif Maulana
Syarif Maulanahttps://www.syarifmaulana.id/
Syarif Maulana adalah pengajar di Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan dan mahasiswa doktoral di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Syarif menginiasi kelas belajar filsafat daring Kelas Isolasi dan menulis buku berjudul Kumpulan Kalimat Demotivasi (2020, 2021), Nasib Manusia: Kisah Awal Uzhara, Eksil di Rusia (2021), Pengantar Ilmu Komunikasi (2022), Charles Handoyo: Sang Demotivator (2022), dan menerjemahkan buku Derrida: Sebuah Biografi (2022) karya Benoît Peeters dan Francis Bacon: Logika Sensasi (2022) karya Gilles Deleuze.

Halo, Bung James*. Apa kabar? Semoga senantiasa dalam keadaan sehat ya.

Apa yang membuat saya menuliskan surat terbuka ini, tentu Bung James tahu. Ini berhubungan dengan cuitan Bung di Twitter pada 21 April 2023 lalu. Untuk kepentingan pengetahuan pembaca supaya jelas duduk perkaranya, saya akan kutip cuitan Bung (dari akun @jamesfarlow) yang telah dihapus tersebut:

“Mahasiswa FIB harusnya melakukan gerakan anti-LGBT yang sudah meresahkan di kampus. Sekalian biar berkah.”

Cuitan tersebut adalah quote retweet atas meme Flynn yang ditodong banyak pedang dengan caption: “Apa unpopular opinion tentang fakultas kalian yang membuat kamu ada di posisi ini?”

Pada cuitan-cuitan berikutnya (setelah ramai), Bung James membela diri dengan menuliskan bahwa cuitan tersebut adalah satir dalam konteks “unpopular opinion”. Namun melihat jejak balasan Bung sebelumnya terhadap beraneka komen yang muncul, termasuk yang bertuliskan “Coba ke kampus, Depok rasa Pattaya … tapi tetep Depok, kalau Pattaya setidaknya masih cakep2 … :D”, kelihatannya Bung James tidak sedang menunjukkan ekspresi satir, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai “sikap” yang kebetulan disampaikan dengan cara yang ringan dibumbui sedikit humor.

Sebelumnya perlu dijelaskan posisi saya dalam menulis surat ini. Pertama, meski saya sering bergaul dengan teman-teman filsafat UI dan beberapa kali sit in di kelas Mba Saras Dewi dan Mba Ikhaputri, secara administratif saya bukanlah bagian dari UI. Artinya, saya tidak punya kepentingan apa pun terkait dengan UI.

Kedua, saya adalah laki-laki cishetero yang bukan merupakan bagian dari komunitas LGBTIQ+ dan rasanya tidak pantas jika surat ini lantas diterjemahkan sebagai tulisan yang “mewakili” atau “membela” kelompok LGBTIQ+ secara spesifik karena keterbatasan kapasitas dan pengalaman saya. Tetapi bukan berarti surat ini kemudian juga menjadi netral. Jika surat ini ditafsirkan sebagai keberpihakan atau pembelaan terhadap kelompok yang termarjinalkan, saya tidak keberatan.

Dengan demikian, perlu ditegaskan bahwa posisi saya menulis surat ini adalah sebagai pengkaji filsafat yang, katakanlah, dari “alam liar”, merasa terpanggil untuk bersuara setelah mengamati cuitan (demi cuitan) Bung James yang pada titik tertentu mengaburkan posisi Bung James sendiri sebagai pengkaji sekaligus pengajar filsafat.

Juga sebagaimana Bung James cuitkan bahwa Bung James ingin diskusi yang lebih sehat dari sekadar cuitan di platform Twitter yang serba terbatas, maka inilah dia, surat yang lebih panjang ketimbang jumlah karakter di Twitter, yang dapat memfasilitasi gagasan dengan cukup utuh, demi menghindari gagal paham.

Oke, mari kita mulai dari cuitan Bung James itu sendiri supaya tertib pada konteks yang berangkat dari teks. Dengan memasukkan kata “harusnya”, cuitan Bung James adalah pernyataan preskriptif yang mengandung rekomendasi tentang apa yang sebaiknya dilakukan. Pernyataan preskriptif tentu mesti memiliki alasan, karena mengundang pertanyaan, “Mengapa kami perlu mengikuti rekomendasi yang Anda sebutkan?”.

Bung James tampaknya punya justifikasi mengapa “harusnya” terdapat gerakan anti-LGBTIQ+ oleh mahasiswa FIB, yang jika mengacu pada teks, didasari oleh alasan “meresahkan di kampus” dan “biar berkah”. Terhadap kedua alasan tersebut, saya punya tanggapan yang mudah-mudahan Bung James bersedia menanggapi balik:

  • Bagaimana LGBTIQ+ di kampus dianggap meresahkan? Apakah karena mengganggu visual? Apakah karena memasuki area privasi Bung James atau mengambil properti privat, atau bagaimana? Hal yang mungkin lebih patut dipertanyakan adalah ini: bagaimana bisa posisi Bung James, yang secara identitas lebih mainstream dan punya jabatan dosen, merasa resah oleh kelompok yang lebih minor? 
  • Menggunakan kata “berkah” berarti melibatkan term relijius, dan ini tidak terlalu cocoklogi mengingat posisi Bung James yang sekaligus seorang pendeta. Dalam kaitannya dengan term relijius, hal-hal tertentu tidak bisa diperdebatkan lebih jauh karena menyangkut keimanan seseorang. Jika memang benar sikap anti-LBGTIQ+ itu sengaja dikaitkan dengan keimanan, maka, pertama, justru Bung James sendiri yang tampak berusaha lepas dari tanggung jawab diskusi secara terbuka dan, kedua, pembelaan “unpopular opinion” Bung James menjadi gugur karena mengaitkan LGBTIQ+ dan “ketidakberkahan” adalah argumen mainstream yang menjadi dogma ratusan bahkan ribuan tahun.

Poin kedua tersebut juga merupakan kritik terhadap “pengalaman eksistensial” yang kerap menjadi pembenaran bagi seseorang untuk berlaku sesuai penghayatan personalnya. Bung James mungkin bisa mengatakan, atas dasar penghayatan terhadap keimanannya, juga karena ketaatan yang besar terhadap ajaran agamanya, pandangan-pandangan sebagaimana dicuitkan tersebut menjadi tidak dapat diganggu gugat (“Kita berbeda, dan selesai”).

Namun pertanyaan lainnya, tidakkah dengan mengakui pengalaman eksistensial dari penghayatan Bung James sendiri, itu berarti bahwa Bung James seyogianya mengakui bahwa orang-orang lain juga memiliki pengalaman eksistensial, termasuk orang-orang yang di-anti-kan oleh Bung James? Tidakkah di hadapan beraneka pengalaman eksistensial tersebut, Bung James tidak perlu merasa resah apalagi menganggapnya sebagai tidak berkah? Atau jangan-jangan, Bung James merasa pengalaman eksistensial Bung James lebih penting dan lebih tinggi daripada yang lainnya?

Pertanyaan berikutnya: menurut Bung, apa kira-kira tugas filsafat? Platon dalam Apology mengilustrasikannya sebagai “penyengat” (30e). Jika mengacu pada pembelaan Sokrates, maka filsafat melakukan “sengatan” terhadap hal-hal yang dianggap dogmatis atau pada prinsip yang dianut oleh orang-orang secara sok yakin (Sokrates menyimbolkannya sebagai “kuda besar yang pemalas”).

Benar bahwa Bung James telah berhasil menyengat orang-orang lewat cuitan Bung James, membuat Bung James diserang dari berbagai penjuru, yang mungkin membuat Bung James bangga karena telah menjalankan apa yang disebut sebagai “tugas filsafat”. Namun posisi Bung James yang lebih hegemonis, dogmatis, dan mainstream membuat filsafat menjadi sekadar alat untuk meneguhkan posisi yang sudah nyaman tersebut. Filsafat menjadi kehilangan daya rusak terhadap yang-dogmatis, dan justru sebaliknya, menjadi palu bagi si dogmatis untuk menghantam “yang lain”.

Sekadar saran, jika Bung memang mengamini filsafat sebagai “penyengat” terhadap yang-dogmatis, maka hal yang sebaiknya dilakukan adalah kritik-diri terhadap pemikiran dogmatis Bung sendiri, yang entah kenapa masih dengan lentur melontarkan anti-anti-an terhadap mereka yang tak sejalan dengan dogma yang Bung yakini. Namun, saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Bung, karena memang terdapat masa ketika filsafat dijadikan justifikasi bagi iman, semacam apologetika bagi ajaran agama. Philosophia ancilla theologiae. Jika Bung masih mengamini filsafat sebagai budak teologi, maka berarti pemahaman Bung masih tertambat di Abad Pertengahan–dan saya tidak bisa berbuat apa-apa selain memilih menghormati perbedaan.

Terakhir, saya kira penting untuk sedikit membahas keberpihakan dalam filsafat, meski filsafat itu sendiri kerap dituding sebagai produk akal budi yang terlepas dari subjek yang memikirkan. Filsafat kerap dituduh sebagai produk dari orang-orang yang bertopangdagu di balik meja, memikirkan problem dunia ide, sebagaimana Kant memikirkan rasio murni atau Hegel memikirkan Roh. Namun, kelihatannya sejak Marx, filsafat menjadi penting untuk senantiasa terhubung dengan dunia material, berkorelasi dengan problem ekonomi politik sebagai hal yang takterpisahkan dari masyarakat.

Pada titik ini, filsafat menjadi praksis, produk yang sepaket antara pikiran dan tindakan. Berfilsafat berarti pula bertindak adil, memahami bahwa terdapat beraneka ketimpangan di dunia dan menjadi “beban” filsafat untuk turut mengubahnya, memperbaikinya. Begitu luasnya pemikiran Marx, hingga bisa dikembangkan ke tataran ketimpangan pada bahasa, relasi kuasa, sampai ke urusan gender.

Saya tidak perlu menjelaskan panjang lebar pada Bung James perkara sejarah filsafat karena Bung James pastinya lebih paham. Namun, poin yang ingin saya sampaikan adalah filsafat perlu dibuang ke tempat sampah jika tidak punya kontribusi apa pun dalam memperbaiki beraneka ketimpangan. Filsafat menjadi bobrok jika hanya menjadi justifikasi bagi ujaran kebencian dan provokasi untuk mempersekusi mereka yang dianggap berada di luar arus. Filsafat sebaiknya ditanggalkan jika hanya menjadi alat masturbasi bagi mereka yang berkuasa.

Bung James boleh tidak setuju terhadap LGBTIQ+ sesuai ajaran dan keyakinan yang dipegang Bung James, tetapi menunjukkan perilaku tidak adil lewat pernyataan yang sebenarnya cukup tegas dan tidak ambigu adalah pertanyaan besar atas pemahaman Bung James terhadap filsafat itu sendiri. Kecuali, ya kecuali, Bung James memilih untuk bertopangdagu, duduk bersama para filsuf yang sok netral seperti Locke dan Hegel, tetapi sebenarnya diam-diam mendukung perbudakan dan supremasi identitas tertentu.

Saya tentu berharap surat ini tidak mencederai pertemanan kita, Bung James. Namun, apa yang saya tuliskan adalah bentuk keresahan yang melampaui hubungan personal, yang dibenarkan oleh pepatah klasik yang diparafrasekan dari Nicomachean Ethics: “Plato adalah kawanku, tapi kebenaran adalah kawan yang lebih baik” (Amicus Plato, sed magis amica veritas).

Demikian Bung James surat dari saya. Sukses selalu ya, Bung.

Salam hangat,

Syarif Maulana

*) James Farlow Mendrofa, Dosen Filsafat UI

Bacaan Lainnya