Dalam tulisannya yang berjudul Semiotika dan Ilmu Sosial yang dipublikasikan di website Antinomi, 27 September 2022, Taufiqurrahman melakukan kritik terhadap kecenderungan beberapa ilmuwan sosial di Indonesia yang menggunakan analisis semiotik secara tidak proporsional. Kritiknya tersebut diajukan melalui pembacaannya atas teks yang ditulis oleh Sonny Eli Zaluchu yang berjudul Citayam, Bukan Sekadar ‘Fashion’ Jalanan (Kompas, 29/ 07 / 22) dan Yasraf A. Piliang yang berjudul Merawat Merah Putih (Kompas, 06/09/22).
Permasalahan yang diajukan oleh Taufiqurrahman adalah perkara proporsionalitas, yang membuat analisis semiotik seringkali cenderung melebih-lebihkan suatu fenomena sosial. Meski pada mulanya mengajukan keberatan terhadap gagasan para ilmuwan sosial yang disebutkan di muka, tetapi pada akhirnya Taufiqurrahman juga mengajukan serangan pada tubuh analisis semiotika itu sendiri: adalah Ferdinand de Saussure, yang mengajukan gagasan perkara sifat arbitrer pada tanda linguistik, untuk kemudian “membuka jalan” bagi pemikir seperti Roland Barthes dan Umberto Eco, yang memperluas sifat arbitrer tersebut pada tanda-tanda non-linguistik. Dampaknya, semiotika menjadi cara pandang yang memahami tanda secara sangat luas dan longgar, sehingga pada titik tertentu menjadi jatuh pada “charlatan-isme”.
Keberatan Taufiqurrahman atas penggunaan analisis semiotika untuk membaca segala sesuatu secara “suka-suka” memang dapat dipahami. Selain Barthes dan Eco, kita dapat menemukan bahwa semiotika Peircean juga sering digunakan sebagai pisau analisis yang mewah lewat relasi triadiknya. Persoalannya bukan hanya terletak pada keglamoran analisis semiotika yang seringkali cuma jatuh pada pernyataan-pernyataan yang, meminjam istilah Sokal dan Bricmont, “fashionable nonsense”, tapi juga statusnya yang seolah-olah “siap pakai”. Sependek pengamatan saya, baik sebagai penonton Youtube maupun eks pembimbing skripsi, mudah sekali menemukan bagaimana analisis semiotika Peircean digunakan dengan cara langsung mencocok(cocok)kan antara fenomena dan rumusan triadiknya, tanpa benar-benar memahami bagaimana Peirce membangun fondasi berpikirnya.
Pertanyaannya, berapa banyak pengguna semiotika Peircean yang benar-benar membaca argumentasi Charles Sanders Peirce sebelum masuk ke bagan triadiknya yang seolah “siap pakai” itu? Berapa banyak pengguna semiotika Peircean yang tahu bahwa Peirce membangun analisisnya di atas kritik terhadap Aristoteles, Descartes dan Kant? Berapa banyak pengguna semiotika Peircean yang mengkaji prinsip “predikamen” yang membaca thirdness, secondness, dan firstness secara menurun? Bagi saya, Peirce tidak sedang bergurau saat merumuskan pokok gagasannya dalam beberapa pernyataan sebagai berikut, dimulai dengan pengertiannya tentang tanda dalam On the algebra of logic:
A sign is in a conjoint relation to the thing denoted and to the mind. If this triple relation is not of a degenerate species, the sign is related to its object only in consequence of a mental association, and depend upon a habit. Such signs are always abstract and general, because habits are general rules to which the organism has become subjected. They are, for the most part, conventional or arbitrary. They include all general words, the main body of speech, and any mode of conveying a judgement. For the sake of brevity I will call them tokens.
PEIRCE, 1885
Meski dalam pernyataan tersebut terdapat celah untuk berbuat “suka-suka” lewat ungkapan berkenaan dengan “kebiasaan”, “aturan umum”, dan “kearbitreran”, tetapi Peirce tampak sudah mengantisipasi agar analisisnya tidak digunakan untuk sekadar bermewah-mewah. Ia menunjukkan hal tersebut dengan menetapkan kriteria tentang bagaimana sebuah objek dapat menjadi representasi, yang bisa dibaca pada tulisannya berjudul On representations (1873) sebagai bagian dari kumpulan tulisan berjudul Writing of Charles S. Peirce: A Chronological Edition (1986):
A representation is an object which stands for another so that an experience of the former affords us a knowledge of the latter. There are three essential conditions to which every representation must conform. It must in the first place like any other object have qualities independent of its meaning. It is only through a knowledge of these that we acquire any information concerning the object it represents.[…] In the second place, representation must have a real causal connection to its object. […] In the third place, every representation addresses itself to a mind. It is only in as far as it does it that it is a representation. The idea of the representation itself excites in the mind another idea and in order that it may do this it is necessary that some principle of association between the two ideas should already be established in that mind.[…]
PEIRCE, 1986: 62
Dengan menilik usaha Peirce untuk membuat ilmu tentang tanda sebagai disiplin yang ketat, maka saya curiga bahwa yang menjadi persoalan bukanlah tentang disiplin semiotika itu sendiri, melainkan bagaimana semiotika dipelajari oleh sebagian ilmuwan sosial, dosen, dan juga mahasiswa di Indonesia. Bahkan dari cara bagaimana beberapa channel Youtube Indonesia mempraktikkan semiotika Peircean (cukup banyak, silakan ditelusuri), jelas bahwa mereka tidak membaca argumen William James tentang bagaimana mestinya semiotika dipakai: “(…) it is a ‘transitive’ not a ‘substantive’ experience.” Boleh saya menduga-duga, jika Taufiqurrahman benar-benar menyelami Peirce, saya yakin ia akan terpesona oleh ketajaman berpikir analitiknya yang juga dikagumi oleh pemikir raksasa Eropa seperti Russell, Whitehead, dan Popper. Namun itu Peirce, bagaimana dengan Barthes, misalnya, yang benar-benar ditunjuk oleh Taufiqurrahman sebagai salah satu biang keladi “charlatan-isme” ini?
Problem Semiotika Barthesian
Jika Barthes hidup di zaman sekarang, saya yakin ia akan menjadi sasaran utama kegemasan Taufiqurrahman. Dalam Mythologies, kita bisa membaca bagaimana Barthes melakukan analisis yang, dalam pengertian Taufiqurrahman, tidak proporsional, misalnya dalam sub bab berjudul The Poor and The Proletariat yang membicarakan tentang Charlie Chaplin, yang salah satu gagasannya adalah sebagai berikut:
For Chaplin, the proletarian is still the man who is hungry; the representations of hunger are always epic with him: excessive size of the sandwiches, rivers of milk, fruit which one tosses aside hardly touched. Ironically, the food-dispensing machine (which is part of the employers’ world) delivers only fragmented and obviously flavourless nutriment. Ensnared in his starvation, Chaplin-Man is always just below political awareness.
BARTHES, 1972: 38
Dalam terang pandangan tertentu, Barthes sedang melakukan “over-analisis”. Mengapa film Modern Times tidak dipandang sebagai film biasa saja? Mengapa harus dikaitkan dengan wacana proletariat dan kesadaran politis? Tidakkah cara demikian justru malah mengkolonisasi keindahan si film itu sendiri? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin juga senada dengan bagaimana Taufiqurrahman mempertanyakan tulisan Sonny yang menyebut Citayam Fashion Week sebagai revolusi sosial padahal “sebenarnya biasa saja”. Supaya lebih memancing kegemasan Taufiqurrahman, mari mengutip pendapat Barthes yang lainnya, misalnya dalam sub bab pertama berjudul The World of Wrestling:
The physique of the wrestlers therefore constitutes a basic sign, which like a seed contains the whole fight. But this seed proliferates, for it is at every turn during the fight, in each new situation, that the body of the wrestler casts to the public the magical entertainment of a temperament which finds its natural expression in a gesture. The different strata of meaning throw light on each other, and form the most intelligible of spectacles. Wrestling is like a diacritic writing: above the fundamental meaning of his body, the wrestler arranges comments which are episodic but always opportune, and constantly help the reading of the fight by means of gestures, attitudes and mimicry which make the intention utterly obvious. Sometimes the wrestler triumphs with a repulsive sneer while kneeling on the good sportsman; sometimes he gives the crowd a conceited smile which forebodes an early revenge; sometimes, pinned to the ground, he hits the floor ostentatiously to make evident to all the intolerable nature of his situation; and sometimes he erects a complicated set of signs meant to make the public understand that he legitimately personifies the ever-entertaining image of the grumbler, endlessly confabulating about his displeasure.
BARTHES, 1972: 16
Demikian, tidak diragukan lagi bahwa Barthes sedang “lebay” dalam membaca olahraga gulat. Mengapa tidak memahami gulat sebagai gulat, sebagaimana bentangan bendera merah putih sepanjang 1700 meter dibaca hanya sebagai “bentangan bendera merah putih sepanjang 1700 meter saja”, tanpa perlu dilebih-lebihkan seperti analisis yang dilakukan Yasraf dengan menuliskan peristiwa itu sebagai “upaya ‘ideologis-simbolis’ mentransformasi anak bangsa dari subjek perpecahan ideologis menjadi subjek kesatuan ideologis dalam keanekaragaman”? Jika kita membaca Mythologies, kita akan menemukan bahwa pada paruh pertama buku tersebut, Barthes memang tampak sedang “ber-omong-kosong-ria” yang pastinya akan menghibur Taufiqurrahman. Namun dalam paruh kedua yang dipayungi bab besar berjudul Myth Today, Barthes tampak lebih serius dengan menunjukkan tanggung jawab analisisnya. Di paragraf awal paruh kedua ini, Barthes tidak berbasa-basi dan langsung menonjok:
What is a myth, today? I shall give at the outset a first, very simple answer, which is perfectly consistent with etymology: myth is a type of speech. Of course, it is not any type: language needs special conditions in order to become myth: we shall see them in a minute. But what must be firmly established at the start is that myth is a system of communication, that it is a message. This allows one to perceive that myth cannot possibly be an object, a concept, or an idea; it is a mode of signification, a form. Later, we shall have to assign to this form historical limits, conditions of use, and reintroduce society into it: we must nevertheless first describe it as a form.
BARTHES, 1972: 107
Meski masih agak mengawang-awang, tetapi terlihat bahwa Barthes membatasi bagaimana bahasa dapat menjadi mitos, dengan menetapkan syarat berupa limitasi historis, kondisi penggunaannya, dan bagaimana masyarakat diperkenalkan ke dalamnya (mitos itu). Namun pernyataan berikutnya dari Barthes akan membuat bingung karena ia sekaligus mengafirmasi bahwa pembentukan mitos bisa jadi didasari oleh apapun:
Everything, then, can be a myth? Yes, I believe this, for the universe is infinitely fertile in suggestions. Every object in the world can pass from a closed, silent existence to an oral state, open to appropriation by society, for there is no law, whether natural or not, which forbids talking about things. A tree is a tree. Yes, of course.
BARTHES, 1972: 107
Namun, kemudian ia kembali menetapkan syarat yang menunjukkan bahwa mitos tidak lepas dari bagaimana ia ditampilkan. Barthes mengambil contoh dengan menyebut Minou Drouet, penyair Prancis:
But a tree as expressed by Minou Drouet is no longer quite a tree, it is a tree which is decorated, adapted to a certain type of consumption, laden with literary self-indulgence, revolt, images, in short with a type of social usage which is added to pure matter.
BARTHES, 1972: 107 – 108
Kelihatannya kita baru benar-benar masuk pada bangunan gagasan semiotika Barthes, pada suatu paragraf kokoh yang ia tulis sebagai keterangan dari “bagan mitos”-nya yang terkenal (yang ia sebut cuma sebagai metafora). Agar tidak bosan dengan cara saya mengutip yang copy-paste langsung dari teks asli (terjemahan), maka dalam kesempatan ini saya akan mencoba menerjemahkan dan sekaligus meringkas (sekaligus menafsir) pemikiran Barthes. Jadi, menurut Barthes, di dalam mitos, terdapat dua sistem semiologis, yang pertama adalah language-object dan yang kedua adalah metalanguage. Language-object mengacu pada relasi Saussurean yang menautkan antara penanda dan petanda dalam domain linguistik, sementara metalanguage melakukan “pembacaan total” dengan melampaui relasi penanda – petanda linguistik (Barthes, 1972: 113 – 114). Di sini letak keketatan sistem semiotika Barthesian, bahwa language-object harus terlebih dahulu dipenuhi sebelum mempraktikkan metalanguage. Barthes tidak gegabah dalam melakukan “lompatan makna” saat misalnya, melakukan pembacaan terhadap majalah Paris Match dengan sampul seorang anak berkulit hitam yang melakukan penghormatan. Ia terlebih dahulu taat pada relasi penanda – petanda yang membangun sistem pertama (“a black soldier is giving the French salute”), sebelum masuk pada meta-bahasa tentang “purposeful mixture of Frenchness and militariness” (Barthes, 1972: 114).
Tentu saja jawaban semacam ini bisa tidak memuaskan bagi Taufiqurrahman, karena meski Barthes telah menjabarkan bagaimana sistem semiotikanya bekerja secara runut, ia tetap bertanggung jawab dalam membuka kemungkinan metalanguage untuk dimanfaatkan ilmuwan seperti Yasraf dan Sonny agar bisa berbicara “apapun”. Namun Barthes tetap mengingatkan bahwa produksi mitos tidak bisa “sembarang” dan mesti mengacu pada konteks ruang dan waktu di mana/ saat tanda-tanda itu diproduksi. Artinya, pertanyaan yang lebih tepat diajukan mungkin adalah sebagai berikut: apakah “kegenitan intelektual” Yasraf dan Sonny sudah dilakukan berdasarkan tahapan semiologis yang tepat? Atau mereka ternyata cuma tidak sabaran dengan cepat-cepat masuk pada metalanguage tanpa selesai di tataran derajat pertama relasi penanda – petanda? Kita bisa meninggalkan pertanyaan ini untuk “digantung”, untuk kemudian masuk pada hal lain yang bisa dijadikan persoalan dalam tulisan Taufiqurrahman.
Tentang wink dan blink
Dalam paragraf lainnya, Taufiqurrahman mempermasalahkan analisis Sonny yang mengatakan bahwa Citayam Fashion Week adalah sebuah perlawanan sosial sebagai “kegenitan intelektual yang menggelikan”. Kemudian Taufiqurrahman memberikan ilustrasi lewat pembedaan antara kedipan mata (wink) sebagai sebuah tindakan memberi isyarat dan kedipan mata (blink) sebagai sebuah perilaku biasa pada manusia normal. Ilustrasi ini ia gunakan untuk menjelaskan bagaimana sebagian ilmuwan sosial mengartikan kedipan mata sebagai isyarat yang punya makna, padahal sebenarnya tak punya maksud apa-apa. Dari apa yang saya tangkap, Taufiqurrahman seolah hendak mengatakan bahwa Citayam Fashion Week adalah sekadar “blink”, semacam kegiatan biasa-biasa saja yang kemudian dimaknai oleh ilmuwan sosial sebagai sebuah “wink”, salah satunya melalui analisis semiotik.
Pada titik tertentu, argumentasi Taufiqurrahman ini ada benarnya, bahwa tidak ada konfirmasi meyakinkan dan bisa jadi cuma akal-akalan sepihak saja, bahwa Citayam Fashion Week dikatakan sebagai “perlawanan sosial” hanya dalam alam imajinasi si peneliti. Sementara itu, orang-orang di dalam Citayam Fashion Week-nya itu sendiri tidak merasa demikian dan bahkan menganggap segala sesuatu yang terjadi cuma sekadar “seru-seruan” yang tidak dilandasi -isme atau ideologi besar apapun. Namun di sisi lain, Taufiqurrahman seolah melupakan bahwa konfirmasi dari objek (/subjek) tidak melulu bisa dipegang sebagai bukti kesahihan suatu gagasan. Bahkan kalaupun para awak Citayam Fashion Week ternyata mengakui bahwa mereka tengah mempraktikkan okupasi ruang publik, para ilmuwan sosial bisa langsung tidak percaya pada pengakuan semacam itu dan menelaah lebih jauh dengan melihat multi-aspek sebelum memutuskan apakah itu adalah semacam okupasi ruang publik atau bukan.
Jika kembali pada ilustrasi “blink” dan “wink”, kita bisa mengajukan pertanyaan semacam ini: bukankah “blink” sendiri, tidak bisa dipandang sebagai melulu gejala biologis alamiah, tapi juga bisa dibaca sebagai problem psikis? Atau, jika mengacu pada analisis sederhana dari ilmu komunikasi, “blink” bukanlah persoalan sepele, ia adalah satu paket dari gestur nonverbal yang bisa menunjukkan apakah seseorang itu benar-benar menyimak atau tidak, gelisah atau tidak, dan sebagainya. Orang bisa dengan mudah mengatakan: “Aku hanya berkedip, tidak lain,” tetapi pakar komunikasi bisa berbicara: “Tapi kamu berkedip terlalu banyak, itu tandanya kamu gelisah.” Tentu saja pakar komunikasi itu bisa keliru, tetapi pengakuan orang yang berkedip bahwa “tidak ada apa-apa” juga bisa dicurigai. Jika kita tarik lebih jauh ke ranah filsafat, bahkan bidang ini lebih keji dalam menduga-duga segala maksud: tidak cuma manusia, tapi juga curiga terhadap kelakuan alam dan Tuhan.
Sebagai penutup, saya tetap setuju bahwa terdapat krisis metodologis dalam (pembelajaran) ilmu sosial di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat ilmuwan sosial yang melakukan analisis dengan basis “gaya-gayaan” tanpa basis pertanggungjawaban metode yang jelas, atau kalaupun ada, cuma sekadar “pseudo-metode” supaya seolah-olah ketat padahal super longgar (termasuk saya, terlebih saat dikejar deadline). Namun cara menyelamatkannya bukan dengan cara menuduh analisis semiotik dengan yang tidak-tidak, tetapi lebih berkaitan dengan bagaimana analisis semiotik, dan juga topik-topik lainnya, dibaca secara menyeluruh dalam disiplin membaca teks yang ketat.
Atau, jika kita mau menyalahkan hal yang lebih “superfisial”, tuntutan dunia pendidikan lah yang jadi penjahatnya: mahasiswa dipaksa cepat lulus, dosen ditargetkan sekian penelitian setiap semesternya. Target-target tersebut membuat siapapun sulit mempunyai waktu untuk tekun meneliti dan akhirnya cuma membaca separuh gagasan Peirce dan Barthes untuk diterapkan seperlunya dan tetap terlihat keren.
Daftar Pustaka
Barthes, R. (1972). Mythologies: Roland Barthes. Hill and Wang.
Peirce, C.S. (1885) On the Algebra of Logic: A Contribution to the Philosophy of Notation. American Journal of Mathematics, 7, 180-202.
Peirce, C.S. (1986). “On Representations” in C. J. W. Kloesel, M. H. Fisch, N. Houser, L. A. Ziegler, D. D. Roberts, A. Houser, & E. C. Moore (Eds.), Writings of Charles S. Peirce: A Chronological Edition, Volume 3: 1872–1878 (pp. 62–65). Indiana University Press. http://www.jstor.org/stable/j.ctt16gh7vc.28
Piliang, Yasraf A., “Merawat Merah Putih”, Kompas, 06/09/22.
Zaluchu, Sonny E., “Citayam, Bukan Sekadar ‘Fashion’ Jalanan”, Kompas, 29/07/22.