Putusan dan Ragamnya
Immanuel Kant, dalam magnum opus-nya, Critique of Pure Reason, mengatakan bahwa putusan (judgment) adalah salah satu tema sentral bangunan filsafatnya. Ia dengan segera membawa tema tersebut ke permukaan pada bagian pendahuluan buku tersebut. Menurut Kant, putusan adalah pengetahuan taklangsung dari sebuah objek—representasi dari representasi atas objek.[1] Secara sederhana dapat dikatakan bahwa putusan adalah sebuah kesatuan/unit diskursif yang mengombinasikan subjek dengan predikat.[2]
Putusan adalah sebuah proposisi yang mengandung term subjek dan term predikat. Putusan dapat dibagi menjadi dua jenis: analitis dan sintetis. Ketika dalam sebuah proposisi, term predikat terkandung di dalam term subjek, maka proposisi tersebut adalah putusan analitis (B.10). Jika term predikat tidak terkandung di dalam term subjek, melainkan sama sekali berada di luar konsep subjek, maka proposisi tersebut merupakan putusan sintetis (B.11). Pengkategorian putusan ke dalam jenis analitis dan sintetis berbicara mengenai keterkandungan.
Contoh dari putusan analitis adalah proposisi “Semua tubuh memiliki keluasan.” Proposisi tersebut merupakan putusan analitis karena konsep “keluasan” terkandung di dalam konsep “tubuh”. Karena sifat keterkandungan (containment) ini, putusan analitis selalu bersifat apriori.[3] Putusan analitis bersifat eksplikatif—hanya mengeksplisitkan apa yang implisit di dalam konsep subjek—dan dengan demikian tidak memberikan pengetahuan baru (B.11).
Sedangkan contoh dari putusan sintetis adalah proposisi “Kucing oranye.” Konsep “oranye” berada di luar konsep “kucing”. Karena predikat dalam putusan sintetis tidak terkandung di dalam term subjek—berbanding terbalik dengan putusan analitis—maka putusan sintetis sifatnya ampliatif, memberikan pengetahuan baru (B.11). Pengetahuan tersebut didapat dari pengalaman, dan dengan demikian, proposisi “Kucing oranye” adalah putusan sintetis aposteriori. Akan tetapi, putusan sintetis juga bisa didapat bukan dari pengalaman. Misalnya proposisi “7 + 5 = 12”, konsep “12” tidak terkandung di dalam konsep “7”, “5”, atau pun “+”. Dengan demikian, proposisi “7 + 5 = 12” adalah putusan sintetis apriori (B.15).
Bagi Kant, putusan yang didapat dari pengalaman hanyalah putusan yang sifatnya sintetis. Merupakan sebuah kekonyolan untuk menemukan putusan analitis dari pengalaman (B.11). Pernyataan Kant tersebut kemudian mendapat berbagai tantangan dari para intelektual setelahnya. Salah satunya ialah Stephen Palmquist yang mengedepankan esai Naming and Necessity karya Saul Kripke.
Analitis Aposteriori
Naming and Necessity adalah salah satu karya filosofis paling penting pada abad 20. Dalam esai tersebut, terdapat beberapa proposisi yang menurut Palmquist—menggunakan bahasa Kant—merupakan putusan analitis aposteriori. Salah satu proposisinya adalah “Hesperus adalah Phosphorus.”[4]
Dulu, orang-orang Athena dapat melihat bintang di langit malam, dan mereka memberinya nama Hesperus. Ketika pagi datang, terdapat bintang lain yang bernama Phosphorus yang juga bertengger di langit. Akan tetapi, setelah dilakukan pengamatan, diketahui bahwa Hesperus dan Phosphorus bukanlah bintang, melainkan planet. Lebih jauh lagi, Hesperus dan Phosphorus adalah satu entitas yang sama, yaitu planet Venus.[5] Kripke memang tidak mengatakan bahwa proposisi tersebut adalah putusan analitis aposteriori. Palmquist yang berkata demikian.[6] Analitis karena konsep “Phosphorus” sama dengan konsep “Hesperus”, aposteriori karena kebenarannya diperoleh dari pengalaman.[7]
Penalaran yang sama juga bisa diterapkan pada proposisi lain yang disebutkan oleh Kripke, yaitu “Air adalah H₂O.” [8] Proposisi tersebut menyatakan bahwa air sama dengan atom-atom hidrogen dan oksigen dengan rasio 2:1. Konsep “H₂O” sama dengan konsep “air”, dan kebenarannya juga diperoleh dari pengalaman. Tak cukup sampai di situ, Palmquist juga mengatakan bahwa diktum Descartes “Cogito, ergo sum” juga merupakan putusan analitis aposteriori.[9]Menurutnya, subjek “aku” mengetahui dari pengalaman bahwa “aku” dapat dan sedang berpikir, dan ini mengimplikasikan bahwa “aku” secara analitis ada.[10]
Kemungkinan Tanggapan Kant
Menurut penulis, Kant akan menganggap ketiga proposisi tersebut bukan putusan analitis aposteriori. Mengapa? Kant menjelaskan bahwa dalam putusan analitis, konsep subjek dan konsep predikat memiliki keluasan yang berbeda. Ia menjelaskan dengan proposisi “Semua tubuh dapat terbagi (divisible).” Konsep “dapat terbagi” bisa diaplikasikan ke banyak konsep lain, tapi dalam kasus ini, konsep tersebut diaplikasikan ke suatu konsep partikular bernama “tubuh” (B.93). Dengan demikian, konsep subjek dan konsep predikat tidak dapat dipertukarkan (non-interchangeable).
Sementara konsep “H₂O” dengan konsep “air” merupakan dua konsep yang setara. “Air adalah H₂O” dan “H₂O adalah air” memiliki nilai kebenaran (truth value) yang sama. Begitu juga dengan proposisi tentang Venus. Jika “Hesperus” adalah A, dan “Phosphorus” adalah B, maka bisa dibuat proposisi A = B dan B = A tanpa mengubah nilai kebenarannya. Pada dua proposisi ini, konsep A dan konsep B memiliki keluasan yang sama dan dapat dipertukarkan tanpa mengubah nilai kebenarannya—interchangeable salva veritate. A sama dengan B jika dan hanya jika A dapat dipertukarkan dengan B dalam proposisi apa pun tanpa mengurangi nilai kebenarannya.[11]
Bagaimana dengan diktum Descartes? Respons Kant terhadap “Cogito, ergo sum” positif, dia setuju bahwa dari aktivitas “berpikir”, ia tahu dengan pasti bahwa “aku berpikir” dan “aku ada”.[12] Yang tidak dia setujui adalah bahwa dari aktivitas tersebut objek-objek di luar aku nyata (B.275). Akan tetapi, Kant dalam bagian “Criticism of the Second Paralogism of Transcendental Psychology” menganggap bahwa proposisi “Cogito, ergo sum” adalah proposisi tautologis, karena “cogito, (sum cogitans)” sudah secara langsung menegaskan eksistensiku (A.354-5).
Catatan Akhir
[1] Kant, Critique of Pure Reason, Terj. Norman Kemp Smith (London: Macmillan and Co., 1929), hlm.105.
[2] Yirmiyahu Yovel, Kant’s Philosophical Revolution, (Oxford: Princeton University Press, 2018), hlm.23.
[3] Yirmayahu Yovel, Ibid., hlm.24.
[4] Saul Kripke, Naming and Necessity, (Massachusetts: Harvard University Press, 2001), hlm.28-29.
[5] Saul Kripke, Ibid.
[6] Stephen Palmquist, “A Priori Knowledge in Perspective: Naming, Necessity and the Analytic A Posteriori”, The Review of Metaphysics Vol.41 (2), 1987, hlm.268-270.
[7] Stephen Palmquist, Ibid.
[8] Saul Kripke, Op.Cit., hlm.128.
[9] Stephen Palmquist, Op.Cit., hlm.272.
[10] Stephen Palmquist, Ibid.
[11] Benson Mates, The Philosophy of Leibniz: Metaphysics and Language, (New York: Oxford University Press, 1989), hlm.123.
[12] Beatrice Longuenesse, I, Me, Mine: Back to Kant, and Back Again, (Oxford: Oxford University Press, 2017), hlm.73.
Daftar Pustaka
Kant, Immanuel. Critique of Pure Reason. Diterjemahkan oleh Norman Kemp Smith. London, Inggris: Macmillan and Co., 1929.
Kripke, Saul. Naming and Necessity. Massachusetts, Amerika Serikat: Harvard University Press, 2001.
Longuenesse, Beatrice. I, Me, Mine: Back to Kant, and Back Again. Oxford, Inggris: Oxford University Press, 2017.
Mates, Benson. The Philosophy of Leibniz: Metaphysics and Language. New York, Amerika Serikat: Oxford University press, 1989.
Palmquist, Stephen. “A Priori Knowledge in Perspective: Naming, Necessity and the Analytic A Posteriori.” The Review of Metaphysics 41, no. 2 (1987): 255–82.
Yovel, Yirmiyahu. Kant’s Philosophical Revolution. Oxford, Inggris: Princeton University Press, 2018.