Saya ingin berbicara tentang upaya membuat masuk akal ketika segala sesuatu mulai menjadi kacau.
Beberapa minggu terakhir, kita menyaksikan teori konspirasi yang berkembang di tengah kegelisahan kita dalam menghadapi kebijakan karantina wilayah.
Seorang presenter olahraga yang hijrah menjadi promotor teori konspirasi David Icke mendapat panggung pada April lalu ketika sosoknya muncul dalam sebuah video di kanal London Real dan berpendapat bahwa Covid-19 disebabkan oleh 5G (mungkin sebagai bagian dari konspirasi global yang dijalankan oleh orde rahasia para kadal (penj: penjahat) asing yang disebutkan berkali-kali oleh Icke). Video tersebut ditonton jutaan kali di YouTube dan LondonLive sebelum akhirnya YouTube dan Ofcom memutuskan untuk mencabutnya kembali.
Pada minggu yang sama, sebuah film dokumenter dengan judul Out of Shadows muncul, mengingatkan kembali pada teori konspirasi ‘Pizzagate’ pada tahun 2016 di mana sebuah orde rahasia yang beranggotakan beberapa tokoh Demokrat dan artis Holywood diyakini menjalankan lingkaran kelompok pedofil yang berpusat di dua restoran piza di Washington. Penonton film dokumenter tersebut mencapai dua juta orang dalam satu hari.
Kita juga mendengar teori konspirasi bahwa Covid-19 adalah bagian dari sebuah agenda besar yang dipimpin oleh Bill Gates dan World Health Organization (WHO) untuk membuat dunia terpaksa harus menerima vaksin mereka yang sudah ditanamkan chip pengawas di dalamnya. Para penggemar teori konspirasi seperti Alex Jones, pemilik situs InfoWars, sudah sekitar satu dekade menyatakan bahwa pembiyaan Gates yang sangat besar terhadap upaya penemuan vaksin sebenarnya adalah rencana para ahli genetika untuk mengurangi populasi dunia. Teori ini diterima dengan antusias dan disebarkan sepanjang minggu ini oleh seorang pengusaha anti-vaksin, Dr. Shiva yang mengaku memperoleh email. Sebuah saluran televisi yang mewawancarinya telah ditonton sebanyak enam juta kali dalam satu minggu.
Saat ini, dalam banyak hal sebenarnya fenomena ini dapat diprediksi. Pandemi ini sudah menyebabkan runtuhnya ilmu pengetahuan (penj: akal) dan kepastian. Kita tidak banyak tahu tentang virus tersebut serta cara terbaik untuk menanganinya, yang kita tahu adalah bahwa ia telah membunuh sebagian banyak dari kita dan kita pun mulai ketakutan. Hal ini terjadi kepada seluruh umat manusia di saat yang sama kita juga terkoneksi satu sama lain dengan kehadiran internet.
Hal ini memberikan kesempatan yang unik bagi kelompok pemikir dan kepercayaan pinggiran untuk merebut panggung. Sebagian mungkin akan tertarik—katakanlah pada Universal Basic Income (UBI)—namun sebagian yang lain mungkin akan mengabaikannya.
Saya agak terkejut melihat beberapa tokoh penting dalam komunitas saya—yaitu aliran spiritualitas Barat—ikut menyebarluaskan teori-teori konspirasi yang saya sebutkan di atas. Saya sebenarnya berharap komunitas saya dapat menjadi layanan bagi problem-problem kemanusiaan sepanjang masa-masa krisis ini, alih-alih tergoda untuk ikut-ikutan menyebarkan gagasan-gagasan buruk (khususnya konspirasi anti-vaksin, mengingat vaksin tampak masih menjadi satu-satunya harapan terbaik kita untuk keluar dari krisis ini tanpa harus menunggu 1% populasi meninggal karena virus tersebut).
Hal tersebut membuat saya kembali mempertanyakan nilai-nilai kebudayaan kami. Apakah spiritualitas, khususnya, memiliki kecenderungan pada cara berpikir konspiratif?
Istilah ‘Teori Konspirasi’
Sebagaimana sejumlah tokoh Era Baru (New Age) katakan minggu ini, ‘teori konspirasi’ adalah istilah pelarian. Ia dapat menjadi jalan keluar paling sederhana untuk menyimpulkan sebuah topik pembahasan tanpa perlu repot-repot memikirkannya.
Sesuatu yang disimplikasi semata-mata sebagai ‘teori konspirasi’ justru memiliki kemungkinan untuk menyimpan sesuatu di baliknya. UFO dan benda-benda angkasa, misalnya, dipahami hanya sebagai teori konspirasi, namun bagi saya bukan tidak mungkin bahwa memang ada kehidupan di planet lain dan bahwa sebagian dari makhluk hidup tersebut mungkin lebih cerdas dari kita.
Pandangan bahwa ada agenda di balik peristiwa pembunuhan JFK adalah ‘teori konspirasi’ lain yang menurut saya bahkan mungkin lebih dari sekadar teori. Penyalahgunaan anak dalam Gereja Katolik adalah skandal lain yang dapat dianggap teori konspirasi ketika kasus tersebut benar-benar merupakan sebuah konspirasi—seperti kasus penyalahgunaan yang sengaja ditutup-tutupi oleh Vatikan.
Meskipun demikian, seseorang tetap membutuhkan metode pemilah yang kuat dan kritis di ambang batas tanah rawa-rawa yang berkabut ini (penj: istilah metafor untuk menyebut bidang kajian yang tidak pasti). Ketika kita mempelajari kasus Pizzagate, kita tampak berada di alam bawah sadar pikiran yang magis dan berpol—kode dan simbol-simbol rahasia, orde tersembunyi para penjahat yang sangat kuat dan menyesatkan. Di sini kita berada di wilayahnya Dan Brown.
Karakter-karakter Kepribadian Penikmat Spiritualitas dan Pikiran Konspiratif
Saya bertanya-tanya sepanjang minggu ini, mengapa harus ada tumpang-tindih antara komunitas saya—spiritualitas Barat—dengan teori-teori konspirasi?
Pertama-tama saya berpikir bahwa ada karakter-karakter kepribadian tertentu yang membuat seseorang cenderung menjadi ‘spiritualis namun tidak religius’—pikiran yang bebas, ketidakpercayaan pada otoritas dan lembaga-lembaga, kecenderungan pada kepercayaan dan pengalaman-pengalaman yang tidak biasa, kecenderungan untuk memahami pola-pola dan korespondensi tersembunyi, dan ketertarikan pada paradigma-paradigma alternatif, khususnya kesehatan alternatif—yang juga pada saat yang sama dapat membuat seseorang tersebut condong pada teori-teori konspirasi.
Ada beberapa bukti untuk mendukung argumen tersebut. Sebuah artikel pada tahun 2018 oleh Hart dan Graether, dari Journal of Individual Differences, menemukan, dari dua kali survei terhadap 1200 orang, bahwa indikator terkuat sebuah pemikiran konspiratif adalah ‘schizotypy’, yaitu sebuah karakter kepribadian yang membuat seseorang cenderung pada kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman yang tidak biasa, seperti kepercayaan pada telepati, kontrol pikiran, penggalian spiritual, makna personal yang tersembunyi di setiap kejadian dan lain sebagainya. (Penj: Berdasarkan survei tersebut) Orang-orang yang ‘spiritualis namun tidak religius’ cenderung memiliki tingkat personalitas schizotopis yang lebih tinggi dibanding mereka yang religius atau bahkan tidak religius (penj: dan tidak spiritualis).
Kita harus sedikit lebih hati-hati di sini sebab ada risiko terjebak pada tautologi. Definisi ilmiah ‘schizotopis’ pada dasarnya mencakup ‘kepemilikan pada keyakinan-keyakinan spiritual’, sehingga tidak mengherankan jika orang-orang spiritualis memiliki tingkat schizotypis yang tinggi. Jadi, artikel tersebut sebenarnya tidak sedang memberitahu kita apa-apa kecuali bahwa orang-orang yang memiliki keyakinan dan pengalaman spiritualis juga cenderung pada teori-teori konspirasi. Dan ini tidak berarti bahwa mereka salah atau sakit secara mental. Akan tetapi, ini dapat berarti bahwa mereka tidak memiliki level yang tinggi dalam keyakinan dan pikiran yang kritis (penj: sebagaimana mereka memiliki level yang tinggi dalam schizotopis).
Artikel berikut menemukan bahwa kegemaran pada spiritualitas dan pengobatan alternatif berkorelasi dengan sikap anti-vaksin, sementara artikel yang berikut menemukan bahwa baik sikap anti-vaksin maupun pro pengobatan alternatif memiliki kaitan erat dengan kegemaran berpikir magis. Anda dapat menjadi pro-vaksin dan berpikir spiritualis pada saat yang sama sekaligus—Larry Brilliant, seorang epidemiologis yang telah membantu membasmi cacar, mengaku mendapatkan misi dari guru (penj: pimpinan spiritual) Ram Dass, Neem Karoli Baba, sebagaimana dia sebutkan di video berikut.
Konspiritualitas
Akhirnya, ada dua artikel penting di dalam studi agama-agama. Pertama adalah artikel tahun 2011 oleh Ward dan Voas dari Journal of Contemporary Religion (ah, sayangnya berbayar) tentang apa yang mereka sebut sebagai fenomena baru yang mengejutkan yaitu ‘konspiritualitas’—campur-aduk antara spiritualitas Era Baru dan pemikiran konspiratif. Mereka mendeskripsikan ‘konspiritualitas’ sebagai:
Sebuah jaringan pergerakan yang berkembang secara pesat dan menawarkan sebuah ideologi yang didorong oleh kekecewaan politis serta popularitas sebuah pandangan hidup alternatif. Anggotanya adalah tokoh-tokoh dunia, memiliki sejumlah bestseller, radio dan stasiun televisi. Mereka menawarkan sebuah filosofi politik-spiritual yang luas dan berdasarkan pada dua keyakinan inti, yang pertama tradisional dan condong pada teori konspirasi sementara yang kedua berakar pada Era Baru: 1) adanya sebuah kelompok rahasia yang dengan senyap mengontrol, atau berupaya mengontrol, tatanan politik dan sosial dan 2) bahwa kemanusiaan sedang mengalami sebuah ‘pergeseran paradigma’ dalam kesadaran. Para pendukung gagasan ini meyakini bahwa cara terbaik untuk mengatasi ancaman ‘tatanan dunia baru’ yang totalitarian tersebut adalah dengan bertindak sesuai dengan sebuah gagasan ‘paradigma baru’ yang tercerahkan.
Artikel tahun 2015 oleh Egil Epsrem dan Asbjorn Dyrendal merespon artikel Ward dan Voas di atas dengan mengatakan bahwa ‘konspiritualitas’ bukanlah sebuah fenomena baru yang mengejutkan, melainkan justru lahir dari konteks historis sebuah tradisi klenik pada abad ke-19 dan 20. Mereka menjelaskan:
Budaya pengkultusan dibanjiri dengan lahirnya sistem-sistem kepercayaan yang menyimpang dan praktik-praktik ritual yang menyertainya. Terlebih lagi, aliran komunikasi dalam budaya tersebut cenderung terbuka dan mencair sehingga memungkinkan konten apapun mengalir dengan mudah melaluinya. Berkurangnya peran ortodoksi kelembagaan memungkinkan individu untuk “menjajaki segala macam pergerakan dan kepercayaan secara cepat” sehingga dengan mudah mampu menjadi jembatan bagi apapun yang muncul ke permukaan sebagai praktik-praktik dan wacana-wacana yang berbeda. Diskursus-diskursus politik, spiritual dan (pseudo) saintifik semuanya memiliki tempat di sini, dan mereka dengan mudah bercampur-aduk. Disatukan oleh posisi oposisional yang sama terhadap wacana ‘Pembangunan’ alih-alih oleh ajaran doktrinal yang sama, teori konspirasi mampu membangun narasi utama yang mengikat wacana-wacana tersebut secara bersamaan.
Dengan kata lain, budaya klenik adalah cawan petri bagi upaya mengembangbiakkan segala jenis keyakinan sinkretik dan menyimpang, sebagian berguna, sementara sebagian yang lain justru mematikan (tergantung paradigma yang kamu gunakan).
Globalisme Ekstatis Versus Konspirasi yang Paranoid
Izinkan saya menambahkan sesuatu pada topik yang sedang hangat ini dengan mengatakan bahwa teori konspiritualitas adalah sejenis pengalaman mistis atau ekstatis. Saya ingin membandingkan dua jenis pengalaman mistis.
Yang pertama adalah sejenis pengalaman mistis yang ekstrovert dan bereuforia: ‘Segala sesuatu itu terhubung. Saya secara spontan tertarik pada penolong dan sekutu, alam semesta membawa kita menuju sebuah transformasi yang klimaks dan luar biasa (Kegembiraan, Poin Omega, Pergeseran Paradigma), dan kita adalah para tentara Tuhan yang tercerahkan dan dipilih oleh Tuhan/Alam Semesta untuk merealisasikan fase perubahan yang sangat mulia ini dalam sejarah manusia.’
Yang kedua adalah versi ‘buruk’ dan paranoid sebuah perjalanan yang sesungguhnya ‘baik’ dan bereuforia: ‘Segala sesuatu terhubung, ada orde rahasia yang sedang mengawasi saya, tapi saya bukan bagian darinya. Ia adalah orde setan yang jahat, dan ia sedang mencoba mengontrol saya dan semua orang. Mereka memiliki sebuah agenda besar yang saat ini mulai diwujudkan. Akan tetapi, mungkin saya, dan orang lain atau dua orang lain, dapat menyadari adanya agenda tersebut, dan membongkarnya, atau setidaknya bersembunyi darinya.’
Jenis yang pertama adalah sebuah ekspansi ego yang bereuforia (saya adalah Tuhan! Saya adalah alam semesta yang terus berevolusi) dan yang kedua adalah jenis persekusi ego yang paranoid (alam semesta dikontrol oleh kekuatan setan yang jahat dan melawan saya).
Dalam pengertian keduanya, individu tersadar dari realitas yang tersembunyi ini. Namun, dalam pengertian yang pertama, mereka adalah sekelompok inisiator yang superpower dalam tatanan yang tersembunyi dan katalisator bagi sebuah transformasi Millennarian, sementara dalam pengertian yang kedua mereka adalah para pemberontak yang rentan dan tidak memiliki kekuatan dalam sebuah tatanan yang sangat kuat. (Millennarian di sini maksudnya adalah bahwa, seperti Robbie Williams, Anda meyakini datangnya milenium baru, yaitu Era Cinta).
Keduanya adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama, dua sisi dari satu permainan. Keduanya adalah contoh dari pemikiran bawah sadar yang mistis, schizotopis, dan magis. Di dalam keduanya, ego adalah bagian dari drama kosmik yang agung—pada yang pertama, mereka adalah pembaharu yang ditunjuk oleh Tuhan untuk sebuah Perubahan Sejarah/kelahiran kembali (penj: nilai-nilai) kemanusiaan, dan pada yang kedua, mereka adalah pahlawan pemberontak sebuah tatanan tersembunyi.
William James, bapak psikologi Amerika, menjelaskan poin ini di dalam The Varieties of Religious Experience, di mana dia menulis bahwa paranoia adalah sejenis mistisisme yang menyeramkan. Sejenis mistisisme kegamaan yang kacau-balau. Sebuah perasaan yang sama dari sebuah nilai yang tidak terlukiskan pada kejadian-kejadian terkecil, kalimat-kalimat dan teks yang sama yang datang dengan membawa makna-makna baru, suara-suara, visi-visi serta misi-misi yang sama, cengkeraman yang sama oleh kekuatan-kekuatan asing; pada saat inilah emosi menjadi pesimis: alih-alih pelipur lara kita justru menimbun kepedihan; makna-makna berubah menjadi menakutkan; dan kekuatan menjadi musuh bagi kehidupan.
Jika kita melihat sejarah klenik (saya merekomendasikan tulisan Gary Lachmann, Secret Teachers of the Western World, sebagai pengenalan), sejak Reformasi sudah ada orde-orde rahasia kelompok globalis yang ekstatis dan berorientasi politik-spiritual yang didesain untuk menyukseskan proyek transformasi global kaum Millennarian. Itulah yang dilakukan misalnya oleh anggota Renaissance, Rosicrucian, Mason, dan Illuminati—serdadu-serdadu Pencerahan adalah penyokong teori konspirasi. Begitu juga dengan HG Wells dan ‘Konspirasi Terbuka’-nya—dia sebenarnya adalah penulis rasional, tapi dia ikut mendakwahkan sejenis agama baru yang universal, beraliran cinta kasih namun mengandung unsur klenik. Demikian juga para teosuf seperti Annie Besant. Demikian juga para pelopor Era Baru pada tahun 60-an seperti Marylin Ferguson (penulis The Aquarian Conspiracy, salah satu buku best-seller pada tahun 80-an) dan Barbara Marx Hubbard, pegiat spiritulitas global yang evolusioner. Anda mungkin masih dapat menambah tokoh-tokoh kontemporer dalam daftar tersebut—para globalis estatik berpandangan spiritual-politik yang sedang merindukan datangnya zaman keemasan baru demi terciptanya keadilan dunia, filsafat perenial serta cinta yang multidimensional.
Para Millenarian yang bergagasan global cenderung optimis (kita akan menjadi Tuhan! Kita bisa hidup selamanya) dan terhubung dengan baik—mereka terhubung satu sama lain sesama Millenarian bergagasan global melalui think-tank, asosiasi, konferensi, jaringan, dan festival-festival. Barbara Marx Hubbard, seorang pegiat ‘spiritualitas evolusioner’ yang tidak kenal lelah, adalah salah satu contoh. Dia berpikir bahwa homo sapiens sedang mengalami fase perubahan menuju homo universalis tepat pada tanggal 12 Desember 2012, dan dia meyakini bahwa dirinya bersama kolega-koleganya adalah katalisator (penj: pembaharu) yang ditunjuk oleh Tuhan untuk mewujudkan transformasi Millennarian tersebut. Dia memiliki jaringan yang sangat luas dan menyebarkan gagasan-gagasannya melalui segala jenis organisasi dan jaringan seperti Committee for the Future dan Centre for Integral Wisdom. Tentu, berjejaring adalah bagian dari spiritualitasnya (dia menyebutnya ‘supra-sexing’).
Di sisi lain, Anda mendapati para pemikir konspirasi yang paranoid dan anti-globalis, seperti pemilik InfoWars, situs web penyebar teori konspirisi bersayap kanan, Alex Jones, dan seorang evangelis, Lee Keith, yang menganggap para globalis ekstatis sebagai kawanan penjahat rahasia yang sedang menarik benang merah kejadian-kejadian dunia. Para pemikir konspirasi yang paranoid dan anti-globalis tersebut melacak jaringan-jaringan inti di mana orang-orang seperti Barbara Marx Hubbard bekerja melaluinya. ‘Anda lihat’ kata mereka, ‘mereka semua saling mengenal satu sama lain melalui think-tank dan organisasi-organisasi informal.’
Jika kelompok yang satunya ekstatis, optimistik, sangat kuat, dan merupakan konspirator-konspirator dari dalam lingkaran, maka yang satunya lagi dipenuhi kebencian, pesimistik, paranoid, serta konspirator-konspirator yang tidak memiliki kekuatan. Kelompok yang satunya berpikir bahwa mereka adalah para elit yang sedang berevolusi menjadi spesies-spesies yang menyerupai Tuhan (lihat misalnya salah satu novel HG Wells, Men Like Gods), sementara kelompok yang satunya lagi berpikir bahwa kelompok elite asing ini ingin menjadi Tuhan untuk mengontrol semua orang (lihat misalnya salah satu buku Anthony Forwood, They Would Be Gods).
Gaya berpikir mereka dalam beberapa hal tampak mirip—schizotopis, magis, cenderung melihat pengaruh-pengaruh rahasia, jaringan tersembunyi, dan agenda besar. Lebih-lebih, keduanya terlihat lebay dalam memandang kemampuan para elite untuk mengontrol dunia. Sementara itu, mereka justru mengabaikan sikap acuh para elit lainnya yang menyebabkan kesemrawutan politik praktis. Keduanya berpikir bahwa para elite adalah super-manusia—baik dituntun oleh Tuhan (penj: kelompok pertama) atau dikontrol oleh setan (penj: kelompok kedua).
Saya berpikir bahwa mungkin saja untuk memiliki kecenderungan pada kedua jenis pemikiran magis tersebut sekaligus secara bersamaan, atau untuk mengaduk-aduk antara Millennarianisme esktatis-optimistik dengan pemikiran konspirasi yang paranoid. Dari ‘segala sesuatu itu terhubung dan saya adalah bagian sentral dari transformasi kosmik yang luar biasa ini’ menjadi ‘segala sesuatu itu terhubung dan saya akan dirugikan oleh adanya agenda global yang mengerikan ini.’ Saya kira orang seperti Robert Anton Wilson, misalnya, cenderung pada kedua jenis pemikiran tersebut.
Nilai yang Terkandung dalam Kedua Bentuk Konspiritualitas Tersebut
Sekarang mungkin kita akan menganggap kedua jenis pemikiran tersebut semata-mata sebagai omong kosong antusiasme keagamaan. Kedua-duanya. Saya juga memiliki kecenderungan yang kuat saat ini untuk melakukan hal yang sama, untuk sekonyong-konyong menyebut baik para pembaharu ekstatis maupun pemikir paranoid teori konspirasi sebagai omong kosong, dan (penj: alih-alih mempercayai teori-teori mereka) mencoba untuk berpikir serasional dan sewaras mungkin.
Namun, meski bagaimanapun, mungkin cara demikian bukanlah hal yang bijak. Faktanya, kedua jenis pemikiran magis tersebut tetap memiliki nilai.
Nilai yang terkandung dalam globalisme mistis adalah bahwa ia dapat mendorong kita pada hal-hal yang positif—globalisme estetik HG Wells telah menginspirasi penyusunan dokumen internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB misalnya. Anda membutuhkan sedikit optimisme kosmik untuk mencoba mengubah sesuatu.
Meskipun demikian, globalisme estetik juga dapat melahirkan penobatan diri (self-entitlement), sebuah keyakinan kuat bahwa Anda adalah pejuang kemanusiaan yang terpilih, dan bahwa sejarah dan Alam Semesta berpihak pada Anda. Hal tersebut jelas berbahaya. Ia dapat berakibat pada pemusatan hak dan kekuatan yang berlebihan, yang lahir utamanya melalui jaringan-jaringan non-formal dan non-demokratis.
Sementara itu, nilai yang terkandung dalam pemikiran konspirasi adalah bahwa ia dapat menjadi anjing pengawas bagi sebuah kekuatan (penj: kekuasaan). Kekuatan dapat sangat terkonsentrasi – Organisasi Kesehatan Dunia sangat bergantung pada pendanaan dari Bill Gates, dan (penj: untuk itu) Gates Foundation harus lebih transparan dan akuntabel, mengingat pengaruhnya yang luar biasa terhadap kesehatan masyarakat dunia.
Otoritas sains secara mengerikan terkadang bisa salah—banyak globalis ekstetis pada abad ke-20 mendukung kinerja para ahli genetika (termasuk HG Wells, Annie Besant, Julian Huxley, Alexis Carrel, dan Teillard de Chardin). Mereka meyakini bahwa dunia semestinya dijalankan oleh para ilmuwan elite yang tercerahkan secara spiritual dan berhak memutuskan siapa yang sudah terbebaskan dan siapa yang masih ‘sakit’ sehingga perlu disterilkan, dikurung, atau bahkan dimusnahkan. Tidak ada konspirasi tersembuyi dalam hal tersebut—mereka dengan bangga mendeklarasikan gagasan-gagasan mereka. Untuk itu, sekarang Anda dapat memahami mengapa anti-globalis menyimpan kecurigaan terhadap agenda tersembunyi para ahli genetika tersebut saat ini.
Menciptakan Keseimbangan antara Sokratis dan Ekstatis
Secara umum (dan sebagai kesimpulan), ada nilai dalam segala proses ‘mengetahui’ yang tidak rasional, seperti mimpi, intuisi, inspirasi, dan pengalaman-pengalaman mistis lainnya. Ia dapat menjadi sumber penting bagi kebajikan dan proses penyembuhan. Banyak penemuan-penemuan ilmiah yang luar biasa serta produk-produk kebudayaan berasal dari inspirasi ekstatis atau schizotopis, mulai dari Teori Gravitasi-nya Newton hingga Surga yang Hilang-nya Milton.
Saya sendiri condong pada jenis ‘schizotopi lunak’ ini, dan secara umum ia telah memperkaya hidup dan pekerjaan saya. Ada alasan mengapa pemikiran schizotopis ini bertahan selama beberapa milenium—terkadang ia memang sangat adaptif. Ia memiliki peran yang sangat penting dalam evolusi kebudayaan kita.
Meskipun demikian, penting untuk memberikan keseimbangan pada kemampuan untuk berpikir ekstatis/magis/mistis dan kemampuan untuk berpikir kritis. Itulah yang saya lakukan di dalam buku-buku saya: menyeimbangkan antara Sokratis dan Ekstatis, atau otak kiri dan otak kanan, jika Anda tertarik untuk melakukan hal tersebut.
Terlalu banyak berpikir Sokratis tanpa sedikit ekstase, maka Anda akan berakhir dengan pandangan dunia yang kering dan tidak mengandung inspirasi. Terlalu banyak ekstase tanpa berpikir kritis, maka Anda akan berakhir dengan delusi-delusi yang tidak sehat, yang kemudian Anda sebarkan dan membahayakan orang lain. Anda akan menjadi sangat yakin bahwa Andalah yang paling benar, sangat berambisi dengan pembunuhan-pembunuhan yang heroik, dan Anda mungkin akan menolak segala hal yang berguna dan menyebarkan hal-hal lain yang justru berbahaya.
Seseorang semestinya memang bebas untuk meyakini apapun, tapi dalam situasi seperti ini—di mana pandemi global melanda di zaman internet—keyakinan dan tindakan kita akan sangat berdampak terhadap orang lain. Kita harus berusaha untuk ekstra hati-hati tentang apapun yang kita yakini dan bagikan, sebagaimana juga perlu untuk menjaga kesehatan mental.
Ada banyak berita palsu di luar sana—kemarin saya mendapatkan kabar bahwa IMF telah menghapuskan hampir seluruh utang negara berkembang. Kabar tersebut dimuat di sebuah website, IMF2020.org (sebelum akhinya dicabut). Ia tampak sangat meyakinkan. Dan saya sangat berharap berita tersebut benar! Sehingga saya dapat ikut menyebarkan berita baik. Eh, ternyata palsu.
Kita dapat melakukan tes dasar (penj: dengan pertanyaan-pertanyaan berikut), sama seperti membasuh kedua tangan kita:
- Apa sumbernya? Apakah ia media sebuah organisasi yang terpercaya? Apakah ia didukung oleh sumber-sumber lain yang juga terpercaya?
- Sejauh mana kemungkinan bahwa itu adalah fakta? Semakin sedikit kemungkinan maka semakin besar beban bukti yang diperlukan.
- Apakah ada sumber lain di luar sana yang menunjukkan bahwa itu berita bohong? Alih-alih mencari bukti yang mendukung keyakinan kita, bisakah kita mencari bukti yang justru bertentangan dengan keyakinan kita?
- Bisakah kita secara emosional menerima bahwa keyakinan kita memiliki kemungkinan untuk salah?
Kita mungkin dapat menerapkan kesehatan mental tersebut pada diri kita, tetapi bagaimana seseorang dapat menerapkan komunikasi publik yang efektif untuk meng-counter pemikiran konspirasi? Hal tersebut tampak sangat sulit. Insting seseorang dapat semena-mena, seperti para Skeptis dan New Ateis, memanggil mereka yang berada di sisi lain dengan sebutan: ‘dungu, tolol, woo-woo, omong-kosong’, dan lain-lain. Ungkapan-ungkapan semacam itu mungkin tidak akan berguna.
Sebuah pendahuluan pada edisi khusus tentang isu-isu teori konspirasi di European Journal of Social Psychology mengatakan bahwa teori-teori konspirasi mengakar secara emosional dan memiliki faktor pendukung secara sosial—sehingga orang luar yang memanggilnya dengan sebutan apapun tidak akan berdampak apa-apa. Namun, sebagaimana deradikalisasi dan dekultusisasi, mungkin akan lebih efektif dengan mendekati salah satu orang dalam lalu mulai menentang keyakinan mereka dengan cara simpatik dan tidak mengandung ancaman. Itu adalah pekerjaan yang lamban ketika satu dari lima orang Inggris sudah menyatakan bahwa mereka mungkin tidak akan vaksin Covid-19, dan para penguasa mulai menyebarkan teori-teori tandingan tentang bagaimana virus tersebut muncul. Imunitas kita terhadap hal yang berbau omong-kosong mulai memudar.
_________________________
*Diterjemahkan dari tulisan Jules Evans berjudul ‘Conspirituality’ — the overlap between the New Age and conspiracy beliefs. 17 April 2020.
**Sumber gambar: yougov.co.uk