Melawan Komodifikasi Pendidikan di Indonesia

Adanya penyangkalan terhadap pemberian kesempatan pendidikan yang setara justru secara sistematis melanggengkan keterasingan individu dari kerja mereka, diri mereka sendiri, dan sesama manusia.

Rizvi Nahar Ilhammullah
Rizvi Nahar Ilhammullah
Penulis adalah mahasiswa S1 dari Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada (UGM). Saat ini aktif sebagai staff keilmuan Keluarga Mahasiswa MKP UGM (Gamapi) dan staff Kajian Strategis Dema Fisipol UGM. Penulis memfokuskan kajian pada isu kebijakan publik yang berkaitan dengan pendidikan, ketenagakerjaan, dan gender.

Komodifikasi pendidikan telah menjadi topik perhatian dalam beberapa dekade terakhir, dengan kekuatan pasar yang semakin membentuk penyediaan dan penyampaian layanan pendidikan (Tomlinson, 2016). Esai ini menyajikan tinjauan kritis terhadap komodifikasi sektor pendidikan berbasis perspektif filsafat pendidikan Marxisme strukturalis. Berdasarkan teori dan konsep Marxisme, tulisan ini mengkaji implikasi komodifikasi pendidikan pada ketidaksetaraan pendidikan, prioritas keuntungan di atas tujuan pendidikan, penyempitan kurikulum, komersialisasi riset, kontradiksi pendidikan sebagai barang publik, dan pengasingan manusia (social alienation). Esai ini juga berusaha menunjukkan bahwa telah terjadi perkawinan antara kebijakan publik yang bernuansa neoliberal dan penguatan otoritarianisme negara.

Komodifikasi Pendidikan

Terdapat ‘fetisisme komoditas’ (commodity fetishism) pada produksi kapitalis, atau yang disebut Marx (1867)‘the mystery of the commodity form’ (Baca: Capital 1, ch.1, sec 4) — ia menjelaskan istilah tersebut sebagai “contoh paling sederhana dan paling universal tentang cara bentuk-bentuk ekonomi kapitalis menyembunyikan hubungan-hubungan sosial yang mendasarinya.” Komodifikasi melibatkan pengakuan normalisasi perubahan yang terjadi dalam aktivitas produksi dan konsumsi kita sehari-hari, serta proses yang lebih luas terkait dengan kapitalisme dan tantangan serta ketidakpastian yang melekat padanya. Proses ini membentuk basis untuk mencari pasar baru, mengembangkan produk baru, dan akhirnya menemukan jalan baru untuk menghasilkan keuntungan. Kita dapat melihat fenomena ini secara langsung pada institusi swasta yang didorong oleh semangat mencari keuntungan, memiliki kecenderungan luar biasa besar untuk memprioritaskan tindakan pemotongan biaya yang mengkompromikan pengalaman pendidikan (Buchbinder, 1993). Ketika pendidikan menjadi komoditas, pengejaran keuntungan finansial lebih diutamakan daripada penyediaan pendidikan berkualitas.

Implikasi dari komodifikasi juga cenderung menyempitkan kurikulum, mengutamakan mata pelajaran dan disiplin ilmu yang sesuai dengan kebutuhan pasar dan mendevaluasi ilmu humaniora, seni, dan ilmu sosial. Penekanan fokus terhadap pengajaran keterampilan yang dapat dipasarkan mempersempit pemahaman siswa pada pendidikan menyeluruh. Ini merusak pemikiran kritis, kesadaran sosial, apresiasi budaya, dan membatasi kemampuan mereka untuk terlibat dengan masalah sosial yang kompleks, serta menghambat potensi mereka untuk pertumbuhan pribadi dan partisipasi masyarakat.

Pendidikan secara tradisional dipandang sebagai barang publik (Anomali, 2018) — sementara Shaw (2010) menyebutkan bahwa pendidikan adalah barang publik yang ‘buruk’ — melayani kepentingan kolektif masyarakat, komodifikasi mengalihkan fokus pada konsumsi individu dan persaingan pasar, merongrong gagasan pendidikan sebagai sarana untuk mengembangkan warga negara yang terinformasi dan terlibat. Kontradiksi antara komodifikasi pendidikan dan tujuan sosialnya menghambat kohesi sosial, nilai-nilai demokrasi, dan realisasi tujuan publik pendidikan yang lebih luas.

Neoliberalisasi Pendidikan dan Perkawinannya dengan Otoritarianisme

Jalinan warisan otoritarianisme dan neoliberalisme di Indonesia telah membentuk sistem pendidikan dan memengaruhi perilaku kelompok dan individu, termasuk akademisi, menuju kesesuaian dengan negara otoriter (Laksana, 2023). Pemberlakuan pembatasan wacana, khususnya dalam politik sayap kiri yang memicu adanya self-censorship di kalangan akademisi, mencerminkan pengaruh baru dari tendensi otoriter.

Bersamaan dengan itu, kebijakan pendidikan negara telah secara aktif memperkuat ideologi neoliberal, mengubah institusi pendidikan dan individu menjadi subjek yang sangat individual dan bertanggung jawab yang didorong oleh kepentingan pasar. Hasil akhirnya adalah restrukturisasi sistem pendidikan yang menghasilkan angkatan kerja sekali pakai yang berfokus pada kelangsungan hidup individu — atau biasa disebut sebagai ekonomi subsistensi.

Meskipun neoliberalisme dan otoritarianisme mungkin tampak kontradiktif, terdapat kaitan tersembunyi antara keduanya di Indonesia. Neoliberalisme lebih mengutamakan kebebasan individu tetapi seringkali merusak nilai-nilai sosial demokrasi seperti kesetaraan, demokrasi, dan solidaritas sosial, sebagaimana dijelaskan oleh David Harvey (2007) dalam bukunya A brief history of neoliberalism. Pemberlakuan kebijakan neoliberal, termasuk cara otoriter yang digunakan selama pengesahan Omnibus Law, mengungkapkan perlunya negara yang kuat untuk melaksanakan reformasi tersebut. Pembenaran atas kebijakan-kebijakan tersebut, yang berpusat pada pertumbuhan ekonomi, baik secara tidak sengaja ataupun sengaja telah mendorong negara Indonesia lebih dekat ke arah otoritarianisme.

Hal ini terlihat dari kecenderungan pemerintah yang semakin besar untuk mengatur kerja akademisi dengan menggunakan seperangkat ukuran kinerja yang ditentukan oleh agenda neoliberal. Menurut Giroux (2002), ideologi ini merupakan ancaman yang signifikan terhadap kemajuan nilai-nilai demokrasi seperti otonomi individu, kesetaraan dan kebebasan. Giroux berpendapat bahwa ide-ide neoliberal, terutama yang terkait dengan Manajemen Publik Baru (NPM) yang mempromosikan prinsip-prinsip yang berorientasi pada bisnis dalam pendidikan tinggi, menggunakan bahasa korporat seperti kompetisi, value of money, jaminan kualitas, monitoring, evaluasi, audit, dan akuntabilitas. Istilah-istilah ini, sampai batas tertentu, mengubah lanskap pendidikan tinggi dari ruang demokrasi yang kodratnya memupuk nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan, dan mengejar kebaikan bersama atau publik (Abizadeh, 2008; Giroux, 2002; Thompson & Miller, 2003).

Jika kita melihat lebih dalam, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 754/P/2020 mengeluarkan Indikator Utama Kinerja Perguruan Tinggi Negeri untuk menilai kinerja perguruan tinggi di Indonesia sebagai contoh nyata yang menunjukkan bahwa kebijakan neoliberal sudah masuk ke ranah pendidikan tinggi (Kemendikbud, 2020). Sebagaimana dijelaskan pada bab ketiga Buku Pedoman Indikator Kinerja Utama Perguruan Tinggi Negeri (Kemendikbud, 2020), kebijakan ini berupa pengenalan pendanaan berbasis kinerja dan langkah-langkah akuntabilitas. Pemerintah Indonesia telah menerapkan sistem yang menghubungkan pendanaan dengan indikator kinerja, seperti hasil penelitian, publikasi di jurnal internasional, dan angka partisipasi mahasiswa. Kebijakan ini dilakukan dengan dalih mendorong persaingan antar perguruan tinggi karena diberikan insentif untuk meningkatkan kinerjanya agar mendapat pendanaan yang lebih banyak.

Lebih jauh lagi, kebijakan tersebut telah memengaruhi perilaku kelompok dan individu, termasuk akademisi, untuk menyesuaikan diri dengan negara otoriter. Para akademisi membentuk produksi pengetahuan mereka agar sejalan dengan harapan rezim otoriter neoliberal yang sedang berkembang. Dalam konteks ini, pengetahuan yang dihasilkan dalam lingkungan otoriter neoliberal merampas hak-hak ekonomi dan politik rakyat, sehingga mempertahankan kekuasaan negara. Dengan mengontrol mereka yang menghasilkan pengetahuan, negara menegaskan kontrol atas pengetahuan itu sendiri. Unsur-unsur masyarakat yang kuat melegitimasi dan mempertahankan dirinya dengan mengandalkan pengetahuan yang mendukung legitimasinya. Tanpa kendali atas apa yang merupakan pengetahuan yang sah, aturan hegemonik apa pun, termasuk di Indonesia, berisiko mengalami destabilisasi.

Seperti yang dikatakan Ben C. Laksana (2023), kombinasi warisan otoriter dan kebijakan neoliberal di Indonesia berdampak besar pada sistem pendidikan dan perilaku akademisi. Interaksi antara otoritarianisme dan neoliberalisme, meskipun tampak kontradiktif, mengungkapkan kaitan tersembunyi di antara keduanya. Kebijakan neoliberal telah memupuk konformitas dan menyalurkan perilaku kelompok dan individu, termasuk akademisi, agar sejalan dengan negara otoriter. Konsolidasi kekuasaan melalui kontrol atas produksi pengetahuan ini menopang otoritas negara dan merongrong hak-hak ekonomi dan politik. Mengenali dan mengatasi implikasi dari dinamika yang saling terkait ini sangat penting untuk mempromosikan lingkungan pendidikan yang lebih demokratis dan adil di Indonesia.

Ketidaksetaraan Pendidikan dan Reproduksi Kelas Sosial

Privatisasi dan marketisasi pendidikan menciptakan sistem dua tingkat di mana akses pada pendidikan berkualitas distratifikasi berdasarkan sumber daya ekonomi. Institusi pendidikan swasta melayani orang kaya, sementara sekolah umum menderita kekurangan dana yang kronis. Hal ini melanggengkan pembagian kelas, membatasi mobilitas sosial, dan memperkuat posisi kelas dominan.

Dalam konteks Indonesia, sistem pendidikan dicirikan oleh perbedaan yang signifikan dalam akses, kualitas, dan sumber daya, yang diperparah dengan pendekatan berbasis pasar terhadap pendidikan (Akita & Miyata, 2008).

Pertama, privatisasi dan marketisasi pendidikan di Indonesia telah melahirkan two-tier system. Institusi pendidikan swasta, seringkali melayani bagian masyarakat yang berkecukupan, menawarkan infrastruktur, sumber daya, dan kualitas pengajaran yang lebih baik dibandingkan dengan sekolah negeri (Salmi, 2000). Hal ini menciptakan perpecahan di mana mereka yang memiliki kemampuan keuangan dapat memperoleh akses ke pendidikan berkualitas, sementara mayoritas penduduk, terutama mereka yang berasal dari latar belakang berpenghasilan rendah, dibiarkan dengan pilihan terbatas dan kesempatan pendidikan di bawah standar.

Kemudian, komodifikasi pendidikan di Indonesia telah menyebabkan tumbuhnya layanan bimbingan belajar privat, yang semakin memperlebar ketimpangan pendidikan (Bray, 2022; Dawson, 2010). Keluarga yang lebih kaya mampu mendaftarkan anak-anak mereka di kelas tambahan ini, memberi mereka dukungan tambahan dan keuntungan dalam pencapaian akademik. Akibatnya, ini menciptakan siklus di mana siswa dari latar belakang istimewa memperoleh keuntungan dalam mengakses pendidikan tinggi dan prospek pekerjaan yang lebih baik, memperkuat hierarki sosial yang ada.

Motif mencari keuntungan dalam komodifikasi sistem pendidikan di Indonesia juga mempengaruhi kurikulum dan prioritas pendidikan. Seperti yang disebutkan Savage (2017) bahwa sekolah dan institusi swasta seringkali memprioritaskan mata pelajaran dan keterampilan yang dianggap lebih dapat dipasarkan atau selaras dengan tuntutan industri, seperti bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM). Fokus ini mengabaikan pengembangan pemikiran kritis, kreativitas, dan ilmu sosial, yang sangat penting untuk pendidikan menyeluruh dan penanaman warga negara yang aktif terlibat dan mampu mengatasi tantangan sosial.

Terakhir, ketergantungan pada nilai tes sebagai ukuran keberhasilan pendidikan memperkuat ketidaksetaraan dalam sistem pendidikan Indonesia. Siswa dari latar belakang yang kurang beruntung sering menghadapi hambatan tambahan dalam mengakses pendidikan berkualitas dan sumber daya yang diperlukan untuk melakukan ujian standar dengan baik. Hal ini melanggengkan sistem di mana status sosial-ekonomi sangat memengaruhi hasil pendidikan danberkontribusi pada reproduksi ketidaksetaraan sosial yang ada.

Akses yang Tidak Merata sebagai Bentuk Keterasingan

Teori Marx tentang keterasingan sosial menyediakan kerangka berpikir yang kuat untuk memahami konsekuensi yang mengakar dari ketidaksetaraan akses terhadap pendidikan. Pendidikan bukan hanya sarana untuk kemajuan individu; itu adalah mekanisme fundamental untuk reproduksi sosial dan melanggengkan pembagian kelas dalam masyarakat kapitalis. Ketika individu atau kelompok tertentu secara sistematis ditolak kesempatan yang sama untuk pendidikan, mereka mengalami berbagai bentuk keterasingan yang menggemakan konsep Marx tentang keterasingan dari tenaga kerja, diri sendiri, dan sesama manusia.

Pertama-tama, Profesor Eleanor Fisher (2007) berpendapat bahwa akses pendidikan yang tidak setara melanggengkan keterasingan individu dari pekerjaan mereka (Fisher 2007; Elliott, 1999). Pendidikan memainkan peran penting dalam menentukan prospek pekerjaan dan potensi penghasilan seseorang di masa depan. Ketika akses pada pendidikan berkualitas tidak terdistribusi secara merata, kemampuan individu dari komunitas terpinggirkan atau latar belakang sosial-ekonomi rendah secara tidak proporsional terhalang untuk memperoleh keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk pekerjaan yang bermakna dan memuaskan. Akibatnya, mereka menghadapi kesempatan kerja yang terbatas, upah yang lebih rendah, dan ketidakamanan kerja yang meningkat, yang semuanya berkontribusi pada rasa keterasingan dari tenaga kerja dan eksploitasi ekonomi mereka.

Kedua, Paulo Freire menyebutkan bahwa akses pendidikan yang tidak merata berkontribusi pada keterasingan individu dari diri mereka sendiri  (Freire, 1985). Pendidikan bukan hanya tentang memperoleh pengetahuan; pendidikan adalah proses transformatif yang membentuk identitas, harga diri, dan aspirasi seseorang. Ketika kelompok-kelompok tertentu secara sistematis tidak diberi kesempatan pendidikan yang sama, mereka tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi intelektual dan potensi kreatif mereka secara penuh. Hal tersebut menyangkal kesempatan mereka untuk mengaktualisasikan diri dan melanggengkan rasa ketidakberdayaan, keputusasaan, dan frustrasi. Keterasingan yang dihasilkan dari diri sendiri menghambat pertumbuhan pribadi dan menghambat kemampuan untuk membayangkan masa depan alternatif di luar batasan yang dikenakan oleh status mereka yang terpinggirkan.

Sejalan dengan itu, Freire (1985) mengatakan bahwa akses pendidikan yang tidak merata juga memperkuat keterasingan individu dari sesamanya dan melanggengkan perpecahan sosial. Pendidikan berfungsi sebagai situs penting untuk reproduksi hierarki sosial dan konsolidasi kekuasaan. Ketika akses pada pendidikan tidak terdistribusi secara merata berdasarkan kelas sosial, ras, dan gender, hal itu melanggengkan ketidaksetaraan sistemis dan memperkuat perpecahan sosial. Hal tersebut semakin memperdalam keterasingan yang dialami oleh individu-individu yang terpinggirkan, karena mereka dikucilkan dari jaringan, peluang, dan interaksi sosial yang penting untuk integrasi sosial, tindakan kolektif, dan rasa (saling) memiliki.

Kesimpulan

Untuk mengatasi masalah ini, penulis menyarankan adanya keharusan untuk melakukan evaluasi sistem pendidikan di Indonesia secara mendasar. Bentuk evaluasi yang dimaksud adalah perlunya memprioritaskan pemerataan akses pada pendidikan berkualitas, pendanaan sekolah negeri yang memadai, dan mengurangi ketergantungan pada kekuatan pasar dalam membentuk kebijakan pendidikan. Tentu saja hal ini juga memerlukan kurikulum yang lebih luas yang menghargai ilmu humaniora, ilmu sosial dan seni, mendorong pemikiran kritis, apresiasi budaya, dan kesadaran sosial. Adanya penyangkalan terhadap pemberian kesempatan pendidikan yang setara justru secara sistematis melanggengkan keterasingan individu dari kerja mereka, diri mereka sendiri, dan sesama manusia. Untuk mengatasi keterasingan ini, sangat penting untuk menantang dan membongkar hambatan struktural yang membatasi akses pada pendidikan, memperjuangkan sistem pendidikan yang adil yang memberdayakan individu, mendorong aktualisasi diri, dan memupuk kohesi sosial. Hanya melalui akses pendidikan yang setara kita dapat mulai membongkar keterasingan sistemis yang melanggengkan ketidakadilan sosial dan menghambat perkembangan manusia dalam masyarakat kapitalis. Akhir kata, dengan menantang komodifikasi pendidikan, Indonesia dapat mengupayakan sistem pendidikan yang lebih adil dan inklusif yang berkontribusi pada transformasi masyarakat.

Daftar Pustaka

Abizadeh, Arash. (2008). Democratic theory and border coercion: No right to unilaterally control your own borders. Political Theory, 36(1), 37–65.

Akita, T., & Miyata, S. (2008). Urbanization, educational expansion, and expenditure inequality in Indonesia in 1996, 1999, and 2002. Journal of the Asia Pacific Economy13(2), 147-167.

Anomaly, J. (2018). Public goods and education. Philosophy and public policy1, 12.

Bray, M. (2022). Shadow Education in Asia and the Pacific: Features and Implications of Private Supplementary Tutoring. International Handbook on Education Development in Asia-Pacific, 1-23.

Buchbinder, H. (1993). The market oriented university and the changing role of knowledge. Higher education26(3), 331-347.

Elliott, J. R. (1999). Social isolation and labor market insulation: Network and neighborhood effects on less-educated urban workers. The Sociological Quarterly40(2), 199-216.

Fisher, E. (2007). Occupying the margins: labour integration and social exclusion in artisanal mining in Tanzania. Development and change38(4), 735-760.

Freire, P. (1985). The politics of education: Culture, power, and liberation. Greenwood Publishing Group

Giroux, Henry. (2002). The corporate war against higher education. Workplace, 9, 103–117

Harvey, D. (2007). A brief history of neoliberalism. Oxford University Press, USA.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Buku Panduan Indikator Kinerja Utama Perguruan Tinggi Negeri. Jakarta: Kemendikbud

Laksana, Ben, C. (2023) Knowledge production in the age of neoliberal authoritarianism. Inside Indonesia. Vol 151. https://www.insideindonesia.org/knowledge-production-in-the-age-of-neoliberal-authoritarianism/

Marx, K. (1867). Capital: A critique of political economy (i): The process of capitalist production. History of Economic Thought Books1.

Salmi, J. (2000). Equity and quality in private education: The Haitian paradox. Compare: A Journal of Comparative and International Education30(2), 163-178.

Savage, G. (2017). Neoliberalism, education and curriculum. Powers of curriculum: Sociological perspectives on education, 143-165.

Tomlinson, M. (2017). Introduction: Graduate employability in context: Charting a complex, contested and multi-faceted policy and research field. Graduate employability in context: Theory, research and debate, 1-40.

Thompson, F., & Miller, H. T. (2003). New public management and bureaucracy versus business values and bureaucracy. Review of Public Personnel Administration23(4), 328-363.

Bacaan Lainnya