Dalam artikel sebelumnya, telah dipaparkan beberapa putusan analitis aposteriori, putusan yang dianggap takmungkin oleh Immanuel Kant. Terdapat tiga putusan yang disodorkan oleh Stephen Palmquist sebagai putusan analitis aposteriori, yaitu: “Air adalah H2O,” “Hesperus adalah Phosphorus,” dan “Cogito, ergo sum.” Dalam artikelnya yang berjudul “A Priori Knowledge in Perspective: Naming, Necessity and the Analytic A Posteriori”, Palmquist menyatakan bahwa ketiga proposisi tersebut adalah putusan analitis aposteriori karena kebenarannya diperoleh dari pengalaman.
Dalam bagian akhir tulisan tersebut, telah dikatakan bahwa dua putusan pertama bukan putusan analitis karena sifatnya yang interchangeable salva veritate, yang artinya term subjek dan term predikat dapat dipertukarkan tanpa mengubah nilai kebenarannya. Sedangkan putusan yang terakhir dikatakan oleh Kant dalam Critique of Pure Reason sebagai putusan tautologis. Dalam artikel ini, penulis hendak membahas secara lebih detail apa yang dimaksud oleh Kant dengan tautologi, dan menjelaskan mengapa proposisi “Cogito, ergo sum” adalah putusan tautologis menurut Kant.
Descartes dan Cogito, Ergo Sum
René Descartes adalah filsuf kelahiran Prancis, 31 Maret 1596. Ia, yang juga dikenal sebagai Renatus Cartesius, mengambil sikap skeptis terhadap segala hal yang ia ketahui. Descartes berusaha sekuat mungkin untuk menemukan kebenaran yang tidak mungkin terbantahkan. Demi mencapai tujuan ini, dengan mengadopsi metode keraguan (method of doubt), menurut Descartes, merupakan sebuah imperatif.[1]
Terdapat dua argumen yang menurutnya bisa menghasutnya untuk meragukan segala hal. Yang pertama adalah pertanyaan bagaimana jika semua ini adalah mimpi? Semua yang dialami ketika seseorang bermimpi terasa wajar, dan apa yang dapat mencegah dan membuktikan bahwa pengalaman saat ini bukan sebuah mimpi? Sedangkan argumen kedua adalah argumen tentang iblis licik yang selalu mengelabui. Iblis tersebut terus menerus mengelabui segala hal, bahkan dalam kalkulasi matematis paling sederhana sekalipun.[2]
Akan tetapi, dari semua keraguan tersebut, terdapat suatu kebenaran yang tidak bisa dibantah sama sekali—bahwa ada yang berpikir. Terlepas dari apakah pikiran tersebut benar atau salah—dikelabui oleh iblis atau tidak—ada aktivitas berpikir. Aktivitas berpikir tersebut juga pasti dikerjakan oleh sebuah entitas, dan dalam situasi ini, akulah entitas tersebut. Dengan demikian, karena aku berpikir, maka aku ada—cogito, ergo sum.
Tautologi Aristotelian
Dalam artikel sebelumnya telah dikatakan bahwa proposisi “Cogito, ergo sum” adalah putusan tautologis bagi Kant. Pertanyaannya adalah, apa yang dimaksud dengan tautologi? Tautologi adalah sebuah proposisi yang hanya memiliki dua kemungkinan, hanya bisa bernilai benar atau salah, tanpa ada kemungkinan ketiga.[3] Contoh dari proposisi tautologi adalah “hari ini hujan.” Proposisi ini bersifat tautologis karena kemungkinan kebenarannya biner; (P) “hari ini hujan,” atau (¬P) “hari ini tidak hujan.” Jika ditulis dalam notasi logika menjadi P ∨ ¬P. Tidak mungkin P ∧ ¬P yang kemudian dapat ditulis menjadi: (P) “hari ini hujan turun,” dan sekaligus (¬P) “hari ini tidak hujan.”
Dalam buku Critique of Pure Reason, Kant menyatakan bahwa logika Aristoteles sudah lengkap (B.viii).[4]Tautologi P ∨ ¬P dalam logika Aristotelian disebut sebagai hukum excluded middle term. Disebut demikian karena hukum tersebut mengeksklusikan pilihan ketiga di antara benar dan salah. Dengan pemahaman mengenai tautologi dalam logika Aristotelian yang dikatakan oleh Kant sudah lengkap, sekarang kita dapat mencoba untuk mengaplikasikannya pada proposisi “Cogito, ergo sum.”
Kant menyatakan “Cogito, ergo sum” tautologis karena “eksistensi” merupakan prasyarat utama (necessary condition) bagi aktivitas “berpikir” (A.354-5). Maka, tidak ada yang “berpikir” namun “tidak ada”. Dalam logika Aristotelian, dapat dilihat bahwa diktum Descartes adalah proposisi tautologis karena nilai kebenarannya P ∨ ¬P; “berpikir dan ada,” atau “tidak berpikir dan tidak ada.” Pilihan ketiga seperti “berpikir dan tidak ada” merupakan sesuatu yang mustahil. Akan tetapi, jika prasyarat utama merupakan sesuatu yang membuat proposisi tersebut menjadi tautologis, apakah putusan analitis lain tidak mengharuskan prasyarat utama?
Proposisi analitis adalah proposisi yang term predikatnya sudah terkandung di dalam term subjek (B.10). Contoh dari putusan analitis adalah proposisi “tubuh memiliki keluasan.” Dari proposisi tersebut, term “keluasan” sudah terkandung di dalam term “tubuh”. Putusan analitis memang tidak menghasilkan pengetahuan baru, akan tetapi masih bersifat eksplikatif (B.11). Pertanyaannya adalah, apakah “keluasan” merupakan prasyarat utama bagi “tubuh”?
Tautologi Kantian
Logika Aristotelian berkaitan dengan silogisme. Salah satu hal yang wajib diingat adalah bahwa proposisi “Cogito, ergo sum” bukan merupakan hasil penalaran silogisme, melainkan hasil inspeksi yang kemudian diperlakukan sebagai kebenaran pertama filsafat.[5] Jika “Cogito, ergo sum” merupakan buah penalaran, dengan sendirinya Descartes telah mengingkari kesangsian metodisnya; karena itu berarti mengandaikan pengetahuan atas hukum-hukum logika. Maka, kurang tepat jika menggunakan tautologi Aristotelian untuk membedah diktum Descartes. Descartes berulang-ulang bersikeras bahwa proposisi “aku ada” diketahui benar secara pasti karena menyadari “aku berpikir”—bukan karena premis mayor “semua yang berpikir ada.”[6]
Kant juga tidak menggunakan rumusan tautologi Aristotelisan untuk mendefinisikan proposisi tautologisnya. Justru Kant menggunakan hukum excluded middle term—atau disebut juga sebagai prinsip kontradiksi—untuk mengecek analitisitas dalam putusan analitis (B.12). Salah satu proyek filsafat paling penting Kant adalah membedakan putusan analitis dan putusan sintetis. Putusan sintetis, berbeda dari putusan analitis, adalah proposisi yang term predikatnya tidak terkandung di dalam term subjeknya (B.11). Putusan sintetis tidak bersifat eksplikatif, melainkan ampliatif atau menambah pengetahuan (B.11). Putusan analitis, seperti yang telah dijelaskan, mengakibatkan proposisi yang selalu niscaya. Jika hendak menggunakan tautologi Aristotelian, maka semua putusan analitis juga merupakan putusan tautologis. “Tidak ada ‘tubuh’ yang tidak ‘berkeluasan’,” merupakan proposisi yang setara dengan “tidak ada ‘yang berpikir’ yang ‘tidak ada’.”
Kant juga membedakan antara putusan analitis dengan putusan tautologis. Perbedaan antara putusan analitis dan putusan tautologis terletak pada identitasnya. Kant mengatakan putusan analitis memiliki sifat identitas implicite, sedangkan putusan tautologis bersifat identitas explicite.[7] Putusan analitis memiliki identitas implisit karena, meskipun term predikat sudah selalu terkandung di dalam term subjek, ia masih bersifat mengeksplisitkan apa yang implisit. Term “keluasan” memang sudah selalu terkandung di dalam term “tubuh”. Akan tetapi, proposisi tersebut memperjelas pengetahuan seseorang mengenai tubuh—bahwa objek yang berada dalam realitas material pasti mengokupasi ruang.
Jika putusan analitis bersifat identitas implicite karena masih bisa memperluas pengetahuan, putusan tautologis, dengan sifat identitas explicite, sama sekali tidak memperluas ataupun menambah pengetahuan. Contohnya sangat sederhana: “manusia adalah manusia.” Tidak ada sesuatu pun yang bisa bermanfaat dari proposisi tersebut. Proposisi tautologis adalah sebuah proposisi kosong karena tidak menyatakan apa pun—tidak seperti putusan analitis yang masih mengeksplisitkan apa yang implisit di dalam term subjek.[8] Dalam putusan analitis, upaya pencarian analitisitas diperoleh dari kerja analisa.[9]
Kant beranggapan bahwa tautologi merupakan idem per idem, atau bisa ditulis dengan notasi A = A.[10] Formula idem per idem berarti sesuatu melalui dirinya sendiri (same through the same). Sekarang, setelah membedakan tautologi a la Aristoteles dan Kant, yang tersisa adalah membuat proposisi “Cogito, ergo sum” ke dalam notasi A = A—yang sayangnya hal itu tidak dapat dilakukan.
Jalan Buntu?
Di sini, saat ini, tampak sepertinya jalan buntu. Jika proposisi “Cogito, ergo sum” merupakan sebuah proposisi tautologis bukan dalam kerangka logika Aristotelian, bukan juga dalam rumusan A = A Kant, lantas mengapa Kant dalam Critique of Pure Reason menyebutnya demikian? Jika menilik kembali pernyataan Kant dalam bukunya, ia mengatakan bahwa “ada” adalah prasyarat utama bagi aktivitas “berpikir” (A.354-5). Béatrice Longuenesse, dalam bukunya yang berjudul I, Me, Mine: Back to Kant, and Back Again, mengatakan bahwa kesimpulan “Aku ada” adalah prasyarat utama bagi Descartes untuk menopang pernyataan atas fakta adanya aktivitas “berpikir”, “pikiran” yang “aku” alami/kerjakan.[11] Sekarang, pertanyaan yang harus dijawab adalah, apakah dalam putusan-putusan analitis seperti “semua tubuh memiliki keluasan” mensyaratkan term predikat “keluasan” sebagai prasyarat utama bagi “tubuh”?
Dalam bagian “Transcendental Deduction”, Kant mengatakan bahwa konsep “tubuh” mensyaratkan (necessitates) representasi “keluasan”, begitu juga dengan representasi ketaktertembusan (impenetrability), bentuk (shape), dll. (A.106). Dengan pernyataan barusan, dapat dikatakan memang “keluasan” merupakan prasyarat utama bagi “tubuh”. Akan tetapi, sekadar “keluasan/ekstensionalitas” tidak mencukupi (sufficient), karena masih diperlukan representasi-representasi lain seperti “ketaktertembusan”, “bentuk”, dll. Pernyataan ini selaras dengan penjelasan bahwa term-term dalam putusan analitis memiliki keluasannya masing-masing (B.93). Perihal prasyarat utama, Kant lebih lanjut menyatakan bahwa semua prasyarat (necessity), tanpa terkecuali, harus didasarkan (grounded) pada kondisi transendental (transcendental condition) (A.106).
Kegiatan “berpikir”, yang untuk Descartes merupakan prasyarat utama dalam menjamin eksistensi “aku”, bagi Kant bukan didasarkan pada kondisi transendental. Menurutnya, untuk menyadari—memperoleh representasi—pengada yang berpikir (thinking being) hanya dikarenakan kesadaran diri (self-consciousness) (A.347/B.405). Kesadaran akan diri sendiri serta kesadaran atas aktivitas berpikir dikategorikan sebagai kesadaran diri empiris (empirical self-consciousness) yang merupakan kerja apersepsi (acts of apperception).[12]
Dengan demikian, prasyarat utama bagi Descartes untuk menuju “aku ada,” yaitu aktivitas “berpikir”, dalam bangunan filsafat Kant, bukan berangkat dari kondisi transendental, melainkan dari kerja apersepsi; sedangkan “keluasan” sebagai prasyarat utama bagi “tubuh” berasal dari kondisi transendental. Bagi Kant, kondisi transendental tidaklain dan tidak bukan adalah apersepsi transendental—kesatuan kesadaran yang mendahului segala intuisi dan yang memungkinkan representasi-representasi objek (A.106-7).[13] Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa kondisi transendental adalah 12 kategori itu sendiri; bukan kerja dari 12 kategori.
Jika “keluasan” merupakan prasyarat utama bagi “tubuh” namun belum mencukupi karena masih ada “ketaktertembusan”, “bentuk”, dll., apakah “berpikir” merupakan prasyarat utama yang memadai untuk membuktikan bahwa “aku ada”? Descartes, dalam “artikel VII”, menyatakan bahwa selama terlibat dalam aktivitas “berpikir” semata, sudah merupakan landasan epistemik yang cukup untuk menjamin eksistensi “aku”.[14] Dengan demikian, “berpikir” merupakan prasyarat utama yang memadai (necessary-sufficient condition) untuk menjamin “aku ada”. Bagi Kant, di sini letak kekeliruan Descartes dengan formulasi “Cogito, ergo sum.”
Bagi Kant, Descartes telah melakukan qualitas occulta, yaitu sebuah metode yang umum dalam filsafat skolastik yang menyatakan sesuatu menyebabkan dirinya sendiri.[15] Penalaran sirkular seperti ini tidak menyatakan apa-apa, hanya sebuah proposisi kosong belaka; dan dengan demikian merupakan tautologi. Tidak ada sesuatu yang menyebabkan dirinya sendiri, penalaran sirkular ini juga disebut sebagai circulus vitiosus.[16] Bagi Kant, mengatribusikan “berpikir” pada “aku” dalam proposisi “aku berpikir” hanya mengekspresikan fakta bahwa sang pemikir menyadari aktivitas berpikir yang dialaminya bagi dirinya sendiri—bukan menyatakan bahwa “aku ada.”[17]
“Cogito, ergo sum” memang merupakan persoalan yang pelik antara Kant dan Descartes—teka-teki enigmatik (apakah ini putusan analitis?). Salah satu alasannya adalah karena kedua filsuf tersebut berangkat dari titik tolak yang berbeda. Descartes memunculkan formulasi ini karena berangkat dari skeptisisme radikal, bahkan atas eksistensi diri sendiri. Sedangkan bagi Kant, eksistensi—aku ataupun dunia eksternal—tidak pernah menjadi problem.[18] Salah satu kekeliruan umum dalam memahami formulasi Cogito-nya Descartes adalah menganggap bahwa semua yang ada pasti berpikir. Konsekuensinya fatal, karena berarti menganggap orang yang tidak berpikir—misalnya orang yang berada dalam fase vegetatif—tidak ada. Padahal Descartes tidak pernah memaksudkan demikian. Untuk Descartes, hanya “eksistensi” dari “aku” saja dan hanya untuk “aku” sendiri yang dijamin dari aktivitas “berpikir”.[19] Dalam konteks ini, Descartes tidak sedang membicarakan sesuatu yang lain selain “aku” yang sedang “berpikir”.
Penutup
Notasi logika Aristotelian P ∨ ¬P kurang tepat bila digunakan untuk membedah formulasi Cogito milik Descartes, karena Kant menggunakannya untuk memverifikasi putusan analitis. Kant, dengan rumusan A = A untuk menjelaskan tautologi juga tidak dapat diaplikasikan pada formulasi “Cogito, ergo sum.” Meskipun demikian, Kant tetap memiliki penjelasannya tersendiri mengenai mengapa proposisi tersebut merupakan sebuah putusan tautologis.
Kant menyatakan bahwa sebuah term predikat yang terkandung dalam term subjek pada putusan analitis memang merupakan prasyarat utama, tapi belum mencukupi—seperti pada proposisi “tubuh memiliki keluasan.” Sedangkan bagi Descartes, “berpikir” sudah merupakan prasyarat utama yang memadai (necessary-sufficient condition) untuk mencapai kebenaran pertama filsafat bahwa “aku ada.” Padahal, bagi Kant, eksistensi aku mendahului aktivitas berpikir—Sum, ergo cogito. Selain idem per idem, tautologi merupakan sebuah proposisi kosong yang tidak mencerahkan ataupun menambah pengetahuan. Sebuah proposisi dengan penalaran sirkular, merupakan pernyataan kosong. Dengan demikian, eksistensi, yang memampukan seseorang berpikir, dan kemudian digunakan untuk menjamin eksistensi seseorang tersebut, merupakan tautologi.
Catatan Akhir
[1] Roger Scruton, A Short History of Modern Philosophy: From Descartes to Wittgenstein, (London: Taylor & Francis Group, 2005), hlm.27.
[2] Roger Scruton, Ibid., hlm.27-28.
[3] Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon, Introduction to Logic 14th Ed., (New York: Routledge, 2016), hlm.343-4.
[4] Huaping Lu-Adler, “Kant on Proving Aristotle’s Logic as Complete”, Kantian Review Vol.21, 2016, hlm.1.
[5] Beatrice Longuenesse, I, Me, Mine: Back to Kant, and Back Again, (Oxford: Oxford University Press, 2017), hlm.85.
[6] Beatrice Longuenesse, Ibid., hlm.75.
[7] Immanuel Kant, Lectures on Logic, Terj. J. Michael Young (New York: Press Syndicate of the University of Cambridge, 1992), hlm.376.
[8] Immanuel Kant, Ibid., hlm.376.
[9] Immanuel Kant, Ibid., hlm.211.
[10] Ian Proops, “Kant’s Conception of Analytic Judgment”, Philosophy and Phenomenological Research Vol.LXX (3), 2005, hlm.602.
[11] Beatrice Longuenesse, Op. Cit., hlm.76.
[12] Andrew Brook dan Julian Wuerth, “Kant’s View of the Mind and Consciousness of Self”, Plato Stanford Encyclopedia, 2023, https://plato.stanford.edu/entries/kant-mind/ (Diakses pada 28 Mei 2021, pukul 00.25).
[13] Paul Guyer, “The Deduction of the Categories: The Metaphysical and Transcendental Deductions” dalam The Cambridge Companion to Kant’s Critique of Pure Reason, (New York: Cambridge University Press, 2010), hlm.131.
[14] Beatrice Longuenesse, Op. Cit., hlm.85.
[15] Immanuel Kant, Op. Cit., hlm.500.
[16] Immanuel Kant, Ibid., hlm.365.
[17] Beatrice Longuenesse, Op. Cit., hlm.81.
[18] Beatrice Longuenesse, Ibid., hlm.81.
[19] Beatrice Longuenesse, Ibid., hlm.95.
Daftar Pustaka
Brook, Andrew dan Julian Wuerth, “Kant’s View of the Mind and Consciousness of Self”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2023 Edition), Edward N. Zalta & Uri Nodelman (eds.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/spr2023/entries/kant-mind/>.
Copi, Irving M, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon. Introduction to Logic. 14th ed. New York, Amerika Serikat: Routledge, 2016.
Guyer, Paul. “The Deduction of the Categories: The Metaphysical and Transcendental Deductions.” Esai dalam The Cambridge Companion to Kant’s Critique of Pure Reason, disunting oleh Paul Guyer, 118–50. New York, Amerika Serikat: Cambridge University Press, 2010.
Kant, Immanuel. Critique of Pure Reason. Diterjemahkan oleh Norman Kemp Smith. London, Inggris: Macmillan and Co., 1929.
Kant, Immanuel. Lectures on Logic. Diterjemahkan oleh J. Michael Young. New York, Amerika Serikat: Press Syndicate of the University of Cambridge, 1992.
Longuenesse, Beatrice. I, Me, Mine: Back to Kant, and Back Again. Oxford, Inggris: Oxford University Press, 2017.
Lu-Adler, Huaping. “Kant on Proving Aristotle’s Logic as Complete.” Kantian Review 21, no. 1 (2016): 1–26.
Proops, Ian. “Kant’s Conception of Analytic Judgment.” Philosophy and Phenomenological Research 70, no. 3 (2005): 588–612.
Scruton, Roger. A Short History of Modern Philosophy: From Descartes to Wittgenstein. London, Inggris: Taylor & Francis Group, 2005.