Dilema Penggunaan Kata Ganti “Peneliti” dalam Penulisan Akademik

Dalam upaya untuk memahami realitas secara lebih mendalam, menghargai peran penting pengalaman pribadi dalam penelitian adalah langkah filosofis yang memperkaya dunia ilmu pengetahuan.

Antonius Harya Febru Widodo
Antonius Harya Febru Widodo
Penikmat musik dan budaya populer. Pecinta budaya massa.

Penulis memiliki keresahan dengan kata ganti dalam penulisan ilmiah (khususnya penulisan akademik filsafat) di Indonesia yang mengwajibkan kata ganti sudut pandang pertama seperti “saya”, “aku”, atau “kami” menjadi “peneliti”, “penulis”, atau lain sejenisnya. Perkembangan ilmu pengetahuan berawal dari pengalaman personal seorang peneliti atau hal-hal yang menarik menurut peneliti. Kedekatan emosi antara peneliti dan objek penelitiannya adalah sebuah dimensi yang membuat penelitian menjadi lebih unikdan dekat dengan penelitiannya. Penugasan akhir seperti skripsi, tesis, dan disertasi yang menyertakan kata ganti “peneliti” atau “penulis” seolah menjauhkan rasa personal yang dituangkan dalam penelitian.

Kata ganti “peneliti” tidak secara eksplisit disebutkan dalam referensi yang diberikan dalam hubungannya dengan karakteristik penulisan berbasis bukti atau penulisan berbasis argumen. Oleh karena itu, kita tidak dapat secara langsung menentukan apakah penggunaan kata ganti “peneliti” merupakan bagian dari karakteristik dari kedua jenis penulisan tersebut.

Mengapa Aku atau Saya

Dalam penelitian ilmiah–khususnya dalam penelitian skripsi, tesis, dan disertasi filsafat di Indonesia, terdapat kecenderungan untuk menggunakan kata ganti “peneliti” atau “penulis” sebagai pengganti kata “saya” atau “aku”. Hal ini adalah bagian dari upaya untuk mencapai objektivitas dan netralitas dalam penulisan, serta memisahkan diri penulis dari subjek yang diteliti (Hanaue & Kinglander, 2011: 410-411). Namun, pergeseran ini juga berdampak pada pengalaman dalam diri penulis. Identitas pribadi, pengalaman individu, dan koneksi emosional terhadap topik penelitian dapat terabaikan atau terpinggirkan dalam proses ini. Pergeseran dari “saya” menjadi “peneliti” mencerminkan abstraksi yang mendalam dalam penelitian. Identitas individu penulis menjadi tersamarkan atau bahkan hilang dalam representasi penelitian (ibid.). Hal ini mengarah pada pemisahan yang jelas antara peneliti dan fenomena yang diteliti, serta kurangnya pengakuan akan pengaruh pengalaman pribadi dalam pemahaman dan interpretasi penelitian. 

Penulisan berbasis bukti umumnya mengandalkan bukti empiris, penelitian, dan data untuk mendukung suatu klaim dan argumen. Penulisan ini menekankan penggunaan sumber yang kredibel dan evaluasi sistematis terhadap bukti untuk mengambil kesimpulan. Di sisi lain, penulisan berbasis argumen berfokus pada konstruksi dan penyajian argumen yang logis, sering kali menggunakan penalaran, analisis, dan sikap kritis untuk mendukung suatu posisi atau perspektif tertentu (Casillo dan Doury 2022, 133-155; Aberdein 2019, 97-106).

Meskipun penulisan berbasis bukti mungkin melibatkan penggunaan penelitian yang dilakukan oleh seorang atau beberapa peneliti, hal itu tidak berarti bahwa istilah “peneliti” adalah bagian dari karakteristik penulisan berbasis bukti itu sendiri. Istilah “peneliti” lebih umum digunakan untuk merujuk pada orang yang melakukan penelitian atau penulis dari suatu studi penelitian. Istilah ini tidak secara inheren terkait dengan karakteristik penulisan berbasis bukti atau berbasis argumen. Penggunaan istilah “peneliti” lebih terkait dengan individu yang terlibat dalam melakukan penelitian atau menjadi penulis studi penelitian daripada menjadi karakteristik yang mendefinisikan jenis penulisan tertentu.

Penulisan berbasis bukti umumnya mengandalkan bukti empiris, penelitian, dan data untuk mendukung suatu klaim dan argumen. Penulisan ini menekankan penggunaan sumber yang kredibel dan evaluasi sistematis terhadap bukti untuk mengambil kesimpulan. Di sisi lain, penulisan berbasis argumen berfokus pada konstruksi dan penyajian argumen yang logis, sering kali menggunakan penalaran, analisis, dan penalaran kritis untuk mendukung suatu posisi atau perspektif tertentu (Casillo dan Doury 2022, 133-155; Aberdein 2019, 97-106).

Meskipun penulisan berbasis bukti mungkin melibatkan penggunaan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, hal itu tidak berarti bahwa istilah “peneliti” adalah bagian dari karakteristik dari penulisan berbasis bukti itu sendiri. Istilah “peneliti” lebih umum digunakan untuk merujuk pada orang yang melakukan penelitian atau penulis dari suatu studi penelitian. Istilah ini tidak secara inheren terkait dengan karakteristik penulisan berbasis bukti atau berbasis argumen. Kata ganti “peneliti” tidak secara langsung terkait dengan karakteristik penulisan berbasis bukti atau berbasis argumen berdasarkan referensi yang diberikan. Penggunaan istilah “peneliti” lebih terkait dengan individu yang terlibat dalam melakukan penelitian atau menjadi penulis studi penelitian daripada menjadi karakteristik yang mendefinisikan jenis penulisan tertentu.

Artikel berjudul “Sounding the Truth in Academic Writing” oleh Rokhmani, Sujanto, dan Luddin (2019) bertujuan untuk mengatasi masalah etis yang terkait dengan penulisan akademik dan tantangan yang dihadapi oleh akademisi Indonesia dalam menulis untuk jurnal internasional (Rokhmani, Sujanto, & Luddin, 2019). Salah satu alasan utama bagi para akademisi untuk menerbitkan karya mereka di jurnal internasional adalah untuk meningkatkan reputasi pribadi dan universitas mereka, memperluas jaringan profesional, menciptakan lingkungan akademik yang lebih baik, dan berkontribusi dalam bidang studi. Namun, akademisi Indonesia sering menghadapi kesulitan dalam penulisan akademik, terutama ketika menulis untuk jurnal internasional. Di Indonesia, penulisan akademik seringkali menghindari penggunaan kata ganti “saya” dan sebaliknya memilih istilah “peneliti” (Rokhmani, Sujanto, & Luddin, 2019).

Praktik penulisan akademik dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk kurangnya kemampuan menulis dan keterampilan penelitian yang rendah di kalangan akademisi Indonesia (Rokhmani, Sujanto, & Luddin, 2019). Selain itu, sebuah studi tentang sosialisasi penulisan akademik mahasiswa calon guru bahasa Inggris menemukan bahwa penggunaan istilah “peneliti” meningkatkan rasa profesionalisme dan objektivitas dalam penulisan akademik (Mukminin, Ali, & Ashari 2015). Kendala-kendala penulisan akademik yang dialami oleh mahasiswa pendidikan tinggi Indonesia menyoroti perlunya solusi dan perbaikan (Bram & Angelina, 2022: 267). Secara keseluruhan, penghindaran penggunaan kata ganti “saya” dalam penulisan akademik di Indonesia sejalan dengan upaya untuk meningkatkan keterampilan menulis dan mempromosikan nada yang lebih objektif dan profesional.

Filsafat sebagai Penulisan Berbasis-Argumen 

Argumentasi adalah aspek fundamental dalam filsafat. Penelitian filsafat melibatkan pemeriksaan dan evaluasi berbagai argumen dan posisi. Melalui proses membangun dan menganalisis argumen, para filsuf terlibat dalam berpikir kritis dan mengembangkan gagasan mereka (Nanay 2013, 349-360). Dengan fokus pada argumentasi, filsafat mendorong individu untuk berpikir secara kritis, mempertanyakan asumsi, dan terlibat dalam perdebatan intelektual yang ketat.

Melalui argumentasi, filsafat mendorong individu untuk berpikir secara kritis dan analitis. Para filsuf diajak untuk mempertanyakan asumsi-asumsi yang ada, mengeksplorasi implikasi-implikasi logis dari suatu posisi, dan mempertimbangkan bukti-bukti yang mendukung atau menentang suatu argumen. Dalam proses ini, filsafat memperkuat kemampuan berpikir kritis dan logis, sehingga memungkinkan para filsuf untuk menghasilkan gagasan-gagasan yang berakar pada dasar-dasar yang kuat dan teruji. Dengan mendorong perdebatan intelektual yang ketat, filsafat juga mengajarkan keterampilan berkomunikasi secara efektif, menghargai pandangan-pandangan yang berbeda, dan mencari solusi terbaik melalui diskusi yang berfokus pada argumen (Nanay, 2013: 349-360).

Argumentasi dalam filsafat juga menjadi sarana untuk mengembangkan gagasan-gagasan abstrak dan kompleks. Filsafat sering kali menghadapi isu-isu yang tidak mudah diuji atau diukur secara empiris. Konsep-konsep filosofis seperti keadilan, kebebasan, atau kebenaran sering kali melibatkan pertimbangan teoritis dan analisis logis, bukan sekadar berdasarkan pada bukti empiris. Dalam konteks ini, argumentasi menjadi alat yang efektif untuk menggali dan mempertahankan pemahaman terhadap gagasan-gagasan abstrak tersebut. Melalui argumentasi, para filsuf dapat mengembangkan pemikiran yang cermat, kritis, dan terperinci terkait konsep-konsep, sehingga memungkinkan pemahaman yang lebih mendalam dan kompleks terhadap masalah-masalah filosofis (Nanay, 2013: 349-360).

Berbeda dengan disiplin ilmu yang sangat mengandalkan data dan bukti empiris, filsafat mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah diuji atau diukur. Argumen filsafat sering kali didasarkan pada penalaran logis, analisis konseptual, dan eksperimen pemikiran daripada bukti empiris (Nanay, 2013: 349-360). Oleh karena itu, pendekatan berbasis argumen lebih cocok untuk penelitian filsafat. 

Argumen menjadi elemen yang sentral dalam membangun penalaran dan mendukung pandangan yang diusulkan. Penalaran logis, analisis konseptual, dan eksperimen pemikiran digunakan untuk merumuskan argumen yang konsisten dan koheren. Argumen dalam filsafat berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan gagasan, mendorong refleksi kritis, dan menguji keabsahan pemikiran. Meskipun bukti empiris dapat memberikan kontribusi dalam beberapa konteks filosofis, bukti semata tidaklah mencukupi untuk membahas dan memahami masalah-masalah filosofis yang kompleks dan abstrak (Nanay, 2013: 349-360).

Filsafat tidak hanya berkaitan dengan membangun fakta-fakta empiris, tetapi juga dengan mengeksplorasi kerangka konseptual, prinsip-prinsip etiks, dan pertanyaan-pertanyaan metafisis. Fokus filsafat adalah pada pemahaman dan penilaian terhadap perspektif-perspektif yang berbeda, daripada hanya mengandalkan bukti empiris (Nanay, 2013: 349-360). Dengan menekankan argumentasi, penelitian filsafat memungkinkan eksplorasi gagasan yang lebih luas dan mendorong individu untuk terlibat secara kritis dengan konsep-konsep filsafat yang kompleks. Penting untuk dicatat bahwa meskipun bukti dapat memainkan peran dalam diskusi filsafat, bukti bukanlah faktor penentu tunggal. Argumen filsafat sering melibatkan interpretasi dan analisis bukti, tetapi juga melampaui data empiris untuk mempertimbangkan koherensi logis, kejelasan konseptual, dan pertimbangan etis (Landes, 2022: 207-225). Oleh karena itu, pendekatan berbasis argumen memungkinkan eksplorasi pertanyaan-pertanyaan filsafat yang lebih komprehensif dan bernuansa. Pendekatan penulisan berbasis argumen inilah yang seharusnya menjadi pendekatan yang lebih diutamakan dalam filsafat. Dengan menekankan argumentasi, filsafat menjadi disiplin yang memfasilitasi eksplorasi pemikiran yang mendalam, meningkatkan pemahaman konseptual, dan mendorong individu untuk terlibat dalam perdebatan intelektual yang berarti.

Membangun Jembatan antara Pengalaman Pribadi dan Penelitian

Pemisahan antara pengalaman pribadi dengan metode penelitian sering dianggap lebih objektif. Namun, para filsuf dan peneliti telah mengajukan argumen yang mengusulkan pentingnya membangun jembatan antara pengalaman pribadi dan penelitian. Dalam esai ini, kita akan melihat bagaimana pencarian keselarasan antara pengalaman pribadi dan metode penelitian dapat memperkaya gagasan serta melampaui batasan-batasan tradisional dalam menciptakan gagasan yang orisinal.

Dalam beberapa konteks, pengalaman pribadi dapat memberikan wawasan dan pemahaman yang berharga dalam memilih atau mengembangkan metode penelitian yang sesuai. Misalnya, seorang peneliti yang memiliki pengalaman pribadi dalam mengatasi masalah kehidupan sehari-hari dapat menggunakan pengalaman tersebut sebagai dasar untuk merancang metode penelitian yang lebih relevan dan bermakna. Dengan mempertimbangkan pengalaman pribadi sebagai sumber pengetahuan yang berharga, kita dapat membangun jembatan yang menghubungkan dimensi subjektif dan objektif dalam penelitian.

Memasukkan aspek pribadi dalam penelitian dapat memperkaya gagasan pada aspek perspektif maupun sumber penelitian. Melibatkan pengalaman pribadi dalam pemikiran dan interpretasi penelitian dapat memberikan perspektif yang unik dan berbeda. Misalnya, seorang peneliti yang memiliki pengalaman pribadi dalam menghadapi tantangan sosial dapat membawa pemahaman mendalam tentang dampak sosial suatu fenomena yang diteliti. Dengan memasukkan aspek pribadi, penelitian dapat menghasilkan gagasan yang lebih kaya dan kompleks, yang mencerminkan keanekaragaman pengalaman manusia dan konteks sosialnya. Memperkaya gagasan juga bisa melalui dobrakan sumber-sumber objek material yang baru. Peneliti dapat memberikan contoh penelitian filsafat bertemakan musik pop, sumber-sumber berita rilisan dan kritik musik yang tentunya hadir dari perusahaan media multi nasional dengan cakupan berita internasional seperti BillboardKerrangRolling Stones atau BBC.

Sebagai peneliti, penting bagi kita untuk mempertimbangkan sumber-sumber yang kredibel dan relevan dalam penelitian kita. Contohnya seperti Taylor Swift yang mendapatkan gelar honoris causa dari New York University yang­ tentunya tidak menulis artikel ilmiah tentang rilisan album barunya yang memiliki indeks Scopus. Namun, tim marketing Taylor Swift yang bekerja mengirimkan materi promosi atau informasi kepada media-media musik yang dianggap kredibel seperti Kerrang, Billboard, dan sejenisnya. Hal ini dapat mempengaruhi persepsi peneliti terhadap kepercayaan dan kredibilitas sumber informasi yang mereka gunakan. Dalam banyak kasus, media-media seperti Billboard dan BBCmemiliki reputasi yang mapan dan diakui sebagai sumber berita terpercaya dalam industri musik. Meskipun mungkin bukan sumber yang secara khusus diindeks dalam basis data akademik seperti SINTA 2, media-media tersebut memiliki standar editorial yang ketat dan menggunakan jaringan wartawan yang terampil untuk melaporkan berita dan menganalisis tren dalam industri musik.

Melampaui batasan-batasan tradisional dalam penelitian dapat membantu menciptakan gagasan yang orisinal, sebuah gagasan yang dapat berkembang lebih jauh lagi dari gagasan induknya. Terkadang, paradigma atau batasan yang telah mapan dalam penelitian dapat membatasi kreativitas dan inovasi. Dengan memasukkan aspek pribadi, peneliti dapat menantang batasan-batasan ini dan membuka jalan untuk gagasan-gagasan yang baru dan revolusioner. Misalnya, seorang peneliti yang mengintegrasikan pengalaman pribadi dalam pemikirannya dapat menemukan pendekatan yang baru dan tidak konvensional untuk memecahkan masalah yang kompleks.

Melampui batasan-batasan tradisional juga bukan berarti memaksakan pemikirian konvesional supaya masuk dengan gagasan yang lebih modern, misalnya memaksakan kajian filosofis budaya musik emo menggunakan perspektif pancasila. Dengan demikian, penggabungan pengalaman pribadi dalam penelitian dapat menciptakan ruang untuk gagasan yang orisinal dan memicu kemajuan ilmiah yang signifikan.

Penutup

Penting bagi para peneliti untuk mempertahankan koneksi dengan identitas pribadi mereka dan memberi pengakuan yang layak terhadap pengalaman yang mereka bawa ke dalam penelitian. Kesadaran akan pengaruh pengalaman pribadi dalam pemahaman fenomena dan interpretasi penelitian adalah langkah penting dalam mengatasi efek tersingkirnya pengalaman dalam diri penulis. Dalam kaitannya dengan penggunaan kata ganti “peneliti” atau “penulis”, penulis harus mempertimbangkan kapan dan bagaimana memasukkan aspek subjektif dan pengalaman pribadi mereka secara tepat ke dalam tulisan ilmiah mereka. Sebagai penulis, kita perlu berusaha menemukan keseimbangan antara objektivitas yang diinginkan dan penghargaan yang tepat terhadap pengalaman pribadi yang dapat memberikan wawasan berharga bagi penelitian kita.

Dalam upaya untuk memahami realitas secara lebih mendalam, menghargai peran penting pengalaman pribadi dalam penelitian adalah langkah filosofis yang memperkaya dunia ilmu pengetahuan. Pemisahan antara pengalaman pribadi dengan metode penelitian yang sering dianggap lebih objektif telah menunjukkan beberapa konsekuensi yang dapat mengurangi kekayaan dan keaslian dalam penelitian. Namun, dengan mencari keselarasan antara pengalaman pribadi dan metode penelitian, kita dapat membangun jembatan yang menghubungkan dimensi subjektif dan objektif dalam penelitian. Dengan memasukkan aspek pribadi dalam penelitian, gagasan yang dihasilkan menjadi lebih kaya dan kompleks, mencerminkan keanekaragaman pengalaman manusia dan konteks sosialnya. Melampaui batasan-batasan tradisional dalam penelitian juga membuka jalan bagi gagasan yang orisinal dan dapat mengubah paradigma. Dalam perjalanan ini, kita memahami bahwa pengalaman pribadi peneliti tidak bisa dipisahkan sepenuhnya dari penelitian itu sendiri, dan mengintegrasikan pengalaman pribadi dalam penelitian menjadi langkah penting dalam menciptakan pemahaman yang lebih komprehensif dan orisinal. Dengan menghargai kedalaman pengalaman pribadi, kita mampu memperkaya dunia ilmu pengetahuan dan mendorong kemajuan dalam pemahaman manusia terhadap realitas. Ale!


Daftar Pustaka

Aberdein, Andrew. ‘Eudaimonistic Argumentation’, 2019. https://doi.org/10.1007/978-3-030-28367-4_7.

Bram, Barli, and Patricia Angelina. ‘Indonesian Tertiary Education Students’ Academic Writing Setbacks and Solutions’. International Journal of Language Education, 2022. https://doi.org/10.26858/ijole.v6i3.22043.

Casillo, Ilaria, and Marianne Doury. ‘Prescribed Argumentation, Actual Argumentation, Reported Argumentation’. Journal of Argumentation in Context, 2022. https://doi.org/10.1075/jaic.21021.dou.

Landes, Ethan. ‘Philosophical Producers, Philosophical Consumers, and the Metaphilosophical Value of Original Texts’. Philosophical Studies, 2022. https://doi.org/10.1007/s11098-022-01900-8.

Mukminin, Amirul, Raden Muhammad Ali, and Muhammad Hasyim Ashari. ‘Voices From Within: Student Teachers’ Experiences in English Academic Writing Socialization at One Indonesian Teacher Training Program’. The Qualitative Report, 2015. https://doi.org/10.46743/2160-3715/2015.2280.

Nanay, Bence. ‘Philosophy Versus Literature? Against the Discontinuity Thesis’. Journal of Aesthetics and Art Criticism, 2013. https://doi.org/10.1111/jaac.12033.

Rokhmani, Teguh, Bedjo Sujanto, and Muchlis R. Luddin. ‘Sounding the Truth in Academic Writing’, 2019. https://doi.org/10.4108/eai.1-4-2019.2287271.

Bacaan Lainnya